Saat ini, hati Ratna terasa ditikam belati yang sangat tajam. Air mata wanita itu meluncur tanpa aba–aba. Semantara Fredy pergi begitu saja setelah mengatakan itu. Rasa iba di hatinya sudah dikalahkan oleh rasa muak karena tingkah Ratna sendiri. "Hancur sudah semua! Hancur!" Ratna berteriak bak orang kesetanan. Dia memukul dirinya sendiri lalu menjambak rambutnya hingga berantakan. Sumi yang menyaksikan dari balik dinding dapur merasa iba. Sebagai sesama perempuan, dia bisa merasakan sakit hati yang di alami Ratna. Terlebih itu adalah buah dari perbuatannya sendiri. Sekitar beberapa menit, Ratna bangun dari posisinya yang sekarang. Namun, dia melihat Fredy yang kembali keluar dengan wajah segar seperti habis mandi. Baru saja hendak buka suara, Fredy sudah berkata terlebih dulu. "Tidak usah menungguku! Mungkin aku akan pulang dua hari lagi." Ratna menanggapinya dengan tersenyum. Dia menjadi enggan berbicara lagi.Fredy pun hanya meliriknya sekilas lalu pergi. Tentu saja ke ruma
Matahari telah keluar dari peraduannya dan kini menampilkan sinar jingga yang indah dan menyejukkan. Sabrina menyibak tirai kamar mertuanya, hingga membuat Rana terbangun karena silau. "Mama sudah bangun? Ayo Bia bantu ke kamar mandi. Setelah itu kita sarapan." Sabrina mengulurkan tangannya. Ratna yang kini sudah pada posisi duduk menatap tangan Sabrina cukup lama. Sabrina mengira kalau Ratna akan menepisnya, tapi Ratna justru meraih tangan yang menggantung udara itu. Ibu anak kembar itu tercengang tak percaya saat mertuanya menerima uluran tangannya. "Ayo." Sabrina tersadar dan langsung bersemangat menggandeng mertuanya ke kamar mandi. Dia setia menunggu Ratna sampai selesai. Bukan hanya itu, tapi tadi malam dia bergantian begadang dengan Erlangga untuk menunggu Ratna. Ratna tak sengaja terjaga, dia melihat Sabrina yang tertidur sembari duduk menunggu dirinya. Saat itu Erlangga terbaring di sofa dalam kamar Ratna dekat jendela. Hatinya tersentuh melihat pemandangan itu. Dia
"Jaga bicaramu!" bentak Fredy karena merasa ucapan Ratna menginanya juga istri barunya yang tak lain adalah Dewi. Si sekretarisnya. Raut wajahnya menjadi merah padam. Sementara raut wajah Dewi pucat pasi. "Jaga dari apa, Pa? Kurasa ucapanku tidak salah. Bagian mana yang salah? Saat aku mengucapkan selamat? Saat mengucapkan pelakor? Atau saat mengucapkan perbuatan haram kalian?" "Kamu…" Fredy melayangkan tamparan untuk Ratna, tapi Erlangga dengan sigap menangkap tangan Fredy sebelum mengenai pipi Ratna. "Jangan coba–coba menyakiti Mama! Tergores sedikitpun kulit Mama jika itu adalah perbuatanmu, maka siap–siap hidupmu akan hancur. Aku akan melupakan kalau kau adalah Papaku." ***Di rumah Ratna dan Fredy. Kelima orang yang terlibat adu debat di rumah sakit tengah duduk di sofa bentuk leter u dengan suasana yang senyap. Mereka saling menunduk dan sesekali melirik ke arah yang lain. Sampai Sumi datang dan menyajikan lima minuman untuk mereka. Baru setelah itu, Fredy membuka suara
Di sebuah aula hotel yang sangat megah, dua sosok pria dan wanita masuk dengan bergandengan tangan. Dengan percaya diri, Erlangga dan Sabrina melangkah ke dalam. Banyak oraparazi yang mengabadikan kejadian itu. Meskipun bukan sosok artis, Erlangga menjadi terkenal karena perusahaan yang di dirikannya sendiri telah mendunia. Keduanya melihat Farhan dan Susi duduk di kursi barisan agak jauh dari panggung. "Kita duduk disana ya, Mas." "Ayo." Kursi tamu berkonsep seperti di sebuah kafe maupun restoran. Yaitu, meja bundar dengan empat kursi yang mengelilinginya. "Wahh, kalian awal banget datangnya," ujar Sabrina yang membuat Susi dan Farhan menoleh. "Ehh, kalian sudah datang!" seru Susi uang langsung berdiri dan memeluk Sabrina. Sementara kedua wanita itu berpelukan melepas rindu, Erlangga dan Farhan berjabat tangan versi mereka. "Apa kabar kalian?" tanya Farhan setelah mereka duduk. "Seperti yang kalian lihat." "Kembar tidak ikut ya? Sayang sekali, aku sangat merindukan Tari.
Mata Susi berkedut. Harus menangis atau tertawa. Mendengar perkataan Aldo barusan, rasa takut dan gugupnya menguar di udara dan hilang seketika. Terganti dengan rasa benci. "Kurang kerjaan sekali aku mengorek informasi tentang, Anda. Hari ini, saya pun baru mengetahui kalau tunangan saya adalah sahabat, Anda." "Ayolah, Susi. Kenapa bicaramu masih seperti itu? Apa kamu cemburu melihatku bertunangan dengan gadis lain?" "Cemburu?" Lalu Susi tertawa sarkas. "Bukan cemburu, tapi bersyukur. Setidaknya Anda tidak lagi memiliki waktu untuk mengusikku." "Apakah cintamu benar-benar hilang?" "Ya. Sekarang hanya ada kebencian di sini." ***Di sepanjang perjalanan pulang, Erlangga terlihat diam. Sabrina terheran dan berniat mencairkan suasana. "Tidak biasanya kamu diam seperti ini? Kamu sakit?" tanya Sabrina. "Aku hanya sedikit mengantuk." Jawaban Erlangga yang singkat dan terdengar dingin membuat Sabrina memayunkan bibirnya. "Kalau begitu, biar aku saja yang menyetir." "Tidak perlu, seb
"Baiklah, kalau begitu kita ketemu di luar saja." "Iya, bye!" Lalu terdengar suara helaan napas dari dalam. Ceklek!Bia buru–buru pergi dari sana. Dia bersembunyi di balik dinding. Karena jika dia melanjutkan jalan ke kamar, Ratna akan tahu. *** Menjelang jam sebelas siang, Bia sudah bersiap untuk menjemput si kembar. "Ma, Bi Sumi?" panggil Bia setengah berteriak agar kedua wanita itu keluar. Tak lama setelah Bia memanggil, dia melihat Sumi yang terpogoh dari arah dapur. "Iya, Neng. Ada apa?" "Bibi lihat Mama nggak?" "Tid—, itu Neng." Sumi menunjuk Ratna yang berjalan ke arah mereka. "Mama mau kemana?" Bia mengerutkan kening heran saat melihat Ratna sudah tampil rapi dan cantik. "Biar Mama aja yang jemput Tari dan Bulan. Kamu di rumah aja istirahat. Jangan kecapekan, Mama ingin punya cucu lagi. Kalau bisa laki–laki ya. Kembar lagi nggak masalah," ujar Ratna beruntun dengan senyum bahagia."Mama yakin tidak apa–apa?" tanya Bia setelah Ratna memberi kesempatan untuk bicara.
"Tidak bermaksud apa–apa," elak Erlangga yang masih pada posisi sama. "Kamu cemburu ya, Mas?" "Enggak! Siapa juga yang cemburu. Jika dibandingkan, aku sudah pasti lebih unggul dari segi apapun darinya." Erlangga masih menggelak. Namun kali ini, dia meletakkan laptopnya di atas nakas. Posisi wajahnya sekarang berada tidak lebih dari satu senti dari wajah Sabrina. Kedua pasang itu saling menatap mesra. "Benarkah kamu tidak cemburu?" Kali ini, suara Sabrina dibuat seperti suara seorang penggoda. Jemarinya membelai rahang Erlangga yang kokoh, menelusuri dada suaminya yang bidang, lalu berhenti pada perut. "Memangnya kenapa kalau tidak? Kenapa juga kalau cemburu? Kamu mau apa?" Beda dengan Sabrina yang dibuat–buat, suara Erlangga berubah secara naluriah. "Tidak apa. Aku tidak mau apa–apa." "Kamu telah menggodaku. Jadi kamu tidak boleh tidak mau apa–apa." "Lalu, aku harus apa?" Erlangga menampilkan senyum menyeringai dan membuat Sabrina bergidik tapi senang.***Setelah menyelesa
Sabrina bukanlah orang yang bodoh, tentu saja dia tahu maksud dari perkataan Zaskia. Secara tidak langsung, Zaskia mengatakan kalau Sabrina merebut Erlangga darinya. "Cerita yang bagus. Tapi sayang sekali, Mas Erlang tidak pernah bercerita tentang itu. Katanya, aku adalah cinta keduanya setelah Mama," telak Sabrina santai tanpa melihat raut muka Zaskia yang merah padam. "Kak Bia, kamu jangan salah paham. Aku tidak mengarang cerita ini. Dilihat dari watak Kak Erlang, seperti dia tidak mau membuat Kak Bia cemburu. Benar 'kan, Tante?" "Untuk masalah perjodohan, itu memang benar adanya dan Erlangga sempat setuju. Tapi untuk masalah kalian saling mencintai, Tante tidak pernah tahu karena dulu, putra Tante itu sangat tertutup pada Tante." "Meskipun Mas Erlang bercerita seperti itu, aku tetap tidak akan cemburu. Karena itu hanya masa lalu." "Bukan itu maksudku, Kak. Tapi yang ingin aku katakan adalah tadi, tentang perjodohan anak–anak kita nanti. Walaupun aku dan Kak Erlang tidak jadi b