"Ke-Kenapa kamu ada di sini?" tanya Charlotte dengan gugup, matanya memandang pria di hadapannya dengan waspada.
Daniel tersenyum santai, namun tatapan matanya tajam dan penuh keyakinan. Tangannya masih melingkar di pinggang Charlotte, membuat gadis itu semakin gelisah.
"Aku datang mencarimu," jawabnya pelan, suaranya rendah namun penuh ketegasan.
Charlotte menelan ludah, tangannya refleks mendorong dada pria itu, meskipun tidak cukup kuat untuk membuatnya mundur. "Apakah aku mengenalmu? Kamu siapa?"
Daniel terkekeh pelan, seolah terhibur oleh kepanikan gadis itu. "Namamu Charlotte Wilson, usia 23 tahun. Seorang fotografer berbakat." Ia mendekatkan wajahnya, membuat Charlotte semakin mundur dengan jantung berdegup kencang. "Dengar baik-baik, namaku Daniel Harris... yang dikenal sebagai duda menawan."
Charlotte mengernyit, merasa ada sesuatu yang familiar tentang pria ini. "Kenapa namamu tidak asing? Di mana aku pernah mendengarnya?"
Daniel tersenyum penuh arti, lalu berbisik tepat di telinganya, suaranya mengandung godaan yang berbahaya. "Karena kita pernah bertemu sebelumnya. Saat itu kau sedang mabuk dan tidur dengan begitu manis di sampingku."
Charlotte terbelalak, darahnya seakan membeku. "A-apa?!" Dengan panik, ia mendorong Daniel menjauh darinya, napasnya memburu. "Kau adalah pria itu?"
Namun sebelum Daniel bisa menjawab, tiba-tiba—
PLAK!
Charlotte melompat kesakitan ketika tongkat sapu Nanny menghantam kakinya. "Aahh!" serunya, langsung bersembunyi di belakang Daniel seperti anak kecil yang ketahuan berbuat nakal.
"Hei! Masih terang begini, kau sudah berani dipeluk pria di depan banyak orang?!" bentak Nanny dengan mata melotot tajam.
Charlotte mengerjap panik, tangannya mencengkeram lengan Daniel. "Nenek, di sini hanya ada kita! Tidak ada siapa pun!" protesnya. "Setiap kali nenek mengejar aku dan papa, tidak ada yang berani keluar, kan?"
"Masih berani melawan?" ketus Nanny, wajahnya mengeras saat ia mengangkat sapunya tinggi-tinggi, bersiap mengayunkannya ke arah cucunya. Charlotte, yang ketakutan, segera bersembunyi di belakang Daniel, mencengkeram ujung bajunya.
Namun, sebelum sapu itu melayang, Daniel dengan sigap menahan tangan Nanny.
"Nenek, aku adalah teman cucumu," ujarnya santai, bibirnya melengkung dalam senyum menenangkan.
"Apa?" Nanny menyipitkan mata, mencondongkan tubuhnya ke depan, mencoba menangkap kata-kata yang baru saja diucapkan pemuda itu.
Charlotte, yang masih bersembunyi di belakang Daniel, menatapnya tajam. "Sejak kapan kita berteman? Untuk apa kamu ke sini?" suaranya penuh kewaspadaan.
Nanny menggerutu sebelum menoleh kembali ke cucunya. "Lolipop, apakah kau berhutang padanya? Berapa yang kau hutang?" Nada suaranya meninggi.
Charlotte mendengus kesal. "Aku tidak berhutang padanya sama sekali! Aku bahkan tidak mengenalnya!" serunya tegas.
Nanny menatap Daniel dengan penuh selidik. "Lalu, untuk apa dia ke sini? Dan siapa dia sebenarnya?"
Daniel memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, senyumnya semakin lebar. "Aku datang untuk melamar cucu Nenek, karena hubungan kami sudah sangat dekat," jawabnya santai.
Charlotte, yang sejak tadi menegang, langsung membelalak kaget. Panik, ia segera membekap mulut pria itu dengan kedua tangannya.
"Jangan asal bicara! Kita tidak dekat sama sekali! Pergi sana!" seru Charlotte dengan wajah memerah karena kesal.
"Nenek, namaku Daniel Harris, seorang CEO," ujarnya dengan nada tenang namun berwibawa. "Aku juga seorang duda. Aku telah bercerai selama dua bulan."
Charlotte mendengus sinis, melipat tangan di depan dada.
"Banyak hal yang ingin aku bicarakan dengan Nenek. Apakah aku akan diberi waktu?" lanjut Daniel, menatap Nanny dengan penuh keseriusan.
Nanny menatap pemuda itu dengan sorot tajam. "Banyak hal?" gumamnya, lalu mencibir. "Duda baru dua bulan sudah mau menikah lagi. Apakah kau mesum?" tanyanya dengan nada mencela.
Daniel menoleh ke arah Charlotte, yang sedang menatapnya dengan wajah sebal. Ia mendekat sedikit, membuat Charlotte refleks mundur, tetapi pria itu dengan cepat membisikkan sesuatu di telinganya.
"Kalau kau menolak juga tidak apa-apa," ucapnya dengan nada rendah namun jelas, membuat bulu kuduk Charlotte meremang. "Aku bisa membuat Nenek dan Ayahmu menerimaku. Aku hanya perlu memberitahu mereka bahwa kita sudah pernah tidur satu malam."
Charlotte langsung membeku di tempat. Wajahnya seketika pucat, dan hatinya berdebar kencang. Ia menatap Daniel dengan mata membelalak, sementara pria itu hanya tersenyum tipis, menikmati reaksinya.
Beberapa saat kemudian...
Daniel dan Nanny duduk bersama di dalam ruangan itu.
Sementara itu, Charlotte berdiri di samping ayahnya sambil berbisik pelan.
"Lolipop, dari mana kau mengenal pria tampan ini? Wajahnya memang menarik, tapi tatapannya sedikit mencurigakan," bisik Elvis sambil melirik tajam ke arah Daniel.
Charlotte mengerutkan kening. "Aku lupa di mana mengenalnya," jawabnya dengan suara ragu.
Tapi perhatian Charlotte segera beralih ke sesuatu yang lain. Matanya menatap lekat-lekat ke arah Nanny dan Daniel yang tampak berbicara dengan begitu santai.
"Ada yang aneh di sini," gumamnya pelan.
Elvis ikut mengamati. "Apa yang aneh?" tanyanya penasaran.
Charlotte menoleh ke ayahnya. "Setiap kali kita bicara dengan nenek, kita harus mengeraskan suara sekuat tenaga, sedangkan pria itu hanya perlu berbisik, dan nenek langsung bisa mendengarnya. Apakah nenek benar-benar tuli?" tanyanya dengan penuh kecurigaan.
Elvis menghela napas panjang sambil mengangguk. "Aku juga penasaran. Selain itu, nenekmu sering salah dengar, lalu tanpa alasan yang jelas kita malah dihajarnya."
Charlotte mendengus. "Selain tuli, pelupa, nenek juga mudah emosi," katanya sambil melipat tangan di dada.
Tiba-tiba, suara Nanny terdengar lantang. "Elvis, untuk apa kau berdiri di sana terus? Cepat duduk dan berkenalan dengan Daniel, calon menantumu!"
Charlotte tersedak mendengar ucapan itu, sementara Elvis menatap ibunya dengan ekspresi syok. "Ma, kita bahkan belum mengenalnya. Kenapa begitu cepat menganggapnya sebagai menantu?" protes Elvis.
Daniel berdiri dan menghampiri Elvis sebelum mengulurkan tangannya dengan percaya diri. "Paman, serahkan putrimu padaku. Mulai hari ini, aku akan mengurus semua yang berkaitan dengan kehidupannya."
Charlotte hampir tersedak untuk kedua kalinya. "Mengurus kehidupanku?" gumamnya dengan dahi berkerut.
Elvis mempersempit matanya. "Aneh sekali, kenapa kau menyukainya?" tanyanya, matanya penuh selidik.
Charlotte ikut menyela dengan nada tak percaya. "Benar kata Papa, kenapa kamu memilihku? Padahal kita sama-sama tidak saling kenal."
Elvis tiba-tiba terkekeh pelan, lalu menatap Daniel dengan ekspresi geli. "Kalau tidak saling kenal itu masih wajar. Tapi yang menjadi masalah adalah, apa kelebihan Lolipop sehingga bisa membuatmu tertarik padanya?"
Charlotte langsung menatap ayahnya dengan perasaan tidak enak.
Elvis melanjutkan dengan nada santai namun mematikan, "Selain pendek, dia juga tidak begitu cantik. Dia ceroboh, pelupa, dan sering salah masuk rumah serta mobil. Jadi, tidak ada kelebihan sama sekali."
Charlotte membelalakkan mata. Rahangnya mengeras saat menatap tajam ke arah ayahnya.
"Dasar Papa durhaka, bisanya dia menghinaku di depan orang!" gerutunya dalam hati sambil mengepalkan tangan.
Daniel yang sejak tadi hanya tersenyum tipis, tiba-tiba menoleh ke Charlotte dan berkata dengan suara tenang, "Aku menyukainya karena dia berbeda."
Malam hari.Charlotte berdiri di dekat jendela kamar, memandangi liontin peninggalan ibunya yang tergantung di lehernya. Jemarinya dengan lembut membuka liontin itu, ia selalu penasaran dengan liontin tersebut."Kenapa kalung ini tidak ada foto Mama? Aku bahkan tidak tahu wajah Mama sampai sekarang," gumamnya dengan suara lirih, matanya berkabut oleh rasa penasaran yang tak kunjung terjawab.Di saat yang sama, Elvis melangkah melewati kamar putrinya. Pandangannya tertarik pada sosok Charlotte yang berdiri diam dengan liontin terbuka di tangannya. Seketika, tatapan Elvis berubah tegang. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan, sesuatu yang tak seharusnya diketahui putrinya.Dengan langkah cepat, Elvis masuk ke dalam kamar."Lolipop," panggilnya, mencoba menghentikan gerakan Charlotte yang tampak begitu fokus pada liontin itu.Charlotte menoleh dan menatap ayahnya dengan heran."Papa? Sudah malam, kenapa belum tidur?" tanyanya, suaranya mengandung keheranan.Elvis menghela napas pe
"Kenapa kamu lagi?" tanya Charlotte, tatapannya tajam menembus sosok pria di hadapannya.Daniel hanya tersenyum, seolah menikmati ketidaksukaan Charlotte kepadanya. Ia melangkah santai, semakin mendekat. "Studio ini telah menjadi milikku," ujarnya dengan nada puas.Charlotte mencengkram erat pegangan tasnya, hatinya bergejolak. "Kalau begitu, aku akan berhenti kerja," katanya tegas, berbalik hendak pergi.Namun, suara Daniel menghentikan langkahnya. "Bukankah kau sudah tanda tangan kontrak lima tahun? Kalau kau pergi, kau harus membayar ganti rugi," katanya dengan nada santai, seakan-akan ia tahu bahwa Charlotte tidak punya pilihan lain.Charlotte menoleh dengan tatapan penuh curiga. "Apa tujuanmu membeli studio ini? Sebenarnya kamu siapa, dan apa maumu?" tuntutnya, suaranya dipenuhi amarah dan ketidakpercayaan.Daniel tersenyum tipis, matanya berkilat penuh arti. "Aku membelinya demi calon istriku. Kalau kita satu tempat kerja, kita bisa bersama s
Di sebuah apartemen yang mewah namun kini kacau balau, pecahan vas bunga, gelas, dan barang-barang antik tersebar di lantai. Suasana di ruangan itu terasa tegang, seperti angin badai yang baru saja berlalu. Di tengah kekacauan itu, seorang wanita muda dengan rambut panjang terurai dan mengenakan pakaian kasual berdiri mematung, tatapannya penuh emosi. Di depannya, seorang pria tampan dengan postur tinggi tegap berdiri dengan wajah dingin, seperti dinding batu yang tak bisa ditembus."Tanpa alasan, kau mengakhiri ini semua? Kenapa?" suara wanita itu pecah, menggema di antara dinding apartemen. Matanya berkilat dengan campuran rasa sakit dan amarah.Pria itu menarik napas panjang, mencoba menghindari tatapan wanita itu. Suaranya terdengar tenang, namun dingin seperti es yang mencair perlahan. "Karena pernikahan kita adalah satu kesalahan besar. Aku sangat menyesalinya," jawabnya, setiap kata bagai belati yang menancap di hati wanita itu.Wanita itu mengepalkan kedua tangannya dengan gem
Calvin yang kesakitan menatap Charlotte dengan cemas, merasa dadanya sesak bukan hanya karena rasa sakit fisik tetapi juga ketakutan akan apa yang akan terjadi. Wanita yang berada di sebelahnya, seorang wanita berpenampilan modis dengan rambut tergerai panjang, menatap Charlotte dengan kebingungan sekaligus kemarahan."Ke-kenapa kamu ada di sini?" tanya Calvin dengan suara bergetar, berusaha bangkit dari rasa sakit yang menjalar di tubuhnya.Namun sebelum Calvin bisa menjelaskan lebih jauh, wanita itu, yang tampak tidak tahu malu, melipat tangan di dada dan menatap Charlotte dengan pandangan merendahkan. "Hei, apa kau adalah pacarnya yang ceroboh itu? Kenapa kau begitu kasar?" tanyanya dengan nada sinis.Charlotte tidak menjawab. Matanya hanya menatap wanita itu tajam, penuh amarah yang sudah tidak bisa dibendung. Dengan gerakan cepat, ia meraih cangkir berisi minuman di meja dan menyiramkan isinya ke wajah wanita itu tanpa peringatan. Cairan hangat itu mengalir di wajah wanita itu, m
"Tidak waras!" gumam Charlotte dengan kesal, berusaha melangkah pergi meninggalkan pria asing itu.Namun, sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, Tuan Harris, yang tersenyum tipis penuh arti, tiba-tiba membungkuk dan mengangkat tubuhnya dengan mudah. Charlotte terkejut, matanya membesar, dan ia langsung meronta-ronta di dalam pelukan pria itu."Hei, hei! Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?!" teriak Charlotte sambil memukul-mukul bahunya, namun kekuatan pria itu jauh melampaui tenaganya.Tuan Harris tidak menghiraukan protesnya. Dengan langkah mantap, ia membawa gadis itu keluar dari tempat itu menuju mobilnya.Beberapa saat kemudian, Charlotte yang mulai kehilangan kesadarannya akibat alkohol, dibawa ke sebuah hotel mewah. Tuan Harris, yang sudah memesan kamar sebelumnya, langsung membawa gadis itu ke salah satu suite yang nyaman. Ia membuka pintu, menyalakan lampu, lalu menidurkan tubuh Charlotte yang lemah di atas ranjang empuk.Pria itu berdiri di tepi ranjang, menatap Charlotte yan
Charlotte berjalan pelan menyusuri deretan rumah yang terlihat seragam, dengan model dan warna hijau yang sama persis. Wajahnya tampak bingung, seolah memikirkan sesuatu yang mengganjal di benaknya."Kalau kami benar-benar melakukannya, seharusnya aku pasti merasa sakit..." gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Ia mengernyitkan dahi, menatap langkah kakinya yang terus membawa dirinya maju. "Tapi kenapa aku tidak merasakan apa-apa? Tidak mungkin seorang pria melepaskan semua pakaianku tanpa melakukan apa pun." Ia berhenti sejenak, menatap ke depan dengan pandangan kosong. "Di dunia ini, mana ada pria yang tidak tergoda dengan tubuh wanita..." lanjutnya dengan nada lirih, mencoba mencari jawaban atas kebingungannya.Charlotte menghela napas panjang, akhirnya sampai di salah satu rumah. Dengan santai, ia membuka pintu dan melangkah masuk. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat orang-orang di dalam rumah tersebut. Semua kepala menoleh ke arahnya dengan pandangan heran."Charlot
Elvis duduk diam di kamarnya, menatap sebuah foto keluarga dengan tatapan dalam. Dalam foto itu, seorang wanita muda berdiri di sampingnya, menggendong bayi perempuan yang lucu, sementara ibunya juga berdiri di sisi lain. Wanita muda itu adalah istrinya, Zean—seseorang yang telah lama pergi meninggalkannya."Zean, kamu pergi terlalu cepat..." gumam Elvis lirih. "Anak gadis kita sudah besar dan mandiri sekarang. Dia menjadi seorang fotografer profesional, bekerja dengan baik, memiliki banyak teman, dan ceria seperti dirimu."Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Selama ini aku menikah-cerai, berharap ada seseorang yang bisa merawatnya. Tapi sayang, pernikahanku tidak pernah berjalan mulus."Elvis terdiam sejenak, lalu menatap foto itu lebih lekat. Suaranya berubah menjadi lebih dalam, penuh rahasia yang selama ini ia pendam."Aku adalah Samuel Wilson Franz," bisiknya. "Harus menyamar sebagai orang biasa demi melindungi anak kita. Semasa muda, aku memiliki banyak musuh. Setela
"Kenapa kamu lagi?" tanya Charlotte, tatapannya tajam menembus sosok pria di hadapannya.Daniel hanya tersenyum, seolah menikmati ketidaksukaan Charlotte kepadanya. Ia melangkah santai, semakin mendekat. "Studio ini telah menjadi milikku," ujarnya dengan nada puas.Charlotte mencengkram erat pegangan tasnya, hatinya bergejolak. "Kalau begitu, aku akan berhenti kerja," katanya tegas, berbalik hendak pergi.Namun, suara Daniel menghentikan langkahnya. "Bukankah kau sudah tanda tangan kontrak lima tahun? Kalau kau pergi, kau harus membayar ganti rugi," katanya dengan nada santai, seakan-akan ia tahu bahwa Charlotte tidak punya pilihan lain.Charlotte menoleh dengan tatapan penuh curiga. "Apa tujuanmu membeli studio ini? Sebenarnya kamu siapa, dan apa maumu?" tuntutnya, suaranya dipenuhi amarah dan ketidakpercayaan.Daniel tersenyum tipis, matanya berkilat penuh arti. "Aku membelinya demi calon istriku. Kalau kita satu tempat kerja, kita bisa bersama s
Malam hari.Charlotte berdiri di dekat jendela kamar, memandangi liontin peninggalan ibunya yang tergantung di lehernya. Jemarinya dengan lembut membuka liontin itu, ia selalu penasaran dengan liontin tersebut."Kenapa kalung ini tidak ada foto Mama? Aku bahkan tidak tahu wajah Mama sampai sekarang," gumamnya dengan suara lirih, matanya berkabut oleh rasa penasaran yang tak kunjung terjawab.Di saat yang sama, Elvis melangkah melewati kamar putrinya. Pandangannya tertarik pada sosok Charlotte yang berdiri diam dengan liontin terbuka di tangannya. Seketika, tatapan Elvis berubah tegang. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan, sesuatu yang tak seharusnya diketahui putrinya.Dengan langkah cepat, Elvis masuk ke dalam kamar."Lolipop," panggilnya, mencoba menghentikan gerakan Charlotte yang tampak begitu fokus pada liontin itu.Charlotte menoleh dan menatap ayahnya dengan heran."Papa? Sudah malam, kenapa belum tidur?" tanyanya, suaranya mengandung keheranan.Elvis menghela napas pe
"Ke-Kenapa kamu ada di sini?" tanya Charlotte dengan gugup, matanya memandang pria di hadapannya dengan waspada.Daniel tersenyum santai, namun tatapan matanya tajam dan penuh keyakinan. Tangannya masih melingkar di pinggang Charlotte, membuat gadis itu semakin gelisah."Aku datang mencarimu," jawabnya pelan, suaranya rendah namun penuh ketegasan.Charlotte menelan ludah, tangannya refleks mendorong dada pria itu, meskipun tidak cukup kuat untuk membuatnya mundur. "Apakah aku mengenalmu? Kamu siapa?"Daniel terkekeh pelan, seolah terhibur oleh kepanikan gadis itu. "Namamu Charlotte Wilson, usia 23 tahun. Seorang fotografer berbakat." Ia mendekatkan wajahnya, membuat Charlotte semakin mundur dengan jantung berdegup kencang. "Dengar baik-baik, namaku Daniel Harris... yang dikenal sebagai duda menawan."Charlotte mengernyit, merasa ada sesuatu yang familiar tentang pria ini. "Kenapa namamu tidak asing? Di mana aku pernah mendengarnya?"Daniel tersenyum penuh arti, lalu berbisik tepat di
Elvis duduk diam di kamarnya, menatap sebuah foto keluarga dengan tatapan dalam. Dalam foto itu, seorang wanita muda berdiri di sampingnya, menggendong bayi perempuan yang lucu, sementara ibunya juga berdiri di sisi lain. Wanita muda itu adalah istrinya, Zean—seseorang yang telah lama pergi meninggalkannya."Zean, kamu pergi terlalu cepat..." gumam Elvis lirih. "Anak gadis kita sudah besar dan mandiri sekarang. Dia menjadi seorang fotografer profesional, bekerja dengan baik, memiliki banyak teman, dan ceria seperti dirimu."Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Selama ini aku menikah-cerai, berharap ada seseorang yang bisa merawatnya. Tapi sayang, pernikahanku tidak pernah berjalan mulus."Elvis terdiam sejenak, lalu menatap foto itu lebih lekat. Suaranya berubah menjadi lebih dalam, penuh rahasia yang selama ini ia pendam."Aku adalah Samuel Wilson Franz," bisiknya. "Harus menyamar sebagai orang biasa demi melindungi anak kita. Semasa muda, aku memiliki banyak musuh. Setela
Charlotte berjalan pelan menyusuri deretan rumah yang terlihat seragam, dengan model dan warna hijau yang sama persis. Wajahnya tampak bingung, seolah memikirkan sesuatu yang mengganjal di benaknya."Kalau kami benar-benar melakukannya, seharusnya aku pasti merasa sakit..." gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Ia mengernyitkan dahi, menatap langkah kakinya yang terus membawa dirinya maju. "Tapi kenapa aku tidak merasakan apa-apa? Tidak mungkin seorang pria melepaskan semua pakaianku tanpa melakukan apa pun." Ia berhenti sejenak, menatap ke depan dengan pandangan kosong. "Di dunia ini, mana ada pria yang tidak tergoda dengan tubuh wanita..." lanjutnya dengan nada lirih, mencoba mencari jawaban atas kebingungannya.Charlotte menghela napas panjang, akhirnya sampai di salah satu rumah. Dengan santai, ia membuka pintu dan melangkah masuk. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat orang-orang di dalam rumah tersebut. Semua kepala menoleh ke arahnya dengan pandangan heran."Charlot
"Tidak waras!" gumam Charlotte dengan kesal, berusaha melangkah pergi meninggalkan pria asing itu.Namun, sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, Tuan Harris, yang tersenyum tipis penuh arti, tiba-tiba membungkuk dan mengangkat tubuhnya dengan mudah. Charlotte terkejut, matanya membesar, dan ia langsung meronta-ronta di dalam pelukan pria itu."Hei, hei! Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?!" teriak Charlotte sambil memukul-mukul bahunya, namun kekuatan pria itu jauh melampaui tenaganya.Tuan Harris tidak menghiraukan protesnya. Dengan langkah mantap, ia membawa gadis itu keluar dari tempat itu menuju mobilnya.Beberapa saat kemudian, Charlotte yang mulai kehilangan kesadarannya akibat alkohol, dibawa ke sebuah hotel mewah. Tuan Harris, yang sudah memesan kamar sebelumnya, langsung membawa gadis itu ke salah satu suite yang nyaman. Ia membuka pintu, menyalakan lampu, lalu menidurkan tubuh Charlotte yang lemah di atas ranjang empuk.Pria itu berdiri di tepi ranjang, menatap Charlotte yan
Calvin yang kesakitan menatap Charlotte dengan cemas, merasa dadanya sesak bukan hanya karena rasa sakit fisik tetapi juga ketakutan akan apa yang akan terjadi. Wanita yang berada di sebelahnya, seorang wanita berpenampilan modis dengan rambut tergerai panjang, menatap Charlotte dengan kebingungan sekaligus kemarahan."Ke-kenapa kamu ada di sini?" tanya Calvin dengan suara bergetar, berusaha bangkit dari rasa sakit yang menjalar di tubuhnya.Namun sebelum Calvin bisa menjelaskan lebih jauh, wanita itu, yang tampak tidak tahu malu, melipat tangan di dada dan menatap Charlotte dengan pandangan merendahkan. "Hei, apa kau adalah pacarnya yang ceroboh itu? Kenapa kau begitu kasar?" tanyanya dengan nada sinis.Charlotte tidak menjawab. Matanya hanya menatap wanita itu tajam, penuh amarah yang sudah tidak bisa dibendung. Dengan gerakan cepat, ia meraih cangkir berisi minuman di meja dan menyiramkan isinya ke wajah wanita itu tanpa peringatan. Cairan hangat itu mengalir di wajah wanita itu, m
Di sebuah apartemen yang mewah namun kini kacau balau, pecahan vas bunga, gelas, dan barang-barang antik tersebar di lantai. Suasana di ruangan itu terasa tegang, seperti angin badai yang baru saja berlalu. Di tengah kekacauan itu, seorang wanita muda dengan rambut panjang terurai dan mengenakan pakaian kasual berdiri mematung, tatapannya penuh emosi. Di depannya, seorang pria tampan dengan postur tinggi tegap berdiri dengan wajah dingin, seperti dinding batu yang tak bisa ditembus."Tanpa alasan, kau mengakhiri ini semua? Kenapa?" suara wanita itu pecah, menggema di antara dinding apartemen. Matanya berkilat dengan campuran rasa sakit dan amarah.Pria itu menarik napas panjang, mencoba menghindari tatapan wanita itu. Suaranya terdengar tenang, namun dingin seperti es yang mencair perlahan. "Karena pernikahan kita adalah satu kesalahan besar. Aku sangat menyesalinya," jawabnya, setiap kata bagai belati yang menancap di hati wanita itu.Wanita itu mengepalkan kedua tangannya dengan gem