Jones, Franklin, dan Roy telah sampai di rumah sakit hampir bersamaan. Mereka segera menggiring langkah mereka menuju kamar rawat yang dipakai untuk merawat Edgar.Mereka duduk di kursi tunggu, sementara Lolita ada di dalam ruangan bersama Edgar yang masih belum sadar dari komanya."Sudah dua minggu, Edgar belum juga bangun," gumam Jones sedih. Dia menjalin kedua tangannya di atas pangkuannya."Kita tidak tahu kapan dia akan sadar. Kita hanya bisa berharap yang terbaik untuk Edgar," balas Roy turut bersedih.Franklin yang duduk di antara Jones dan Roy hanya bisa mengangguk mengiyakan."Roy, bagaimana keadaan perusahaan Edgar? Masih kondusif kah?" tanya Jones sedikit khawatir. Karena perusahaan telah lama tidak diurus oleh Edgar. Perusahaan Jones saja sudah mulai mendapatkan masalah selama dia memulihkan diri pasca operasi. Dia tidak mau perusahaan sahabatnya itu mengalami hal yang sama.Roy mendesah pelan. "Perusahaan baik-baik saja. Tapi, aku cukup kewalahan mengerjakan tugas Edgar y
Satu bulan berlalu begitu cepat. Tapi, Lolita melewatinya dengan penuh kesabaran. Dia tetap menghabiskan banyak waktunya untuk duduk menunggu Edgar di sisi suaminya itu, berharap Edgar akan segera bangun dari komanya.Jones, Franklin, Nola, dan Robert juga masih sering menjenguk Edgar, dan memberikan kekuatan serta semangat untuk Lolita.Lolita menatap Edgar yang masih memejamkan kedua matanya. Dia membelai lembut pipi Edgar dan mengecupnya pelan."Om, aku akan tetap di sini untuk Om. Jadi, Om tidak perlu khawatir jika Om kesepian," ucap Lolita kembali duduk setelah mencium pipi Edgar singkat.Lolita lalu membulatkan kedua matanya saat Edgar menggerakkan jemarinya pelan. Lalu, kedua mata pria itu perlahan terbuka.Edgar mengerjapkan kedua matanya pelan. Dia masih menyesuaikan pandangannya saat melihat ruangan serba putih yang dia tempati. Dia lalu menggerakkan pandangannya ke arah lain. "Lolita," gumam Edgar tanpa suara. Air matanya meleleh saat melihat gadis yang dia cintai berderai
Roy, Nola, dan Robert akhirnya menyusul ke rumah sakit. Mereka tiba hampir bersamaan dan langsung menghampiri Edgar di kamar rawat pria itu.Di dalam kamar rawat Edgar, begitu ramai karena Jones, dan Franklin terus saja berdebat. Sementara, Edgar dan Lolita hanya tersenyum melihat adik kakak itu tetap adu mulut."Edgar pasti tidak mau juga punya adik sepertimu," tukas Jones bersedekap menghadapi Franklin. Dia bergeleng pelan karena adiknya itu sekarang begitu berani menjawab semua ucapannya di saat berada di depan Edgar, karena merasa dibela oleh sahabatnya itu."Itu hanya anggapanmu, Jones. Itu hanya pikiranmu saja. Tuan Edgar sudah menganggapku seperti adik Tuan sendiri."Jones memindahkan pandangan ke arah Edgar. "Benarkah itu, Edgar? Kau sudah menganggap Franklin seperti adikmu sendiri?"Edgar mengangguk lemah. "Iya. Sudah kalian berhenti berdebat. Kepalaku pusing mendengar kalian."Jones mengangguk menyerah. "Aku akan diam, Edgar."Nola dan Robert masuk ke dalam kamar rawat Edgar
Seorang pria duduk di sofa sambil menyesap kopinya. Dia menaikkan sebelah alisnya saat orang suruhannya masuk ke dalam ruang utama rumahnya."Ya. Bicaralah! Apa yang sudah kau dapatkan selama mengamati Jones?"Orang suruhan itu membungkuk dalam sambil berucap pelan. "Saya sudah menelusuri semua tentang Tuan Jones. Dia memiliki seorang adik yang sekarang bekerja sebagai sekretaris pribadinya. Dan Tuan Jones begitu akrab dengan Tuan Edgar dari perusahaan Beauty Corp."Sang pria tersenyum. Dia meletakkan cangkir kopinya ke meja. "Menarik. Padahal yang aku tahu Jones bermusuhan dengan Edgar. Tapi, mereka tiba-tiba menjadi dekat."Sang pria lalu mengibaskan tangannya. "Kau bisa pergi sekarang."Orang suruhan itu membungkuk sekali lagi, kemudian segera pergi dari hadapan Gio.Gio masih tersenyum. "Jadi perempuan yang aku tabrak di rumah sakit saat itu istrinya Edgar. Tapi, dia juga dekat dengan Jones. Hubungan yang sangat rumit."***Lolita menyuapi Edgar dengan sangat telaten. Di saat ada
Jones keluar dari rumah sakit bersama dengan Franklin."Jadi, bisa dikatakan Gio dulu adalah adik kelasku saat masih sekolah? Dia satu kelas denganmu, tapi kau tidak dekat dengannya?" tanya Jones saat dia berderap ke area parkir rumah sakit menuju mobilnya.Franklin mengangguk membenarkan. "Iya. Mungkin, kau tidak menyadarinya. Karena dia bukan siswa yang populer saat itu. Hanya saja dia sudah memiliki sifat liciknya sejak dulu. Aku ingat dia pernah membuat temanku yang lain dihukum karena terkena fitnah dari Gio. Padahal Giolah yang melakukannya."Jones mengangguk paham. Dia terdiam sebentar, membuka pintu mobil saat sudah sampai di samping mobilnya, lalu masuk ke dalamnya.Setelah berada di dalam mobil dan Franklin juga sudah duduk di sisinya, Jones kembali berucap. "Gio benar-benar licik. Tapi, dia tidak tahu kalau aku juga licik," tandasnya dengan sebuah senyuman di bibirnya.Franklin mengangguk setuju. "Ya. Kau juga licik, Jones.""Setelah ini kau akan pergi ke mana?" tanya Frank
Dengan sedikit canggung Jasmine mendekatkan wajahnya dan menunggu Jones menciumnya. Jones melirik ke samping. Tepat sekali pria bernama Gio itu sedang berada di cafe yang sama dengannya. Dia memang belum pernah bertemu dengan Gio secara langsung, tapi dia tahu wajahnya karena Franklin pernah memperlihatkan album kenangan sekolah milik adiknya itu padanya. Gio cukup berubah banyak. Style pakaian, dan rambutnya berubah, dan lebih cenderung meniru Jones. Entahlah, pria itu benar-benar meniru Jones atau hanya kebetulan mirip. Tapi, Franklin pernah bercerita kalau perempuan yang Gio sukai justru menyukai Jones. Ya, Jones jadi bisa sedikit menyimpulkan tentang Gio lewat cerita yang Franklin sampaikan padanya.Jones mengulas senyum tipis. Dia bisa menangkap lewat sudut matanya kalau Gio sedang melihat ke arahnya.Dengan gerakan pelan Jones mendekati Jasmine. Dia meletakkan sebelah tangannya ke leher wanita itu, lalu mencium bibir Jasmine panjang. Dia lalu melumatnya dan memperdalam ciumanny
Edgar tak berhenti tersenyum saat dia sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter yang baru saja memeriksa keadaannya. Kini hanya ada dirinya dan Lolita di kamar rawat.Dia dibantu Lolita membereskan semua barang-barangnya. Sebelum semuanya dia bawa pulang."Roy tadi bilang kalau kau akan pulang denganku naik taksi, Lolita," tukas Edgar pada Lolita.Lolita mengangguk. "Iya, Om."Edgar belum diperbolehkan menyetir sendiri, mobilnya juga ada di parkiran apartemennya. Jadi, dia memilih untuk naik taksi saat pulang nanti. Namun, tak dia duga Jones tiba-tiba muncul dari ambang pintu mengejutkannya."Kau membuatku kaget saja, Jones Sialan!" Edgar memberikan tatapan tajamnya ke arah Jones.Jones terkekeh. "Maafkan aku, Edgar. Aku terlalu bersemangat karena kau sudah dibolehkan pulang hari ini."Edgar mengerutkan dahinya. "Dari mana kau tahu kalau aku sudah boleh pulang sekarang?"Jones mengangkat satu tangannya, dan mengarahkan telapak tangannya itu kepada Edgar. "Aku membacanya lewat tanganku."
Lolita tersenyum saat melihat Edgar duduk bersebrangan dengan dirinya dan tampak begitu lahap memakan sandwich buatannya."Ini terasa lebih enak, Lolita," puji Edgar menghabiskan sandwich dalam waktu singkat.Lolita terkekeh pelan. "Tentu, akan terasa lebih enak. Karena selama ini lidah Om terus dihantam bubur."Edgar balas tersenyum lembut. "Oh ya, Lolita. Apa kau sudah punya rencana untuk membuat nama anak kita?"Lolita mengerutkan dahinya. "Aku ada rencana sih. Tapi, kan kita belum tahu bayi kita perempuan atau laki-laki, Om."Edgar mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan ke arah Lolita. "Bagaimana kalau kita membuatnya sekarang? Dua nama. Satu untuk bayi perempuan. Satunya untuk bayi laki-laki. Ini untuk berjaga-jaga."Lolita mengangguk mengiyakan. "Baiklah. Jadi, Om ingin menyumbang nama apa?"Edgar berpikir sejenak. "Kalau dihitung dari waktunya. Delapan bulan ke depan. Kau sepertinya akan melahirkan di musim dingin, Lolita. Jadi, aku akan menyumbangkan dua nama. Winter untuk pe
"Winter!""Ya, Mom," balas Winter berlari ke arah Lolita yang duduk di sofa ruang tamu.Winter sekarang sudah remaja. Tingginya bahkan sudah melebihi tinggi Lolita. Senyumnya teramat manis, dan memiliki mata biru yang indah yang dia turunkan dari Edgar."Ada apa, Mom?" tanya Winter saat sudah berdiri di hadapan ibunya.Lolita saat ini sedang hamil tua. Dan dia sedang ingin makan sesuatu. "Felix ingin makan kue coklat. Bisakah kau membelikannya, Winter?"Winter memutar matanya malas. Dia lalu menatap perut ibunya yang sudah besar. "Bukan Felix yang ingin, tapi Mommy kan?"Lolita terkekeh pelan. "Kau tahu saja. Anggap saja yang ingin Felix. Kau harus membelikannya sekarang. Adikmu ini akan menendang-nendang kalau tidak segera dituruti permintaannya.""Baiklah. Aku pergi dulu, Mom." Winter berpamitan keluar pada Lolita setelah menerima uang dari Lolita. Karena Edgar masih belum pulang kerja, jadi dirinya yang bertugas menjaga ibunya yang hamil.Winter naik ke mobilnya yang menjadi hadiah
Edgar dan Lolita kini sudah sampai di New York. Mereka akan meninggalkan bandara dan pergi menuju apartemen Jones untuk menjemput Winter."Tidak terasa satu minggu sudah berlalu. Aku sangat merindukan Winterku. Dia juga pasti akan merindukan Daddynya ini," tukas Edgar menghela napas lega sambil menggiring kopernya.Lolita mengangguk pelan. "Aku sudah tak sabar memeluk Winter lagi. Semoga dia tidak marah pada kita karena sudah meninggalkannya cukup lama."Edgar mengedikkan kedua bahunya samar. "Dia tidak akan marah. Aku sudah menyiapkan banyak mainan untuknya. Dan lagi pula Winter kan suka pria tampan. Sudah pasti dia tidak marah, dan justru senang karena tinggal bersama Jones dan Franklin."Lolita mengerucutkan bibirnya. "Tetap saja. Bagaimana kalau dia justru bertanya kita pergi ke mana? Dan kita melakukan apa selama kita pergi? Apa yang harus aku jawab, My Husband?"Edgar mengulas senyum. "Bilang saja kalau kita sedang ada urusan pekerjaan. Kita mencari uang untuk membelikan mainan
Sudah lima hari Winter dan Boy tinggal di apartemen Jones. Kedua anak kecil ini selalu saja berbuat ulah, membuat Jones serta Franklin jadi kehabisan stok kesabarannya. Tapi, Jones dan Franklin berusaha untuk tetap menekan amarahnya setiap kali menghadapi dua bocah ajaib itu.Untung saja Winter dan Boy sudah menjadi lebih akrab. Jones dan Franklin jadi tidak perlu harus menemani mereka bermain. Yah, walau kadang kali Winter masih suka usil sampai membuat Boy menangis. Jones mendesah pelan. Dia dipusingkan oleh urusan perusahaan, ditambah dia juga harus mengurus Winter dan Boy. Kurang dua hari lagi, orang tua kedua bocah itu akan kembali. Dan di saat itu tiba, Jones akan tidur seharian untuk menukar tidurnya yang akhir-akhir ini selalu terganggu."Papa Kuda," panggil Winter berlari ke arah Jones yang baru saja mengistirahatkan tubuhnya di sofa.Jones yang awalnya membaringkan punggungnya ke sofa, segera menegakkan punggungnya kembali saat Winter sudah sampai di depannya. "Ya, Winter.
Sore harinya. Edgar dan Lolita menikmati sunset di pantai. Mereka duduk di pinggir pantai sambil menyesap minuman mereka.Edgar melingkarkan sebelah tangannya di pinggang Lolita. "Sunsetnya sangat cantik ya, My Lovely."Lolita mengangguk mengiyakan. "Iya, My Husband.""Secantik kau," balas Edgar membuat Lolita tersipu."My Husband bisa aja." Lolita mencubit lengan Edgar pelan.Edgar lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Lolita, lalu berbisik, "Nanti malam aku mau lagi, My Lovely."Lolita mengernyit tak paham. "Mau apa?""Mau bercinta lagi denganmu," jawab Edgar mengulas senyumnya.Lolita bergeleng pelan. "My Husband, aku masih lelah. Tidak bisakah kita undur besok malam saja? Kita kan masih lama di Hawaii.""Baiklah. Aku akan menahannya, Lolita." Edgar menampakkan wajah kecewa.Lolita merasa gemas dengan Edgar yang seperti itu. Dia mencium bibir Edgar singkat dan tersenyum. "Begitu dong, sekali-sekali My Husband mau menurut."***Menjelang malam, Jones dan Franklin sibuk dengan balita
"Ahh …. My Husband. Lagi. Lakukan lagi. Ini sangat nikmat." Lolita memejamkan kedua matanya saat Edgar menggenjot dirinya.Edgar semakin bersemangat. Dia sudah mencapai klimaksnya sampai dua kali, tapi dia tidak mengalami kelelahan sama sekali, dia justru semakin semangat dan semakin cepat menggerakkan miliknya pada milik Lolita. Sampai dia mencapai klimaksnya lagi bersamaan dengan Lolita."Thanks, My Lovely. Aku benar-benar senang bisa bercinta lagi denganmu." Edgar tersenyum, kemudian mencium bibir Lolita. Lolita balas tersenyum saat Edgar sudah melepaskan ciumannya. ***Nola dan Robert berjalan cepat dan tergesa-gesa karena takut terlambat jadwal penerbangannya ke Bali. Nola menggendong Boy yang sedang tertidur, sedang Robert membawa dua tas besar berisi semua keperluan Boy, termasuk mainan milik Boy. "Jones!" panggil Nola memencet bel apartemen Jones. Dia hendak memecet lagi saat Jones tak kunjung menyahut dari dalam, tapi diurungkan oleh kedatangan Franklin.Franklin mengerutk
Waktu berjalan begitu cepat, dan saat yang paling ditunggu-tunggu Edgar akhirnya datang juga. Honeymoonnya dengan Lolita.Lolita yang awalnya ingin menunggu Winter berusia tiga tahun dulu, barulah dia dan Edgar akan pergi honeymoon. Memundurnya lagi satu tahun, karena dia begitu sibuk merawat Winter. Dan sekarang, tepatnya hari ini Lolita dan Edgar memutuskan akan pergi honeymoon ke Hawaii setelah sempat tertunda.Minggu lalu mereka baru saja merayakan ulang tahun Winter yang ke empat tahun. Mereka juga sudah memberitahukan rencana berlibur mereka pada Winter, tapi tidak mengatakan kalau sebenarnya yang mereka akan lakukan adalah honeymoon. Winter mengiyakannya, meski dengan syarat Edgar harus membelikan banyak mainan baru untuknya saat pulang nanti. Tentu, itu permintaan yang sangat gampang bagi Edgar. Dia langsung menyanggupi permintaan Winter dengan enteng.Kini Lolita dan Edgar pergi bersama Winter kecil ke apartemen Jones."Jones," panggil Edgar saat dia sudah sampai di depan apa
"Tidak!" tolak Edgar dengan satu kata yang tegas, singkat, dan tak terbantahkan saat Jones meminta izin padanya untuk membawa Winter selama satu hari.Jones mendengus kecewa. "Satu jam saja kalau begitu," ucapnya memelas.Edgar sekali lagi bergeleng. "Aku tidak akan mengizinkan kau membawa Winterku, Jones. Kau hanya boleh melihatnya di apartemenku seperti sekarang ini."Jones mendengus sekali lagi. "Baiklah. Benar kata Roy, kau lebih posesif."Edgar berkacak pinggang. "Kau baru tahu, huh?""Tidak. Aku sudah tahu dari dulu," balas Jones datar. Dia lalu mendekati Winter lagi."Winter, ini Om Jones," ucap Jones tersenyum lebar. Dia melambaikan tangan pada Winter, berharap bayi mungil itu melihat ke arahnya dan tersenyum untuknya.Edgar bergeleng pelan mendapati apa yang Jones lakukan. Dia berderap ke samping Jones. "Winter baru saja lahir, pandangannya masih kurang jelas. Jadi, kau tak perlu berharap Winter bisa membalas senyummu itu."Jones mengangguk paham. "Iya. Aku akan menunggu dia
Delapan bulan berlalu. Nola dan Robert kini sedang berada di rumah sakit, menanti kelahiran bayi mereka. Jones menunggu dengan tak sabaran bersama Franklin di ruang tunggu.Semenjak berita Gio dan keluarga Brown ditangkap karena kasus penyelundupan narkoba, Jones merasa tenang karena keadaan perusahaannya menjadi lebih baik dan lebih kondusif.Jones menoleh pada Franklin yang sibuk bermain dengan ponselnya. "Bagaimana? Apa Lolita juga akan melahirkan?" Franklin menurunkan ponselnya dari pandangannya. "Lolita masih melakukan pemeriksaan di rumah sakit. Dokter memperkirakan Lolita akan melahirkan besok pagi."Jones mengangguk paham. Dia spontan menatap pintu ruangan di mana Nola ditangani, karena tiba-tiba suara bayi menangis terdengar dari arah sana."Aku akan benar-benar dipanggil Om setelah ini," tukas Jones tersenyum.Robert keluar dari ruangan dengan senyum bahagianya. Dia menutup pintu ruangan kembali dan langsung berlari ke arah Jones."Tuan Jones, Tuan Franklin. Boy sudah lahir
"Apa yang sudah kau lakukan selama ini, Gio? Kenapa kau lengah, huh? Apa kau tahu semua orang-orang Daddy dipecat secara tidak terhormat oleh Jones?"Gio membulatkan matanya saat mendengar ucapan ayahnya. Dia sedikit berbisik agar Jones dan Valen tidak mendengar perkataannya. "Bagaimana bisa hal itu terjadi, Dad? Setahuku Jones akhir-akhir ini lebih sering menghabiskan waktunya bersama wanita-wanitanya. Dia bahkan tidak pernah pergi ke perusahaan selama aku mengikutinya.""Kau bodoh! Jadi, pekerjaanmu hanya mengikutinya saja?!" Suara ayah Gio membalas dengan suara yang keras. "Huh … aku menyesal sudah memilihmu, Gio. Aku harusnya menyerahkan semuanya pada anak kakakku, dan bukan kau. Kau hanya beban bagi keluarga Brown."Gio menggigit bibir bawahnya keras-keras. Dia menurunkan ponselnya dari telinganya setelah ayahnya memutuskan telepon sepihak. Dia mengepalkan kedua tangannya sambil terus berpikir, bagaimana bisa Jones melakukan itu? Bagaimana pria yang tahunya hanya bersenang-senang