Malam hari.
Charlotte berdiri di dekat jendela kamar, memandangi liontin peninggalan ibunya yang tergantung di lehernya. Jemarinya dengan lembut membuka liontin itu, ia selalu penasaran dengan liontin tersebut.
"Kenapa kalung ini tidak ada foto Mama? Aku bahkan tidak tahu wajah Mama sampai sekarang," gumamnya dengan suara lirih, matanya berkabut oleh rasa penasaran yang tak kunjung terjawab.
Di saat yang sama, Elvis melangkah melewati kamar putrinya. Pandangannya tertarik pada sosok Charlotte yang berdiri diam dengan liontin terbuka di tangannya. Seketika, tatapan Elvis berubah tegang. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan, sesuatu yang tak seharusnya diketahui putrinya.
Dengan langkah cepat, Elvis masuk ke dalam kamar.
"Lolipop," panggilnya, mencoba menghentikan gerakan Charlotte yang tampak begitu fokus pada liontin itu.
Charlotte menoleh dan menatap ayahnya dengan heran.
"Papa? Sudah malam, kenapa belum tidur?" tanyanya, suaranya mengandung keheranan.
Elvis menghela napas pelan. Ia berjalan mendekat, lalu berdiri di samping putrinya. "Seharusnya aku yang bertanya begitu, Besok kamu harus bekerja, kenapa masih berdiri di sini larut malam?" jawabnya dengan nada lembut, meskipun ada kegelisahan samar dalam suaranya.
"Aku hanya penasaran dengan kalung ini, Pa," katanya pelan, suaranya penuh harap. "Kenapa tidak ada foto Mama di dalamnya? Biasanya, liontin seperti ini menyimpan sesuatu yang berharga, kan? Tapi ini kosong... kenapa?"
Tatapan Elvis menggelap seketika. Ia menelan ludah, seolah mencari jawaban yang tepat untuk diberikan kepada putrinya. Namun, yang tersimpan di dalam hatinya bukanlah jawaban yang mudah untuk diungkapkan.
"Lolipop, untuk apa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?" suara Elvis terdengar sedikit bergetar. "Mamamu meninggal begitu cepat, sehingga Papa tidak sempat mengambil fotonya."
"Papa mengatakan Mama meninggal akibat kebakaran, apakah benar?" tanya Charlotte dengan nada hati-hati, namun penuh tekanan.
Elvis menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Wajahnya berubah muram, seakan-akan dia kembali mengingat sesuatu yang menyakitkan.
"Iya, itu semua karena kesalahan Papa juga," jawabnya lirih. "Andaikan siang itu Papa membawa Mamamu keluar bersama, maka Mamamu pasti tidak akan menjadi korban."
Charlotte merasakan hatinya mencelos. Selama ini ia hanya mengetahui bahwa ibunya meninggal dalam kebakaran, tetapi tidak pernah mendengar detailnya langsung dari sang ayah.
"Ada lagi, sejak kapan kamu mengenal Daniel Harris? Apakah hubungan kalian begitu dekat sehingga dia ingin melamarmu?" tanya Daniel.
"Papa, aku tidak ingin menikah dulu. Itu terlalu cepat bagiku," Charlotte menambahkan cepat, tidak ingin ayahnya mengambil keputusan sepihak.
Elvis menghela napas pelan. "Kalau memang itu yang kamu pikirkan, Papa tidak akan memaksamu," katanya lembut. "Tapi dari sorotan matanya, dia bukan orang sembarangan. Mungkin saja dia bukan hanya seorang CEO biasa."
Charlotte mengernyit. "Kenapa Papa begitu yakin? Padahal Papa dan dia belum pernah bertemu."
Elvis terdiam sesaat sebelum menjawab, "Daniel Harris muncul tiba-tiba, kita hanya orang dari kalangan rendah. Jangan terlalu dekat dengannya. Untuk masuk ke keluarganya juga tidak mudah, apalagi kalau dia memiliki seorang ibu tiri dan adik tiri."
Charlotte termenung, menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. Pikirannya penuh dengan kebingungan dan penyesalan. "Malam pertamaku telah diambilnya… Aku rugi besar. Kalau aku minta ganti rugi, sepertinya aku menjual diri. Kalau aku diam, aku yang rugi. Apa yang harus aku lakukan?" pikirnya dalam hati.
Elvis, yang sejak tadi memperhatikan putrinya, mengerutkan kening. "Apa yang kamu pikirkan? Kenapa diam saja?" tanyanya, suaranya mengandung kekhawatiran.
Charlotte tersentak dari lamunannya. Ia menatap ayahnya dengan mata penuh tekad, mencoba menyembunyikan perasaannya yang campur aduk. "Aku juga tidak menyukainya, Papa," katanya dengan suara mantap. "Jangan cemaskan aku! Aku akan berhati-hati dalam memilih pasangan, agar tidak seperti Mama yang memiliki suami yang suka nikah cerai."
Elvis terdiam sejenak, lalu mendesah panjang. Dengan tangan besar dan kasar, ia menepuk dahi putrinya ringan, membuat Charlotte sedikit meringis. "Bisanya kau mengejek ayahmu sendiri," ujarnya dengan nada pasrah, meskipun ada sedikit senyum di sudut bibirnya.
Charlotte hanya tersenyum kecil. Ia tahu, meskipun ayahnya tampak santai, pria itu sebenarnya menyimpan banyak hal yang belum ia ketahui. Dan salah satunya adalah rahasia tentang masa lalu ibunya.
Setelah beberapa saat berbicara dengan Charlotte, Elvis keluar dari kamar putrinya dengan ekspresi serius. Langkahnya berat, seolah pikirannya dipenuhi oleh sesuatu yang mengganggunya.
"Daniel Harris… Kenapa sorotan matanya tidak asing? Apakah ini hanya kebetulan, atau aku pernah melihatnya sebelumnya?" batinnya.
Rasa penasaran itu semakin kuat. Ia segera menuju kamarnya, mengambil ponselnya, dan dengan cepat menekan nomor tujuan.
Tak lama kemudian, suara seorang pria terdengar dari seberang sana. "Hallo."
Tanpa basa-basi, Elvis berkata dengan nada tegas, "Selidiki Daniel Harris. Aku ingin tahu semua tentangnya!"
"Baik, Bos," jawab pria di seberang dengan sigap.
Elvis mengakhiri panggilan tanpa berkata apa-apa lagi. Tak ada yang tahu siapa yang dihubunginya secara diam-diam, atau alasan di balik penyelidikan itu. Pria yang biasanya ceria kini terlihat begitu misterius, seolah menyimpan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
Keesokan Harinya
Pagi itu, Charlotte tiba di studio tempatnya bekerja. Ia membuka pintu dengan sedikit terburu-buru dan melangkah masuk. Udara di dalam ruangan terasa sedikit berbeda, seolah ada sesuatu yang berubah. Tanpa banyak pikir, ia meletakkan tasnya di atas meja kerja dan bersiap memulai hari.
Namun, sebelum ia sempat duduk, Kelvin—rekan kerjanya—mendekat dan berbisik dengan nada penuh rahasia. "Lolipop, bos baru kita sudah datang, dan pengurus kita tiba-tiba dipecat. Tidak tahu apa sebabnya."
Charlotte mengernyit. "Bos baru?"
Kelvin mengangguk. "Iya, dan kabarnya, dia orang yang cukup berpengaruh. Tapi yang membuatku penasaran, kenapa tiba-tiba terjadi perubahan drastis seperti ini?"
"Siapa bos baru kita, dan apa alasan bos lama ingin menjual studionya pada orang lain?" tanya Charlotte dengan penasaran.
Kelvin, yang tengah sibuk merapikan beberapa dokumen di mejanya, menoleh sebentar sebelum menjawab, "Mungkin butuh uang, karena anak gadisnya akan melanjutkan pelajarannya ke luar negeri."
Charlotte mengangguk kecil, mencoba mencerna informasi itu. Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, suara nyaring Sally terdengar di seluruh ruangan.
"Lolipop, Bos ingin bertemu denganmu!" seru Sally sambil menghampiri Charlotte dengan langkah cepat.
Charlotte mengerutkan kening, sedikit enggan. "Apakah orangnya menakutkan?" bisiknya, merasa was-was.
Sally justru tersenyum lebar, ekspresinya tampak penuh kekaguman. "Tenang saja, dia bahkan sangat tampan. Senyumannya sangat menawan," katanya dengan nada menggoda.
Tanpa menunggu lebih lama, ia pun melangkah menuju ruang kantor atasannya. Perasaannya bercampur aduk—penasaran, gugup, sekaligus tak sabar ingin melihat sosok pria yang kini menjadi bos barunya.
Charlotte tiba di depan pintu ruang kantor. Ia menarik napas dalam sebelum mengetuk perlahan.
Klek!
Pintu terbuka, dan Charlotte melangkah masuk dengan sopan. "Tuan," sapanya singkat.
Pandangan pertamanya langsung tertuju pada sosok pria yang berdiri menghadap jendela besar. Cahaya matahari pagi menyinari tubuhnya, menciptakan siluet yang tampak gagah dan berwibawa.
Charlotte menunggu, jantungnya berdebar tanpa alasan yang jelas.
Lalu, pria itu berbalik perlahan.
Saat mata mereka bertemu, Charlotte terbelalak, napasnya tercekat. "D-Daniel Harris...?" gumamnya, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Pria itu—bos barunya—tersenyum tipis, tatapan matanya tajam sekaligus mengandung sesuatu yang sulit ditebak.
"Charlotte Wilson, Kita bertemu lagi," ucap Daniel dengan senyum.
"Kenapa kamu lagi?" tanya Charlotte, tatapannya tajam menembus sosok pria di hadapannya.Daniel hanya tersenyum, seolah menikmati ketidaksukaan Charlotte kepadanya. Ia melangkah santai, semakin mendekat. "Studio ini telah menjadi milikku," ujarnya dengan nada puas.Charlotte mencengkram erat pegangan tasnya, hatinya bergejolak. "Kalau begitu, aku akan berhenti kerja," katanya tegas, berbalik hendak pergi.Namun, suara Daniel menghentikan langkahnya. "Bukankah kau sudah tanda tangan kontrak lima tahun? Kalau kau pergi, kau harus membayar ganti rugi," katanya dengan nada santai, seakan-akan ia tahu bahwa Charlotte tidak punya pilihan lain.Charlotte menoleh dengan tatapan penuh curiga. "Apa tujuanmu membeli studio ini? Sebenarnya kamu siapa, dan apa maumu?" tuntutnya, suaranya dipenuhi amarah dan ketidakpercayaan.Daniel tersenyum tipis, matanya berkilat penuh arti. "Aku membelinya demi calon istriku. Kalau kita satu tempat kerja, kita bisa bersama s
Charlotte mundur dengan wajah tegang, punggungnya menabrak meja rias di belakangnya. Jantungnya berdebar kencang melihat Daniel semakin mendekat, mata pria itu menyala dengan intensitas yang membuatnya tidak nyaman."Untuk apa kamu di sini?" tanya Charlotte, suaranya gemetar meski berusaha terdengar tegas.Daniel menyandarkan satu tangan ke meja rias, tubuhnya tetap condong ke arah Charlotte, menciptakan jarak yang semakin sempit di antara mereka. "Menunggumu!" jawabnya santai, namun sorot matanya menunjukkan tekad yang sulit digoyahkan. "Sebelum menikah, kita harus saling memahami dan lebih dekat. Bukankah begitu?"Charlotte mengernyit, dadanya naik turun karena napas yang tak teratur. "Siapa yang ingin dekat denganmu," balasnya tajam. Ia mencoba melangkah pergi, namun belum sempat ia bergerak jauh, Daniel sudah menangkap pergelangan tangannya dengan erat."Hei, lepaskan tanganmu!" serunya sambil meronta, tetapi Daniel justru menariknya lebih dekat hingg
Sementara Elvis meninggalkan rumahnya dengan diam-diam, ia melangkah dengan cepat menuju suatu tempat yang telah ia tentukan sebelumnya. Ia mengenakan jaket kulit hitam, kerahnya sedikit dinaikkan, seolah berusaha menyembunyikan sesuatu dari keluarganya. Pandangannya tajam, penuh kehati-hatian, seakan menghindari siapapun yang mungkin melihatnya pergi.Beberapa saat kemudian, sebuah mobil hitam meluncur mendekat dan berhenti tepat di depannya. Seorang pria paruh baya dengan seragam rapi segera keluar dari kursi pengemudi. Dengan gerakan penuh hormat, ia membukakan pintu belakang untuk Elvis.“Bos,” sapanya dengan suara rendah.Elvis tidak membalas sapaan itu dengan kata-kata, hanya mengangguk kecil sebelum masuk ke dalam mobil. Pintu tertutup rapat, dan kendaraan itu segera melaju meninggalkan area perumahan, membawa Elvis menuju tujuannya.Tak lama kemudian, mobil berhenti di tepi sebuah danau yang tenang. Di tempat itu, dua pria paruh baya d
"Tuan Wilson, kedatanganku adalah untuk mengantar hadiah untuk Anda dan Nenek," ucap Daniel dengan tenang, namun penuh wibawa. Ia memberi isyarat kecil kepada para anggotanya.Levis, tangan kanannya yang setia, segera melangkah masuk, diikuti oleh beberapa pria lainnya. Mereka membawa beberapa kotak besar yang diletakkan rapi di meja ruang tamu. Begitu tutupnya dibuka, kilauan emas serta tumpukan uang dalam ikatan rapi seketika memenuhi ruangan dengan aura kemewahan.Elvis, yang sejak tadi berdiri dengan santai, kini terperanjat. Matanya membulat melihat jumlah uang dan batang emas yang tak sedikit. Ia bahkan sempat mengusap matanya, memastikan bahwa ini bukan sekadar ilusi."Ini semua untuk apa?" tanyanya, suaranya dipenuhi rasa penasaran sekaligus waspada.Daniel, yang sejak tadi tetap menjaga senyumnya, melangkah lebih dekat. Dengan penuh percaya diri, ia berkata, "Hadiah dariku untuk melamar putrimu, Paman."Suasana mendadak sunyi. Hanya suara
"Itu hanya janji Nenek, bukan aku. Jadi tidak sah!" ujar Charlotte dengan nada tegas.Nanny menatapnya dengan sorot mata tajam, bibirnya menipis karena kesal. "Aku adalah nenekmu. Kenapa tidak sah? Lebih baik kau cepat menikah agar tidak menjadi beban dalam keluarga ini!" katanya dengan suara dingin, seakan tak peduli dengan perasaan Charlotte.Charlotte melirik tajam ke arah neneknya. "Tega sekali menganggapku sebagai beban," gumamnya lirih."Nenek, Paman, sebenarnya aku dan Charlotte bukan hanya sekadar saling mengenal begitu saja. Hubungan kami juga sudah jauh," ujar Daniel dengan nada tenang namun penuh keyakinan.Charlotte langsung membelalakkan mata, wajahnya berubah drastis dari keterkejutan menjadi panik. " Dia akan beritahu kejadian malam itu?!" batinnya berteriak. Tanpa berpikir panjang, ia segera menarik lengan Daniel dengan kuat dan berdiri dengan cepat."Cepat ikut aku!" serunya panik, tanpa menunggu jawaban dari Daniel.Daniel
Di sisi lain, Elvis berdiri di luar rumah, memperhatikan mobil mewah yang masih terparkir di tempatnya. Pandangannya tidak lepas dari kendaraan itu, seolah mencoba menembus kaca gelapnya untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi di dalam. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja."Apakah dia serius dengan Lolipop atau hanya untuk bersenang-senang?" gumamnya pelan, kedua alisnya bertaut. "Duda… Apa alasannya menjadi duda? Aneh sekali. Kenapa tatapannya tidak asing juga? Sebenarnya di mana aku pernah melihatnya?"Pikiran Elvis semakin berkecamuk. Pria itu bukan hanya sekadar orang asing baginya, ada sesuatu tentangnya yang terasa familiar. Tapi, kapan dan di mana ia pernah bertemu dengannya? Ia mencoba mengingat, tapi bayangan itu selalu mengabur sebelum ia bisa menangkapnya dengan jelas."Bagaimanapun, identitasku tidak boleh ada yang tahu. Andaikan suatu saat Lolipop menikah... demi melindunginya, rahasia ini
Charlotte berdiri tegak, wajahnya tanpa ekspresi takut sedikit pun. Ia melirik tajam ke arah Manager Lex yang masih terdiam, seolah tak bisa membalas kata-katanya."Hanya seorang manajer ingin memecatku? Apakah kau cukup layak? Aku telah menandatangani kontrak dengan studio ini. Bahkan walau atasan kita turun tangan, mereka tidak bisa memecatku begitu saja. Apalagi kamu," ucap Charlotte dengan nada penuh percaya diri.Mata Manager Lex melebar. Bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin membalas, namun tak ada kata-kata yang keluar. Ia tahu Charlotte tidak sembarang bicara. Kontraknya memang kuat, dan jika ia dikeluarkan tanpa alasan yang sah, studio justru bisa menghadapi masalah hukum.Di sisi lain, Candy semakin geram. Matanya berkilat penuh amarah, tetapi Charlotte tak memberi kesempatan baginya untuk membalas."Hanya seorang bintang, sudah angkuh. Selama aku bekerja di bidang ini, aku sudah bertemu banyak selebriti, bahkan mereka jauh lebih terkenal darim
Kelvin yang baru tiba berdiri tidak jauh dari Daniel. Matanya langsung tertuju pada kamera yang kini hancur di lantai. Serpihan lensa berserakan, bodinya retak parah, dan jelas tidak bisa diperbaiki lagi.Wajah Kelvin menegang, napasnya tercekat. "Gawat! Kamera itu adalah kesayangannya," gumamnya pelan namun jelas. "Dia bahkan lebih suka menggunakan kamera itu daripada kamera studio. Sekarang sudah hancur… suasana hatinya pasti sangat buruk."Mendengar ucapan Kelvin, Daniel menoleh sekilas, ekspresinya masih santai. Sementara itu, sang manager masih terus membela Candy. Dengan suara tegas dan otoriter, dia kembali menekan Charlotte."Lolipop, cepat minta maaf! Kalau tidak, aku sebagai manager akan memindahkanmu ke tempat lain!" bentaknya dengan penuh keyakinan, berpikir Charlotte akan tunduk.Namun, Charlotte tidak gentar. Ia berdiri tegak, kedua tangannya mengepal erat, Dengan suara dingin dan menusuk, Charlotte berkata, "Seorang bintang yang merusak barang milik fotografer adalah k
Keesokan harinya.Charlotte yang sudah bangun kini duduk di sebuah ruangan bersama Daniel. Matanya masih sedikit sayu, namun pikirannya sudah cukup jernih untuk memahami situasi. Di hadapannya, Levis meletakkan sebuah dokumen di atas meja dengan ekspresi datar, seolah apa yang sedang terjadi hanyalah urusan bisnis biasa.Charlotte mengerutkan kening, menatap dokumen itu dengan penuh kebingungan. Ia mengulurkan tangan dan meraih kertas tersebut dengan ragu."Ini apa?" tanyanya, suaranya terdengar hati-hati.Daniel, yang duduk di seberangnya, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai. Senyuman tipis terukir di wajahnya, seolah ia sudah memperkirakan reaksi Charlotte."Silakan dibaca!" jawabnya, tenang dan penuh percaya diri.Charlotte membuka halaman pertama dan mulai membaca isi dokumen dengan teliti. Matanya bergerak cepat, namun semakin dalam ia membaca, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benaknya."Pernikahan kontrak selama
"Daniel, gadis mana yang menjadi sasaranmu kali ini?" tanya Sannie dengan nada penuh rasa ingin tahu.Pria itu hanya tersenyum kecil, ia menjawab dengan santai, "Kalian akan segera mengetahuinya.""Apakah dia akan patuh seperti istri pertamamu atau... lembut seperti mantan pacarmu?" katanya dengan sengaja, mencoba memancing reaksi dari Daniel."Kalau ingin tahu, setelah berjumpa dengannya, kalian bisa mengujinya," jawab Daniel dengan nada misterius. Ia lalu beranjak dari sana---Di sisi lain, Charlotte membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, dan kepalanya terasa sedikit berat. Ia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya menyadari sesuatu yang aneh.Ruangan ini... bukan kamarnya.Ia segera bangkit dengan panik, matanya melirik ke sekeliling. Dinding putih bersih, jendela besar dengan tirai tertutup, serta sebuah pintu di sudut ruangan. Semuanya asing."Aku di mana? Rumah siapa ini?" bisiknya pelan, jantungny
Di saat situasi memanas, tiba-tiba puluhan mobil melaju cepat dan berhenti di depan pusat perbelanjaan. Suara decitan ban yang menggesek aspal menarik perhatian para pengunjung yang berlalu-lalang. Beberapa orang mulai berbisik, bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi.Dari mobil-mobil itu, puluhan pria berpakaian gelap turun dengan langkah mantap. Tatapan tajam mereka tertuju pada sekelompok orang yang tengah mengepung Daniel dan Charlotte. Kehadiran mereka seketika mengubah suasana, membuat lawan-lawan Daniel terkejut melihat jumlah yang jauh lebih unggul.Daniel, yang masih menggenggam tangan Charlotte, melangkah maju dengan tenang. Matanya menyapu orang-orang yang mencoba mengancamnya, lalu bibirnya melengkung membentuk senyuman dingin."Tidak ada pilihan untuk kalian selain menyerah," ucapnya dengan nada penuh keyakinan.Charlotte menatap Daniel dengan kecurigaan yang semakin kuat. "Pria ini... siapa sebenarnya? Kenapa dia memiliki begitu banyak orang yang tampak berbahaya
Pusat perbelanjaan terbesar di kota itu dipenuhi oleh cahaya gemerlap dan suara riuh orang-orang yang berlalu lalang. Daniel berjalan santai di samping Charlotte, sesekali melirik ke arahnya untuk memastikan gadis itu tidak lagi murung. Mereka menuju salah satu toko kamera terbaik, tempat Charlotte bisa memilih pengganti kamera kesayangannya yang telah hancur.Di sisi lain, di sudut pusat perbelanjaan yang lebih gelap, beberapa pria berbadan tegap berdiri dalam bayang-bayang. Mata mereka tajam, tidak pernah lepas dari sosok Daniel dan Charlotte yang sibuk melihat-lihat."Apakah dia tidak membawa pengawal lain?" salah satu pria berbisik kepada rekannya, tatapannya tak berkedip mengamati Daniel. "Bukankah biasanya dia ditemani oleh sejumlah orang? Kenapa kali ini hanya seorang Levis?"Pria di sebelahnya menyipitkan mata, mencoba menganalisis situasi. "Mungkin dia lengah... atau mungkin ini jebakan," jawabnya dengan suara rendah, tetap waspada.Sementara itu, Levis yang berjalan sedikit
Kelvin yang baru tiba berdiri tidak jauh dari Daniel. Matanya langsung tertuju pada kamera yang kini hancur di lantai. Serpihan lensa berserakan, bodinya retak parah, dan jelas tidak bisa diperbaiki lagi.Wajah Kelvin menegang, napasnya tercekat. "Gawat! Kamera itu adalah kesayangannya," gumamnya pelan namun jelas. "Dia bahkan lebih suka menggunakan kamera itu daripada kamera studio. Sekarang sudah hancur… suasana hatinya pasti sangat buruk."Mendengar ucapan Kelvin, Daniel menoleh sekilas, ekspresinya masih santai. Sementara itu, sang manager masih terus membela Candy. Dengan suara tegas dan otoriter, dia kembali menekan Charlotte."Lolipop, cepat minta maaf! Kalau tidak, aku sebagai manager akan memindahkanmu ke tempat lain!" bentaknya dengan penuh keyakinan, berpikir Charlotte akan tunduk.Namun, Charlotte tidak gentar. Ia berdiri tegak, kedua tangannya mengepal erat, Dengan suara dingin dan menusuk, Charlotte berkata, "Seorang bintang yang merusak barang milik fotografer adalah k
Charlotte berdiri tegak, wajahnya tanpa ekspresi takut sedikit pun. Ia melirik tajam ke arah Manager Lex yang masih terdiam, seolah tak bisa membalas kata-katanya."Hanya seorang manajer ingin memecatku? Apakah kau cukup layak? Aku telah menandatangani kontrak dengan studio ini. Bahkan walau atasan kita turun tangan, mereka tidak bisa memecatku begitu saja. Apalagi kamu," ucap Charlotte dengan nada penuh percaya diri.Mata Manager Lex melebar. Bibirnya sedikit terbuka, seakan ingin membalas, namun tak ada kata-kata yang keluar. Ia tahu Charlotte tidak sembarang bicara. Kontraknya memang kuat, dan jika ia dikeluarkan tanpa alasan yang sah, studio justru bisa menghadapi masalah hukum.Di sisi lain, Candy semakin geram. Matanya berkilat penuh amarah, tetapi Charlotte tak memberi kesempatan baginya untuk membalas."Hanya seorang bintang, sudah angkuh. Selama aku bekerja di bidang ini, aku sudah bertemu banyak selebriti, bahkan mereka jauh lebih terkenal darim
Di sisi lain, Elvis berdiri di luar rumah, memperhatikan mobil mewah yang masih terparkir di tempatnya. Pandangannya tidak lepas dari kendaraan itu, seolah mencoba menembus kaca gelapnya untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi di dalam. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja."Apakah dia serius dengan Lolipop atau hanya untuk bersenang-senang?" gumamnya pelan, kedua alisnya bertaut. "Duda… Apa alasannya menjadi duda? Aneh sekali. Kenapa tatapannya tidak asing juga? Sebenarnya di mana aku pernah melihatnya?"Pikiran Elvis semakin berkecamuk. Pria itu bukan hanya sekadar orang asing baginya, ada sesuatu tentangnya yang terasa familiar. Tapi, kapan dan di mana ia pernah bertemu dengannya? Ia mencoba mengingat, tapi bayangan itu selalu mengabur sebelum ia bisa menangkapnya dengan jelas."Bagaimanapun, identitasku tidak boleh ada yang tahu. Andaikan suatu saat Lolipop menikah... demi melindunginya, rahasia ini
"Itu hanya janji Nenek, bukan aku. Jadi tidak sah!" ujar Charlotte dengan nada tegas.Nanny menatapnya dengan sorot mata tajam, bibirnya menipis karena kesal. "Aku adalah nenekmu. Kenapa tidak sah? Lebih baik kau cepat menikah agar tidak menjadi beban dalam keluarga ini!" katanya dengan suara dingin, seakan tak peduli dengan perasaan Charlotte.Charlotte melirik tajam ke arah neneknya. "Tega sekali menganggapku sebagai beban," gumamnya lirih."Nenek, Paman, sebenarnya aku dan Charlotte bukan hanya sekadar saling mengenal begitu saja. Hubungan kami juga sudah jauh," ujar Daniel dengan nada tenang namun penuh keyakinan.Charlotte langsung membelalakkan mata, wajahnya berubah drastis dari keterkejutan menjadi panik. " Dia akan beritahu kejadian malam itu?!" batinnya berteriak. Tanpa berpikir panjang, ia segera menarik lengan Daniel dengan kuat dan berdiri dengan cepat."Cepat ikut aku!" serunya panik, tanpa menunggu jawaban dari Daniel.Daniel
"Tuan Wilson, kedatanganku adalah untuk mengantar hadiah untuk Anda dan Nenek," ucap Daniel dengan tenang, namun penuh wibawa. Ia memberi isyarat kecil kepada para anggotanya.Levis, tangan kanannya yang setia, segera melangkah masuk, diikuti oleh beberapa pria lainnya. Mereka membawa beberapa kotak besar yang diletakkan rapi di meja ruang tamu. Begitu tutupnya dibuka, kilauan emas serta tumpukan uang dalam ikatan rapi seketika memenuhi ruangan dengan aura kemewahan.Elvis, yang sejak tadi berdiri dengan santai, kini terperanjat. Matanya membulat melihat jumlah uang dan batang emas yang tak sedikit. Ia bahkan sempat mengusap matanya, memastikan bahwa ini bukan sekadar ilusi."Ini semua untuk apa?" tanyanya, suaranya dipenuhi rasa penasaran sekaligus waspada.Daniel, yang sejak tadi tetap menjaga senyumnya, melangkah lebih dekat. Dengan penuh percaya diri, ia berkata, "Hadiah dariku untuk melamar putrimu, Paman."Suasana mendadak sunyi. Hanya suara