Happy Reading****Melajukan motornya dengan kecepatan tidak biasa, hati Kiran diliputi rasa khawatir. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, bayangan Agus terlintas jelas. Sampai di halaman parkir rumah sakit, Kiran memasang niqob yang dibawa. Dia sudah mempersiapkan semua itu sejak tadi pagi dari rumahnya. Tak ingin siapa pun mengenali ketika menjenguk ayahnya yang terbaring sakit. Berjalan ke arah resepsionis dan menanyakan kamar orang yang dicarinya. Rasa gugup kian menyerang si gadis. "Semoga apa yang aku lakukan ini bener," doa Kiran dalam hati. Walau bagaimanapun, Agus tetap ayahnya. Sebesar apa pun kebencian, ikatan darah tidak akan pernah terputus. Mendekati ruang perawatan lelaki paruh baya tersebut, Kiran melihat sosok Amir yang tengah berbincang dengan seorang lelaki dengan perkiraan umur di bawahnya. Walau cuma sekali bertemu, gadis itu yakin jika lelaki tersebut adalah adiknya. Kiran bersembunyi di balik dinding penyangga yang tak jauh dari keduanya. Dia tidak ingi
Happy Reading*****Kiran membuka niqob-nya, menatap sayu pada lelaki di hadapannya. "Maukah Anda menemani saya masuk menjenguknya, Pak?"Seakan mimpi di siang hari, Amir tersenyum semanis mungkin. Kebahagiaan itu tidak bisa disembunyikan lagi. "Senang hati, aku menemanimu. Ayo." Amir melepaskan cekalan tangannya pada sang pujaan. Bersama gadis yang sudah berhasil memperok-porandakan hatinya, Amir kembali masuk ke ruang perawatannya Agus. Suara Farel yang menyilakan mereka masuk, terdengar bagai ancaman bagi Kiran. "Mas Amir belum pulang?" Farel memicingkan mata, di sebelah lelaki yang sudah berpamitan tadi, ada seorang perempuan mengenakan niqob. "Siapa, Mas?" tanya Farel, aneh. Pikiran negatif tentang Amir pun mulai berkeliaran di otaknya. "Sebenarnya sudah mau pulang, tapi tadi aku bertemu dengannya di depan," ucap Amir sambil melirik gadis si sebelahnya. "Ada yang ingin ketemu beliau." Sekali lagi, Amir melirik pada Kiran. "Siapa?" Farel menatap calon kakak iparnya penasaran
Happy Reading*****Farel melongo mendengar perkataan saudaranya. Selama ini, dia sama sekali tidak mengenal bagaimana sifat dan sikap Kiran. Jadi, ketika sang gadis berkata demikian, lelaki itu syok berat. "Mas, Mbak Kiran, kok ...?" tanya Farel pada Amir yang sedikit aneh menurutnya. Garis bibir Amir terangkat sedikit. "Udah biasa kayak gitu. Perkataannya tadi, bukti jika mbakmu itu nyimpen suatu rasa buatku," jawab si bos santai, tidak berpengaruh apa pun padanya. Tak urung Farel tertawa lebar. Bagaimana bisa lelaki di sebelahnya itu begitu ringan menyikapi kelakuan jutek Kiran. Dia pun cuma bisa menggelengkan kepala. Cinta memang bisa membutakan. "Semangatlah, Mas. Aku dukung seratus persen go to akad sama Mbak Kiran. Tidak ada lelaki yang lebih pantas mendampinginya selain Mas Amir," ucap Farel."Terima kasih. Mas, pulang dulu, ya." Amir menepuk lengan Farel. Namun, adiknya Kiran malah menariknya ke pelukan. *****Perjalanan kembali ke kantor membuat pikiran Amir selalu te
Happy Reading*****Rumah adalah tempat ternyaman meluapkan segala emosi jiwa. Sedih, bahagia dan semua rasa yang bersemayam dalam hati. Kiran masuk ke gedung berwarna putih yang telah dia tempati sejak kecil tanpa mengucap salam. Langsung berlari ke kamar dan menangis sejadi-jadinya.Dari luar kamar, Nur yang melihat perilaku putrinya, mulai mempertanyakan apa yang terjadi dengan Kiran. Niat hati ingin menjenguk sang suami, urung. Perempuan paruh baya itu lebih memilih mendekati Kiran. Nur masuk kamar putrinya perlahan karena pintu tidak dikunci oleh Kiran. Lalu, duduk di sebelah si bungsu sambil mengelus kepalanya yang masih tertutup jilbab."Ceritakan kamu kenapa, Nak?" tanya Nur sangat berhati-hati, "apa tentang bosmu itu? Belum waktunya pulang kerja, tapi kamu sudah ada di rumah."Kiran membalik tubuh yang semula tengkurap dengan ditutup bantal guling untuk meredam tangisannya. Lalu, menggelengkan kepala beberapa kali, menjawab pertanyaan Nur. Sesekali isakan itu mengeras dan N
Happy Reading*****"Ran, ngomong, dong. Jangan cuma lihatin aku kayak gitu," desak Amir setelah Kiran terdiam dan menatapnya aneh.Seakan tersadar dari lamunannya, "Enggak perlu berlebihan sampai datang ke rumah saya, jika cuma menanyakan hal itu. Saya insya Allah baik-baik saja." Kiran membuang muka sementara Nur belum tampak di ruang tamu. Entah ke mana perempuan itu."Nggak berlebihan menurutku. Kalau aku khawatir dan menanyakan keadaanmu, itu sebagai bentuk penjagaan kepada orang yang kusayang." Amir menatap Kiran lebih tajam dari biasanya. Berusaha menyelami hati serta mengetahui reaksi si gadis ketika semua kalimat itu tulus terucapkan. Kiran mulai salah tingkah. Bohong jika dia tidak bahagia mendengar kalimat Amir. Namun, seperti yang sudah-sudah, gadis itu menunduk dan tak menjawab sampai suara Nur terdengar menyilakan bosnya untuk meminum teh yang baru saja disajikan."Terima kasih, Bu. Maaf kalau merepotkan. Sebenarnya nggak perlu seperti ini. Toh, niat saya cuma memastika
Happy Reading *****"Pokoknya Rara nggak mau ngundang temen-temen ke acara ultah. Rara maunya cuma makan bersama keluarga, Mami Kiran juga," kata Naumira saat keluarga Wijananto tengah sarapan.Semalam, Amir memang sempat mendengar rengekan putrinya itu. Namun, dia tidak mampu berbuat apa pun karena saat ini, hubungannya dengan Kiran tidak begitu baik. Si gadis masih marah padanya. "Ya, sayang. Nanti, kakek yang ngomong langsung ke Mami Kiran. Kalau papimu yang ngomong, pasti ditolak," ucap lelaki yang sebagian rambutnya sudah berganti warna. Amir melirik papanya yang tengah tersenyum. Kentara sekali kata-kata yang terucap menyindir. Sudah tiga hari ini, dia belum bisa mengajak Kiran berbincang apalagi memintanya menjenguk Agus. Kedatangan Kiran begitu ditunggu oleh Agus. Semenjak lelaki itu membuka mata, orang yang pertama kali dicari adalah putrinya, meskipun kesadaran belum sepenuhnya pulih. Hal itulah yang menjadi pikiran Amir beberapa hari ini. "Papa nggak yakin banget sama
Happy Reading*****"Ya, ini perintah," kata Amir, "perintah seorang suami yang harus dituruti oleh istrinya demi kebahagiaan anak-anak nya." Jawaban Amir sukses membuat Kiran makin emosi. Si gadis menepuk tangannya dengan keras di atas meja sehingga menimbulkan bunyi gebrakan. "Saya bukan istri Anda. Bagaimana mungkin harus menuruti semua perintah? Jangan sembarangan kalau ngomong.""Saat ini, kamu memang belum menjadi istri. Tapi, kamu adalah calon istriku. Anggap saja ini latihan ketaatan." Enteng sekali jawaban Amir yang makin membuat si gadis kesal. Kiran benar-benar tak habis pikir dengan lelaki yang berada di hadapannya ini. Dulu, sikap Amir sangat dingin, tak tersentuh oleh wanita mana pun. Namun, kini di hadapan Kiran, dia bisa berbuat dan bertindak konyol."Terserah, saya enggak bakal datang." Kiran berdiri, hendak meninggalkan Amir. Rasanya, percuma dia memberikan banyak alasan. Amir pasti akan semakin mengatakan hal yang menjengkelkan hati. "Turuti atau aku akan menculi
Happy Reading*****"Bukan begitu maksudku?" jawab putri sahabatnya Laila yang tak lain adalah Rosa."Lalu, apa maksudmu? Kamu ingin memastikan bahwa hubunganku dengannya asli atau cuma candaan, kan?" tuntut Amir. Suaranya mulai meninggi membuat suasana di ruangan Wijananto memanas."Sudah ... sudah. Nggak perlu saling adu otot gitu," ucap Laila mencegah perdebatan yang mungkin akan terjadi. "Terpenting kalian sudah tahu bahwa perkataan Amir tidak mengada-ada.""Kami sebagai orang tua, nggak mungkin memaksakan perjodohan lagi, kan. Rosa dan Amir sudah sama-sama dewasa. Lagian, cinta nggak bisa dipaksakan, kan?" tambah Wijananto. Setelah mengatakan hal tersebut, pihak keluarga Rosa tidak berani lagi memaksa Amir. Bahkan sekedar membahas hubungan lelaki itu dengan Kiran, mereka tidak berani lagi.Keluarga sahabat Laila pulang dengan wajah muram penuh kekecewaan. Sementara Kiran masih diam mematung tanpa tahu harus bertanya apa. Gadis itu memilih lebih banyak berinteraksi dengan Naumira
Happy Reading*****Seluruh keluarga Wijananto telah berkumpul di meja makan untuk sarapan. Nasi goreng pesanan Naumira juga sudah terhidang walau bukan Kiran yang membuatkannya karena perempuan itu diminta Amir untuk menyiapkan semua keperluan suaminya. Walau semula, Kiran tidak begitu tertarik dengan nasi goreng pesanan Naumira. Namun, ketika melihat tampilan makanan tersebut, semuanya berubah. Kiran seperti menemukan harta Karun ketika mencium dan melihat aroma nasi goreng tersebut."Njenengan mau sarapan apa, Mas?" tanya Kiran sebelum mengambil nasi goreng yang cukup menggugah seleranya."Aku nasi putih, sayur bayam aja."Cekatan, Kiran mengambilkan apa yang disebutkan sang suami, sedangkan si kecil sudah mengambil nasi goreng terlebih dahulu. Jadi, Kiran tidak perlu melayaninya lagi.Selesai menyiapkan sajian untuk sarapan suaminya, Kiran ingin memindahkan nasi goreng ke piringnya. Baru akan menyentuh nasi goreng tersebut, perut perempuan itu bergejolak.Mual mulai menyerang kar
Happy Reading*****Belum sempat Kiran menjawab pertanyaan sang mertua, suara Amir terdengar menginterupsi."Ada apa, Ma? Pagi-pagi, kok sudah mengumpulkan mereka semua," tanya Wijananto dan Amir secara bersamaan.Kiran menarik tangan kanan sang suami, mencium punggung tangan tersebut penuh hormat. Beberapa detik kemudian, dia berbisik.Amir melihat semua pegawainya dengan muka malu. "Maaf, ya. Karena kesalahan saya, kalian kena omelan Mama.""Hah, maksudnya gimana?" tanya Laila dengan mata terbuka sempurna."Jadi, gini, Ma," ucap Amir yang menceritakan kejadian semalam bersama sang istri. Semua orang mendengarkan dengan baik kecuali Kiran yang menunduk dalam karena merasa bersalah telah membuat para pembantunya dimarahi Laila."Maafkan Kiran, ya, Ma. Sebenarnya, Kiran mau membereskan semua peralatan kotor, tapi sama Mas Amir nggak dibolehin. Kata beliau, keburu ngantuk. Jadi, kami langsung ke kamar untuk istirahat," jelas Kiran. Dia masih menunduk karena malu.Wijananto tertawa kera
Happy Reading*****Amir melongo mendengar perintah sang istri. "Sayang, kan, kamu yang tadi ngomong lapar. Kenapa sekarang Mas yang kamu suruh makan? Ini gimana konsepnya? Mas nggak biasa makan sepagi ini, lho. Lagian, bentar lagi subuh dan jam sarapan sangat dekat.""Jadi, Mas, enggak mau makan masakanku?" tanya Kiran dengan suara bergetar."Bukan gitu, Sayang." Amir meremas rambutnya. Benar-benar bingung harus menjelaskan bagaimana pada sang istri. "Ya, sudah sini. Aku mau buang saja makanannya." Kiran mengambil kembali piring berisi cap cay dan juga es jeruk nipis dari hadapan suaminya.Amir bergerak dengan sangat cepat, merebut benda yang dipegang Kiran. "Oke ... oke. Mas akan makan semua ini, tapi dengan syarat.""Apa?" Kiran menatap sang suami dengan kening berkerut. "Kalau enggak ikhlas melakukannya, mending aku buang saja makanan ini.""Jangan, dong. Mas akan menghabiskannya asal kamu memenuhi syarat itu.""Cepetan ngomong. Apa syaratnya?" pinta Kiran. Perempuan itu tiba-tib
Happy Reading*****"Aduh, kok, malah kenceng nangisnya?" Amir pun panik. "Pokoknya, kalau Mas enggak mau. Aku turun di sini saja. Aku mau jalan kaki ke supermarket itu terus nyari orang yang bisa buatkan aku tahu lontong," kata Kiran, ngaco.Amir meremas rambutnya, mulai bingung dan panik menghadapi sikap sang istri. "Jangan gitu, dong, Sayang. Oke, Mas bakalan masak untuk kamu, tapi kamu harus berjanji nggak akan marah kalau rasanya nggak sesuai harapanmu," kata lelaki itu."Terima kasih, Sayang." Kiran memeluk Amir dan mencium pipinya. Tangsinya pun terhenti bahkan kini wajah perempuan itu terlihat begitu bersinar.lHampir pukul dua pagi, Kiran dan Amir berbelanja di super market setelah mencari bahan-bahan apa saja yang diperlukan untuk membuat tahu lontong khas bumi Blambangan. Melihat banyaknya sayur dan buah di hadapannya, indera Kiran berbinar-binar apalagi ketika melihat wortel dan kembang kol. "Mas, kayaknya aku pengen masak cap cay saja, deh," kata Kiran. Perempuan itu me
Happy Reading*****Melihat kepergian Amir, Kiran mulai panik. "Mas, maaf. Aku beneran enggak ingat di tanggal sepuluh, dua bulan lalu. Tapi, bukan berarti aku enggak sayang sama njenengan. Jangan kekanakan, dong, Mas," ucapnya supaya sang suami tidak marah lagi. Amir tidak menggubris perkataan Kiran, dia memilih melanjutkan langkahnya ke kamar mandi. Sengaja memang, supaya sang istri menyadari kesalahannya dan tidak mengatakan hal-hal yang tidak mengenakkan lagi.Bukankah pernikahan itu adalah ibadah terpanjang. Jadi, mana mungkin Amir akan dengan mudah melupakan ikrar suci yang sudah diucapkannya. Baru juga dua bulan pernikahan, tetapi Kiran sudah menuduhnya sembarangan. "Mas, kamu marah sama aku?" tanya Kiran, sedikit berteriak. Amir tak menjawab bahkan tidak menoleh pada Kiran sama sekali. Namun, bahunya sempat terangkat ke atas. "Mas, ih. Maafin aku," ucap Kiran sekali lagi. Tak tahan dengan sikap diam suaminya, perempuan itu turun dari ranjang walau tanpa menggunakan sehelai
Happy Reading*****Sang sopir menatap Amir dengan ketakutan. Tangannya bahkan bergetar ketika berusaha menghentikan sang tuan rumah. "Pak, tolong maafkan sikap istri saya. Dia mungkin lagi banyak pikiran, makanya ngomong kasar seperti tadi. Padahal Bapak kan tahu sendiri kalau Kiran itu nggak pernah suka jika ada suara keras," kata Amir.Sopir yang bernama Widodo itu mengangguk. "Sebenarnya, saya juga salah, Pak. Nggak seharusnya menuruti semua keinginan Mbak Rara. Benar kata Mbak Kiran," ucap lelaki paruh baya itu dengan suara bergetar dan kepala menunduk."Jadikan pelajaran saja, ya, Pak. Lain kali, sekiranya menurut Bapak permintaan anak saya agak keterlaluan, tolong ingatkan saja. Kalau Rara ngeyel, njenengan bisa menelpon saya. Biar saya yang menasihatinya. Mungkin itu saja, Pak. Njenengan boleh melanjutkan pekerjaan lainnya." Amir berusaha tersenyum walau pikirannya masih terus berputar pada perubahan sikap sang istri. Sepeninggal sopir tersebut, Amir menyusul istrinya ke kam
Happy Reading*****Tak mau masalahnya dengan sang istri membesar, Amir kembali melakukan panggilan pada Kiran. Namun, perempuan itu selalu menolak panggilannya. "Dia ini kenapa, sih?" tanya, menggerutu sendirian. "Nggak biasanya Kiran rewel gini. Apa aku melakukan kesalahan padanya, ya?""Dih, ngomong sendiri kayak orang gila. Kenapa?" Syaif sudah duduk di hadapan sahabatnya tanpa diketahui kedatangannya.Amir melirik sahabatnya yang kini sudah tidak bekerja di bawah kepemimpinannya. Lelaki itu saat ini sudah menjadi pemimpin di perusahaan papanya sendiri. "Kapan datang kok, aku nggak tahu?""Ya, karena kamu fokus sama ponsel dan ngomel sendiri. Makanya, pas aku buka pintu ruangan nggak denger. Kenapa, sih? Ada masalah sama Rara?"Amir menghela napas panjang, lalu menggelengkan kepala. "Terus?" tanya Syaif, penasaran. "Nggak mungkin kamu ada masalah sama Kiran?""Nggak ada masalah sama dia juga. Cuma, hari ini sikap Kiran tuh aneh banget. Dari pagi, dia kayak emosian terus. Barusa
Happy Reading*****"Hei, belum juga dia membuka cadar. Kenapa kamu sudah mengucap alhamdulillah seolah pilihanmu itu benar Fitri," sahut Wiranto."Pa, aku kenal betul suara istriku," sahut Syaif yang langsung mengarahkan tangannya membuka cadar si perempuan."Hei!" teriak semua orang."Aduh, maaf," ucap Syaif ketika mengetahui siapa perempuan di balik cadar tersebut."Kenapa? Apa dia istriku?" tanya Agung dengan mata terbuka sempurna. "Kamu lihat sendiri, deh. Maaf, ya, Gung." Syaif memasang wajah sedih penuh penyesalan.Di saat Syaif terlihat sedih, semua orang malah tertawa. Mereka tidak menyangka jika perempuan yang dipilih sang pengantin adalah istri orang lain."Ish, dasar. Nggak bisa mengenali istri sendiri. Pantas saja kamu selalu kalah dari Amir," celetuk mamanya Syaif. Agung bahkan memukul pelan lengan Syaif. "Gimana ceritanya kamu bisa mengakui istriku?""Habisnya, istrimu Makai cincin sama kayak yang aku belikan untuk Fitri," alibi Syaif untuk menutupi kesalahannya. Pa
Happy Reading*****"Kamu masih yakin kalau dia, Kiran?" tanya Laila seolah mengerti kegalauan putranya setelah mendengar dehaman perempuan bercadar yang dipilih Amir. Papinya Naumira terdiam. Sorot mata fokus mengamati perempuan yang telah dipilihnya. Semua mata ikut menatap dua orang tersebut. Kini, bukan Syaif yang menjadi pusat perhatian semua orang, tetapi Amir dan perempuan pilihannya. Setelah beberapa detik mengamati, Amir kembali berkata, "Aku yakin dia istriku, Kiran, Ma. Nggak akan kubiarkan dia mengecohku.""Kalau sampai salah gimana, Nak? Kiran pasti marah," peringat Nur. "Insya Allah, nggak akan salah, Bu. Ayo buka!" perintah Amir tak terbantahkan bahkan tangannya sudah bersiap untuk membuka cadar perempuan tersebut. "Tunggu, Mir. Jangan gegabah. Kalau sampai salah, kamu pasti malu," bisik Agung. Amir menarik garis bibirnya dan menggelengkan kepala. "Insya Allah, aku nggak akan salah. Cintaku akan selalu menuntunku untuk bisa mengenali Kiran. Di mana pun dia berada