Penyambutan kepulangan Tuan Martinez dan Nyonya Mirabesy diselenggarakan sore ini, tepat saat berita kedatangan mereka diumumkan oleh Dhruv. Seluruh pelayan berbaris di kedua sisi pintu utama ketika mobil sang majikan telah memasuki halaman depan. Nyonya Mochelle berdiri di muka pintu dengan kedua tangan terlipat di depan perut. Bella berada di barisan paling ujung, jauh dari pintu. Ia terus menundukkan kepalanya, tidak berani melirik sedikit pun. Dua pasang kaki terdengar melangkah mendekat, kemudian Nyonya Mochelle melakukan penyambutan, "Selamat datang kembali, Tuan Martinez dan Nyonya Mirabesy," ucapnya dengan nada penuh hormat. "Terima kasih atas penyambutannya, Mochelle," balas Mirabesy, suaranya selembut kapas. "Suatu kehormatan, Tuan dan Nyonya. Silakan." Pelayan semakin menundukkan kepala tatkala sang majikan berjalan lambat melewati mereka. Stiletto berpadu dengan sepatu Oxford menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar. Aroma semerbak parfum mahal yang mereka pakai meng
Bella kembali membersihkan ruangan Damian pagi ini. Sayap timur seperti biasa sunyi dan sepi. Bella tidak tahu Damian ada di mana, tetapi sejak penyambutan sore itu, ia tidak melihat sosoknya lagi. Hari-hari berlalu dengan lambat. Bella masih mencoba untuk terbiasa dengan segala perubahan yang terjadi. Ia bangun pagi dengan tenang tanpa takut dihukum, ia makan dengan baik, ia mengerjakan tugasnya dengan santai, ia belajar bersama Erina, dan kemudian beristirahat. Semuanya masih terasa asing dan baru. Berapa kali pun Bella mencoba untuk melebur dengan kehidupan baru di mansion ini, ia merasa bahwa ia masih butuh waktu lama untuk terbiasa. Selama 10 tahun hidupnya sebagai seorang budak, ia tidak terbiasa untuk hidup tanpa merasa cemas setiap harinya. Awan mendung menggantung di langit ketika Bella berjalan menuju halaman depan. Frekuensi turunnya hujan meningkat tinggi akhir-akhir ini. Udara juga menurun drastis. Bella telah menerima beberapa sweater, jaket, dan mantel dari Nyonya M
"Tolong!" Bella berteriak sekuat tenaga, tetapi suaranya yang keluar tidak sekeras yang ia harapkan. Suaranya mulai parau ketika ia kembali berteriak untuk kesekian kalinya. Tidak ada siapa pun yang datang. Dingin menusuk hingga ke tulang. Tubuhnya menggigil luar biasa di tengah kolam yang dalam dan dingin seperti es. "Tolong aku! Seseorang! Kumohon!" Bella berteriak dengan frustrasi, air mata menggenang di pipinya. Ia menggerakkan tangan dan kakinya dengan susah payah, berusaha agar tidak tenggelam, tetapi air yang dingin perlahan menghambat pergerakannya. Napasnya sesak, dadanya tergagap karena udara beku yang terasa mencekiknya. Bella mencoba meraih sulur tanaman, tetapi hal itu hanya membuat tubuhnya semakin tenggelam. Matanya dengan liar memindai sekitar halaman belakang, masih tidak ada siapa pun. Ia akan mati. Bella menangis keras dan terus berteriak. Kepalanya hilang timbul di permukaan danau. Air masuk ke mulutnya dan ia terbatuk-batuk. Kakinya mulai terasa kaku karena
Bella dan Damian sama-sama terdiam di tempat. Udara dingin yang berembus rasanya tidak lagi berarti. Bella menatap Damian, meneliti pria itu seraya memutar ulang percakapan mereka sebelumnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa Damian adalah teman masa kecilnya, cukup kalimat persahabatan dan bekas luka itu yang menjadi buktinya. Hanya saja, ia masih sangat terkejut untuk menerima segalanya. Sosok Damian yang duduk di hadapannya terasa akrab, juga asing di saat bersamaan. Setelah beberapa saat, Bella ragu-ragu bertanya. Suaranya sangat parau. "Bagaimana bisa? A-apa yang terjadi? Aku kira kau pergi ke Pennsylvania bersama ayahmu, dan—dan nama keluargamu?" Kenapa Damian tidak memberitahunya sejak awal? Sejak mereka bertemu? Bella menyimpan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri. Tatapan Damian tampak menerawang jauh ketika ia menjawab, "Saat aku ikut bersama ayahku ke Pennsylvania, kami mengalami kecelakaan. Ayahku tidak selamat dan aku berakhir terlantar. Seseorang menyelamatkanku dan memba
Bella keluar dari bak mandi dan mengambil handuk. Ia mendesah lega merasakan kehangatan membungkus tubuhnya. Ia mengambil piyama, lalu mengeringkan rambutnya. Damian meminta untuk bertemu malam ini. Setelah mereka kembali dari halaman belakang karena gerimis yang turun, Damian menyuruh Bella untuk segera beristirahat. Namun ia sama sekali tidak mengantuk, jadi Damian bertanya apa ia mau datang ke lantai dua dan mengobrol? Sekarang tepat jam satu malam. Bella memakai sweater dan keluar dari kamarnya tanpa menimbulkan suara. Damian mengatakan bahwa ada pengedap suara yang diaktifkan di seluruh mansion menjelang tengah malam, jadi Bella harus berhati-hati saat keluar ke halaman. Jika ia berada dalam masalah, sangat kecil kemungkinan seseorang akan datang untuk menolongnya. Keberuntungan. Mungkin itulah yang terjadi pada Bella. Damian sedang keluar untuk memeriksa sesuatu dan mendengar suara teriakan Bella. Rasanya masih agak mengejutkan mengetahui bahwa Damian adalah teman masa kecil
Bella berdiri di lorong yang mengarah ke aula utama. Tuan Martinez, Nyonya Mirabesy, dan Damian sedang berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama. Bella datang untuk membantu, walaupun Nyonya Mochelle hanya menyuruhnya untuk mengelap piring. Ia telah mendapat hasil dari pemeriksaan kesehatan, juga dokumen sah yang dibuat untuknya. Bella terdaftar sebagai anggota keluarga Linford, yang mana ia pikir mungkin berlaku untuk semua pelayan. Damian bilang ia telah aman. Ia bukan lagi seorang budak yang terikat dengan Tuan Hugo. Bella tidak tahu apa yang terjadi pada keluarga itu setelah kebakaran, ia hanya mencemaskan nasib ketiga budak lainnya. Bella menghela napas dan bergegas menuju sayap timur ketika melihat Damian telah menyelesaikan sarapannya. Semalam, pria itu bercerita banyak hal dalam keadaan setengah mabuk. Lebih banyak mengenai kenangan masa lalu mereka. Mereka mengobrol sampai jam tiga pagi, sebelum keduanya memutuskan untuk beristirahat. Percakapannya dengan Damian terasa
"Kalau kau memang ingin bekerja, lakukan yang ringan saja. Tapi jangan pernah merendahkan dirimu." Bella terdiam. Ia menatap lembayung yang menggantung di langit, burung-burung terbang di bawah siraman sinar matahari, kembali ke sarangnya. Bella tidak ingat kapan ia pernah menikmati pemandangan di sore hari, ketika yang ia lakukan hanya mencabut rumpur liar di halaman Tuan Hugo. "Bella?" Panggil Damian, membuyarkan lamunan gadis itu. Bella masih enggan menatap pria itu saat bicara dengan suara pelan, "Aku hanya ... seorang pelayan. Dan kau adalah majikanku." Damian menghela napas untuk kesekian kalinya. "Aku tidak menganggapmu sebagai pelayan. Status tidak penting untukku. Anggap saja aku sebagai teman masa kecilmu yang dulu---tidak ada batasan di antara kita." Damian menjalin tangan mereka dan Bella mau tak mau menatap pria itu. Ekspresinya begitu serius, dia terlihat tidak ingin dibantah. Namun, ada kebimbangan dan permohonan dalam matanya, berharap Bella menyetujui keinginannya
Bella baru mengambil dua buku. Semuanya adalah buku pelajaran. Mereka telah mengelilingi perpustakaan selama 15 menit dan Bella hanya melihat-lihat. Ia menghindari bagian novel romansa, merasa agak lega karena Damian tidak menyadari alasan dari pipinya yang memerah. Bella berjalan kembali ke bagian depan perpustakaan ketika sebuah buku menarik perhatiannya. Label atas tertulis 'Sejarah'. Ia berjinjit dan mengulurkan tangan untuk meraihnya, tetapi Damian mendadak muncul di belakangnya. Posisinya begitu dekat hingga Bella bisa merasakan panas tubuhnya. Ia menahan napas tatkala Damian mencondongkan tubuhnya untuk meraih buku itu. Dagunya tidak sengaja mengenai puncak kepala Bella. Aroma cologne-nya menguar. Ketika Bella mendongak, pria itu tampak menjulang di hadapannya. Damian melangkah mundur dan menyodorkan bukunya pada Bella. Dia mengamati sampulnya sekilas. "Kau tertarik dengan buku ini?" "Sampulnya menarik," jawab Bella, ikut mengamati bukunya. Matanya menyipit ketika berusaha m
“Kau yakin ini hasilnya?”Van menatap hasil tes DNA dengan mata melebar tidak percaya. Ditatapnya Joseph yang mengangguk dengan ekspresi meyakinkan, sama sekali tidak ada keraguan di sana.Van tidak akan pernah meragukan Joseph, tetapi hasil di kertas ini...Bagaimana mungkin ini nyata?Van terduduk lemas di kursi dan menyentuh kepalanya yang terasa sakit. Dari semua hal yang telah ia usahakan setengah mati selama bertahun-tahum, bagaimana mungkin ia bisa melewatkan informasi sepenting ini?Bella adalah anaknya.Arabella Charlotte.Kekasih Damian, musuhnya. Bella yang telah ia siksa. Bella yang ia kira hanyalah bagian dari musuhnya. Bella yang ia jadikan sandera...Bagaimana mungkin dia adalah Bella yang selama ini ia cari? Malaikat kecilnya. Anaknya dengan Helena. Putrinya yang ia tinggalkan bertahun-tahun yang lalu...Bagaimana mungkin mereka adalah satu orang yang sama?Van memijat kepalanya dan terdiam untuk waktu yang lama. Fakta itu hanya membuatnya terguncang dengan perasaan ka
Damian menegakkan tubuhnya dan menoleh ke luar jendela. Matanya dengan awas meneliti sekitar.Ada sesuatu yang tidak beres.Intuisinya mengatakan bahwa ada seseorang yang tengah mengawasinya. Ia hanya berhenti untuk menerima telepon dari Andrius, tetapi rasanya seolah ada yang sedang mengintainya sekarang.Angin dingin berembus dari arah timur, menerbangkan rambutnya hingga jatuh ke dahi. Damian hanya terus menatap kaca spion mobil selama beberapa detik, kemudian kembali mengawasi sekitar dengan saksama.Pohon dan bangunan tua terbengkalai. Rainelle terlihat sepi tanpa penghuni, tetapi Damian yakin ada sesuatu yang tengah menunggunya jika ia melajukan mobilnya sekarang.Ia baru saja mengambil senjata di markas, dan berniat kembali ke mansion. Ia harus memberitahu ayahnya terlebih dahulu sebelum menyerang ke tempat Van. Waktunya semakin menipis, tetapi pergi tanpa persiapan apa pun sama saja dengan membunuh dirinya sendiri dan Bella.Damian tidak ingin membiarkan semuanya berakhir sia-
“Anda tahu saya tidak akan memberikan informasi apa pun, bukan?” Valeriy bersandar di mobil rongsokannya dan menatap Damian. “Informasi yang kuberikan waktu itu sudah cukup. Sekalipun Anda memberikan senjata rakitan lagi, saya tetap tidak bisa.”Damian tahu bahwa Valeriy memegang teguh peraturan dalam organisasinya, tetapi ini tentang hidup dan matinya. Damian akan melakukan apa pun, meskipun itu berarti ia harus melanggar kode etik yang sepatutnya ia taati. Ia tidak peduli apa pun lagi selain menyelamatkan gadisnya.“Baiklah, saya harus pergi.” Valeriy sudah hendak berbalik ketika Damian melontarkan seutas kalimat yang membuatnya membeku di tempat.“Adikmu berada di penjara Alcatraz, bukan?”Valeriy berbalik dengan mata menyipit. Mulutnya terbuka, uap berembus keluar, tetapi dia seolah kehilangan kata-kata.“Aku bisa mengeluarkannya dari sana,” lanjut Damian.Valeriy terlihat goyah dan matanya menatap Damian dengan saksama. Ekspresi Damian keras dan tatapannya yang tajam menunjukkan
Damian terus mondar-mandir dengan gusar. Ia merasa akan meledak saat ini juga. Khawatir, tegang, takut, cemas, ngeri, marah, kesal, sedih, semuanya bercampur menjadi satu. Ia tidak bisa duduk diam, sementara gadisnya entah berada di mana dan dalam keadaan apa.Damian menggeram. “Apa komputer sialan itu sudah terhubung dengan pelacaknya?!”“Diam brengsek! Aku sedang berusaha!” Bogdan balas berteriak. Wajah memerah murka dan Martinez akhirnya bangkit berdiri.“Duduk, Damian.”Damian berdecak dan melemparkan tubuhnya ke kursi. Ia memijat sisi kepalanya yang berdenyut sakit dan menghela napas keras.Stres berat. Itulah yang ia rasakan. Ia tegang dan cemas sepanjang waktu. Ia tidak bisa berhenti memikirkan hilangnya Bella dan bagaimana ia bisa menemukan gadisnya. Sudah tiga hari berlalu, tetapi mereka belum mendapatkan lokasi pasti tempat di mana Bella berada.Tiap detik yang berlalu terasa membunuhnya. Tiap detik yang terbuang dan Damian merasa akan menggila. Bella masih berada di sana, d
“Ibu, Ayah di mana? Kenapa Ayah tidak pernah pulang lagi? Apakah Ayah mencari uang di tempat yang sangat jauh?”Bella menatap ibunya dengan heran. Sudah hampir sebulan berlalu, tetapi ayahnya tidak kunjung menampakkan diri.Bella sudah bosan makan roti dari tepung biji ek, jamur tumis liar, dan jus apel. Ia ingin makan daging atau setidaknya roti gandum. Tetapi gandum cukup mahal akhir-akhir ini, jadi ibunya tidak bisa membelinya. Apalagi daging yang harganya berkali-kali lipat.Ayam mereka telah habis dimakan oleh musang dan rakun liar yang berkeliaran di sekitar hutan. Mereka tidak memiliki ternak domba atau sapi seperti warga lainnya. Bella pikir mereka juga tidak menyukai ibunya dan tidak pernah berbagi apa pun saat perayaan. Hanya keluarga Damian yang baik padanya, tetapi mereka juga bukan orang kaya.“Ayah akan pulang, Sayang. Tapi kita harus bersabar.” Helena berjongkok dan membelai wajah putrinya dengan sayang. “Kau harus bersabar sedikit lagi, ya? Ibu akan buatkan kue enak da
“Apa kau sudah menyuntiknya dengan obat itu?”“Ya, Tuan. Dia sudah tidak sadarkan diri di ruangan itu.”“Bagus.” Van mengangguk dan melirik Fabrizio yang sedang sibuk bicara dengan seseorang di telepon. Van lantas mengisyaratkan Lester untuk pergi, sementara ia menghubungi asistennya agar terus mengawasi Helena.Van akan kembali menemuinya malam ini.Helena masih enggan bicara padanya, tetapi ia tidak peduli. Selama wanita itu berada dalam genggamannya, maka ia pasti bisa membalikkan keadaan suatu saat nanti. Jika ia berhasil menemukan putrinya kembali, ia yakin Helena mau berkompromi dan memaafkannya.Ini hanya masalah waktu.Van memasukkan ponselnya ke saku saat Fabrizio mendekat. Dia menyelipkan pistolnya ke saku dan mengangguk pada Van.“Ayo.”Van berjalan lebih dulu, sementaraFabrizio mengikutinya dari belakang. Mereka menyusuri lorong gedung tua terbengkalai itu dengan tenang, sampai akhirnya tiba di ruangan yang dituju.Van mendorong pintu terbuka secara perlahan. Ia melangkah
Ada sesuatu yang terasa berdenyut di bagian belakang kepala Bella. Denyut itu terus membesar setiap detiknya hingga rasanya tengkoraknya akan pecah. Bella berusaha membuka matanya yang berat, tetapi pandangannya sangat buram, lebih buruk dari sekadar melihat dari kaca berembun.Ia berkedip-kedip beberapa kali sampai pandangannya sedikit lebih baik, tetapi rasa sakit lain di tubuhnya mulai muncul. Rasanya seolah ia telah dipukul habis-habisan. Yang paling nyeri adalah kedua pergelangannya. Bella tidak bisa mengangkatnya, sepertinya tangannya benar-benar telah patah.Ia meraba papan kayu di bawahnya—kotor dan berdebu. Sekelilingnya gelap, hanya sedikit cahaya yang berhasil masuk dari celah kecil di atas jendela yang ditutupi gorden. Ia tidak tahu apa sekarang sudah malam atau cuaca sedang mendung di luar. Ia bahkan tidak tahu apa ia masih berada di Norfolk atau kota lain.Damian...Wajah pria itu melintas di benaknya. Suasana pesta yang kacau terbayang-bayang. Hati Bella mencelos mengin
Ibunya selalu bilang bahwa takdir itu sulit ditebak, kau tidak tahu hal mengejutkan apa yang akan terjadi satu jam kedepan, satu menit ke depan, atau bahkan satu detik ke depan.Itu sebabnya Ibunya selalu memiliki harapan untuknya, bahwa Bella bisa terbebas dari perbudakan dan menjalani kehidupan yang lebih baik di masa depan.Setelah bertemu Damian kembali, hidupnya terasa dijungkir-balikkan. Ada lebih banyak kebahagiaan yang datang padanya dibanding kesedihan yang selama ini mengungkungnya. Tetapi, ia tahu bahwa tidak selamanya kehidupan seseorang akan penuh dengan bunga yang mekar. Ada kalanya bahaya dan kesedihan itu datang mengintai, menghempas apa pun layaknya badai.Dan Bella tahu itulah yang terjadi malam ini.Tembakan mendesing ke segala penjuru. Suasana pesta yang tadinya tenang seketika menjadi kacau. Semua orang berlarian dengan panik, jeritan ketakutan mereka memenuhi ruangan.Bella terhuyung di tempat, bahunya sakit setelah ditubruk berulang kali. Ia berusaha untuk berla
“Damian, Nak? Ayolah! Buka matamu.”Sayup-sayup terdengar suara Martinez yang memanggil. Damian mencoba membuka matanya yang berat dan semuanya buram. Ia berkedip beberapa kali, menjernihkan penglihatan sampai melihat wajah-wajah yang mengelilingi tempatnya berbaring.“Ayah,” ucapnya parau, tenggorokannya sakit. Damian berusaha untuk bangun, tetapi rasa nyeri di kaki dan lengannya begitu menusuk. Kepalanya membawa rasa pusing yang menyakitkan, sekeliling ruangan terasa berputar.Martinez membantunya untuk duduk dan Damian memperhatikan kaki dan lengannya yang sudah dibebat seadanya. Ia lalu menatap Andrius, Bogdan, dan Tyson.“Kalian...”“Ya, kami datang setelah mendengar kekacauan yang terjadi,” jelas Andrius.Damian terduduk lemas dan menatap sekeliling ruangan. Mayat-mayat yang bergelimpangan telah menghilang, bahkan tidak ada sedikit pun noda darah di lantai, dinding, dan juga karpet. Mereka telah membereskan kekacauan yang terjadi.Berapa lama ia pingsan?Damian sontak menoleh ke