"Hah!" "Kenapa? Kamu kaget karena Mami tahu isi hatimu?" Sembari mengunyah apel, Sekar melirik putranya tajam. Lalu dia melanjutkan menggigit apelnya dan berkata, "Anggap saja Mamimu ini keturunan cenayang. Sudahlah, Mami mau pergi. Pokoknya dalam seminggu kedepan, kamu harus sudah memberi jawaban ke Mami!" Sekar melenggang keluar, membuat Aldo menghembuskan napasnya dan langsung bersandar pada sofa. Seketika dia merasa lega. Namun kalimat akhir yang di ucapkan Sekar kembali membuatnya pusing. Tangan kirinya memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Setelah beberapa lama dalam posisi itu, matamya yang semula sayu tiba–tiba menyipit dan seukir senyuman terlintas di wajahnya. "Bukankah PT Masapin menanam saham pada PT ELJI Grup? Bagaimana kalau aku menggunakan cara itu untuk membuat Zaskia mematuhi ucapan ku?" ***Hari ini, Erlangga mengajak keluarga kecilnya kembali berlibur ke pantai. Tiga karyawannya sudah dipulangkan. Ombak bergulung kecil. Tari dan Bulan bermain kejar–kejar
Saat ini, hati Ratna terasa ditikam belati yang sangat tajam. Air mata wanita itu meluncur tanpa aba–aba. Semantara Fredy pergi begitu saja setelah mengatakan itu. Rasa iba di hatinya sudah dikalahkan oleh rasa muak karena tingkah Ratna sendiri. "Hancur sudah semua! Hancur!" Ratna berteriak bak orang kesetanan. Dia memukul dirinya sendiri lalu menjambak rambutnya hingga berantakan. Sumi yang menyaksikan dari balik dinding dapur merasa iba. Sebagai sesama perempuan, dia bisa merasakan sakit hati yang di alami Ratna. Terlebih itu adalah buah dari perbuatannya sendiri. Sekitar beberapa menit, Ratna bangun dari posisinya yang sekarang. Namun, dia melihat Fredy yang kembali keluar dengan wajah segar seperti habis mandi. Baru saja hendak buka suara, Fredy sudah berkata terlebih dulu. "Tidak usah menungguku! Mungkin aku akan pulang dua hari lagi." Ratna menanggapinya dengan tersenyum. Dia menjadi enggan berbicara lagi.Fredy pun hanya meliriknya sekilas lalu pergi. Tentu saja ke ruma
Matahari telah keluar dari peraduannya dan kini menampilkan sinar jingga yang indah dan menyejukkan. Sabrina menyibak tirai kamar mertuanya, hingga membuat Rana terbangun karena silau. "Mama sudah bangun? Ayo Bia bantu ke kamar mandi. Setelah itu kita sarapan." Sabrina mengulurkan tangannya. Ratna yang kini sudah pada posisi duduk menatap tangan Sabrina cukup lama. Sabrina mengira kalau Ratna akan menepisnya, tapi Ratna justru meraih tangan yang menggantung udara itu. Ibu anak kembar itu tercengang tak percaya saat mertuanya menerima uluran tangannya. "Ayo." Sabrina tersadar dan langsung bersemangat menggandeng mertuanya ke kamar mandi. Dia setia menunggu Ratna sampai selesai. Bukan hanya itu, tapi tadi malam dia bergantian begadang dengan Erlangga untuk menunggu Ratna. Ratna tak sengaja terjaga, dia melihat Sabrina yang tertidur sembari duduk menunggu dirinya. Saat itu Erlangga terbaring di sofa dalam kamar Ratna dekat jendela. Hatinya tersentuh melihat pemandangan itu. Dia
"Jaga bicaramu!" bentak Fredy karena merasa ucapan Ratna menginanya juga istri barunya yang tak lain adalah Dewi. Si sekretarisnya. Raut wajahnya menjadi merah padam. Sementara raut wajah Dewi pucat pasi. "Jaga dari apa, Pa? Kurasa ucapanku tidak salah. Bagian mana yang salah? Saat aku mengucapkan selamat? Saat mengucapkan pelakor? Atau saat mengucapkan perbuatan haram kalian?" "Kamu…" Fredy melayangkan tamparan untuk Ratna, tapi Erlangga dengan sigap menangkap tangan Fredy sebelum mengenai pipi Ratna. "Jangan coba–coba menyakiti Mama! Tergores sedikitpun kulit Mama jika itu adalah perbuatanmu, maka siap–siap hidupmu akan hancur. Aku akan melupakan kalau kau adalah Papaku." ***Di rumah Ratna dan Fredy. Kelima orang yang terlibat adu debat di rumah sakit tengah duduk di sofa bentuk leter u dengan suasana yang senyap. Mereka saling menunduk dan sesekali melirik ke arah yang lain. Sampai Sumi datang dan menyajikan lima minuman untuk mereka. Baru setelah itu, Fredy membuka suara
Di sebuah aula hotel yang sangat megah, dua sosok pria dan wanita masuk dengan bergandengan tangan. Dengan percaya diri, Erlangga dan Sabrina melangkah ke dalam. Banyak oraparazi yang mengabadikan kejadian itu. Meskipun bukan sosok artis, Erlangga menjadi terkenal karena perusahaan yang di dirikannya sendiri telah mendunia. Keduanya melihat Farhan dan Susi duduk di kursi barisan agak jauh dari panggung. "Kita duduk disana ya, Mas." "Ayo." Kursi tamu berkonsep seperti di sebuah kafe maupun restoran. Yaitu, meja bundar dengan empat kursi yang mengelilinginya. "Wahh, kalian awal banget datangnya," ujar Sabrina yang membuat Susi dan Farhan menoleh. "Ehh, kalian sudah datang!" seru Susi uang langsung berdiri dan memeluk Sabrina. Sementara kedua wanita itu berpelukan melepas rindu, Erlangga dan Farhan berjabat tangan versi mereka. "Apa kabar kalian?" tanya Farhan setelah mereka duduk. "Seperti yang kalian lihat." "Kembar tidak ikut ya? Sayang sekali, aku sangat merindukan Tari.
Mata Susi berkedut. Harus menangis atau tertawa. Mendengar perkataan Aldo barusan, rasa takut dan gugupnya menguar di udara dan hilang seketika. Terganti dengan rasa benci. "Kurang kerjaan sekali aku mengorek informasi tentang, Anda. Hari ini, saya pun baru mengetahui kalau tunangan saya adalah sahabat, Anda." "Ayolah, Susi. Kenapa bicaramu masih seperti itu? Apa kamu cemburu melihatku bertunangan dengan gadis lain?" "Cemburu?" Lalu Susi tertawa sarkas. "Bukan cemburu, tapi bersyukur. Setidaknya Anda tidak lagi memiliki waktu untuk mengusikku." "Apakah cintamu benar-benar hilang?" "Ya. Sekarang hanya ada kebencian di sini." ***Di sepanjang perjalanan pulang, Erlangga terlihat diam. Sabrina terheran dan berniat mencairkan suasana. "Tidak biasanya kamu diam seperti ini? Kamu sakit?" tanya Sabrina. "Aku hanya sedikit mengantuk." Jawaban Erlangga yang singkat dan terdengar dingin membuat Sabrina memayunkan bibirnya. "Kalau begitu, biar aku saja yang menyetir." "Tidak perlu, seb
"Baiklah, kalau begitu kita ketemu di luar saja." "Iya, bye!" Lalu terdengar suara helaan napas dari dalam. Ceklek!Bia buru–buru pergi dari sana. Dia bersembunyi di balik dinding. Karena jika dia melanjutkan jalan ke kamar, Ratna akan tahu. *** Menjelang jam sebelas siang, Bia sudah bersiap untuk menjemput si kembar. "Ma, Bi Sumi?" panggil Bia setengah berteriak agar kedua wanita itu keluar. Tak lama setelah Bia memanggil, dia melihat Sumi yang terpogoh dari arah dapur. "Iya, Neng. Ada apa?" "Bibi lihat Mama nggak?" "Tid—, itu Neng." Sumi menunjuk Ratna yang berjalan ke arah mereka. "Mama mau kemana?" Bia mengerutkan kening heran saat melihat Ratna sudah tampil rapi dan cantik. "Biar Mama aja yang jemput Tari dan Bulan. Kamu di rumah aja istirahat. Jangan kecapekan, Mama ingin punya cucu lagi. Kalau bisa laki–laki ya. Kembar lagi nggak masalah," ujar Ratna beruntun dengan senyum bahagia."Mama yakin tidak apa–apa?" tanya Bia setelah Ratna memberi kesempatan untuk bicara.
"Tidak bermaksud apa–apa," elak Erlangga yang masih pada posisi sama. "Kamu cemburu ya, Mas?" "Enggak! Siapa juga yang cemburu. Jika dibandingkan, aku sudah pasti lebih unggul dari segi apapun darinya." Erlangga masih menggelak. Namun kali ini, dia meletakkan laptopnya di atas nakas. Posisi wajahnya sekarang berada tidak lebih dari satu senti dari wajah Sabrina. Kedua pasang itu saling menatap mesra. "Benarkah kamu tidak cemburu?" Kali ini, suara Sabrina dibuat seperti suara seorang penggoda. Jemarinya membelai rahang Erlangga yang kokoh, menelusuri dada suaminya yang bidang, lalu berhenti pada perut. "Memangnya kenapa kalau tidak? Kenapa juga kalau cemburu? Kamu mau apa?" Beda dengan Sabrina yang dibuat–buat, suara Erlangga berubah secara naluriah. "Tidak apa. Aku tidak mau apa–apa." "Kamu telah menggodaku. Jadi kamu tidak boleh tidak mau apa–apa." "Lalu, aku harus apa?" Erlangga menampilkan senyum menyeringai dan membuat Sabrina bergidik tapi senang.***Setelah menyelesa
"Mama!" "Papa!" Teriak Tari dan Bukan secara bersamaan. Mereka berlari sembari merentangkan tangan pada Bia dan Erlangga. Meskipun baru pulang dari rumah sakit, kondisi Erlangga benar-benar sehat saat ini. Jadi dia memutuskan untuk menjemput kedua gadis kecilnya. Tentu saja dengan meminta bantuan sopir untuk menjemput. Erlangga dan Bia sama-sama berlutut untuk menyambut masing-masing putrinya. "Umm, ceria sekali dua putri Mama," ujar Bia yang mencium pipi Tari. Kemudian, Tari beralih memeluk Erlangga dan begitupun pada Bulan. Kembaran Tari itu ganti memeluk Bia. Erlangga membantu kedua gadis kecil itu masuk ke mobil sembari mereka bercerita tentang kegiatan di sekolah. "Ma, tadi Tari dapat bintang lima loh! Kata Bu Guru, hasil mewarnai Tari rapi dan bagus.""Bulan, juga! Bulan, juga! Bulan juga mendapat bintang lima. Bu Guru juga memuji gambar Bulan." "Benarkah? Karena kedua putri Papa mendapat nilai bagus, bagaimana kalau kita merayakannya?" sahut Erlangga yang antusias deng
"Apa katamu?" Erlangga menyerengit. Dia tidak terlalu mendengar karena suara Bia sangat pelan. "Aku tadi mengucapkan semoga cinta kita bisa langgeng. Kenapa?" Bia mengira Erlangga tidak mendengar gumanannya yang samar. Jadi hatinya dag-dig-dug takut Erlangga benar-benar mendengar. "Benarkah?" "Memangnya kamu mendengar aku berkata apa?" Bia berusaha untuk tidak gugup. "Lupakan saja! Ayo kita mandi lalu makan. Aku yakin kamu pasti belum makan." Wanita itu bersyukurlah, Erlangga benar-benar tidak jelas mendengar. "Hum. Aku sangat lapar sekarang." ***Wajah Ratna memerah bak tomat menahan marah melihat putra dan menantunya, turun dari tangga bergandengan tangan dan bercengkrama. Tangannya yang berada di atas sofa terkepal erat hingga buku-buku tangan terlihat. "Selamat siang, Ma!" sapa Erlangga. Ratna kembali melipat koran yang dibaca setelah Bia dan Erlangga sudah di samping sofa. Wanita yang telah melahirkan Erlangga itu hanya menatap keduanya dengan wajah sinis tanpa senyum.
Erlangga terus menatap pintu dan menunggu sosok yang diharapkan datang. Akan tetapi, setelah dua detik waktu yang terlewat dari waktu yang diberitahukan, orang itu belum juga muncul. "Bia kemana sih?" gerutunya sambil berkali-kali mengecek ponsel. "Harus berapa kali Mama bilang kalau istrimu itu tidak akan datang. Tadi pagi aja, waktu Mama ke kamarmu untuk memberitahunya, dia masih tidur pulas," sahut Ratna yang mengemas pakaian Erlangga. Erlangga hanya diam karena sulit percaya dengan apa yang dikatakan oleh ibunya. Menurutnya, Sabrina tidak seperti itu. "Tuh kan! Kamu tidak percaya dengan ucapan Mama." Ratna kembali berucap sinis. Keadaan menjadi hening. Bahkan sampai di depan rumah, ibu dan anak itu hanya bicara seperlunya. Saat memasuki rumah, Erlangga mendapati keadaan rumah yang sepi. Dia heran karena tidak biasanya seperti ini. Hanya Sumi yang menyambutnya di depan pintu. "Bi, kemana Bia dan anak-anak?" tanya Erlangga padanya sedikit sinis. "Neng Bia masih di kamar, Den
Saat senja mulai tampak, Fredy memutuskan untuk kembali. "Cepatlah sembuh! Maaf jika nanti, mungkin Papa tidak bisa mengunjungimu lagi." Pria paruh baya itu tersenyum sangat manis pada Erlangga. "Ini adalah uang terakhir tabungan Papa. Jika uang itu sudah habis, mungkin Papa tidak bisa menengokmu lagi." "Kenapa terburu-buru, Pa. Memang Papa tidak merindukan Tari dan Bulan? Mereka berdua sangat merindukanmu." Meskipun ada masalah diantara mereka, tetapi Erlangga masih enggan menerima kalau kenyataan kalau Fredy memilih untuk hidup sederhana di kota kecil yang mungkin terpencil."Papa titip pesan, bilang kalau kakeknya ini juga merindukan mereka. Tapi kamu yakin tidak ada masalah dengan istrimu? Papa hanya khawatir kalau Mamamu kembali membuat ulah." Fredy sedikit menurunkan nada bicaranya. Memang, Ratna tidak berada disana. Namun dia tetap takut ada orang lain yang mendengar. "Nanti setelah pulang, aku akan menyelidiknya, Pa." "Ya sudah, jaga dirimu dan juga keluargamu baik-baik
Tabrakan tak bisa di hindari. Mobil Erlangga terpenjal jauh dan berguling ke depan. Jika tidak ada pembatas, sudah dipastikan akan jatuh ke jurang. Beberapa saat lalu saat berada di kios sate padang, ada seseorang yang membututi mereka di belakang. Seperti kejadian saat mereka makan mie ayam bakso. Namun pria misterius itu tidak mempotret atau memfoto mereka diam-diam. Melainkan melakukan sesuatu pada mobil Erlangga. "Akhirnya punya kesempatan juga. Kalau tidak, sudah pasti Bos Elvano yang akan menggorok leherku." Hanya beberapa menit pria itu selesai mengutik mobil Erlangga. Pria yang mengenakan hodie hitam itu memotong kabel rem mobil. Erlangga dan Sabrina sama sekali tidak curiga karena tidak ada yang mencurigakan. Pria itu sama sekali tidak meninggalkan jejak yang membuat curiga. Rencana Elvano semakin sukses saat ada sopir truk dari arah yang berlawanan sedang mengantuk. Kedua mobil itu sama–sama tidak bisa menghindar dan saling bertabrakan. Erlangga sudah berusaha sekuat
Susi mengatakan itu sembari menatap Sekar dan Leon secara bergantian. Mata jelas penuh harap. Sementara Sekar dan Leon saling padang dan diam sesaat. Tanpa diduga, kemudian mereka tertawa cukup keras. Membuat Susi mengerut heran. Awalnya dia mengira akan banyak pertimbangan dari keduanya. Siapa sangka dugaannya salah. "Tentu saja kami setuju, Sayang. Kami sudah mengenal Farhan. Semenjak kamu pergi, Kakakmu sering mengajak temannya berkunjung ke rumah." Saat itu, Susi dan Aldo tidak mengumbar hubungannya pada siapapun termasuk para sahabat masing-masing. Aldo tidak mengenalkan Susi dengan sahabatnya. Waktu kuliah, Aldo adalah orang yang paling tertutup diantara ketiga sahabatnya. Pun ketiga sahabatnya itu tidak pernah mempertanyakan masalah Aldo. Prinsip mereka, tidak akan ikut campur jika tidak diminta. Makanya, persahabatan itu selalu langgeng sampai sekarang."Terima kasih, Bunda, Papi. Kalau begitu aku panggil Farhan kesini ya?" tanya Susi. Terdengar memang meminta persetujua
Sekar menangis dan tangisan itu menular pada Susi. Keduanya menangis hingga menimbulkan suara. Seakan keduanya lupa dengan banyak orang yang berada di gedung ini. Leon juga terkejut saat melihat Susi berdiri disana bersama temannya Aldo. Melihat istrinya dan Susi berpelukan, Leon juga ikut memeluk mereka. Sontak, semua orang disana memandang ketiga orang yang sedang berpelukan itu. "Maafkan Bunda, Sayang!" lirih Sekar sekali lagi. "Maafkan Papi juga, Nak!" "Susi juga minta maaf, Bunda, Papi. Maafkan Susi karena hal itu, Susi marah dengan kalian." Orang-orang di sekeliling mereka merasa haru. Namun, Zaskia dan Papinya merasa aneh. Apa hubungan keluarga Richard dengan calon istri Farhan? Santoso-ayahnya Zaskia juga bertanya-tanya dalam hati. "Keluarga kalian mengenal temannya Kak Bia?" tanya Zaskia setelah menyenggol Aldo. "Susi adik angkatku," jawab Aldo datar yang tatapannya tetap tertuju pada orang tuanya dan Susi. "Apa?" Zaskia dan Santoso tertegun sejenak. Setelah puas
Erlangga memukul stir mobil saat sudah berada di depan rumahnya. Dia benar–benar tidak menyangka kalau Elvano akan mengkhianatinya seperti ini. Padahal, saat Fredy memilih untuk mengundurkan diri dan pergi bersama istri barunya, dia sudah memiliki rencana untuk membujuk Ratna agar meminta Elvano yang mengurus perusahaan itu. Biar bagaimana pun, Elvano juga berhak atas perusahaan itu. Karena dia juga sama-sama cucu dari keluarga Kusuma. Ratna dan ibunya Elvano adalah kakak beradik, meskipun dari ibu yang berbeda. Selain itu, Erlangga juga memiliki perusahaannya sendiri. Dia sama sekali tidak serakah. Namun, Elvano terlalu tidak sabar. Bahkan dia juga berani ingin merebut Sabrina darinya.Untuk mengatasi hal seperti ini, teman yang bisa diandalkan Erlangga hanya lah Aldo. Dia satu–satunya teman yang memiliki koneksi pada bidang mafia dan hacker yang mumpuni. "Pasti dia sedang sibuk dengan rencana pernikahannya. Seharusnya aku tidak menganggunya sekarang." Monolognya sembari kembal
Erlangga mengerutkan keningnya seraya menatap nomor yang tertera di layar ponselnya. Pikirannya seakan sedang memikirkan sesuatu yang rumit. Pria itu berjalan keluar. Saat melawati ruangan sekretarisnya dia mengatakan, "Anggia, undur rapatnya menjadi jam sebelas siang." "Baik, Pak!" Sesampainya di dalam mobil, Erlangga kembali mendapat pesan dari nomor misterius tadi. (Kamu ingin menemuiku bukan? Aku berada di Vila dekat pesisir pantai dua kelapa.)Erlangga membaca pesan itu tanpa berniat membalasnya. Kemudian dia melajukan mobilnya ke alamat yang di dalam chat. Awalnya dia ingin meminta bantuan Aldo untuk melacak nomor misterius itu. ***Sementara itu, pria yang berada di villa sedang meneguk segelas kecil vodka. Wajahnya terlihat mengerut setelah meminumnya. "Anak muda, kamu telah menjalankan tugasmu dengan baik. Sekarang katakan, apa yang kamu inginkan?" tanya pria paruh baya yang baru saja meneguk minuman beralkohol itu. "Permintaan saya tidak banyak, Tuan Redd. Saya hanya