Elvis duduk diam di kamarnya, menatap sebuah foto keluarga dengan tatapan dalam. Dalam foto itu, seorang wanita muda berdiri di sampingnya, menggendong bayi perempuan yang lucu, sementara ibunya juga berdiri di sisi lain. Wanita muda itu adalah istrinya, Zean—seseorang yang telah lama pergi meninggalkannya.
"Zean, kamu pergi terlalu cepat..." gumam Elvis lirih. "Anak gadis kita sudah besar dan mandiri sekarang. Dia menjadi seorang fotografer profesional, bekerja dengan baik, memiliki banyak teman, dan ceria seperti dirimu."
Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Selama ini aku menikah-cerai, berharap ada seseorang yang bisa merawatnya. Tapi sayang, pernikahanku tidak pernah berjalan mulus."
Elvis terdiam sejenak, lalu menatap foto itu lebih lekat. Suaranya berubah menjadi lebih dalam, penuh rahasia yang selama ini ia pendam.
"Aku adalah Samuel Wilson Franz," bisiknya. "Harus menyamar sebagai orang biasa demi melindungi anak kita. Semasa muda, aku memiliki banyak musuh. Setelah Lolipop lahir, aku terpaksa menyembunyikan identitasku."
Matanya yang biasanya penuh canda kini dipenuhi keseriusan."Semoga saja Lolipop tetap selamat dan aman ke mana pun dia pergi," batin Elvis.
Keesokan harinya.
Daniel berada di sebuah studio besar. Di dalam ruangan itu, ia terlihat duduk bersama seorang pria yang merupakan pemilik studio tersebut.
"Tuan, Anda adalah pebisnis. Kenapa bisa tertarik dengan studio kami? Bahkan rela membelinya dengan harga yang tinggi?" tanya pria itu dengan penasaran.
"Ini urusan kami. Anda cukup jual saja pada kami, sisanya tidak perlu tahu," ucap Levis dengan tegas.
"Iya, iya," jawab pria itu, mengangguk cepat.
Di sisi lain, Charlotte sedang fokus pada layar laptopnya.
"Lolipop, kamu sudah datang? Mari kita pergi ke suatu tempat!" seru seorang rekan kerja pria dengan wajah antusias.
Charlotte menoleh dan menatap pria itu dengan alis sedikit berkerut. "Apakah ini tugas baru?" tanyanya, memastikan.
Pemuda itu, Kelvin, mengangguk cepat. "Iya, perintah atasan. Kita diminta mengambil gambar pemandangan indah di pegunungan."
Mendengar itu, Charlotte langsung bersemangat. Ia bangkit dengan sigap, meraih kameranya, lalu mengenakan tali kamera di lehernya. "Baik, kita pergi sekarang!" ujarnya penuh energi.
Mereka berdua berjalan menuju lift, berbincang ringan tentang perjalanan yang akan mereka lakukan. Namun, ketika hampir sampai, Kelvin tiba-tiba menghentikan langkahnya dan merogoh tasnya dengan wajah cemas.
"Lolipop, kamu tunggu di mobil dulu. Aku lupa sesuatu," ujar Kelvin sambil berbalik arah.
Charlotte mengangguk dan tanpa berpikir panjang, melanjutkan perjalanannya sendiri. Sesampainya di lantai dasar, ia berjalan cepat menuju area parkir dan membuka pintu salah satu mobil yang terparkir di depan studio, mengira itu adalah mobil yang akan mereka gunakan.
Namun, begitu ia masuk dan duduk di dalam, suasana di dalam mobil terasa aneh. Dua pasang mata langsung tertuju padanya.
Charlotte menegang. Ia mendongak dan mendapati dua pria yang duduk di dalam mobil menatapnya dengan ekspresi heran—Levis di kursi pengemudi dan Daniel di sampingnya.
Hening sesaat.
Mata Charlotte membulat ketika kesadarannya kembali. "Maaf, aku salah masuk mobil!" katanya cepat, wajahnya berubah merah karena malu.
Daniel masih menatap Charlotte dengan senyum tertahan, sementara Levis melirik sekilas, seolah menunggu kelanjutan dari kejadian konyol itu.
Charlotte, yang sudah cukup cemas dan malu, segera berusaha membuka pintu mobil untuk segera kabur dari situasi memalukan ini. Namun, dalam kepanikannya, bukannya menarik pegangan pintu, ia malah salah menekan tombol yang justru membuat kaca jendela mobil turun hingga habis.
Angin luar langsung masuk ke dalam mobil, sementara Charlotte terdiam sesaat, mencoba mencerna kebodohannya sendiri.
"Kenapa tidak bisa dibuka? Memalukan sekali," gumamnya dengan suara nyaris tak terdengar, namun tetap tertangkap oleh Daniel yang duduk di sampingnya.
Levis terkekeh pelan, sementara Daniel akhirnya bersuara dengan nada menggoda. "Kau yakin hanya salah masuk mobil? Atau mungkin kau sengaja ingin ikut dengan kami?" Daniel mendekati gadis itu dengan senyuman yang menawan.
"Kenapa pria ini tampan sekali?" batin Charlotte.
"Ka-kamu manusia atau siluman?" tanya Charlotte yang tidak sadar dengan pertanyaannya. Ia terpana melihat ketampanan pria itu.
"Untuk apa aku ikut denganmu?" Charlotte menatap tajam ke arah pria di dalam mobil itu. Ia berusaha menjauh, tangannya panik mengutak-atik tombol pintu mobil agar bisa segera keluar. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya pintu terbuka.
Tanpa membuang waktu, Charlotte langsung melompat keluar dan bergegas mencari mobil rekan kerjanya. Namun, sebelum sempat menemukan mobil Kelvin, ia justru berhenti sejenak, mendesah panjang sambil menggerutu sendiri.
"Sial sekali, dalam hidupku ini sudah ke-85 kali salah masuk mobil, dan 59 kali salah masuk rumah," gumamnya, sambil mengacak rambutnya dengan frustasi.
Daniel tersenyum melihat tingkah gadis itu.
Levis menatap bosnya melalui cermin, suaranya terdengar hati-hati saat berbicara.
"Bos, ada kaki tangan kita yang mengaku pernah melihat orang itu di dalam kota. Sepertinya dia sudah memiliki keluarga. Namun, saat mereka mencoba mengikutinya, dia menghilang begitu saja," lapornya.
"Samuel Wilson Franz..." gumam Daniel. "Aku tidak akan melepaskannya. Cari dia sampai dapat!" perintahnya dengan nada tegas.
"Aku curiga dia telah mengganti identitasnya, itulah kenapa kita kesulitan melacaknya." Daniel menatap ke luar jendela dengan tatapan tajam. "Temukan keluarganya, semua kerabatnya... Aku ingin mereka semua lenyap. Aku akan membunuh mereka satu per satu untuk membalas dendamku!"
Sore itu, Charlotte berjalan santai menuju rumah setelah seharian bekerja. Namun, langkahnya terhenti saat melihat ayahnya, Elvis, berlari terbirit-birit dikejar oleh neneknya, Nanny, yang mengayunkan sapu dengan penuh semangat.
Charlotte menghela napas panjang. "Kali ini apa lagi yang dilakukan Papa?" gumamnya, sudah terbiasa melihat pemandangan seperti ini.
"Dasar anak durhaka! Jangan lari kalau kau berani!" teriak Nanny dengan suara lantang, sapunya melayang ke arah Elvis.
Elvis dengan gesit menghindari pukulan itu, lalu berseru, "Mana ada orang bodoh yang diam saja saat mau dipukul!"
Charlotte hanya bisa menggelengkan kepala, menyadari bahwa drama sore ini belum berakhir.
"Papa, apa yang terjadi?" tanyanya, mencoba memahami situasi.
Elvis, yang masih sibuk menghindari sapuan sapu, berlari melewati Charlotte sambil berteriak, "Cepat lari! Nenekmu kumat lagi! Sudah tuli, tapi tetap keras kepala!"
"Nenek, sudah! Jangan pukul lagi!" katanya, berusaha menahan tangan neneknya.
Namun, alih-alih berhenti, Nanny justru beralih target dan dengan cepat menarik telinga Charlotte.
"Apa?! Kau berani sekali bilang aku pikun!" bentaknya sambil mencubit lebih keras.
Charlotte langsung menjerit. "Aahhh... sakit! Lepaskan, Nek!"
"Bukan pikun, tapi pukul! Nenek selalu saja salah dengar dan ngamuk sendiri!" Charlotte meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman neneknya yang ternyata masih kuat meski sudah tua.
Nanny mendengus kesal. "Kau dan papamu sama saja! Durhaka! Kenapa kau tidak mirip ibumu?! Kenapa malah mirip papamu!"
Nanny mendengus sambil melipat tangan di dada. "Kau dan papamu sama-sama bodoh!" ketusnya dengan nada meremehkan.
Charlotte tak mau kalah. Ia mengangkat dagunya dengan ekspresi menantang. "Kebodohan Papa itu diturunkan oleh Nenek, dan kemudian aku juga mewarisi kebodohan Nenek. Jadi, siapa yang paling bersalah di sini?" balasnya, menatap langsung ke arah neneknya.
Mata Nanny menyipit. Raut wajahnya yang awalnya penuh amarah berubah semakin mengerikan. "Apa yang kau katakan tadi? Coba ulangi lagi kalau berani!" katanya dengan nada tinggi, lalu tanpa basa-basi mengayunkan sapu ke arah cucunya.
Mata Charlotte membelalak, reflek langsung berlari menghindar. "Papa, tolong!!" teriaknya panik, kakinya melangkah cepat tanpa melihat ke depan.
Di saat Charlotte menoleh ke belakang untuk memastikan jaraknya dengan sang nenek, tubuhnya justru menabrak seseorang yang berdiri di sana. Benturan itu cukup kuat hingga membuat keseimbangannya goyah, hampir saja ia terjatuh.
Tangan kokoh pria itu dengan sigap menangkap pinggangnya, menahan tubuh Charlotte agar tidak terhempas ke tanah. Dalam sekejap, wajah mereka berada dalam jarak yang sangat dekat.
Charlotte menahan napas, jantungnya berdegup lebih kencang saat menyadari siapa pria yang kini menatapnya dengan intens.
Daniel Harris.
Mata tajam pria itu menatapnya tanpa berkedip, Charlotte yang masih dalam posisi setengah bersandar di pelukannya bisa merasakan hawa dingin yang dipancarkan pria itu.
Daniel yang dikenal selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan kali ini, Selain musuh lamanya, yang menarik perhatiannya adalah Charlotte Wilson—gadis ceria dengan senyum menawan dan sikap yang begitu polos.
Charlotte bukan sekadar wanita biasa.
Dia adalah putri dari pria yang selama ini Daniel incar—Samuel Wilson Franz. Pria yang telah menghancurkan hidupnya, musuh yang telah lama dia cari untuk membalas dendam.
Apa yang akan terjadi ketika kebenaran terungkap? Apakah Daniel akan tetap mencintai Charlotte, atau justru menjadikannya alat untuk membalaskan dendam yang telah lama membara?
"Ke-Kenapa kamu ada di sini?" tanya Charlotte dengan gugup, matanya memandang pria di hadapannya dengan waspada.Daniel tersenyum santai, namun tatapan matanya tajam dan penuh keyakinan. Tangannya masih melingkar di pinggang Charlotte, membuat gadis itu semakin gelisah."Aku datang mencarimu," jawabnya pelan, suaranya rendah namun penuh ketegasan.Charlotte menelan ludah, tangannya refleks mendorong dada pria itu, meskipun tidak cukup kuat untuk membuatnya mundur. "Apakah aku mengenalmu? Kamu siapa?"Daniel terkekeh pelan, seolah terhibur oleh kepanikan gadis itu. "Namamu Charlotte Wilson, usia 23 tahun. Seorang fotografer berbakat." Ia mendekatkan wajahnya, membuat Charlotte semakin mundur dengan jantung berdegup kencang. "Dengar baik-baik, namaku Daniel Harris... yang dikenal sebagai duda menawan."Charlotte mengernyit, merasa ada sesuatu yang familiar tentang pria ini. "Kenapa namamu tidak asing? Di mana aku pernah mendengarnya?"Daniel tersenyum penuh arti, lalu berbisik tepat di
Malam hari.Charlotte berdiri di dekat jendela kamar, memandangi liontin peninggalan ibunya yang tergantung di lehernya. Jemarinya dengan lembut membuka liontin itu, ia selalu penasaran dengan liontin tersebut."Kenapa kalung ini tidak ada foto Mama? Aku bahkan tidak tahu wajah Mama sampai sekarang," gumamnya dengan suara lirih, matanya berkabut oleh rasa penasaran yang tak kunjung terjawab.Di saat yang sama, Elvis melangkah melewati kamar putrinya. Pandangannya tertarik pada sosok Charlotte yang berdiri diam dengan liontin terbuka di tangannya. Seketika, tatapan Elvis berubah tegang. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan, sesuatu yang tak seharusnya diketahui putrinya.Dengan langkah cepat, Elvis masuk ke dalam kamar."Lolipop," panggilnya, mencoba menghentikan gerakan Charlotte yang tampak begitu fokus pada liontin itu.Charlotte menoleh dan menatap ayahnya dengan heran."Papa? Sudah malam, kenapa belum tidur?" tanyanya, suaranya mengandung keheranan.Elvis menghela napas pe
"Kenapa kamu lagi?" tanya Charlotte, tatapannya tajam menembus sosok pria di hadapannya.Daniel hanya tersenyum, seolah menikmati ketidaksukaan Charlotte kepadanya. Ia melangkah santai, semakin mendekat. "Studio ini telah menjadi milikku," ujarnya dengan nada puas.Charlotte mencengkram erat pegangan tasnya, hatinya bergejolak. "Kalau begitu, aku akan berhenti kerja," katanya tegas, berbalik hendak pergi.Namun, suara Daniel menghentikan langkahnya. "Bukankah kau sudah tanda tangan kontrak lima tahun? Kalau kau pergi, kau harus membayar ganti rugi," katanya dengan nada santai, seakan-akan ia tahu bahwa Charlotte tidak punya pilihan lain.Charlotte menoleh dengan tatapan penuh curiga. "Apa tujuanmu membeli studio ini? Sebenarnya kamu siapa, dan apa maumu?" tuntutnya, suaranya dipenuhi amarah dan ketidakpercayaan.Daniel tersenyum tipis, matanya berkilat penuh arti. "Aku membelinya demi calon istriku. Kalau kita satu tempat kerja, kita bisa bersama s
Di sebuah apartemen yang mewah namun kini kacau balau, pecahan vas bunga, gelas, dan barang-barang antik tersebar di lantai. Suasana di ruangan itu terasa tegang, seperti angin badai yang baru saja berlalu. Di tengah kekacauan itu, seorang wanita muda dengan rambut panjang terurai dan mengenakan pakaian kasual berdiri mematung, tatapannya penuh emosi. Di depannya, seorang pria tampan dengan postur tinggi tegap berdiri dengan wajah dingin, seperti dinding batu yang tak bisa ditembus."Tanpa alasan, kau mengakhiri ini semua? Kenapa?" suara wanita itu pecah, menggema di antara dinding apartemen. Matanya berkilat dengan campuran rasa sakit dan amarah.Pria itu menarik napas panjang, mencoba menghindari tatapan wanita itu. Suaranya terdengar tenang, namun dingin seperti es yang mencair perlahan. "Karena pernikahan kita adalah satu kesalahan besar. Aku sangat menyesalinya," jawabnya, setiap kata bagai belati yang menancap di hati wanita itu.Wanita itu mengepalkan kedua tangannya dengan gem
Calvin yang kesakitan menatap Charlotte dengan cemas, merasa dadanya sesak bukan hanya karena rasa sakit fisik tetapi juga ketakutan akan apa yang akan terjadi. Wanita yang berada di sebelahnya, seorang wanita berpenampilan modis dengan rambut tergerai panjang, menatap Charlotte dengan kebingungan sekaligus kemarahan."Ke-kenapa kamu ada di sini?" tanya Calvin dengan suara bergetar, berusaha bangkit dari rasa sakit yang menjalar di tubuhnya.Namun sebelum Calvin bisa menjelaskan lebih jauh, wanita itu, yang tampak tidak tahu malu, melipat tangan di dada dan menatap Charlotte dengan pandangan merendahkan. "Hei, apa kau adalah pacarnya yang ceroboh itu? Kenapa kau begitu kasar?" tanyanya dengan nada sinis.Charlotte tidak menjawab. Matanya hanya menatap wanita itu tajam, penuh amarah yang sudah tidak bisa dibendung. Dengan gerakan cepat, ia meraih cangkir berisi minuman di meja dan menyiramkan isinya ke wajah wanita itu tanpa peringatan. Cairan hangat itu mengalir di wajah wanita itu, m
"Tidak waras!" gumam Charlotte dengan kesal, berusaha melangkah pergi meninggalkan pria asing itu.Namun, sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, Tuan Harris, yang tersenyum tipis penuh arti, tiba-tiba membungkuk dan mengangkat tubuhnya dengan mudah. Charlotte terkejut, matanya membesar, dan ia langsung meronta-ronta di dalam pelukan pria itu."Hei, hei! Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?!" teriak Charlotte sambil memukul-mukul bahunya, namun kekuatan pria itu jauh melampaui tenaganya.Tuan Harris tidak menghiraukan protesnya. Dengan langkah mantap, ia membawa gadis itu keluar dari tempat itu menuju mobilnya.Beberapa saat kemudian, Charlotte yang mulai kehilangan kesadarannya akibat alkohol, dibawa ke sebuah hotel mewah. Tuan Harris, yang sudah memesan kamar sebelumnya, langsung membawa gadis itu ke salah satu suite yang nyaman. Ia membuka pintu, menyalakan lampu, lalu menidurkan tubuh Charlotte yang lemah di atas ranjang empuk.Pria itu berdiri di tepi ranjang, menatap Charlotte yan
Charlotte berjalan pelan menyusuri deretan rumah yang terlihat seragam, dengan model dan warna hijau yang sama persis. Wajahnya tampak bingung, seolah memikirkan sesuatu yang mengganjal di benaknya."Kalau kami benar-benar melakukannya, seharusnya aku pasti merasa sakit..." gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Ia mengernyitkan dahi, menatap langkah kakinya yang terus membawa dirinya maju. "Tapi kenapa aku tidak merasakan apa-apa? Tidak mungkin seorang pria melepaskan semua pakaianku tanpa melakukan apa pun." Ia berhenti sejenak, menatap ke depan dengan pandangan kosong. "Di dunia ini, mana ada pria yang tidak tergoda dengan tubuh wanita..." lanjutnya dengan nada lirih, mencoba mencari jawaban atas kebingungannya.Charlotte menghela napas panjang, akhirnya sampai di salah satu rumah. Dengan santai, ia membuka pintu dan melangkah masuk. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat orang-orang di dalam rumah tersebut. Semua kepala menoleh ke arahnya dengan pandangan heran."Charlot
"Kenapa kamu lagi?" tanya Charlotte, tatapannya tajam menembus sosok pria di hadapannya.Daniel hanya tersenyum, seolah menikmati ketidaksukaan Charlotte kepadanya. Ia melangkah santai, semakin mendekat. "Studio ini telah menjadi milikku," ujarnya dengan nada puas.Charlotte mencengkram erat pegangan tasnya, hatinya bergejolak. "Kalau begitu, aku akan berhenti kerja," katanya tegas, berbalik hendak pergi.Namun, suara Daniel menghentikan langkahnya. "Bukankah kau sudah tanda tangan kontrak lima tahun? Kalau kau pergi, kau harus membayar ganti rugi," katanya dengan nada santai, seakan-akan ia tahu bahwa Charlotte tidak punya pilihan lain.Charlotte menoleh dengan tatapan penuh curiga. "Apa tujuanmu membeli studio ini? Sebenarnya kamu siapa, dan apa maumu?" tuntutnya, suaranya dipenuhi amarah dan ketidakpercayaan.Daniel tersenyum tipis, matanya berkilat penuh arti. "Aku membelinya demi calon istriku. Kalau kita satu tempat kerja, kita bisa bersama s
Malam hari.Charlotte berdiri di dekat jendela kamar, memandangi liontin peninggalan ibunya yang tergantung di lehernya. Jemarinya dengan lembut membuka liontin itu, ia selalu penasaran dengan liontin tersebut."Kenapa kalung ini tidak ada foto Mama? Aku bahkan tidak tahu wajah Mama sampai sekarang," gumamnya dengan suara lirih, matanya berkabut oleh rasa penasaran yang tak kunjung terjawab.Di saat yang sama, Elvis melangkah melewati kamar putrinya. Pandangannya tertarik pada sosok Charlotte yang berdiri diam dengan liontin terbuka di tangannya. Seketika, tatapan Elvis berubah tegang. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan, sesuatu yang tak seharusnya diketahui putrinya.Dengan langkah cepat, Elvis masuk ke dalam kamar."Lolipop," panggilnya, mencoba menghentikan gerakan Charlotte yang tampak begitu fokus pada liontin itu.Charlotte menoleh dan menatap ayahnya dengan heran."Papa? Sudah malam, kenapa belum tidur?" tanyanya, suaranya mengandung keheranan.Elvis menghela napas pe
"Ke-Kenapa kamu ada di sini?" tanya Charlotte dengan gugup, matanya memandang pria di hadapannya dengan waspada.Daniel tersenyum santai, namun tatapan matanya tajam dan penuh keyakinan. Tangannya masih melingkar di pinggang Charlotte, membuat gadis itu semakin gelisah."Aku datang mencarimu," jawabnya pelan, suaranya rendah namun penuh ketegasan.Charlotte menelan ludah, tangannya refleks mendorong dada pria itu, meskipun tidak cukup kuat untuk membuatnya mundur. "Apakah aku mengenalmu? Kamu siapa?"Daniel terkekeh pelan, seolah terhibur oleh kepanikan gadis itu. "Namamu Charlotte Wilson, usia 23 tahun. Seorang fotografer berbakat." Ia mendekatkan wajahnya, membuat Charlotte semakin mundur dengan jantung berdegup kencang. "Dengar baik-baik, namaku Daniel Harris... yang dikenal sebagai duda menawan."Charlotte mengernyit, merasa ada sesuatu yang familiar tentang pria ini. "Kenapa namamu tidak asing? Di mana aku pernah mendengarnya?"Daniel tersenyum penuh arti, lalu berbisik tepat di
Elvis duduk diam di kamarnya, menatap sebuah foto keluarga dengan tatapan dalam. Dalam foto itu, seorang wanita muda berdiri di sampingnya, menggendong bayi perempuan yang lucu, sementara ibunya juga berdiri di sisi lain. Wanita muda itu adalah istrinya, Zean—seseorang yang telah lama pergi meninggalkannya."Zean, kamu pergi terlalu cepat..." gumam Elvis lirih. "Anak gadis kita sudah besar dan mandiri sekarang. Dia menjadi seorang fotografer profesional, bekerja dengan baik, memiliki banyak teman, dan ceria seperti dirimu."Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Selama ini aku menikah-cerai, berharap ada seseorang yang bisa merawatnya. Tapi sayang, pernikahanku tidak pernah berjalan mulus."Elvis terdiam sejenak, lalu menatap foto itu lebih lekat. Suaranya berubah menjadi lebih dalam, penuh rahasia yang selama ini ia pendam."Aku adalah Samuel Wilson Franz," bisiknya. "Harus menyamar sebagai orang biasa demi melindungi anak kita. Semasa muda, aku memiliki banyak musuh. Setela
Charlotte berjalan pelan menyusuri deretan rumah yang terlihat seragam, dengan model dan warna hijau yang sama persis. Wajahnya tampak bingung, seolah memikirkan sesuatu yang mengganjal di benaknya."Kalau kami benar-benar melakukannya, seharusnya aku pasti merasa sakit..." gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Ia mengernyitkan dahi, menatap langkah kakinya yang terus membawa dirinya maju. "Tapi kenapa aku tidak merasakan apa-apa? Tidak mungkin seorang pria melepaskan semua pakaianku tanpa melakukan apa pun." Ia berhenti sejenak, menatap ke depan dengan pandangan kosong. "Di dunia ini, mana ada pria yang tidak tergoda dengan tubuh wanita..." lanjutnya dengan nada lirih, mencoba mencari jawaban atas kebingungannya.Charlotte menghela napas panjang, akhirnya sampai di salah satu rumah. Dengan santai, ia membuka pintu dan melangkah masuk. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat orang-orang di dalam rumah tersebut. Semua kepala menoleh ke arahnya dengan pandangan heran."Charlot
"Tidak waras!" gumam Charlotte dengan kesal, berusaha melangkah pergi meninggalkan pria asing itu.Namun, sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, Tuan Harris, yang tersenyum tipis penuh arti, tiba-tiba membungkuk dan mengangkat tubuhnya dengan mudah. Charlotte terkejut, matanya membesar, dan ia langsung meronta-ronta di dalam pelukan pria itu."Hei, hei! Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?!" teriak Charlotte sambil memukul-mukul bahunya, namun kekuatan pria itu jauh melampaui tenaganya.Tuan Harris tidak menghiraukan protesnya. Dengan langkah mantap, ia membawa gadis itu keluar dari tempat itu menuju mobilnya.Beberapa saat kemudian, Charlotte yang mulai kehilangan kesadarannya akibat alkohol, dibawa ke sebuah hotel mewah. Tuan Harris, yang sudah memesan kamar sebelumnya, langsung membawa gadis itu ke salah satu suite yang nyaman. Ia membuka pintu, menyalakan lampu, lalu menidurkan tubuh Charlotte yang lemah di atas ranjang empuk.Pria itu berdiri di tepi ranjang, menatap Charlotte yan
Calvin yang kesakitan menatap Charlotte dengan cemas, merasa dadanya sesak bukan hanya karena rasa sakit fisik tetapi juga ketakutan akan apa yang akan terjadi. Wanita yang berada di sebelahnya, seorang wanita berpenampilan modis dengan rambut tergerai panjang, menatap Charlotte dengan kebingungan sekaligus kemarahan."Ke-kenapa kamu ada di sini?" tanya Calvin dengan suara bergetar, berusaha bangkit dari rasa sakit yang menjalar di tubuhnya.Namun sebelum Calvin bisa menjelaskan lebih jauh, wanita itu, yang tampak tidak tahu malu, melipat tangan di dada dan menatap Charlotte dengan pandangan merendahkan. "Hei, apa kau adalah pacarnya yang ceroboh itu? Kenapa kau begitu kasar?" tanyanya dengan nada sinis.Charlotte tidak menjawab. Matanya hanya menatap wanita itu tajam, penuh amarah yang sudah tidak bisa dibendung. Dengan gerakan cepat, ia meraih cangkir berisi minuman di meja dan menyiramkan isinya ke wajah wanita itu tanpa peringatan. Cairan hangat itu mengalir di wajah wanita itu, m
Di sebuah apartemen yang mewah namun kini kacau balau, pecahan vas bunga, gelas, dan barang-barang antik tersebar di lantai. Suasana di ruangan itu terasa tegang, seperti angin badai yang baru saja berlalu. Di tengah kekacauan itu, seorang wanita muda dengan rambut panjang terurai dan mengenakan pakaian kasual berdiri mematung, tatapannya penuh emosi. Di depannya, seorang pria tampan dengan postur tinggi tegap berdiri dengan wajah dingin, seperti dinding batu yang tak bisa ditembus."Tanpa alasan, kau mengakhiri ini semua? Kenapa?" suara wanita itu pecah, menggema di antara dinding apartemen. Matanya berkilat dengan campuran rasa sakit dan amarah.Pria itu menarik napas panjang, mencoba menghindari tatapan wanita itu. Suaranya terdengar tenang, namun dingin seperti es yang mencair perlahan. "Karena pernikahan kita adalah satu kesalahan besar. Aku sangat menyesalinya," jawabnya, setiap kata bagai belati yang menancap di hati wanita itu.Wanita itu mengepalkan kedua tangannya dengan gem