Elvis duduk diam di kamarnya, menatap sebuah foto keluarga dengan tatapan dalam. Dalam foto itu, seorang wanita muda berdiri di sampingnya, menggendong bayi perempuan yang lucu, sementara ibunya juga berdiri di sisi lain. Wanita muda itu adalah istrinya, Zean—seseorang yang telah lama pergi meninggalkannya.
"Zean, kamu pergi terlalu cepat..." gumam Elvis lirih. "Anak gadis kita sudah besar dan mandiri sekarang. Dia menjadi seorang fotografer profesional, bekerja dengan baik, memiliki banyak teman, dan ceria seperti dirimu."
Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Selama ini aku menikah-cerai, berharap ada seseorang yang bisa merawatnya. Tapi sayang, pernikahanku tidak pernah berjalan mulus."
Elvis terdiam sejenak, lalu menatap foto itu lebih lekat. Suaranya berubah menjadi lebih dalam, penuh rahasia yang selama ini ia pendam.
"Aku adalah Samuel Wilson Franz," bisiknya. "Harus menyamar sebagai orang biasa demi melindungi anak kita. Semasa muda, aku memiliki banyak musuh. Setelah Lolipop lahir, aku terpaksa menyembunyikan identitasku."
Matanya yang biasanya penuh canda kini dipenuhi keseriusan."Semoga saja Lolipop tetap selamat dan aman ke mana pun dia pergi," batin Elvis.
Keesokan harinya.
Daniel berada di sebuah studio besar. Di dalam ruangan itu, ia terlihat duduk bersama seorang pria yang merupakan pemilik studio tersebut.
"Tuan, Anda adalah pebisnis. Kenapa bisa tertarik dengan studio kami? Bahkan rela membelinya dengan harga yang tinggi?" tanya pria itu dengan penasaran.
"Ini urusan kami. Anda cukup jual saja pada kami, sisanya tidak perlu tahu," ucap Levis dengan tegas.
"Iya, iya," jawab pria itu, mengangguk cepat.
Di sisi lain, Charlotte sedang fokus pada layar laptopnya.
"Lolipop, kamu sudah datang? Mari kita pergi ke suatu tempat!" seru seorang rekan kerja pria dengan wajah antusias.
Charlotte menoleh dan menatap pria itu dengan alis sedikit berkerut. "Apakah ini tugas baru?" tanyanya, memastikan.
Pemuda itu, Kelvin, mengangguk cepat. "Iya, perintah atasan. Kita diminta mengambil gambar pemandangan indah di pegunungan."
Mendengar itu, Charlotte langsung bersemangat. Ia bangkit dengan sigap, meraih kameranya, lalu mengenakan tali kamera di lehernya. "Baik, kita pergi sekarang!" ujarnya penuh energi.
Mereka berdua berjalan menuju lift, berbincang ringan tentang perjalanan yang akan mereka lakukan. Namun, ketika hampir sampai, Kelvin tiba-tiba menghentikan langkahnya dan merogoh tasnya dengan wajah cemas.
"Lolipop, kamu tunggu di mobil dulu. Aku lupa sesuatu," ujar Kelvin sambil berbalik arah.
Charlotte mengangguk dan tanpa berpikir panjang, melanjutkan perjalanannya sendiri. Sesampainya di lantai dasar, ia berjalan cepat menuju area parkir dan membuka pintu salah satu mobil yang terparkir di depan studio, mengira itu adalah mobil yang akan mereka gunakan.
Namun, begitu ia masuk dan duduk di dalam, suasana di dalam mobil terasa aneh. Dua pasang mata langsung tertuju padanya.
Charlotte menegang. Ia mendongak dan mendapati dua pria yang duduk di dalam mobil menatapnya dengan ekspresi heran—Levis di kursi pengemudi dan Daniel di sampingnya.
Hening sesaat.
Mata Charlotte membulat ketika kesadarannya kembali. "Maaf, aku salah masuk mobil!" katanya cepat, wajahnya berubah merah karena malu.
Daniel masih menatap Charlotte dengan senyum tertahan, sementara Levis melirik sekilas, seolah menunggu kelanjutan dari kejadian konyol itu.
Charlotte, yang sudah cukup cemas dan malu, segera berusaha membuka pintu mobil untuk segera kabur dari situasi memalukan ini. Namun, dalam kepanikannya, bukannya menarik pegangan pintu, ia malah salah menekan tombol yang justru membuat kaca jendela mobil turun hingga habis.
Angin luar langsung masuk ke dalam mobil, sementara Charlotte terdiam sesaat, mencoba mencerna kebodohannya sendiri.
"Kenapa tidak bisa dibuka? Memalukan sekali," gumamnya dengan suara nyaris tak terdengar, namun tetap tertangkap oleh Daniel yang duduk di sampingnya.
Levis terkekeh pelan, sementara Daniel akhirnya bersuara dengan nada menggoda. "Kau yakin hanya salah masuk mobil? Atau mungkin kau sengaja ingin ikut dengan kami?" Daniel mendekati gadis itu dengan senyuman yang menawan.
"Kenapa pria ini tampan sekali?" batin Charlotte.
"Ka-kamu manusia atau siluman?" tanya Charlotte yang tidak sadar dengan pertanyaannya. Ia terpana melihat ketampanan pria itu.
"Untuk apa aku ikut denganmu?" Charlotte menatap tajam ke arah pria di dalam mobil itu. Ia berusaha menjauh, tangannya panik mengutak-atik tombol pintu mobil agar bisa segera keluar. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya pintu terbuka.
Tanpa membuang waktu, Charlotte langsung melompat keluar dan bergegas mencari mobil rekan kerjanya. Namun, sebelum sempat menemukan mobil Kelvin, ia justru berhenti sejenak, mendesah panjang sambil menggerutu sendiri.
"Sial sekali, dalam hidupku ini sudah ke-85 kali salah masuk mobil, dan 59 kali salah masuk rumah," gumamnya, sambil mengacak rambutnya dengan frustasi.
Daniel tersenyum melihat tingkah gadis itu.
Levis menatap bosnya melalui cermin, suaranya terdengar hati-hati saat berbicara.
"Bos, ada kaki tangan kita yang mengaku pernah melihat orang itu di dalam kota. Sepertinya dia sudah memiliki keluarga. Namun, saat mereka mencoba mengikutinya, dia menghilang begitu saja," lapornya.
"Samuel Wilson Franz..." gumam Daniel. "Aku tidak akan melepaskannya. Cari dia sampai dapat!" perintahnya dengan nada tegas.
"Aku curiga dia telah mengganti identitasnya, itulah kenapa kita kesulitan melacaknya." Daniel menatap ke luar jendela dengan tatapan tajam. "Temukan keluarganya, semua kerabatnya... Aku ingin mereka semua lenyap. Aku akan membunuh mereka satu per satu untuk membalas dendamku!"
Sore itu, Charlotte berjalan santai menuju rumah setelah seharian bekerja. Namun, langkahnya terhenti saat melihat ayahnya, Elvis, berlari terbirit-birit dikejar oleh neneknya, Nanny, yang mengayunkan sapu dengan penuh semangat.
Charlotte menghela napas panjang. "Kali ini apa lagi yang dilakukan Papa?" gumamnya, sudah terbiasa melihat pemandangan seperti ini.
"Dasar anak durhaka! Jangan lari kalau kau berani!" teriak Nanny dengan suara lantang, sapunya melayang ke arah Elvis.
Elvis dengan gesit menghindari pukulan itu, lalu berseru, "Mana ada orang bodoh yang diam saja saat mau dipukul!"
Charlotte hanya bisa menggelengkan kepala, menyadari bahwa drama sore ini belum berakhir.
"Papa, apa yang terjadi?" tanyanya, mencoba memahami situasi.
Elvis, yang masih sibuk menghindari sapuan sapu, berlari melewati Charlotte sambil berteriak, "Cepat lari! Nenekmu kumat lagi! Sudah tuli, tapi tetap keras kepala!"
"Nenek, sudah! Jangan pukul lagi!" katanya, berusaha menahan tangan neneknya.
Namun, alih-alih berhenti, Nanny justru beralih target dan dengan cepat menarik telinga Charlotte.
"Apa?! Kau berani sekali bilang aku pikun!" bentaknya sambil mencubit lebih keras.
Charlotte langsung menjerit. "Aahhh... sakit! Lepaskan, Nek!"
"Bukan pikun, tapi pukul! Nenek selalu saja salah dengar dan ngamuk sendiri!" Charlotte meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman neneknya yang ternyata masih kuat meski sudah tua.
Nanny mendengus kesal. "Kau dan papamu sama saja! Durhaka! Kenapa kau tidak mirip ibumu?! Kenapa malah mirip papamu!"
Nanny mendengus sambil melipat tangan di dada. "Kau dan papamu sama-sama bodoh!" ketusnya dengan nada meremehkan.
Charlotte tak mau kalah. Ia mengangkat dagunya dengan ekspresi menantang. "Kebodohan Papa itu diturunkan oleh Nenek, dan kemudian aku juga mewarisi kebodohan Nenek. Jadi, siapa yang paling bersalah di sini?" balasnya, menatap langsung ke arah neneknya.
Mata Nanny menyipit. Raut wajahnya yang awalnya penuh amarah berubah semakin mengerikan. "Apa yang kau katakan tadi? Coba ulangi lagi kalau berani!" katanya dengan nada tinggi, lalu tanpa basa-basi mengayunkan sapu ke arah cucunya.
Mata Charlotte membelalak, reflek langsung berlari menghindar. "Papa, tolong!!" teriaknya panik, kakinya melangkah cepat tanpa melihat ke depan.
Di saat Charlotte menoleh ke belakang untuk memastikan jaraknya dengan sang nenek, tubuhnya justru menabrak seseorang yang berdiri di sana. Benturan itu cukup kuat hingga membuat keseimbangannya goyah, hampir saja ia terjatuh.
Tangan kokoh pria itu dengan sigap menangkap pinggangnya, menahan tubuh Charlotte agar tidak terhempas ke tanah. Dalam sekejap, wajah mereka berada dalam jarak yang sangat dekat.
Charlotte menahan napas, jantungnya berdegup lebih kencang saat menyadari siapa pria yang kini menatapnya dengan intens.
Daniel Harris.
Mata tajam pria itu menatapnya tanpa berkedip, Charlotte yang masih dalam posisi setengah bersandar di pelukannya bisa merasakan hawa dingin yang dipancarkan pria itu.
Daniel yang dikenal selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan kali ini, Selain musuh lamanya, yang menarik perhatiannya adalah Charlotte Wilson—gadis ceria dengan senyum menawan dan sikap yang begitu polos.
Charlotte bukan sekadar wanita biasa.
Dia adalah putri dari pria yang selama ini Daniel incar—Samuel Wilson Franz. Pria yang telah menghancurkan hidupnya, musuh yang telah lama dia cari untuk membalas dendam.
Apa yang akan terjadi ketika kebenaran terungkap? Apakah Daniel akan tetap mencintai Charlotte, atau justru menjadikannya alat untuk membalaskan dendam yang telah lama membara?
"Ke-Kenapa kamu ada di sini?" tanya Charlotte dengan gugup, matanya memandang pria di hadapannya dengan waspada.Daniel tersenyum santai, namun tatapan matanya tajam dan penuh keyakinan. Tangannya masih melingkar di pinggang Charlotte, membuat gadis itu semakin gelisah."Aku datang mencarimu," jawabnya pelan, suaranya rendah namun penuh ketegasan.Charlotte menelan ludah, tangannya refleks mendorong dada pria itu, meskipun tidak cukup kuat untuk membuatnya mundur. "Apakah aku mengenalmu? Kamu siapa?"Daniel terkekeh pelan, seolah terhibur oleh kepanikan gadis itu. "Namamu Charlotte Wilson, usia 23 tahun. Seorang fotografer berbakat." Ia mendekatkan wajahnya, membuat Charlotte semakin mundur dengan jantung berdegup kencang. "Dengar baik-baik, namaku Daniel Harris... yang dikenal sebagai duda menawan."Charlotte mengernyit, merasa ada sesuatu yang familiar tentang pria ini. "Kenapa namamu tidak asing? Di mana aku pernah mendengarnya?"Daniel tersenyum penuh arti, lalu berbisik tepat di
Malam hari.Charlotte berdiri di dekat jendela kamar, memandangi liontin peninggalan ibunya yang tergantung di lehernya. Jemarinya dengan lembut membuka liontin itu, ia selalu penasaran dengan liontin tersebut."Kenapa kalung ini tidak ada foto Mama? Aku bahkan tidak tahu wajah Mama sampai sekarang," gumamnya dengan suara lirih, matanya berkabut oleh rasa penasaran yang tak kunjung terjawab.Di saat yang sama, Elvis melangkah melewati kamar putrinya. Pandangannya tertarik pada sosok Charlotte yang berdiri diam dengan liontin terbuka di tangannya. Seketika, tatapan Elvis berubah tegang. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan, sesuatu yang tak seharusnya diketahui putrinya.Dengan langkah cepat, Elvis masuk ke dalam kamar."Lolipop," panggilnya, mencoba menghentikan gerakan Charlotte yang tampak begitu fokus pada liontin itu.Charlotte menoleh dan menatap ayahnya dengan heran."Papa? Sudah malam, kenapa belum tidur?" tanyanya, suaranya mengandung keheranan.Elvis menghela napas pe
"Kenapa kamu lagi?" tanya Charlotte, tatapannya tajam menembus sosok pria di hadapannya.Daniel hanya tersenyum, seolah menikmati ketidaksukaan Charlotte kepadanya. Ia melangkah santai, semakin mendekat. "Studio ini telah menjadi milikku," ujarnya dengan nada puas.Charlotte mencengkram erat pegangan tasnya, hatinya bergejolak. "Kalau begitu, aku akan berhenti kerja," katanya tegas, berbalik hendak pergi.Namun, suara Daniel menghentikan langkahnya. "Bukankah kau sudah tanda tangan kontrak lima tahun? Kalau kau pergi, kau harus membayar ganti rugi," katanya dengan nada santai, seakan-akan ia tahu bahwa Charlotte tidak punya pilihan lain.Charlotte menoleh dengan tatapan penuh curiga. "Apa tujuanmu membeli studio ini? Sebenarnya kamu siapa, dan apa maumu?" tuntutnya, suaranya dipenuhi amarah dan ketidakpercayaan.Daniel tersenyum tipis, matanya berkilat penuh arti. "Aku membelinya demi calon istriku. Kalau kita satu tempat kerja, kita bisa bersama s
Charlotte mundur dengan wajah tegang, punggungnya menabrak meja rias di belakangnya. Jantungnya berdebar kencang melihat Daniel semakin mendekat, mata pria itu menyala dengan intensitas yang membuatnya tidak nyaman."Untuk apa kamu di sini?" tanya Charlotte, suaranya gemetar meski berusaha terdengar tegas.Daniel menyandarkan satu tangan ke meja rias, tubuhnya tetap condong ke arah Charlotte, menciptakan jarak yang semakin sempit di antara mereka. "Menunggumu!" jawabnya santai, namun sorot matanya menunjukkan tekad yang sulit digoyahkan. "Sebelum menikah, kita harus saling memahami dan lebih dekat. Bukankah begitu?"Charlotte mengernyit, dadanya naik turun karena napas yang tak teratur. "Siapa yang ingin dekat denganmu," balasnya tajam. Ia mencoba melangkah pergi, namun belum sempat ia bergerak jauh, Daniel sudah menangkap pergelangan tangannya dengan erat."Hei, lepaskan tanganmu!" serunya sambil meronta, tetapi Daniel justru menariknya lebih dekat hingg
Sementara Elvis meninggalkan rumahnya dengan diam-diam, ia melangkah dengan cepat menuju suatu tempat yang telah ia tentukan sebelumnya. Ia mengenakan jaket kulit hitam, kerahnya sedikit dinaikkan, seolah berusaha menyembunyikan sesuatu dari keluarganya. Pandangannya tajam, penuh kehati-hatian, seakan menghindari siapapun yang mungkin melihatnya pergi.Beberapa saat kemudian, sebuah mobil hitam meluncur mendekat dan berhenti tepat di depannya. Seorang pria paruh baya dengan seragam rapi segera keluar dari kursi pengemudi. Dengan gerakan penuh hormat, ia membukakan pintu belakang untuk Elvis.“Bos,” sapanya dengan suara rendah.Elvis tidak membalas sapaan itu dengan kata-kata, hanya mengangguk kecil sebelum masuk ke dalam mobil. Pintu tertutup rapat, dan kendaraan itu segera melaju meninggalkan area perumahan, membawa Elvis menuju tujuannya.Tak lama kemudian, mobil berhenti di tepi sebuah danau yang tenang. Di tempat itu, dua pria paruh baya d
"Tuan Wilson, kedatanganku adalah untuk mengantar hadiah untuk Anda dan Nenek," ucap Daniel dengan tenang, namun penuh wibawa. Ia memberi isyarat kecil kepada para anggotanya.Levis, tangan kanannya yang setia, segera melangkah masuk, diikuti oleh beberapa pria lainnya. Mereka membawa beberapa kotak besar yang diletakkan rapi di meja ruang tamu. Begitu tutupnya dibuka, kilauan emas serta tumpukan uang dalam ikatan rapi seketika memenuhi ruangan dengan aura kemewahan.Elvis, yang sejak tadi berdiri dengan santai, kini terperanjat. Matanya membulat melihat jumlah uang dan batang emas yang tak sedikit. Ia bahkan sempat mengusap matanya, memastikan bahwa ini bukan sekadar ilusi."Ini semua untuk apa?" tanyanya, suaranya dipenuhi rasa penasaran sekaligus waspada.Daniel, yang sejak tadi tetap menjaga senyumnya, melangkah lebih dekat. Dengan penuh percaya diri, ia berkata, "Hadiah dariku untuk melamar putrimu, Paman."Suasana mendadak sunyi. Hanya suara
"Itu hanya janji Nenek, bukan aku. Jadi tidak sah!" ujar Charlotte dengan nada tegas.Nanny menatapnya dengan sorot mata tajam, bibirnya menipis karena kesal. "Aku adalah nenekmu. Kenapa tidak sah? Lebih baik kau cepat menikah agar tidak menjadi beban dalam keluarga ini!" katanya dengan suara dingin, seakan tak peduli dengan perasaan Charlotte.Charlotte melirik tajam ke arah neneknya. "Tega sekali menganggapku sebagai beban," gumamnya lirih."Nenek, Paman, sebenarnya aku dan Charlotte bukan hanya sekadar saling mengenal begitu saja. Hubungan kami juga sudah jauh," ujar Daniel dengan nada tenang namun penuh keyakinan.Charlotte langsung membelalakkan mata, wajahnya berubah drastis dari keterkejutan menjadi panik. " Dia akan beritahu kejadian malam itu?!" batinnya berteriak. Tanpa berpikir panjang, ia segera menarik lengan Daniel dengan kuat dan berdiri dengan cepat."Cepat ikut aku!" serunya panik, tanpa menunggu jawaban dari Daniel.Daniel
Di sisi lain, Elvis berdiri di luar rumah, memperhatikan mobil mewah yang masih terparkir di tempatnya. Pandangannya tidak lepas dari kendaraan itu, seolah mencoba menembus kaca gelapnya untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi di dalam. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja."Apakah dia serius dengan Lolipop atau hanya untuk bersenang-senang?" gumamnya pelan, kedua alisnya bertaut. "Duda… Apa alasannya menjadi duda? Aneh sekali. Kenapa tatapannya tidak asing juga? Sebenarnya di mana aku pernah melihatnya?"Pikiran Elvis semakin berkecamuk. Pria itu bukan hanya sekadar orang asing baginya, ada sesuatu tentangnya yang terasa familiar. Tapi, kapan dan di mana ia pernah bertemu dengannya? Ia mencoba mengingat, tapi bayangan itu selalu mengabur sebelum ia bisa menangkapnya dengan jelas."Bagaimanapun, identitasku tidak boleh ada yang tahu. Andaikan suatu saat Lolipop menikah... demi melindunginya, rahasia ini
Keesokan harinya.Charlotte yang sudah bangun kini duduk di sebuah ruangan bersama Daniel. Matanya masih sedikit sayu, namun pikirannya sudah cukup jernih untuk memahami situasi. Di hadapannya, Levis meletakkan sebuah dokumen di atas meja dengan ekspresi datar, seolah apa yang sedang terjadi hanyalah urusan bisnis biasa.Charlotte mengerutkan kening, menatap dokumen itu dengan penuh kebingungan. Ia mengulurkan tangan dan meraih kertas tersebut dengan ragu."Ini apa?" tanyanya, suaranya terdengar hati-hati.Daniel, yang duduk di seberangnya, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai. Senyuman tipis terukir di wajahnya, seolah ia sudah memperkirakan reaksi Charlotte."Silakan dibaca!" jawabnya, tenang dan penuh percaya diri.Charlotte membuka halaman pertama dan mulai membaca isi dokumen dengan teliti. Matanya bergerak cepat, namun semakin dalam ia membaca, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benaknya."Pernikahan kontrak selama
"Daniel, gadis mana yang menjadi sasaranmu kali ini?" tanya Sannie dengan nada penuh rasa ingin tahu.Pria itu hanya tersenyum kecil, ia menjawab dengan santai, "Kalian akan segera mengetahuinya.""Apakah dia akan patuh seperti istri pertamamu atau... lembut seperti mantan pacarmu?" katanya dengan sengaja, mencoba memancing reaksi dari Daniel."Kalau ingin tahu, setelah berjumpa dengannya, kalian bisa mengujinya," jawab Daniel dengan nada misterius. Ia lalu beranjak dari sana---Di sisi lain, Charlotte membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, dan kepalanya terasa sedikit berat. Ia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya menyadari sesuatu yang aneh.Ruangan ini... bukan kamarnya.Ia segera bangkit dengan panik, matanya melirik ke sekeliling. Dinding putih bersih, jendela besar dengan tirai tertutup, serta sebuah pintu di sudut ruangan. Semuanya asing."Aku di mana? Rumah siapa ini?" bisiknya pelan, jantungny
Di saat situasi memanas, tiba-tiba puluhan mobil melaju cepat dan berhenti di depan pusat perbelanjaan. Suara decitan ban yang menggesek aspal menarik perhatian para pengunjung yang berlalu-lalang. Beberapa orang mulai berbisik, bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi.Dari mobil-mobil itu, puluhan pria berpakaian gelap turun dengan langkah mantap. Tatapan tajam mereka tertuju pada sekelompok orang yang tengah mengepung Daniel dan Charlotte. Kehadiran mereka seketika mengubah suasana, membuat lawan-lawan Daniel terkejut melihat jumlah yang jauh lebih unggul.Daniel, yang masih menggenggam tangan Charlotte, melangkah maju dengan tenang. Matanya menyapu orang-orang yang mencoba mengancamnya, lalu bibirnya melengkung membentuk senyuman dingin."Tidak ada pilihan untuk kalian selain menyerah," ucapnya dengan nada penuh keyakinan.Charlotte menatap Daniel dengan kecurigaan yang semakin kuat. "Pria ini... siapa sebenarnya? Kenapa dia memiliki begitu banyak orang yang tampak berbahaya
Pusat perbelanjaan terbesar di kota itu dipenuhi oleh cahaya gemerlap dan suara riuh orang-orang yang berlalu lalang. Daniel berjalan santai di samping Charlotte, sesekali melirik ke arahnya untuk memastikan gadis itu tidak lagi murung. Mereka menuju salah satu toko kamera terbaik, tempat Charlotte bisa memilih pengganti kamera kesayangannya yang telah hancur.Di sisi lain, di sudut pusat perbelanjaan yang lebih gelap, beberapa pria berbadan tegap berdiri dalam bayang-bayang. Mata mereka tajam, tidak pernah lepas dari sosok Daniel dan Charlotte yang sibuk melihat-lihat."Apakah dia tidak membawa pengawal lain?" salah satu pria berbisik kepada rekannya, tatapannya tak berkedip mengamati Daniel. "Bukankah biasanya dia ditemani oleh sejumlah orang? Kenapa kali ini hanya seorang Levis?"Pria di sebelahnya menyipitkan mata, mencoba menganalisis situasi. "Mungkin dia lengah... atau mungkin ini jebakan," jawabnya dengan suara rendah, tetap waspada.Sementara itu, Levis yang berjalan sedikit
Kelvin yang baru tiba berdiri tidak jauh dari Daniel. Matanya langsung tertuju pada kamera yang kini hancur di lantai. Serpihan lensa berserakan, bodinya retak parah, dan jelas tidak bisa diperbaiki lagi.Wajah Kelvin menegang, napasnya tercekat. "Gawat! Kamera itu adalah kesayangannya," gumamnya pelan namun jelas. "Dia bahkan lebih suka menggunakan kamera itu daripada kamera studio. Sekarang sudah hancur… suasana hatinya pasti sangat buruk."Mendengar ucapan Kelvin, Daniel menoleh sekilas, ekspresinya masih santai. Sementara itu, sang manager masih terus membela Candy. Dengan suara tegas dan otoriter, dia kembali menekan Charlotte."Lolipop, cepat minta maaf! Kalau tidak, aku sebagai manager akan memindahkanmu ke tempat lain!" bentaknya dengan penuh keyakinan, berpikir Charlotte akan tunduk.Namun, Charlotte tidak gentar. Ia berdiri tegak, kedua tangannya mengepal erat, Dengan suara dingin dan menusuk, Charlotte berkata, "Seorang bintang yang merusak barang milik fotografer adalah k
Charlotte berdiri tegak, wajahnya tanpa ekspresi takut sedikit pun. Ia melirik tajam ke arah Manager Lex yang masih terdiam, seolah tak bisa membalas kata-katanya."Hanya seorang manajer ingin memecatku? Apakah kau cukup layak? Aku telah menandatangani kontrak dengan studio ini. Bahkan walau atasan kita turun tangan, mereka tidak bisa memecatku begitu saja. Apalagi kamu," ucap Charlotte dengan nada penuh percaya diri.Mata Manager Lex melebar. Bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin membalas, namun tak ada kata-kata yang keluar. Ia tahu Charlotte tidak sembarang bicara. Kontraknya memang kuat, dan jika ia dikeluarkan tanpa alasan yang sah, studio justru bisa menghadapi masalah hukum.Di sisi lain, Candy semakin geram. Matanya berkilat penuh amarah, tetapi Charlotte tak memberi kesempatan baginya untuk membalas."Hanya seorang bintang, sudah angkuh. Selama aku bekerja di bidang ini, aku sudah bertemu banyak selebriti, bahkan mereka jauh lebih terkenal darim
Di sisi lain, Elvis berdiri di luar rumah, memperhatikan mobil mewah yang masih terparkir di tempatnya. Pandangannya tidak lepas dari kendaraan itu, seolah mencoba menembus kaca gelapnya untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi di dalam. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja."Apakah dia serius dengan Lolipop atau hanya untuk bersenang-senang?" gumamnya pelan, kedua alisnya bertaut. "Duda… Apa alasannya menjadi duda? Aneh sekali. Kenapa tatapannya tidak asing juga? Sebenarnya di mana aku pernah melihatnya?"Pikiran Elvis semakin berkecamuk. Pria itu bukan hanya sekadar orang asing baginya, ada sesuatu tentangnya yang terasa familiar. Tapi, kapan dan di mana ia pernah bertemu dengannya? Ia mencoba mengingat, tapi bayangan itu selalu mengabur sebelum ia bisa menangkapnya dengan jelas."Bagaimanapun, identitasku tidak boleh ada yang tahu. Andaikan suatu saat Lolipop menikah... demi melindunginya, rahasia ini
"Itu hanya janji Nenek, bukan aku. Jadi tidak sah!" ujar Charlotte dengan nada tegas.Nanny menatapnya dengan sorot mata tajam, bibirnya menipis karena kesal. "Aku adalah nenekmu. Kenapa tidak sah? Lebih baik kau cepat menikah agar tidak menjadi beban dalam keluarga ini!" katanya dengan suara dingin, seakan tak peduli dengan perasaan Charlotte.Charlotte melirik tajam ke arah neneknya. "Tega sekali menganggapku sebagai beban," gumamnya lirih."Nenek, Paman, sebenarnya aku dan Charlotte bukan hanya sekadar saling mengenal begitu saja. Hubungan kami juga sudah jauh," ujar Daniel dengan nada tenang namun penuh keyakinan.Charlotte langsung membelalakkan mata, wajahnya berubah drastis dari keterkejutan menjadi panik. " Dia akan beritahu kejadian malam itu?!" batinnya berteriak. Tanpa berpikir panjang, ia segera menarik lengan Daniel dengan kuat dan berdiri dengan cepat."Cepat ikut aku!" serunya panik, tanpa menunggu jawaban dari Daniel.Daniel
"Tuan Wilson, kedatanganku adalah untuk mengantar hadiah untuk Anda dan Nenek," ucap Daniel dengan tenang, namun penuh wibawa. Ia memberi isyarat kecil kepada para anggotanya.Levis, tangan kanannya yang setia, segera melangkah masuk, diikuti oleh beberapa pria lainnya. Mereka membawa beberapa kotak besar yang diletakkan rapi di meja ruang tamu. Begitu tutupnya dibuka, kilauan emas serta tumpukan uang dalam ikatan rapi seketika memenuhi ruangan dengan aura kemewahan.Elvis, yang sejak tadi berdiri dengan santai, kini terperanjat. Matanya membulat melihat jumlah uang dan batang emas yang tak sedikit. Ia bahkan sempat mengusap matanya, memastikan bahwa ini bukan sekadar ilusi."Ini semua untuk apa?" tanyanya, suaranya dipenuhi rasa penasaran sekaligus waspada.Daniel, yang sejak tadi tetap menjaga senyumnya, melangkah lebih dekat. Dengan penuh percaya diri, ia berkata, "Hadiah dariku untuk melamar putrimu, Paman."Suasana mendadak sunyi. Hanya suara