Bella pergi ke halaman belakang tempat di mana ia bertemu dengan Damian sebelumnya. Pria itu terlihat di aula utama, sedang berbincang dengan orang tuanya dan Nyonya Beatrix. Duduk di bangku panjang, Bella menatap awan gelap yang bergerak perlahan di langit. Sekarang baru pukul dua siang, tetapi udara begitu dingin setelah hujan deras yang mengguyur. Di waktu luang seperti ini, Bella seharusnya menyelesaikan buku-bukunya. Caranya membaca sudah mulai lancar dan ia tidak lagi terbata-bata ketika mengeja huruf demi huruf. "Nona Bella? Anda di sini lagi?" Dhruv muncul entah dari mana sambil membawa kantong plastik hitam di tangannya. Ia menempatkan diri di samping Bella. Bagian ujung kantongnya terbuka sedikit, memperlihatkan daun-daun kering yang Bella tebak adalah ganja. "Mmm ya, hanya menikmati pemandangan," jawab Bella sekenanya. Ia tidak mau mengakui bahwa ia berharap Damian datang ke sini. "Kau sendiri?" "Aku ingin pergi ke markas." Ia mengangkat kantong plastik di tangannya. "
Bella berjalan dengan semangat menuju istal setelah memetik banyak semanggi. Ia terlalu antusias dan berjalan tergesa-gesa sampai tidak melihat kubangan kecil di depannya. Kaki Bella tergelincir dan wajahnya akan mencium tanah jika Damian tidak segera menangkap lengannya.Pria itu membantunya untuk berdiri tegak. "Hati-hati.""Terima kasih," ucap Bella, agak malu.Damian tersenyum menatapnya, kemudian memutuskan untuk berjalan di depan. Bella mengikutinya, kali ini memperhatikan jalan. Namun, sepertinya kesialan tidak menginginkannya lolos begitu saja. Bella tidak tahu apa yang ia injak dibalik rumput, begitu licin hingga ia terpeleset. Refleksnya terlalu lambat dan kali ini tidak ada yang menangkapnya. Tubuhnya terjerembap ke belakang, bokongnya yang paling dulu menghantam tanah.Damian langsung menoleh mendengar pekikan Bella. Ia terdiam menatap si gadis, kemudian tidak bisa menahan tawanya ketika menyadari apa yang terjadi. Ia mengulurkan tangan dan Bella menerimanya dengan wajah
Nyonya Beatrix kembali datang pagi ini. Kali ini tidak sendiri, melainkan bersama wanita muda yang sangat cantik. Tidak lain adalah putrinya. Rambut wanita itu pirang berkilau, diikat tinggi dan dibuat bergelombang di bagian ujungnya. Tubuhnya semampai, dibalut dress hitam selutut yang memperlihatkan sedikit belahan dadanya. Dia jauh lebih tinggi dari Bella. Garis matanya tampak tajam, dia mengamati mansion seperti yang dilakukan ibunya sebelum melangkah ke dalam. Apakah dia yang bernama Velvet? Perempuan yang dibicarakan oleh Nyonya Mirabesy dan Nyonya Beatrix? Bella mengalihkan pandangannya ketika Nyonya Mochelle muncul. "Bella, ikutlah berkumpul di dapur jam sebelas nanti. Akan ada pembagian hadiah untuk para pelayan." "Ya, Nyonya," sahutnya. Nyonya Mochelle mengangguk dan berlalu pergi. Sang kepala pelayan tampak sangat sibuk sejak matahari terbit. Mungkin untuk menyambut kedatangan Nyonya Beatrix dan putrinya. Bella mengambil beberapa tangkai mawar yang telah ia petik, lalu
Damian akan bertunangan. Damian akan bertunangan dengan wanita cantik yang datang pagi tadi. Bella menatap Damian yang berdiri di hadapannya, menatapnya dengan banyak emosi. Tetapi pria itu lebih terlihat bingung dan sedih. Bella terdiam di tempat, tidak tahu harus mengatakan apa. Ia terlalu terkejut dengan informasi itu. Belum lama ia menyadari perasaannya sendiri, dan kenyataan justru menghempasnya seperti debu di jalanan. Ia kira perasaannya tidak seberharga itu. Ia hanya seorang pelayan. Jika Damian akan bertunangan, maka Bella tidak punya hak untuk mempertanyakan hal itu. Ia harusnya memberi ucapan selamat. Tetapi kenapa Damian terlihat kalut? Dia tampak bahagia ketika bicara dengan wanita itu. Apakah memberitahu Bella adalah suatu hal yang membebaninya? Atau mungkin itu hanya efek alkohol, sehingga ekspresinya seperti itu. "Selamat," ucap Bella pada akhirnya, memaksakan suaranya keluar. "Selamat untuk pertunanganmu, Damian." Ekspresi Damian berubah menjadi tid
Katanya Damian pergi ke penjara di pulau Alcatraz untuk mencari seseorang. Dia telah pergi selama dua minggu dan Bella tidak mau mengakui bahwa ia merindukan pria itu.Ia ingin melihatnya, cukup dari kejauhan untuk memastikan kalau pria itu baik-baik saja.Ia berharap mereka tidak bertemu secara langsung.Hubungan keduanya masih belum membaik.Bella berharap bisa menghilangkan perasaannya secepat mungkin, sebelum ia jatuh terlalu dalam. Damian dan Velvet adalah pasangan yang sempurna. Bagaimana mungkin ia menyimpan perasaan ini dan berharap Damian merasakan hal yang sama?Meskipun, segala perhatian manis pria itu masih menjadi tanda tanya baginya. Atau mungkin memang benar apa yang Damian lakukan adalah murni sebagai kasih sayang seorang sahabat, mengingat dia telah memiliki tunangan.Setiap kali Bella mengingat perasaannya sendiri dan statusnya, ia merasa jijik pada dirinya sendiri. Ia merasa rendah dan hina, tetapi tetap saja jantungnya berdegup kencang ketika mengingat Damian. Bahk
Selera Nyonya Mirabesy rupanya mirip dengan selera Nyonya Deborah. Bella telah mempersiapkan segala hal yang diperlukan dan menyelesaikan setengah bagian pekerjaannya. Ia kembali ke dapur ketika Nyonya Mochelle memanggil untuk makan siang. "Tadi aku melihat Nona Velvet pergi bersama Tuan Damian," ucap Erina di sela makan siang bersama yang mereka lakukan. Ia menusuk kentangnya, lalu menatap Bella dan Verona secara bergantian. "Apakah mereka akan pergi ke butik dan melakukan sesuatu yang orang-orang bilang dengan fitting baju pernikahan?" "Pertunangan," koreksi Verona. "Ya, maksudku itu. Apa itu yang akan mereka lakukan?" "Mana aku tahu. Aku belum pernah bertunangan," jawab Verona sambil mengangkat bahunya tak acuh. Dia menampilkan ekspresi menyebalkan yang membuat Erina kontan mendengus keras. Erina lantas berpaling ke arah Bella. "Bagaimana denganmu, Bella? Kau dari Delkins 'kan? Apa kau pernah mendengarnya?" Bella menggeleng. "Aku tidak tahu, maaf." Erina mengangguk dengan ce
Para pelayan dihebohkan dengan kedatangan Velvet dan Damian yang kembali dari suatu tempat. Velvet memeluk lengan Damian dengan mesra saat keduanya berjalan melintasi aula utama yang telah dihias. Dalam balutan dress-nya yang agak mengembang dan terbuka—di mana belahan dadanya selalu terlihat—Velvet melangkah dengan anggun dan sesekali menyandarkan kepalanya pada Damian yang menatap lurus ke depan. Pria itu terlihat tengah memikirkan sesuatu, pandangannya tampak kosong. Bella berdiri di lorong, di antara para pelayan yang berbisik-bisik dengan antusias. Ia meremat tangannya dan menelan saliva dengan pahit. Hatinya sakit, seolah telah dilubangi. Tetapi, ia hanya berdiri diam di tempatnya, menyiksa dirinya sendiri—berusaha untuk membiasakan diri. Ia harus terbiasa melihat kebersamaan mereka. Ia hanya seorang pelayan dan tidak mungkin ia bisa terus bersembunyi untuk tidak melihat kebersamaan mereka. Seiring waktu, ia pasti akan terbiasa, meskipun rasa sakitnya sama sekali tidak memud
'Aku pikir dia telah jatuh cinta padamu' Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala Bella. Ia menatap punggung Dhruv yang telah menjauh, kemudian menghilang dibalik tembok mansion. Terbilang sudah dua kali Dhruv mengatakan hal yang serupa—tentang perasaan Damian padanya. Ia tahu pria itu bicara dengan jujur. Apa yang dikatakannya adalah semata-mata pengamatannya sendiri, terutama mengenai sikap Damian yang berbeda dengannya. Jauh di dalam hatinya, ia menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dengan sikap Damian. Segala perhatiannya dan caranya menatap Bella begitu lembut juga teduh. Hanya saja, ia terlalu takut untuk mengambil kesimpulan. Ia takut berharap terlalu banyak dan pada akhirnya tenggelam dalam kubangan kekecewaan. Bagaimana kalau ia terlanjur membiarkan dirinya melayang tinggi, sementara Damian malah menjatuhkannya dengan penolakan menyakitkan? Ia tidak mau berharap sedikit pun sampai Damian sendiri yang menyatakan perasaannya. Ah, benar-benar. Apakah Damian bahkan akan me
“Hei Putri Tidur, sampai kapan kau akan terus menutup matamu?”Sebuah guncangan terasa di pundak Bella, disusul suara yang tidak asing. Aroma alkohol menerpa penciumannya dan membuat hidung Bella berkerut.“Putri Tidur? Apa aku perlu menciummu agar kau mau bangun? Atau kau ingin berhibernasi seperti seekor beruang bodoh?”Suara kasar itu kembali menyerbu pendengarannya. Bella berusaha membuka kelopak matanya yang terasa berat, rasanya seolah ada lem yang menempel di sana.“Akhirnya Putri Tidur kita bangun juga,” kata Lester dengan seringai tipis. Ia duduk di tepi ranjang dan menatap Bella dengan saksama.Bella terperanjat dari tempatnya dan hendak bangun, tetapi seluruh tubuhnya terasa lemas. Ia membuka mulut untuk bicara, tetapi hanya suara serak yang keluar.Ke mana suaranya pergi?Bella kira kondisinya telah membaik, tetapi mendadak saja ia merasa begitu lemas. Setelah pertemuan mengejutkannya dengan Van, ia sepertinya mengalami serangan panik dan pingsan.Ketika ia bangun, Lester
“Kau yakin ini hasilnya?”Van menatap hasil tes DNA dengan mata melebar tidak percaya. Ditatapnya Joseph yang mengangguk dengan ekspresi meyakinkan, sama sekali tidak ada keraguan di sana.Van tidak akan pernah meragukan Joseph, tetapi hasil di kertas ini...Bagaimana mungkin ini nyata?Van terduduk lemas di kursi dan menyentuh kepalanya yang terasa sakit. Dari semua hal yang telah ia usahakan setengah mati selama bertahun-tahum, bagaimana mungkin ia bisa melewatkan informasi sepenting ini?Bella adalah anaknya.Arabella Charlotte.Kekasih Damian, musuhnya. Bella yang telah ia siksa. Bella yang ia kira hanyalah bagian dari musuhnya. Bella yang ia jadikan sandera...Bagaimana mungkin dia adalah Bella yang selama ini ia cari? Malaikat kecilnya. Anaknya dengan Helena. Putrinya yang ia tinggalkan bertahun-tahun yang lalu...Bagaimana mungkin mereka adalah satu orang yang sama?Van memijat kepalanya dan terdiam untuk waktu yang lama. Fakta itu hanya membuatnya terguncang dengan perasaan ka
Damian menegakkan tubuhnya dan menoleh ke luar jendela. Matanya dengan awas meneliti sekitar.Ada sesuatu yang tidak beres.Intuisinya mengatakan bahwa ada seseorang yang tengah mengawasinya. Ia hanya berhenti untuk menerima telepon dari Andrius, tetapi rasanya seolah ada yang sedang mengintainya sekarang.Angin dingin berembus dari arah timur, menerbangkan rambutnya hingga jatuh ke dahi. Damian hanya terus menatap kaca spion mobil selama beberapa detik, kemudian kembali mengawasi sekitar dengan saksama.Pohon dan bangunan tua terbengkalai. Rainelle terlihat sepi tanpa penghuni, tetapi Damian yakin ada sesuatu yang tengah menunggunya jika ia melajukan mobilnya sekarang.Ia baru saja mengambil senjata di markas, dan berniat kembali ke mansion. Ia harus memberitahu ayahnya terlebih dahulu sebelum menyerang ke tempat Van. Waktunya semakin menipis, tetapi pergi tanpa persiapan apa pun sama saja dengan membunuh dirinya sendiri dan Bella.Damian tidak ingin membiarkan semuanya berakhir sia-
“Anda tahu saya tidak akan memberikan informasi apa pun, bukan?” Valeriy bersandar di mobil rongsokannya dan menatap Damian. “Informasi yang kuberikan waktu itu sudah cukup. Sekalipun Anda memberikan senjata rakitan lagi, saya tetap tidak bisa.”Damian tahu bahwa Valeriy memegang teguh peraturan dalam organisasinya, tetapi ini tentang hidup dan matinya. Damian akan melakukan apa pun, meskipun itu berarti ia harus melanggar kode etik yang sepatutnya ia taati. Ia tidak peduli apa pun lagi selain menyelamatkan gadisnya.“Baiklah, saya harus pergi.” Valeriy sudah hendak berbalik ketika Damian melontarkan seutas kalimat yang membuatnya membeku di tempat.“Adikmu berada di penjara Alcatraz, bukan?”Valeriy berbalik dengan mata menyipit. Mulutnya terbuka, uap berembus keluar, tetapi dia seolah kehilangan kata-kata.“Aku bisa mengeluarkannya dari sana,” lanjut Damian.Valeriy terlihat goyah dan matanya menatap Damian dengan saksama. Ekspresi Damian keras dan tatapannya yang tajam menunjukkan
Damian terus mondar-mandir dengan gusar. Ia merasa akan meledak saat ini juga. Khawatir, tegang, takut, cemas, ngeri, marah, kesal, sedih, semuanya bercampur menjadi satu. Ia tidak bisa duduk diam, sementara gadisnya entah berada di mana dan dalam keadaan apa.Damian menggeram. “Apa komputer sialan itu sudah terhubung dengan pelacaknya?!”“Diam brengsek! Aku sedang berusaha!” Bogdan balas berteriak. Wajah memerah murka dan Martinez akhirnya bangkit berdiri.“Duduk, Damian.”Damian berdecak dan melemparkan tubuhnya ke kursi. Ia memijat sisi kepalanya yang berdenyut sakit dan menghela napas keras.Stres berat. Itulah yang ia rasakan. Ia tegang dan cemas sepanjang waktu. Ia tidak bisa berhenti memikirkan hilangnya Bella dan bagaimana ia bisa menemukan gadisnya. Sudah tiga hari berlalu, tetapi mereka belum mendapatkan lokasi pasti tempat di mana Bella berada.Tiap detik yang berlalu terasa membunuhnya. Tiap detik yang terbuang dan Damian merasa akan menggila. Bella masih berada di sana, d
“Ibu, Ayah di mana? Kenapa Ayah tidak pernah pulang lagi? Apakah Ayah mencari uang di tempat yang sangat jauh?”Bella menatap ibunya dengan heran. Sudah hampir sebulan berlalu, tetapi ayahnya tidak kunjung menampakkan diri.Bella sudah bosan makan roti dari tepung biji ek, jamur tumis liar, dan jus apel. Ia ingin makan daging atau setidaknya roti gandum. Tetapi gandum cukup mahal akhir-akhir ini, jadi ibunya tidak bisa membelinya. Apalagi daging yang harganya berkali-kali lipat.Ayam mereka telah habis dimakan oleh musang dan rakun liar yang berkeliaran di sekitar hutan. Mereka tidak memiliki ternak domba atau sapi seperti warga lainnya. Bella pikir mereka juga tidak menyukai ibunya dan tidak pernah berbagi apa pun saat perayaan. Hanya keluarga Damian yang baik padanya, tetapi mereka juga bukan orang kaya.“Ayah akan pulang, Sayang. Tapi kita harus bersabar.” Helena berjongkok dan membelai wajah putrinya dengan sayang. “Kau harus bersabar sedikit lagi, ya? Ibu akan buatkan kue enak da
“Apa kau sudah menyuntiknya dengan obat itu?”“Ya, Tuan. Dia sudah tidak sadarkan diri di ruangan itu.”“Bagus.” Van mengangguk dan melirik Fabrizio yang sedang sibuk bicara dengan seseorang di telepon. Van lantas mengisyaratkan Lester untuk pergi, sementara ia menghubungi asistennya agar terus mengawasi Helena.Van akan kembali menemuinya malam ini.Helena masih enggan bicara padanya, tetapi ia tidak peduli. Selama wanita itu berada dalam genggamannya, maka ia pasti bisa membalikkan keadaan suatu saat nanti. Jika ia berhasil menemukan putrinya kembali, ia yakin Helena mau berkompromi dan memaafkannya.Ini hanya masalah waktu.Van memasukkan ponselnya ke saku saat Fabrizio mendekat. Dia menyelipkan pistolnya ke saku dan mengangguk pada Van.“Ayo.”Van berjalan lebih dulu, sementaraFabrizio mengikutinya dari belakang. Mereka menyusuri lorong gedung tua terbengkalai itu dengan tenang, sampai akhirnya tiba di ruangan yang dituju.Van mendorong pintu terbuka secara perlahan. Ia melangkah
Ada sesuatu yang terasa berdenyut di bagian belakang kepala Bella. Denyut itu terus membesar setiap detiknya hingga rasanya tengkoraknya akan pecah. Bella berusaha membuka matanya yang berat, tetapi pandangannya sangat buram, lebih buruk dari sekadar melihat dari kaca berembun.Ia berkedip-kedip beberapa kali sampai pandangannya sedikit lebih baik, tetapi rasa sakit lain di tubuhnya mulai muncul. Rasanya seolah ia telah dipukul habis-habisan. Yang paling nyeri adalah kedua pergelangannya. Bella tidak bisa mengangkatnya, sepertinya tangannya benar-benar telah patah.Ia meraba papan kayu di bawahnya—kotor dan berdebu. Sekelilingnya gelap, hanya sedikit cahaya yang berhasil masuk dari celah kecil di atas jendela yang ditutupi gorden. Ia tidak tahu apa sekarang sudah malam atau cuaca sedang mendung di luar. Ia bahkan tidak tahu apa ia masih berada di Norfolk atau kota lain.Damian...Wajah pria itu melintas di benaknya. Suasana pesta yang kacau terbayang-bayang. Hati Bella mencelos mengin
Ibunya selalu bilang bahwa takdir itu sulit ditebak, kau tidak tahu hal mengejutkan apa yang akan terjadi satu jam kedepan, satu menit ke depan, atau bahkan satu detik ke depan.Itu sebabnya Ibunya selalu memiliki harapan untuknya, bahwa Bella bisa terbebas dari perbudakan dan menjalani kehidupan yang lebih baik di masa depan.Setelah bertemu Damian kembali, hidupnya terasa dijungkir-balikkan. Ada lebih banyak kebahagiaan yang datang padanya dibanding kesedihan yang selama ini mengungkungnya. Tetapi, ia tahu bahwa tidak selamanya kehidupan seseorang akan penuh dengan bunga yang mekar. Ada kalanya bahaya dan kesedihan itu datang mengintai, menghempas apa pun layaknya badai.Dan Bella tahu itulah yang terjadi malam ini.Tembakan mendesing ke segala penjuru. Suasana pesta yang tadinya tenang seketika menjadi kacau. Semua orang berlarian dengan panik, jeritan ketakutan mereka memenuhi ruangan.Bella terhuyung di tempat, bahunya sakit setelah ditubruk berulang kali. Ia berusaha untuk berla