Jantung Bella berdebar kencang oleh antisipasi perayaan ulang tahun yang akan Damian lakukan di tengah malam. Lima belas menit lagi sebelum jam menunjukkan pukul dua belas malam. Bella duduk di tepi kasur Damian sambil meremas tangannya yang terasa dingin. Ia tidak pernah merayakan ulang tahunnya. Terutama setelah menjadi budak di rumah Tuan Hugo, semua hari terasa sama saja. Tidak ada yang istimewa. Ia bahkan tidak punya waktu luang untuk sekadar bahagia. Ia tidak punya uang sepeser pun untuk membeli kue yang paling murah sekali pun. Tetapi sekarang... Bella duduk dengan gugup di tempatnya. Ruangan itu remang dan Damian sedang keluar untuk mengambil sesuatu. Bermenit-menit rasanya berlalu ketika alarm tengah malam berbunyi keras di atas nakas. Bella tersentak karena terkejut, kemudian apa yang terdengar selanjutnya membuat matanya terbuka lebar. Damian masuk ke kamar dengan membawa buket bunga mawar yang sangat besar, hampir seukuran tubuhnya. Sebuah kue cokelat berada di tanga
Ini adalah pengalaman pertama baginya.Di hari ulang tahunnya.Jantung Bella berdebar tidak karuan ketika Damian melepas pakaian terakhir yang membungkus tubuhnya. Tatapan pria itu tidak lepas sedetik pun darinya, begitu intens hingga ia merasa Damian seolah berusaha melihat isi hatinya.Hanya satu orang, pikir Bella. Dalam hidupnya, hanya satu orang pria yang ia percaya dan cintai.Damian membaringkan tubuhnya di atas ranjang dan merangkak di atasnya dengan perlahan. Napasnya terdengar memburu. Damian hanya menatapnya untuk waktu yang lama, sebelum membungkuk untuk memberi ciuman lembut di bibirnya."Peluk aku," pinta Damian.Bella melingkarkan kedua lengannya di leher pria itu, kakinya melingkari pinggangnya. Ia menatap ke dalam mata Damian yang membara oleh gairah dan sejuta sensasi terasa beterbangan dalam dadanya.Damian akan melakukannya malam ini. Menjadikannya miliknya. Untuk selamanya.Bella tidak akan pernah mencintai pria lain, jadi ia tidak merasa ragu sedikit pun.Setelah
Warna putih memenuhi pandangan. Pohon, gerbang, rumput, istal, dan pegunungan dari kejauhan diselimuti oleh salju.Langit mendung dan udara menurun drastis, tetapi Bella tetap saja tersenyum lebar ketika membuka pintu menuju halaman belakang. Setelah kejadian semalam dan Damian yang tidak henti-hentinya membisikkan kata-kata manis ke telinganya, ia tidak bisa berhenti tersenyum.Suasana hatinya sedang berada di puncak hari ini.Ia menatap cincin di jari manisnya dan bibirnya secara otomatis tertarik membentuk senyum lebar. Seperti inikah yang dikatakan orang-orang di televisi? Bahwa cinta terkadang membuatmu merasa gila?Bella tertawa kecil dan menggeleng pelan. Ia bergidik ketika melangkah melewati pintu, meskipun mantel tebal dan syal yang ia pakai hanya memperlihatkan matanya saja. Musim dingin kali ini jauh lebih membekukan dari biasanya.Bella meraih sekopnya, lalu membersihkan sepanjang jalan setapak kecil yang terhubung ke gerbang. Para pelayan dan pengawal sibuk membersihkan
Bella terbangun oleh suara erangan rendah Damian di telinganya. Kelopak matanya terbuka dan ia mengernyit merasakan kulit Damian yang begitu panas. Pria itu memeluknya dari belakang dengan erat, dan entah kenapa suhu tubuhnya kelewat hangat. Bella mengerjap-ngerjap menatap ruangan yang temaram, kemudian berusaha mengumpulkan kesadarannya. Jam berapa sekarang? Rasanya ia belum tidur terlalu lama. Dengan lembut, disentuhnya lengan Damian yang berada di perutnya—memang sangat panas. Tangannya turun ke jemari Damian yang agak lembab karena keringat. Ini tidak normal. Apakah Damian demam? Mendadak, pria itu kembali mengerang. Suaranya parau dan jelas kesakitan. Napasnya yang berembus di kepalanya terdengar berat. Bella segera berbalik, lalu menyentuh dahi Damian yang basah. "Ah, panas sekali," gumamnya spontan. Ia bergegas bangun dari tempat tidur dan meraba rahang hingga leher pria. Keringat telah membasahi tubuh Damian sampai ke pinggang. Bella bergegas menyalakan lampu. Jam dindin
Pria ini hanya ingin menggodanya, bukan? Apakah dia sebenarnya tidak sakit?Damian tidak bisa menahan tawanya untuk meledak ketika melihat ekspresi kekasihnya. "Sayang, apa kau harus memasang wajah seperti itu?"Bella kontan melotot, bibir semakin maju saat sadar kalau Damian benar-benar hanya ingin mempermainkannya. Ia mengulurkan tangannya untuk mencubit lengan Damian, tetapi pria itu lebih dulu menangkapnya."Baiklah, baiklah. Aku hanya bercanda," ucapnya, terkekeh. "Tapi apa salah jika aku memintanya pada kekasihku sendiri?"Tanpa permisi, Damian malah membawa tangan Bella ke dadanya. Bella menggigit bibir bawahnya merasakan kulit panas pria itu. Terlebih ketika Damian menurunkan tangannya menuju kotak-kotak keras yang terbentuk dengan baik di perutnya. Begitu seksi dan maskulin.Darahnya terasa berdesir. Damian terus mengarahkan tangannya untuk meraba tubuhnya, sementara tatapannya terpaku pada wajahnya. Rasanya ada aliran listrik tegangan rendah yang mengaliri tubuhnya.Damian m
Mereka sudah pergi, bukan? Tidak ada lagi suara yang terdengar. Bella membuka pintu dapur dengan sangat hati-hati, kemudian mengamati sepanjang lorong yang mengarah ke sayap timur. Kosong. Ia tidak tahu ke mana dua orang itu menghilang, tetapi ia yakin mendengar suara langkah yang perlahan-lahan menjauh. Bella memegang erat cangkir tehnya dan berjalan melintasi aula dengan cepat. "Oh siapa ini?" Suara itu begitu mengejutkan hingga Bella terkesiap dan hampir menjatuhkan teh di tangannya. Ia menoleh ke samping, hanya untuk melihat seringai tipis dari pria kekar yang berdiri di balik pilar-pilar yang menjulang. Bella kira mereka sudah pergi, tetapi rupanya masih ada satu orang yang... ia bahkan tidak tahu apa yang pria itu lakukan di sini. Dia adalah pemilik dari suara mesin motor tadi. "Terkejut, ya?" tanyanya dengan jenaka. Seringainya melebar melihat ketakutan yang melintas di wajah Bella. Bella spontan berbelok ke samping, tetapi pergerakannya tidak cukup cepat ketika pria itu
Ketepatan Bella dalam menembak papan target sudah mulai meningkat. Pagi itu, Damian kembali membawanya ke tempat latihan menembak untuk mengasah kemampuannya. Mereka menghabiskan waktu di sana sampai jam sepuluh, kemudian kembali ke mansion saat salju mulai berjatuhan.Mereka sempat melewati rumah pribadi Damian yang tengah dipugar di beberapa bagian. Damian memberitahu bahwa mereka akan pindah ke sana setelah acara penobatannya selesai.Damian menjadi jauh lebih sibuk di hari berikutnya.Katanya, mereka akan meluncurkan senjata rakitan baru di sebuah pesta besar yang akan diselenggarakan. Jadi, Damian menghabiskan lebih banyak waktunya untuk berdiskusi dengan para petinggi organisasi.Masalah yang sebelumnya terjadi telah diselesaikan. Sebagian besar anggota organisasi mulai pergi dan tersisa lima orang yang memilih untuk tinggal lebih lama.Mereka adalah keluarga Tuan Martinez. Termasuk Ymar yang menghabiskan waktunya dengan menjelajahi seluruh isi mansion.Dia menyapa semua orang
"KAU PIKIR APA YANG KAU LAKUKAN, DAMIAN LINFORD?!" Damian menghela napas mendengar teriakan itu dan duduk di salah satu kursi yang kosong. Malam ini, ia dipanggil ke ruang tengah untuk sebuah pertemuan khusus setelah apa yang ia lakukan pada Ymar. Pria itu duduk di seberang meja dengan wajah babak belur, merah meradang dengan beberapa luka yang masih mengeluarkan darah. Kedua sisi matanya bengkak dan bibirnya tampak miring sebelah. Dia menatap Damian dengan wajah kesal luar biasa. Damian balas menatap dengan wajah dingin. Dia pantas mendapatkan hal itu, pikirnya. Seharusnya lebih. Kalau saja Damian tidak memikirkan ibu Ymar yang sedang sakit, ia akan menghabisi pria itu tanpa ampun. Setelah apa yang dia lakukan pada Bella, dia tidak berhak mendapat pengampunan. Tetapi sekarang, ia malah dipanggil untuk mendiskusikan tindakannya? Damian ingin mengumpat keras. Ayah Ymar—Massimo—menganggap bahwa tindakannya terlalu berlebihan. Pamannya itu tidak bisa menerima kenyataan bahwa ia telah
Ya Tuhan.Apa yang selama ini telah terjadi pada Bella sampai dia tidak yakin eksistensi Damian sebagai sesuatu yang nyata?Air mata Damian tumpah, tangisnya mengencang dan wajah Bella berubah menjadi sendu.“Damian... jangan... menangis,” ucap Bella susah payah. Ia mencoba mengangkat tangannya, tetapi nihil. Ia tidak memiliki secuil pun tenaga untuk mengelap air mata di wajah Damian. Hatinya hancur melihat Damian yang selalu terlihat kuat, kini rapuh layaknya kaca.“Aku nyata, Sayang. Aku di sini, aku di sini untuk menyelamatkanmu. Aku minta maaf karena tidak bisa datang lebih cepat.” Damian terisak lebih keras dan menciumi wajah Bella. Bibirnya bergetar. “Bertahanlah Sayangku, kita akan ke rumah sakit. Semuanya sudah berakhir. Tidak ada lagi yang akan menyakitimu.”Rasanya seperti mimpi.Bella menatap wajah Damian, tetapi sulit. Pandangannya terkadang jelas, terkadang buram. Setiap kali ia mencoba membuka matanya lebih lebar, rasanya ada paku yang menusuk-nusuk matanya. Ia ingin men
“Wajahmu tertembak?”Martinez buru-buru mendekat melihat Damian yang muncul di lorong. Dia terus memegangi rahang kanannya yang telah dibalut kain secara asal-asalan. Tangannya berlumuran darah.“Ya, peluru Van. Kukira... kukira lidahku terpotong.” Damian meringis. Rasa sakitnya membuat wajahnya seolah akan terbelah. Ia tidak bisa berbicara tanpa denyutan nyeri yang mengikuti di belakang. “Tapi ternyata masih utuh. Tidak apa-apa, bukan organ vital. Bagaimana dengan yang lain? Apa masih ada yang tersisa?”Martinez menghela napas. “Semuanya sudah dibereskan. Tinggal Ymar dan Lester. Ymar pasti masih berada di rumah ini, dan Andrius sedang mencarinya. Soal Lester, kita akan menemukannya nanti,” jelasnya dengan suara serak. Ia kelelahan, pakaiannya compang-camping terkena tembakan, dan lorong itu tidak memiliki penghangat yang memadai. “Aku akan meminta para anggota untuk membersihkan rumah ini. Yang lain sudah berpencar untuk memeriksa semua ruangan. Bagaimana dengan Van?”“Sudah tewas.
“Sial, sensornya bagus juga. Di mana dia mendapatkannya?”“Bukan saatnya untuk menanyakan itu, brengsek,” dengus Tyson pada Bogdan yang masih sempat-sempatnya bertanya tentang sensor yang Van gunakan di rumahnya.Setelah melumpuhkan dua penjaga yang berjaga di gerbang depan, Damian, Tyson, dan Bogdan menunggu aba-aba dari Martinez dan Andrius. Beberapa menit telah berlalu, tetapi tidak ada tanda apa pun yang terlihat. Damian berdiri dengan cemas, sudah tidak sanggup menahan diri lebih lama untuk menemukan gadisnya.Ia bersumpah akan membunuh mereka semua, jika ia sampai menemukan Bella dalam keadaan yang tidak ia inginkan.“Ck, kenapa lama sekali?” Bogdan menatap bingung. “Apa sebaiknya aku menyusul?”Damian hendak membantah ketika suara tembakan menggelegar mendadak terdengar. Mereka tersentak dan menatap ke dalam rumah Van.“Sepertinya mereka telah ketahuan. Ayo.” Damian membuka pengaman pistolnya dan bergegas berlari menuju pintu depan. Tyson segera mengikuti di belakang, sementar
Bella termangu menatap tembok pucat di hadapannya. Beberapa hari telah berlalu sejak Lester datang menemuinya waktu itu. Tetapi, ia tidak bisa berhenti memikirkan ucapannya. Ibunya ada di sini. Di rumah ini. Di tempat yang sama dengannya. Apakah itu mungkin? Entah Lester bicara jujur atau hanya mengatakan kebohongan semata, pikiran itu terus menghantuinya. Ia merindukan ibunya. Setiap malam, ia memimpikan sebuah tangan ringkih yang membelai kepalanya dengan lembut. Senandung yang terlontar dari bibir wanita itu terasa sangat nyata, sampai-sampai Bella kira ia tidak sedang bermimpi. Apakah ini semua hanya pengaruh obat-obatan? Mereka menyuntiknya setiap hari, nyaris tidak membiarkannnya untuk bergerak seinci pun dari tempat tidurnya. Bella terus bertanya-tanya apakah ia akan mati di sini? Tubuhnya lemas, nyeri, dan pucat seperti mayat. Matanya bahkan terasa sulit untuk dibuka lebar-lebar. Ia tidak bisa mengangkat tangannya, apalagi menggerakan kakinya. Mungkin, berat bada
“Hei Putri Tidur, sampai kapan kau akan terus menutup matamu?”Sebuah guncangan terasa di pundak Bella, disusul suara yang tidak asing. Aroma alkohol menerpa penciumannya dan membuat hidung Bella berkerut.“Putri Tidur? Apa aku perlu menciummu agar kau mau bangun? Atau kau ingin berhibernasi seperti seekor beruang bodoh?”Suara kasar itu kembali menyerbu pendengarannya. Bella berusaha membuka kelopak matanya yang terasa berat, rasanya seolah ada lem yang menempel di sana.“Akhirnya Putri Tidur kita bangun juga,” kata Lester dengan seringai tipis. Ia duduk di tepi ranjang dan menatap Bella dengan saksama.Bella terperanjat dari tempatnya dan hendak bangun, tetapi seluruh tubuhnya terasa lemas. Ia membuka mulut untuk bicara, tetapi hanya suara serak yang keluar.Ke mana suaranya pergi?Bella kira kondisinya telah membaik, tetapi mendadak saja ia merasa begitu lemas. Setelah pertemuan mengejutkannya dengan Van, ia sepertinya mengalami serangan panik dan pingsan.Ketika ia bangun, Lester
“Kau yakin ini hasilnya?”Van menatap hasil tes DNA dengan mata melebar tidak percaya. Ditatapnya Joseph yang mengangguk dengan ekspresi meyakinkan, sama sekali tidak ada keraguan di sana.Van tidak akan pernah meragukan Joseph, tetapi hasil di kertas ini...Bagaimana mungkin ini nyata?Van terduduk lemas di kursi dan menyentuh kepalanya yang terasa sakit. Dari semua hal yang telah ia usahakan setengah mati selama bertahun-tahum, bagaimana mungkin ia bisa melewatkan informasi sepenting ini?Bella adalah anaknya.Arabella Charlotte.Kekasih Damian, musuhnya. Bella yang telah ia siksa. Bella yang ia kira hanyalah bagian dari musuhnya. Bella yang ia jadikan sandera...Bagaimana mungkin dia adalah Bella yang selama ini ia cari? Malaikat kecilnya. Anaknya dengan Helena. Putrinya yang ia tinggalkan bertahun-tahun yang lalu...Bagaimana mungkin mereka adalah satu orang yang sama?Van memijat kepalanya dan terdiam untuk waktu yang lama. Fakta itu hanya membuatnya terguncang dengan perasaan ka
Damian menegakkan tubuhnya dan menoleh ke luar jendela. Matanya dengan awas meneliti sekitar.Ada sesuatu yang tidak beres.Intuisinya mengatakan bahwa ada seseorang yang tengah mengawasinya. Ia hanya berhenti untuk menerima telepon dari Andrius, tetapi rasanya seolah ada yang sedang mengintainya sekarang.Angin dingin berembus dari arah timur, menerbangkan rambutnya hingga jatuh ke dahi. Damian hanya terus menatap kaca spion mobil selama beberapa detik, kemudian kembali mengawasi sekitar dengan saksama.Pohon dan bangunan tua terbengkalai. Rainelle terlihat sepi tanpa penghuni, tetapi Damian yakin ada sesuatu yang tengah menunggunya jika ia melajukan mobilnya sekarang.Ia baru saja mengambil senjata di markas, dan berniat kembali ke mansion. Ia harus memberitahu ayahnya terlebih dahulu sebelum menyerang ke tempat Van. Waktunya semakin menipis, tetapi pergi tanpa persiapan apa pun sama saja dengan membunuh dirinya sendiri dan Bella.Damian tidak ingin membiarkan semuanya berakhir sia-
“Anda tahu saya tidak akan memberikan informasi apa pun, bukan?” Valeriy bersandar di mobil rongsokannya dan menatap Damian. “Informasi yang kuberikan waktu itu sudah cukup. Sekalipun Anda memberikan senjata rakitan lagi, saya tetap tidak bisa.”Damian tahu bahwa Valeriy memegang teguh peraturan dalam organisasinya, tetapi ini tentang hidup dan matinya. Damian akan melakukan apa pun, meskipun itu berarti ia harus melanggar kode etik yang sepatutnya ia taati. Ia tidak peduli apa pun lagi selain menyelamatkan gadisnya.“Baiklah, saya harus pergi.” Valeriy sudah hendak berbalik ketika Damian melontarkan seutas kalimat yang membuatnya membeku di tempat.“Adikmu berada di penjara Alcatraz, bukan?”Valeriy berbalik dengan mata menyipit. Mulutnya terbuka, uap berembus keluar, tetapi dia seolah kehilangan kata-kata.“Aku bisa mengeluarkannya dari sana,” lanjut Damian.Valeriy terlihat goyah dan matanya menatap Damian dengan saksama. Ekspresi Damian keras dan tatapannya yang tajam menunjukkan
Damian terus mondar-mandir dengan gusar. Ia merasa akan meledak saat ini juga. Khawatir, tegang, takut, cemas, ngeri, marah, kesal, sedih, semuanya bercampur menjadi satu. Ia tidak bisa duduk diam, sementara gadisnya entah berada di mana dan dalam keadaan apa.Damian menggeram. “Apa komputer sialan itu sudah terhubung dengan pelacaknya?!”“Diam brengsek! Aku sedang berusaha!” Bogdan balas berteriak. Wajah memerah murka dan Martinez akhirnya bangkit berdiri.“Duduk, Damian.”Damian berdecak dan melemparkan tubuhnya ke kursi. Ia memijat sisi kepalanya yang berdenyut sakit dan menghela napas keras.Stres berat. Itulah yang ia rasakan. Ia tegang dan cemas sepanjang waktu. Ia tidak bisa berhenti memikirkan hilangnya Bella dan bagaimana ia bisa menemukan gadisnya. Sudah tiga hari berlalu, tetapi mereka belum mendapatkan lokasi pasti tempat di mana Bella berada.Tiap detik yang berlalu terasa membunuhnya. Tiap detik yang terbuang dan Damian merasa akan menggila. Bella masih berada di sana, d