Malam hari.
Charlotte berdiri di dekat jendela kamar, memandangi liontin peninggalan ibunya yang tergantung di lehernya. Jemarinya dengan lembut membuka liontin itu, ia selalu penasaran dengan liontin tersebut.
"Kenapa kalung ini tidak ada foto Mama? Aku bahkan tidak tahu wajah Mama sampai sekarang," gumamnya dengan suara lirih, matanya berkabut oleh rasa penasaran yang tak kunjung terjawab.
Di saat yang sama, Elvis melangkah melewati kamar putrinya. Pandangannya tertarik pada sosok Charlotte yang berdiri diam dengan liontin terbuka di tangannya. Seketika, tatapan Elvis berubah tegang. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan, sesuatu yang tak seharusnya diketahui putrinya.
Dengan langkah cepat, Elvis masuk ke dalam kamar.
"Lolipop," panggilnya, mencoba menghentikan gerakan Charlotte yang tampak begitu fokus pada liontin itu.
Charlotte menoleh dan menatap ayahnya dengan heran.
"Papa? Sudah malam, kenapa belum tidur?" tanyanya, suaranya mengandung keheranan.
Elvis menghela napas pelan. Ia berjalan mendekat, lalu berdiri di samping putrinya. "Seharusnya aku yang bertanya begitu, Besok kamu harus bekerja, kenapa masih berdiri di sini larut malam?" jawabnya dengan nada lembut, meskipun ada kegelisahan samar dalam suaranya.
"Aku hanya penasaran dengan kalung ini, Pa," katanya pelan, suaranya penuh harap. "Kenapa tidak ada foto Mama di dalamnya? Biasanya, liontin seperti ini menyimpan sesuatu yang berharga, kan? Tapi ini kosong... kenapa?"
Tatapan Elvis menggelap seketika. Ia menelan ludah, seolah mencari jawaban yang tepat untuk diberikan kepada putrinya. Namun, yang tersimpan di dalam hatinya bukanlah jawaban yang mudah untuk diungkapkan.
"Lolipop, untuk apa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?" suara Elvis terdengar sedikit bergetar. "Mamamu meninggal begitu cepat, sehingga Papa tidak sempat mengambil fotonya."
"Papa mengatakan Mama meninggal akibat kebakaran, apakah benar?" tanya Charlotte dengan nada hati-hati, namun penuh tekanan.
Elvis menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Wajahnya berubah muram, seakan-akan dia kembali mengingat sesuatu yang menyakitkan.
"Iya, itu semua karena kesalahan Papa juga," jawabnya lirih. "Andaikan siang itu Papa membawa Mamamu keluar bersama, maka Mamamu pasti tidak akan menjadi korban."
Charlotte merasakan hatinya mencelos. Selama ini ia hanya mengetahui bahwa ibunya meninggal dalam kebakaran, tetapi tidak pernah mendengar detailnya langsung dari sang ayah.
"Ada lagi, sejak kapan kamu mengenal Daniel Harris? Apakah hubungan kalian begitu dekat sehingga dia ingin melamarmu?" tanya Daniel.
"Papa, aku tidak ingin menikah dulu. Itu terlalu cepat bagiku," Charlotte menambahkan cepat, tidak ingin ayahnya mengambil keputusan sepihak.
Elvis menghela napas pelan. "Kalau memang itu yang kamu pikirkan, Papa tidak akan memaksamu," katanya lembut. "Tapi dari sorotan matanya, dia bukan orang sembarangan. Mungkin saja dia bukan hanya seorang CEO biasa."
Charlotte mengernyit. "Kenapa Papa begitu yakin? Padahal Papa dan dia belum pernah bertemu."
Elvis terdiam sesaat sebelum menjawab, "Daniel Harris muncul tiba-tiba, kita hanya orang dari kalangan rendah. Jangan terlalu dekat dengannya. Untuk masuk ke keluarganya juga tidak mudah, apalagi kalau dia memiliki seorang ibu tiri dan adik tiri."
Charlotte termenung, menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. Pikirannya penuh dengan kebingungan dan penyesalan. "Malam pertamaku telah diambilnya… Aku rugi besar. Kalau aku minta ganti rugi, sepertinya aku menjual diri. Kalau aku diam, aku yang rugi. Apa yang harus aku lakukan?" pikirnya dalam hati.
Elvis, yang sejak tadi memperhatikan putrinya, mengerutkan kening. "Apa yang kamu pikirkan? Kenapa diam saja?" tanyanya, suaranya mengandung kekhawatiran.
Charlotte tersentak dari lamunannya. Ia menatap ayahnya dengan mata penuh tekad, mencoba menyembunyikan perasaannya yang campur aduk. "Aku juga tidak menyukainya, Papa," katanya dengan suara mantap. "Jangan cemaskan aku! Aku akan berhati-hati dalam memilih pasangan, agar tidak seperti Mama yang memiliki suami yang suka nikah cerai."
Elvis terdiam sejenak, lalu mendesah panjang. Dengan tangan besar dan kasar, ia menepuk dahi putrinya ringan, membuat Charlotte sedikit meringis. "Bisanya kau mengejek ayahmu sendiri," ujarnya dengan nada pasrah, meskipun ada sedikit senyum di sudut bibirnya.
Charlotte hanya tersenyum kecil. Ia tahu, meskipun ayahnya tampak santai, pria itu sebenarnya menyimpan banyak hal yang belum ia ketahui. Dan salah satunya adalah rahasia tentang masa lalu ibunya.
Setelah beberapa saat berbicara dengan Charlotte, Elvis keluar dari kamar putrinya dengan ekspresi serius. Langkahnya berat, seolah pikirannya dipenuhi oleh sesuatu yang mengganggunya.
"Daniel Harris… Kenapa sorotan matanya tidak asing? Apakah ini hanya kebetulan, atau aku pernah melihatnya sebelumnya?" batinnya.
Rasa penasaran itu semakin kuat. Ia segera menuju kamarnya, mengambil ponselnya, dan dengan cepat menekan nomor tujuan.
Tak lama kemudian, suara seorang pria terdengar dari seberang sana. "Hallo."
Tanpa basa-basi, Elvis berkata dengan nada tegas, "Selidiki Daniel Harris. Aku ingin tahu semua tentangnya!"
"Baik, Bos," jawab pria di seberang dengan sigap.
Elvis mengakhiri panggilan tanpa berkata apa-apa lagi. Tak ada yang tahu siapa yang dihubunginya secara diam-diam, atau alasan di balik penyelidikan itu. Pria yang biasanya ceria kini terlihat begitu misterius, seolah menyimpan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
Keesokan Harinya
Pagi itu, Charlotte tiba di studio tempatnya bekerja. Ia membuka pintu dengan sedikit terburu-buru dan melangkah masuk. Udara di dalam ruangan terasa sedikit berbeda, seolah ada sesuatu yang berubah. Tanpa banyak pikir, ia meletakkan tasnya di atas meja kerja dan bersiap memulai hari.
Namun, sebelum ia sempat duduk, Kelvin—rekan kerjanya—mendekat dan berbisik dengan nada penuh rahasia. "Lolipop, bos baru kita sudah datang, dan pengurus kita tiba-tiba dipecat. Tidak tahu apa sebabnya."
Charlotte mengernyit. "Bos baru?"
Kelvin mengangguk. "Iya, dan kabarnya, dia orang yang cukup berpengaruh. Tapi yang membuatku penasaran, kenapa tiba-tiba terjadi perubahan drastis seperti ini?"
"Siapa bos baru kita, dan apa alasan bos lama ingin menjual studionya pada orang lain?" tanya Charlotte dengan penasaran.
Kelvin, yang tengah sibuk merapikan beberapa dokumen di mejanya, menoleh sebentar sebelum menjawab, "Mungkin butuh uang, karena anak gadisnya akan melanjutkan pelajarannya ke luar negeri."
Charlotte mengangguk kecil, mencoba mencerna informasi itu. Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, suara nyaring Sally terdengar di seluruh ruangan.
"Lolipop, Bos ingin bertemu denganmu!" seru Sally sambil menghampiri Charlotte dengan langkah cepat.
Charlotte mengerutkan kening, sedikit enggan. "Apakah orangnya menakutkan?" bisiknya, merasa was-was.
Sally justru tersenyum lebar, ekspresinya tampak penuh kekaguman. "Tenang saja, dia bahkan sangat tampan. Senyumannya sangat menawan," katanya dengan nada menggoda.
Tanpa menunggu lebih lama, ia pun melangkah menuju ruang kantor atasannya. Perasaannya bercampur aduk—penasaran, gugup, sekaligus tak sabar ingin melihat sosok pria yang kini menjadi bos barunya.
Charlotte tiba di depan pintu ruang kantor. Ia menarik napas dalam sebelum mengetuk perlahan.
Klek!
Pintu terbuka, dan Charlotte melangkah masuk dengan sopan. "Tuan," sapanya singkat.
Pandangan pertamanya langsung tertuju pada sosok pria yang berdiri menghadap jendela besar. Cahaya matahari pagi menyinari tubuhnya, menciptakan siluet yang tampak gagah dan berwibawa.
Charlotte menunggu, jantungnya berdebar tanpa alasan yang jelas.
Lalu, pria itu berbalik perlahan.
Saat mata mereka bertemu, Charlotte terbelalak, napasnya tercekat. "D-Daniel Harris...?" gumamnya, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Pria itu—bos barunya—tersenyum tipis, tatapan matanya tajam sekaligus mengandung sesuatu yang sulit ditebak.
"Charlotte Wilson, Kita bertemu lagi," ucap Daniel dengan senyum.
"Kenapa kamu lagi?" tanya Charlotte, tatapannya tajam menembus sosok pria di hadapannya.Daniel hanya tersenyum, seolah menikmati ketidaksukaan Charlotte kepadanya. Ia melangkah santai, semakin mendekat. "Studio ini telah menjadi milikku," ujarnya dengan nada puas.Charlotte mencengkram erat pegangan tasnya, hatinya bergejolak. "Kalau begitu, aku akan berhenti kerja," katanya tegas, berbalik hendak pergi.Namun, suara Daniel menghentikan langkahnya. "Bukankah kau sudah tanda tangan kontrak lima tahun? Kalau kau pergi, kau harus membayar ganti rugi," katanya dengan nada santai, seakan-akan ia tahu bahwa Charlotte tidak punya pilihan lain.Charlotte menoleh dengan tatapan penuh curiga. "Apa tujuanmu membeli studio ini? Sebenarnya kamu siapa, dan apa maumu?" tuntutnya, suaranya dipenuhi amarah dan ketidakpercayaan.Daniel tersenyum tipis, matanya berkilat penuh arti. "Aku membelinya demi calon istriku. Kalau kita satu tempat kerja, kita bisa bersama s
Di sebuah apartemen yang mewah namun kini kacau balau, pecahan vas bunga, gelas, dan barang-barang antik tersebar di lantai. Suasana di ruangan itu terasa tegang, seperti angin badai yang baru saja berlalu. Di tengah kekacauan itu, seorang wanita muda dengan rambut panjang terurai dan mengenakan pakaian kasual berdiri mematung, tatapannya penuh emosi. Di depannya, seorang pria tampan dengan postur tinggi tegap berdiri dengan wajah dingin, seperti dinding batu yang tak bisa ditembus."Tanpa alasan, kau mengakhiri ini semua? Kenapa?" suara wanita itu pecah, menggema di antara dinding apartemen. Matanya berkilat dengan campuran rasa sakit dan amarah.Pria itu menarik napas panjang, mencoba menghindari tatapan wanita itu. Suaranya terdengar tenang, namun dingin seperti es yang mencair perlahan. "Karena pernikahan kita adalah satu kesalahan besar. Aku sangat menyesalinya," jawabnya, setiap kata bagai belati yang menancap di hati wanita itu.Wanita itu mengepalkan kedua tangannya dengan gem
Calvin yang kesakitan menatap Charlotte dengan cemas, merasa dadanya sesak bukan hanya karena rasa sakit fisik tetapi juga ketakutan akan apa yang akan terjadi. Wanita yang berada di sebelahnya, seorang wanita berpenampilan modis dengan rambut tergerai panjang, menatap Charlotte dengan kebingungan sekaligus kemarahan."Ke-kenapa kamu ada di sini?" tanya Calvin dengan suara bergetar, berusaha bangkit dari rasa sakit yang menjalar di tubuhnya.Namun sebelum Calvin bisa menjelaskan lebih jauh, wanita itu, yang tampak tidak tahu malu, melipat tangan di dada dan menatap Charlotte dengan pandangan merendahkan. "Hei, apa kau adalah pacarnya yang ceroboh itu? Kenapa kau begitu kasar?" tanyanya dengan nada sinis.Charlotte tidak menjawab. Matanya hanya menatap wanita itu tajam, penuh amarah yang sudah tidak bisa dibendung. Dengan gerakan cepat, ia meraih cangkir berisi minuman di meja dan menyiramkan isinya ke wajah wanita itu tanpa peringatan. Cairan hangat itu mengalir di wajah wanita itu, m
"Tidak waras!" gumam Charlotte dengan kesal, berusaha melangkah pergi meninggalkan pria asing itu.Namun, sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, Tuan Harris, yang tersenyum tipis penuh arti, tiba-tiba membungkuk dan mengangkat tubuhnya dengan mudah. Charlotte terkejut, matanya membesar, dan ia langsung meronta-ronta di dalam pelukan pria itu."Hei, hei! Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?!" teriak Charlotte sambil memukul-mukul bahunya, namun kekuatan pria itu jauh melampaui tenaganya.Tuan Harris tidak menghiraukan protesnya. Dengan langkah mantap, ia membawa gadis itu keluar dari tempat itu menuju mobilnya.Beberapa saat kemudian, Charlotte yang mulai kehilangan kesadarannya akibat alkohol, dibawa ke sebuah hotel mewah. Tuan Harris, yang sudah memesan kamar sebelumnya, langsung membawa gadis itu ke salah satu suite yang nyaman. Ia membuka pintu, menyalakan lampu, lalu menidurkan tubuh Charlotte yang lemah di atas ranjang empuk.Pria itu berdiri di tepi ranjang, menatap Charlotte yan
Charlotte berjalan pelan menyusuri deretan rumah yang terlihat seragam, dengan model dan warna hijau yang sama persis. Wajahnya tampak bingung, seolah memikirkan sesuatu yang mengganjal di benaknya."Kalau kami benar-benar melakukannya, seharusnya aku pasti merasa sakit..." gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Ia mengernyitkan dahi, menatap langkah kakinya yang terus membawa dirinya maju. "Tapi kenapa aku tidak merasakan apa-apa? Tidak mungkin seorang pria melepaskan semua pakaianku tanpa melakukan apa pun." Ia berhenti sejenak, menatap ke depan dengan pandangan kosong. "Di dunia ini, mana ada pria yang tidak tergoda dengan tubuh wanita..." lanjutnya dengan nada lirih, mencoba mencari jawaban atas kebingungannya.Charlotte menghela napas panjang, akhirnya sampai di salah satu rumah. Dengan santai, ia membuka pintu dan melangkah masuk. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat orang-orang di dalam rumah tersebut. Semua kepala menoleh ke arahnya dengan pandangan heran."Charlot
Elvis duduk diam di kamarnya, menatap sebuah foto keluarga dengan tatapan dalam. Dalam foto itu, seorang wanita muda berdiri di sampingnya, menggendong bayi perempuan yang lucu, sementara ibunya juga berdiri di sisi lain. Wanita muda itu adalah istrinya, Zean—seseorang yang telah lama pergi meninggalkannya."Zean, kamu pergi terlalu cepat..." gumam Elvis lirih. "Anak gadis kita sudah besar dan mandiri sekarang. Dia menjadi seorang fotografer profesional, bekerja dengan baik, memiliki banyak teman, dan ceria seperti dirimu."Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Selama ini aku menikah-cerai, berharap ada seseorang yang bisa merawatnya. Tapi sayang, pernikahanku tidak pernah berjalan mulus."Elvis terdiam sejenak, lalu menatap foto itu lebih lekat. Suaranya berubah menjadi lebih dalam, penuh rahasia yang selama ini ia pendam."Aku adalah Samuel Wilson Franz," bisiknya. "Harus menyamar sebagai orang biasa demi melindungi anak kita. Semasa muda, aku memiliki banyak musuh. Setela
"Ke-Kenapa kamu ada di sini?" tanya Charlotte dengan gugup, matanya memandang pria di hadapannya dengan waspada.Daniel tersenyum santai, namun tatapan matanya tajam dan penuh keyakinan. Tangannya masih melingkar di pinggang Charlotte, membuat gadis itu semakin gelisah."Aku datang mencarimu," jawabnya pelan, suaranya rendah namun penuh ketegasan.Charlotte menelan ludah, tangannya refleks mendorong dada pria itu, meskipun tidak cukup kuat untuk membuatnya mundur. "Apakah aku mengenalmu? Kamu siapa?"Daniel terkekeh pelan, seolah terhibur oleh kepanikan gadis itu. "Namamu Charlotte Wilson, usia 23 tahun. Seorang fotografer berbakat." Ia mendekatkan wajahnya, membuat Charlotte semakin mundur dengan jantung berdegup kencang. "Dengar baik-baik, namaku Daniel Harris... yang dikenal sebagai duda menawan."Charlotte mengernyit, merasa ada sesuatu yang familiar tentang pria ini. "Kenapa namamu tidak asing? Di mana aku pernah mendengarnya?"Daniel tersenyum penuh arti, lalu berbisik tepat di
"Kenapa kamu lagi?" tanya Charlotte, tatapannya tajam menembus sosok pria di hadapannya.Daniel hanya tersenyum, seolah menikmati ketidaksukaan Charlotte kepadanya. Ia melangkah santai, semakin mendekat. "Studio ini telah menjadi milikku," ujarnya dengan nada puas.Charlotte mencengkram erat pegangan tasnya, hatinya bergejolak. "Kalau begitu, aku akan berhenti kerja," katanya tegas, berbalik hendak pergi.Namun, suara Daniel menghentikan langkahnya. "Bukankah kau sudah tanda tangan kontrak lima tahun? Kalau kau pergi, kau harus membayar ganti rugi," katanya dengan nada santai, seakan-akan ia tahu bahwa Charlotte tidak punya pilihan lain.Charlotte menoleh dengan tatapan penuh curiga. "Apa tujuanmu membeli studio ini? Sebenarnya kamu siapa, dan apa maumu?" tuntutnya, suaranya dipenuhi amarah dan ketidakpercayaan.Daniel tersenyum tipis, matanya berkilat penuh arti. "Aku membelinya demi calon istriku. Kalau kita satu tempat kerja, kita bisa bersama s
Malam hari.Charlotte berdiri di dekat jendela kamar, memandangi liontin peninggalan ibunya yang tergantung di lehernya. Jemarinya dengan lembut membuka liontin itu, ia selalu penasaran dengan liontin tersebut."Kenapa kalung ini tidak ada foto Mama? Aku bahkan tidak tahu wajah Mama sampai sekarang," gumamnya dengan suara lirih, matanya berkabut oleh rasa penasaran yang tak kunjung terjawab.Di saat yang sama, Elvis melangkah melewati kamar putrinya. Pandangannya tertarik pada sosok Charlotte yang berdiri diam dengan liontin terbuka di tangannya. Seketika, tatapan Elvis berubah tegang. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan, sesuatu yang tak seharusnya diketahui putrinya.Dengan langkah cepat, Elvis masuk ke dalam kamar."Lolipop," panggilnya, mencoba menghentikan gerakan Charlotte yang tampak begitu fokus pada liontin itu.Charlotte menoleh dan menatap ayahnya dengan heran."Papa? Sudah malam, kenapa belum tidur?" tanyanya, suaranya mengandung keheranan.Elvis menghela napas pe
"Ke-Kenapa kamu ada di sini?" tanya Charlotte dengan gugup, matanya memandang pria di hadapannya dengan waspada.Daniel tersenyum santai, namun tatapan matanya tajam dan penuh keyakinan. Tangannya masih melingkar di pinggang Charlotte, membuat gadis itu semakin gelisah."Aku datang mencarimu," jawabnya pelan, suaranya rendah namun penuh ketegasan.Charlotte menelan ludah, tangannya refleks mendorong dada pria itu, meskipun tidak cukup kuat untuk membuatnya mundur. "Apakah aku mengenalmu? Kamu siapa?"Daniel terkekeh pelan, seolah terhibur oleh kepanikan gadis itu. "Namamu Charlotte Wilson, usia 23 tahun. Seorang fotografer berbakat." Ia mendekatkan wajahnya, membuat Charlotte semakin mundur dengan jantung berdegup kencang. "Dengar baik-baik, namaku Daniel Harris... yang dikenal sebagai duda menawan."Charlotte mengernyit, merasa ada sesuatu yang familiar tentang pria ini. "Kenapa namamu tidak asing? Di mana aku pernah mendengarnya?"Daniel tersenyum penuh arti, lalu berbisik tepat di
Elvis duduk diam di kamarnya, menatap sebuah foto keluarga dengan tatapan dalam. Dalam foto itu, seorang wanita muda berdiri di sampingnya, menggendong bayi perempuan yang lucu, sementara ibunya juga berdiri di sisi lain. Wanita muda itu adalah istrinya, Zean—seseorang yang telah lama pergi meninggalkannya."Zean, kamu pergi terlalu cepat..." gumam Elvis lirih. "Anak gadis kita sudah besar dan mandiri sekarang. Dia menjadi seorang fotografer profesional, bekerja dengan baik, memiliki banyak teman, dan ceria seperti dirimu."Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Selama ini aku menikah-cerai, berharap ada seseorang yang bisa merawatnya. Tapi sayang, pernikahanku tidak pernah berjalan mulus."Elvis terdiam sejenak, lalu menatap foto itu lebih lekat. Suaranya berubah menjadi lebih dalam, penuh rahasia yang selama ini ia pendam."Aku adalah Samuel Wilson Franz," bisiknya. "Harus menyamar sebagai orang biasa demi melindungi anak kita. Semasa muda, aku memiliki banyak musuh. Setela
Charlotte berjalan pelan menyusuri deretan rumah yang terlihat seragam, dengan model dan warna hijau yang sama persis. Wajahnya tampak bingung, seolah memikirkan sesuatu yang mengganjal di benaknya."Kalau kami benar-benar melakukannya, seharusnya aku pasti merasa sakit..." gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Ia mengernyitkan dahi, menatap langkah kakinya yang terus membawa dirinya maju. "Tapi kenapa aku tidak merasakan apa-apa? Tidak mungkin seorang pria melepaskan semua pakaianku tanpa melakukan apa pun." Ia berhenti sejenak, menatap ke depan dengan pandangan kosong. "Di dunia ini, mana ada pria yang tidak tergoda dengan tubuh wanita..." lanjutnya dengan nada lirih, mencoba mencari jawaban atas kebingungannya.Charlotte menghela napas panjang, akhirnya sampai di salah satu rumah. Dengan santai, ia membuka pintu dan melangkah masuk. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat orang-orang di dalam rumah tersebut. Semua kepala menoleh ke arahnya dengan pandangan heran."Charlot
"Tidak waras!" gumam Charlotte dengan kesal, berusaha melangkah pergi meninggalkan pria asing itu.Namun, sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, Tuan Harris, yang tersenyum tipis penuh arti, tiba-tiba membungkuk dan mengangkat tubuhnya dengan mudah. Charlotte terkejut, matanya membesar, dan ia langsung meronta-ronta di dalam pelukan pria itu."Hei, hei! Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?!" teriak Charlotte sambil memukul-mukul bahunya, namun kekuatan pria itu jauh melampaui tenaganya.Tuan Harris tidak menghiraukan protesnya. Dengan langkah mantap, ia membawa gadis itu keluar dari tempat itu menuju mobilnya.Beberapa saat kemudian, Charlotte yang mulai kehilangan kesadarannya akibat alkohol, dibawa ke sebuah hotel mewah. Tuan Harris, yang sudah memesan kamar sebelumnya, langsung membawa gadis itu ke salah satu suite yang nyaman. Ia membuka pintu, menyalakan lampu, lalu menidurkan tubuh Charlotte yang lemah di atas ranjang empuk.Pria itu berdiri di tepi ranjang, menatap Charlotte yan
Calvin yang kesakitan menatap Charlotte dengan cemas, merasa dadanya sesak bukan hanya karena rasa sakit fisik tetapi juga ketakutan akan apa yang akan terjadi. Wanita yang berada di sebelahnya, seorang wanita berpenampilan modis dengan rambut tergerai panjang, menatap Charlotte dengan kebingungan sekaligus kemarahan."Ke-kenapa kamu ada di sini?" tanya Calvin dengan suara bergetar, berusaha bangkit dari rasa sakit yang menjalar di tubuhnya.Namun sebelum Calvin bisa menjelaskan lebih jauh, wanita itu, yang tampak tidak tahu malu, melipat tangan di dada dan menatap Charlotte dengan pandangan merendahkan. "Hei, apa kau adalah pacarnya yang ceroboh itu? Kenapa kau begitu kasar?" tanyanya dengan nada sinis.Charlotte tidak menjawab. Matanya hanya menatap wanita itu tajam, penuh amarah yang sudah tidak bisa dibendung. Dengan gerakan cepat, ia meraih cangkir berisi minuman di meja dan menyiramkan isinya ke wajah wanita itu tanpa peringatan. Cairan hangat itu mengalir di wajah wanita itu, m
Di sebuah apartemen yang mewah namun kini kacau balau, pecahan vas bunga, gelas, dan barang-barang antik tersebar di lantai. Suasana di ruangan itu terasa tegang, seperti angin badai yang baru saja berlalu. Di tengah kekacauan itu, seorang wanita muda dengan rambut panjang terurai dan mengenakan pakaian kasual berdiri mematung, tatapannya penuh emosi. Di depannya, seorang pria tampan dengan postur tinggi tegap berdiri dengan wajah dingin, seperti dinding batu yang tak bisa ditembus."Tanpa alasan, kau mengakhiri ini semua? Kenapa?" suara wanita itu pecah, menggema di antara dinding apartemen. Matanya berkilat dengan campuran rasa sakit dan amarah.Pria itu menarik napas panjang, mencoba menghindari tatapan wanita itu. Suaranya terdengar tenang, namun dingin seperti es yang mencair perlahan. "Karena pernikahan kita adalah satu kesalahan besar. Aku sangat menyesalinya," jawabnya, setiap kata bagai belati yang menancap di hati wanita itu.Wanita itu mengepalkan kedua tangannya dengan gem