Tanisha akhirnya sampai di kantor, setelah satu jam berdesakan di dalam bus Trans Jakarta. Ini adalah rutinitasnya setiap hari dan dia sudah terbiasa. Sebagai pejuang rupiah yang berasal dari daerah, tentunya dia tidak punya banyak privilege. Tinggal di apartemen adalah satu-satunya hedonisme yang dia lakukan karena terpaksa. Pasalnya saat pertama kali sampai di ibu kota, dia kesulitan mencari kos-kosan yang cocok dengan kriterianya. Akhirnya memilih tinggal sementara di apartemen dengan harga yang menurutnya cukup terjangkau. Niat ingin pindah sejak dulu sudah ada, namun berhubung dia sudah nyaman di sana, rencananya selalu gagal dan gagal. Dan berujung betah sampai tiga tahun lamanya.
Gadis berusia dua puluh delapan itu bekerja sebagai seorang tele marketing di sebuah perusahaan asing yang sedang berkembang di Indonesia. BNC Furniture. Anak perusahaan dari BNC Group yang kantor pusatnya berada di Amerika Serikat. Tiga tahun bekerja di ibu kota, setelah pernah gagal dalam banyak hal di usianya yang ke dua puluh lima, Tanisha merasa kini hidupnya jauh lebih baik. Lebih tenang dan santai. Bukan karena gajinya tinggi dan dia bisa menabung, bukan. Melainkan karena dia jauh dari rumah. Jauh dari kedua orang tua serta masa lalunya yang terlalu menyakitkan. Jakarta dan BNC Furniture bagai sebuah lembaran baru baginya.“Tanisha, kamu baru sampai?”Baru juga mendudukkan bokongnya di kursi, suara cempreng itu sudah menyapa Tanisha. Seorang pria bertubuh tinggi, kurus –lebih ke ceking— berjalan menghampiri kubikelnya.“Iya, Pak Ken. Saya baru banget sampai.” Tanisha menjawab dengan sopan. Pria itu adalah manajer divisinya. Kennedy Valery. Mahluk paling unik yang pernah Tanisha lihat.“Nanti jam sepuluh ke ruangan saya ya. Berlima, sama tele yang lain. Kita mau bahas promo produk terbaru.”Tanisha melihat meja di kiri dan kanannya memang masih kosong. Tele marketing yang lain belum pada datang. Pantes si pak Ken ngomong ke dia langsung.“Baik, Pak Ken. Nanti saya info yang lain.”Kennedy melangkah pergi setelah memastikan Tanisha mengerti instruksi darinya. Kemudian masuk ke ruangannya sendiri. Setelah bosnya pergi, Nisha menyalakan unit komputer yang ada di depan mata. Mengaktifkan line telepon karena jam operasional kantor akan segera dimulai. Biasanya ada saja pelanggan yang kerajinan menelepon sepagi ini. Yang kalau line telepon mereka belum aktif akan langsung marah-marah dan minta marketingnya ditegur. ‘Yakali jam sembilan belum mulai bekerja? Mau jadi apa?’ Kira-kira begitu komentarnya.“Halo sayangku. Good morningg.” Akhirnya ada juga rekan kerjanya yang datang. Hana si tele marketing juga. Yang mejanya persis di sebelah Tanisha.“Morninggg Hana cantik. Gimana mimpi kamu tadi malam? Ada pak Ken nggak?”“Ish amit-amit! Aku nyeburin diri ke kolam aja kalau sampai ada!” Hana langsung bergidik membayangkan jika atasan mereka yang aneh itu singgah di dalam mimpinya.Tanisha tertawa cekikikan.“Eh, nanti jam sepuluh disuruh ke ruangan beliau. Katanya ada promo baru.”“Promo baru terus. Nggak guna.” Hana mencibir. Gadis itu juga sedang mengatur perangkat tempurnya. Sama seperti yang dilakukan Tanisha tadi.“Ya gitu deh. Promo promo terus. Tapi nggak terlalu menguntungkan buat customer. Siapa juga yang peduli? Padahal mulut sampai berbusa terus.”Hana mengangguk, sepakat dengan tambahan keluhan dari Tanisha. Sudah bukan rahasia lagi kalau BNC Property sedang kalah saing sama kompetitor. Dan sekarang ini lagi pusing mikirin gimana caranya mengembalikan kejayaan mereka yang dulu. Alih-alih mengatur ulang harga, Head Marketing malah sibuk bikin promo-promo pembelian yang sama sekali tidak menarik. Misalkan ada yang beli lemari baju, dikasih bonus gantungan kain sebanyak-banyaknya. Kayak ... buat apa gitu loh? Belum tentu pembeli butuh gantungan bajunya juga. Apalagi sebanyak itu. Mendingan turunin harga lemarinya aja. Tanpa bonus item pun, customer pasti senang.“Kita ikutin aja mau mereka. Toh bukan kita yang beli.” Hana berdecak. “Pusing-pusing mikirin strategi marketing perusahaan. Mending mikirin nanti malam jadinya nonton di mana. Fast and Furious sepuluh udah mulai tayang hari ini.”“Ah iyaa! Kita belum booked tiket ‘kan ya? Aku cek dulu ya di aplikasi? Takut keburu full booked.” Tanisha meraih gawainya yang sejak tadi tergeletak di atas meja. Membuka satu aplikasi bioskop tanah air untuk mencari tiket film yang Hana maksud. Kemarin mereka memang sudah janjian untuk nonton bareng. Berlima. Jadi sekarang Tanisha akan membeli lima tiket sekaligus, yang biasanya akan langsung diganti teman-temannya kalau sudah pada datang.“Masih ada, Na! Di baris B. Aku book aja ya? Aku talangin dulu.”“Oke, Darling. Invoice-nya kirim aja ke grup. Aku langsung transfer sekarang.” Hana juga langsung bersiap memegang ponselnya. Mereka memang sekompak itu kalau sudah soal jalan. Soalnya jarang-jarang bisa hang out bareng. Karena dari berlima, dua dari antaranya sudah menikah dan punya anak. Yang satunya lagi udah punya pacar dan pacarnya posesif minta ampun. Tersisa Tanisha dan Hana yang masih singgel, alias available. Sepakat untuk nonton bareng malam ini adalah salah satu hal yang begitu langka. Jadi tidak boleh disia-siakan.Waktu bergulir dengan cepat. Ruang marketing itu tau-tau sudah penuh oleh karyawan. Tiga teman Tanisha juga sudah hadir dan stand by di meja masing-masing. Jam sepuluh, seperti pesan Ken tadi, kelimanya beranjak dan memasuki ruang sang manajer.“Jadi setelah kemarin rapat dengan head marketing dan sales manajer, kita punya promo baru lagi ya, Ladies.” Ken berdiri dari kursinya, mendekati white board berukuran 1 x 1 meter yang menempel di tembok ruangan. Di sana sudah ada spidol yang akan dia gunakan untuk menulis.“Jadi, untuk setiap pembelian semua produk yang berbahan HDF, akan mendapat voucher belanja sebesar dua juta rupiah untuk pembelian produk berbahan PB.” Kennedy menerangkan sambil menulis ulang ucapannya di permukaan white board.HDF (High Density Fiberboard) adalah jenis panel yang terbuat dari kayu yang dihancurkan sampai membentuk bubur halus, kemudian dicampur dengan perekat bahan kimia, dikompres, dan dikeringkan dalam suhu yang sangat tinggi. Sedangkan PB (Particle Board), adalah papan yang terbuat dari serbuk kayu yang dipadatkan dengan mesin. Secara kualitas, produk berbahan HDF jelas lebih bagus dari produk-produk berbahan PB.And as usual, promo yang dirancang itu selalu tidak masuk akal. Perusahaan tidak pernah mau rugi. Setiap promo yang diberikan tujuannya tetap wajib menambah omset. Ngasihnya selalu voucher belanja. Hampir tidak pernah ada potongan harga. Karena kalau pelanggan berniat pakai voucher belanja-nya, otomatis menambah omset perusahaan lagi. Simpelnya begitu.“Ada pertanyaan?”Kelima perempuan berseragam di depan Kennedy saling bertukar pandang. Sepertinya tidak ada yang berminat untuk bertanya. Karena semuanya sudah sangat jelas. Jelas ini hanya omong kosong. Di saat kompetitor dengan berani memberikan potongan harga secara langsung, BNC masih saja jalan di tempat. Masih setia dengan prinsip jadulnya bahwa mereka adalah perusahaan furnitur terbaik di nusantara. Padahal jelas-jelas di luaran sana para kompetitor sudah semakin menanjak naik.“Loh? Sudah pada paham? Tanisha sudah paham?”“Sudah, Pak.”“Coba? Paham gimana?”“Setiap pelanggan yang membeli produk berbahan HDF, secara otomatis akan mendapat voucher belanja senilai dua juta rupiah yang mana voucher tersebut hanya bisa dipergunakan untuk pembelian produk berbahan PB.” Tanisha menjawab dengan lancar dan tenang. Bukti dia memang sudah paham dengan promo terbaru itu.“Oke, bagus . Mulai hari ini sudah bisa diinfo ke mitra toko kita. Sekalian ke pelanggan langsung.”“Pak, mau tanya.” Keisya mengangkat tangan.“Akhirnya ada yang bertanya juga. Ya Keisya?”“Itu dua juta nggak dikit banget ya, Pak? Harga produk HDF kan lumayan, Pak. Kayaknya kurang sepadan ya kalau hanya dapat voucher segitu.”“Kamu mau nambahin?”Keisya otomatis kicep. Gitu deh tiap kali kasih masukan. Makanya mereka sangat malas setiap kali ada rapat yang bertujuan untuk membahas promo atau policy begini. Nggak guna.“Ada lagi yang mau bertanya?”Semua geleng-geleng. Lebih cepat selesai lebih baik. Mana telepon di luar sudah berbunyi silih berganti.“Ya sudah. Langsung action ya. Nanti sore saya tunggu feed back dari customer.”Urrggghh! Kalau harus sekalian bikin report feed back customer, itu artinya mereka harus benar-benar menelepon semua customer hari ini. Satu per satu. Ketahui lah, itu melelahkan!***Kembali ke meja masing-masing, Tanisha dan kawan-kawan langsung melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Menjawab semua telepon sambil menginformasikan promo baru. Saking banyaknya customer yang harus dihubungi, orang-orang itu sampai merelakan kehilangan jam makan siangnya. Lembur bukanlah sebuah pilihan karena Nisha sudah memesan tiket bioskop. Bunyi nyaring terdengar dari gawai yang tersimpan dalam laci meja Tanisha. Mengira itu adalah customer yang biasa menghubunginya via WhasApp, Nisha mengeluarkan benda itu dari dalam sana. Namun ketika dilihatnya nama yang tertera di layar, dia langsung mencelos. ‘Stranger’. Ya, begitulah dia menamai Ansell di kontak ponselnya. Stranger alias orang asing. Sekalipun mereka sudah bersama selama satu bulan, itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Bagi Tanisha, Ansell tetaplah seorang asing yang kebetulan menumpang hidup kepadanya. Yang menguras isi rekeningnya hingga nyaris collaps seperti sekarang. Selain persoalan uang, ada lagi yang memb
Apartmen Tanisha yang sederhana itu menjadi saksi kegelisahan Ansell ketika dia harus menunggu sampai empat jam lamanya. Seperti sengaja tidak memegang ponselnya, semua pesan dan panggilan yang Ansell kirim kepada gadis itu sama sekali tidak ada respon. Ansell geram, marah dan hampir saja melampiaskan emosi itu pada barang-barang yang sama sekali tidak bersalah. Apalagi jam estetik yang menggantung di tembok ruang tamu, yang selalu bergerak tak kenal lelah. Dia bagai mengolok-olok Ansell yang sejak tadi berharap Tanisha muncul di angka-angka tertentu yang ada di tubuh benda kecil itu.Ya, walau akhirnya doanya terjawab saat tangan pendek benda sialan itu menunjuk ke angka sebelas dan tangan panjangnya di angka satu. Tepatnya jam sebelas malam lewat lima menit, suara berisik dari kuncian pintu pun terdengar. Ansell yang sejak tadi berbaring di atas sofa spontan berdiri. Darahnya langsung mendidih dan naik ke ubun-ubun.Gadis yang biasanya sudah sampai di apartemen setiap jam tujuh mala
Efek belum pernah mendapat hukuman seperti ini, Tanisha merasa sangat down. Apalagi ini langsung mendapat SP 3. Anggapannya dia sudah melakukan sebuah kesalahan yang sangat fatal. Padahal itu hanya perkara mengirim report. Setelah kembali ke kubikelnya, gadis itu tidak berhenti menangis dalam diam. Teman-temannya silih berganti datang untuk menghibur dan memberinya penguatan. Hanya dengan pelukan. Tidak dengan kata-kata. Karena, kalau posisinya lagi down seperti ini, terkadang tidak ada kata yang cukup baik untuk diucapkan. Karena bisa jadi itu hanya akan menambah nelangsa di hati orang yang sedang bersedih.Pekerjaan Tanisha jadi sedikit terbengkalai? Jelas. Karena tidak mungkin dia menelepon mitra toko ataupun customer dalam keadaan seperti ini. Itu bukanlah sesuatu hal yang akan dia lakukan. Dia tidak ingin dicap sebagai karyawan yang tidak profesional. Ujung-ujungnya dia memilih untuk lembur. Segala report harian yang seharusnya meluncur ke email Kennedy tepat jam lima sore, hari
Tanisha terbangun karena suhu air conditioner yang terasa menembus permukaan kulitnya. Kenapa dingin sekali? Perasaan suhu AC di kamarnya tidak pernah sedingin ini. Kelopak mata wanita itu terbuka secara perlahan. Rasanya berat sekali. Apakah dia tidur seharian? Tapi tidak mungkin. Dia masih ingat kalau tadi malam dia lembur di kantor perkara kena SP 3 dari Kennedy. “Ssssshhhh.” Gadis itu memegangi kepalanya. Kenapa dia bisa sampai se pusing ini? Seperti ada bom aktif yang akan meledak di dalam sana. Wait wait wait! Kenapa seperti ada yang aneh? MANA PAKAIANNYA?! Jarum penunjuk kesadaran Tanisha seakan melompat dari angka terendah ke angka tertinggi. Semua sakit kepala itu mendadak hilang karena menyadari kalau dirinya sedang telanjang. TELANJANG!! SHITTT! Gadis itu refleks terduduk di atas kasur dengan selimut yang membalut tubuh hingga sebatas dada. Dia juga baru menyadari kalau ini bukan kamarnya.Di mana ini?Jantung Tanisha tiba-tiba saja memukul dua kali lebih cepat. Dia t
Tanisha memutuskan untuk makan dulu. Dia lapar. Entah sebanyak apa tenaga yang dia keluarkan tadi malam sampai keroncongan parah se pagi ini. Dan lagi, si Tuan Besar itu ... dia benar-benar pengecut. Apakah dia sudah terbiasa meniduri perempuan lalu meninggalkannya saat matahari terbit? Cuih! Pecundang!Makanan ini sungguh enak. Atau pengaruh Nisha sedang kelaparan saja? Entahlah. Padahal ini hanya krim sup jagung biasa, ditambah ayam siram jamur. Bukan menu aneh-aneh yang sama sekali tidak pernah dia makan. Fix tadi malam dia terlalu kelelahan. Apa saja yang sudah dia lakukan bersama laki-laki berotot liat itu?Hah?Sepertinya Tanisha mulai mengingat tentang malam erotis kemarin, walau hanya sedikit. Ya itu, soal otot-otot six pack yang sering menjadi sasaran telapak tangan Tanisha. Gadis itu sampai memejamkan kedua matanya hanya untuk mengingat lebih detail lagi.“Ansel? Kenapa kemarin aku menyebutkan namanya?” Kunyahan Tanisha berhenti ketika samar-samar lenguhannya kemarin kembali
Tanisha memutuskan untuk segera pulang ke apartemen. Ponsel Ansell sudah tidak aktif dan hatinya sama sekali tidak tenang. Ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri kalau laki-laki itu sudah benar-benar pergi. Setengah hatinya berharap itu tidak benar. Berharap Ansell hanya ingin menggertak dia perihal jam pulang kantor. Soalnya pria itu sama sekali tidak punya tempat untuk pulang. Mustahil dia nekat meninggalkan apartemen Tanisha yang menjadi zona nyamannya selama satu bulan terakhir.Namun kunci apartemen cadangan yang selama ini ada pada Ansell, benar-benar Nisha temukan tertinggal di resepsionis. Wanita itu seketika lemas. Tidak mungkin kuncinya ada di sini kalau orangnya masih ada di dalam ‘kan? Atau dia hanya sedang keluar untuk cari angin? Bisa aja ‘kan?“Mba Yul, maaf, mau tanya ... tadi, bule yang kasih kunci ini, ada nitip pesan nggak ke Mba? Entah apa tapi yang harus disampaikan ke saya? Misal tentang dia akan pergi ke mana?”“Nggak ada, Mba Nisha. Kenapa gitu, Mba?” S
Tiga puluh menit perjalanan, akhirnya taksi itu berhenti di depan sebuah tempat, yang kalau dilihat dari luar saja sudah sangat besar dan megah. Itu adalah club yang akan mereka masuki sebentar lagi. “Kamu yakin kita bisa masuk ke sana, Beb?” Nisha mendadak tidak yakin. Secara mereka masih pakai seragam kantor. Takut dipandang sebelah mata.“Yakinnn. Asal udah di atas dua puluh, bisa kok. Yuk?” Hana menarik tangan Tanisha setelah urusan dengan driver taksi selesai. Sepertinya gadis itu sudah tidak sabaran ingin masuk ke tempat bising dan minim cahaya itu.Seperti janjinya tadi, Hana mengenal salah satu security yang selalu berjaga di pintu masuk. Hanya dengan satu kedipan genit, dia dan Tanisha langsung lolos tanpa perlu mengecek kartu identitas.“Beb! Kamu kenal dia dari mana? Bahaya banget ih!” Melihat itu tentu saja Tanisha jadi khawatir. Jangan-jangan Hana dan petugas security itu ada ‘sesuatu’?“Aku ‘kan udah beberapa kali ke sini, Nisha sayang. Tenang aja.”Ah, kenapa juga dia
Rasa nyeri di area selangkangannya membuat Tanisha lagi-lagi tidak bisa berdiri dari atas kasur. Kali ini lebih nyeri dari hari pertama kemarin. Apakah karena tidak memakai pengaman sehingga dia dan pria asing itu kebablasan sampai pagi? Sepertinya iya. Seluruh tubuh Tanisha seakan remuk tak berbentuk. “Mhhhh ...” Dia menggeliat di bawah selimut tebal yang begitu hangat dan nyaman. Tubuhnya masih naked, tanpa sehelai benang pun. Bagaimana ceritanya dia bisa kembali ke kamar ini? Gadis itu mencoba mengingat-ingat kejadian tadi malam. Kalau dia kembali ke kamar president suites yang ada di club kemarin lusa, siapa orang yang sudah membawanya? Seingatnya dia dan Hana tidak datang ke club ini. Apakah ...?Ck! Pantas saja mereka mabuk! Sepertinya minuman mereka sudah disabotase oleh orang yang sangat terobsesi akan dirinya. Siapa lagi kalau bukan si ‘Tuan Besar’? Tanisha sangat ingat, di surat kecil kemarin, orang itu memang bilang ingin bertemu dengannya lagi. Tapi Nisha tidak tau kalau
Kedua bola mata Tanisha membesar kala menyadari Ansell sudah menyadap ponselnya. Sejak kapan? Dan bagaimana caranya dia memasang penyadap di barang yang ... akh! Pasti saat Nisha mabuk malam-malam kemarin![Kau! Menyadap ponselku?!][Sejak aku tinggal di apartemenmu, Sayang.]“Hahhh?!” Tanisha tanpa sadar memekik di kursinya. Dia semakin shock! Sejak dia masih di apartemen?! Sinting!!“Kenapa, Beb?” Hana tentu saja ikut kaget. Soalnya suara Tanisha terdengar cukup kencang.“E—eh. Enggak kok.” Nisha cepat-cepat menutup layar ponselnya, sebelum Hana nekat mengintip karena penasaran dengan siapa dia sedang berkirim pesan. Untungnya gadis itu tidak seantusias itu. Hana kembali fokus ke gadget yang ada di tangannya sendiri.Hufftt, jadi selama ini Ansell mengawasinya?? Apa saja yang sudah dia dengar? Berarti, malam dimana dia lembur karena diamuk Kenendy, Ansell tau penyebab yang sebenarnya? Oh God. Apa lagi? Apa Tanisha pernah membahas yang tidak-tidak dengan yang lain? Apa ada aib yang t
Tanisha masih bengong mendengar apa yang Ansell ucapkan barusan. Bukan karena kata-kata itu terdengar kurang jelas, melainkan karena dia tidak percaya kalimat seperti itu bisa keluar dari mulut direkturnya sendiri. Menikahi Tanisha secepatnya? Dia sedang kerasukan jin apa kah?“Dan itu akan lebih berbahaya dari pada memecat Kennedy,” jawab perempuan itu akhirnya. Tatapan matanya kembali tegas seperti setiap kali dia marah pada Ansell di apartemen. “Apa pun rencanamu terhadap Kennedy, bisa tolong jangan bawa-bawa aku? Aku sudah dipecat hari ini dan aku sudah memutuskan akan keluar.”“Coba saja. Aku ingin lihat sejauh apa kau berhasil pergi dari aku.”Senyum miring di wajah Ansell sempat membuat Tanisha ragu. Apa lagi rencana laki-laki ini? Sebenarnya dia sangat penasaran, tapi memilih untuk tidak mau mau tau. Semuanya masih terlalu membingungkan. Gadis itu butuh waktu.“Aku mau keluar. Buka pintunya.”Ansel mengangguk. Tidak berencana menahan Tanisha lagi walau sejujurnya dia sangat in
Apa? Ke ruangan Ansell?Ngapain?Nggak! Tanisha nggak mau!Ansell berbalik. Perintahnya tadi seperti tidak untuk diulang dua atau tiga kali. Keempat bodyguard-nya juga sudah ikut berbalik. Namun Hans dan para dewan direksi masih menunggu Tanisha bergerak.“Ibu Tanisha? Ayo?” Hans menekankan suaranya. “Saya ...” Tanisha berpikir keras untuk mencari alasan. Ngapain coba harus ke ruangan Ansell? Di sini saja ‘kan bisa?“Sebelum beliau mengulangi instruksinya lagi,” desak Hans. Jangan sampai Ansell marah karena perempuan ini.Duhh. Tanisha harus bagaimana? Dia menoleh ke kiri dan kanan, seperti ingin meminta pendapat teman-temannya. “Pergi aja, Beb, siapa tau nggak jadi dikeluarin.” Hana mendukung seratus persen. “Iya. Jujur aja kalau kamu nggak salah!” Jill juga ikut mengompori. Diliriknya Kennedy yang sudah diam tak berkutik. Mampus aja dia! Ketar-ketir nggak tuh?Tanisha menarik napas ragu. Diam-diam dia melirik atasannya. Apakah dia akan aman kalau membongkar kejahatan pria ini? Ja
Tanisha merasa hidupnya seperti sedang dipermainkan oleh takdir. Dua hari ini dia uring-uringan karena kehilangan seseorang yang baru dia sadari ternyata cukup berarti dalam hidupannya. Orang asing yang dia temui di trotoar apartemen, yang sudah menyusahkan hidup Tanisha selama satu bulan terakhir. Yang kemudian pergi begitu saja tanpa itikad baik sebagaimana seseorang yang sudah menumpang di apartemen orang lain sampai se-lama itu.Dia mengenal laki-laki itu dengan nama ‘Ansell’. Ansell saja. Tidak ada embel-embel Arthur Benedict seperti nama pria yang saat ini menjadi pusat perhatian semua anak divisi marketing. Tapi ... Tanisha tidak buta. Mereka adalah orang yang sama. Bedanya, Ansell yang dia kenal memelihara banyak rambut tipis di area wajahnya. Kumis, jambang, janggut. Sedangkan wajah Ansell yang ini bersih. Klimis. Bahkan model sisiran rambutnya pun berbeda. Ansell yang kemarin lebih urakan. Yang ini benar-benar rapi, hingga menunjukkan jidatnya yang lebar.Sejak nama itu diu
Hana, Jill, Keisha dan Fransiska menoleh ke arah kubikel Tanisha. Ada apa lagi?“B—Baik, Pak.” Gadis itu berdiri meninggalkan kursinya. Tidak sempat berpikir apa-apa karena itu akan mengulur waktu lagi. Dia juga tidak sempat membalas tatapan teman-temannya dengan tersenyum agar mereka tidak khawatir.Mengetuk pelan pintu ruangan Kennedy, Tanisha mendengar suara khas yang mengijinkannya untuk masuk.“Selamat pagi, Pak.” Dia menyapa dengan sopan.“Kamu tadi datang terlambat?” Kennedy to the point. Tanisha meneguk ludah. Ternyata dosa-dosanya tidak pernah luput dari pantauan atasannya ini.“Absen jam sembilan kurang tiga menit, Pak,” tuturnya. Secara administrasi, itu tidak bisa dikatakan terlambat. Karena kantor ini masuknya memang jam sembilan teng.“Menurut kamu itu sudah terlambat atau tidak?”Tapi kalau ditodong pertanyaan seperti ini, Tanisha tentu tidak berani menjawab sesuai dengan kebenarannya. Kennedy pasti akan punya segudang teori lain yang bisa mematahkan peraturan itu.“Ka
Rasa nyeri di area selangkangannya membuat Tanisha lagi-lagi tidak bisa berdiri dari atas kasur. Kali ini lebih nyeri dari hari pertama kemarin. Apakah karena tidak memakai pengaman sehingga dia dan pria asing itu kebablasan sampai pagi? Sepertinya iya. Seluruh tubuh Tanisha seakan remuk tak berbentuk. “Mhhhh ...” Dia menggeliat di bawah selimut tebal yang begitu hangat dan nyaman. Tubuhnya masih naked, tanpa sehelai benang pun. Bagaimana ceritanya dia bisa kembali ke kamar ini? Gadis itu mencoba mengingat-ingat kejadian tadi malam. Kalau dia kembali ke kamar president suites yang ada di club kemarin lusa, siapa orang yang sudah membawanya? Seingatnya dia dan Hana tidak datang ke club ini. Apakah ...?Ck! Pantas saja mereka mabuk! Sepertinya minuman mereka sudah disabotase oleh orang yang sangat terobsesi akan dirinya. Siapa lagi kalau bukan si ‘Tuan Besar’? Tanisha sangat ingat, di surat kecil kemarin, orang itu memang bilang ingin bertemu dengannya lagi. Tapi Nisha tidak tau kalau
Tiga puluh menit perjalanan, akhirnya taksi itu berhenti di depan sebuah tempat, yang kalau dilihat dari luar saja sudah sangat besar dan megah. Itu adalah club yang akan mereka masuki sebentar lagi. “Kamu yakin kita bisa masuk ke sana, Beb?” Nisha mendadak tidak yakin. Secara mereka masih pakai seragam kantor. Takut dipandang sebelah mata.“Yakinnn. Asal udah di atas dua puluh, bisa kok. Yuk?” Hana menarik tangan Tanisha setelah urusan dengan driver taksi selesai. Sepertinya gadis itu sudah tidak sabaran ingin masuk ke tempat bising dan minim cahaya itu.Seperti janjinya tadi, Hana mengenal salah satu security yang selalu berjaga di pintu masuk. Hanya dengan satu kedipan genit, dia dan Tanisha langsung lolos tanpa perlu mengecek kartu identitas.“Beb! Kamu kenal dia dari mana? Bahaya banget ih!” Melihat itu tentu saja Tanisha jadi khawatir. Jangan-jangan Hana dan petugas security itu ada ‘sesuatu’?“Aku ‘kan udah beberapa kali ke sini, Nisha sayang. Tenang aja.”Ah, kenapa juga dia
Tanisha memutuskan untuk segera pulang ke apartemen. Ponsel Ansell sudah tidak aktif dan hatinya sama sekali tidak tenang. Ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri kalau laki-laki itu sudah benar-benar pergi. Setengah hatinya berharap itu tidak benar. Berharap Ansell hanya ingin menggertak dia perihal jam pulang kantor. Soalnya pria itu sama sekali tidak punya tempat untuk pulang. Mustahil dia nekat meninggalkan apartemen Tanisha yang menjadi zona nyamannya selama satu bulan terakhir.Namun kunci apartemen cadangan yang selama ini ada pada Ansell, benar-benar Nisha temukan tertinggal di resepsionis. Wanita itu seketika lemas. Tidak mungkin kuncinya ada di sini kalau orangnya masih ada di dalam ‘kan? Atau dia hanya sedang keluar untuk cari angin? Bisa aja ‘kan?“Mba Yul, maaf, mau tanya ... tadi, bule yang kasih kunci ini, ada nitip pesan nggak ke Mba? Entah apa tapi yang harus disampaikan ke saya? Misal tentang dia akan pergi ke mana?”“Nggak ada, Mba Nisha. Kenapa gitu, Mba?” S
Tanisha memutuskan untuk makan dulu. Dia lapar. Entah sebanyak apa tenaga yang dia keluarkan tadi malam sampai keroncongan parah se pagi ini. Dan lagi, si Tuan Besar itu ... dia benar-benar pengecut. Apakah dia sudah terbiasa meniduri perempuan lalu meninggalkannya saat matahari terbit? Cuih! Pecundang!Makanan ini sungguh enak. Atau pengaruh Nisha sedang kelaparan saja? Entahlah. Padahal ini hanya krim sup jagung biasa, ditambah ayam siram jamur. Bukan menu aneh-aneh yang sama sekali tidak pernah dia makan. Fix tadi malam dia terlalu kelelahan. Apa saja yang sudah dia lakukan bersama laki-laki berotot liat itu?Hah?Sepertinya Tanisha mulai mengingat tentang malam erotis kemarin, walau hanya sedikit. Ya itu, soal otot-otot six pack yang sering menjadi sasaran telapak tangan Tanisha. Gadis itu sampai memejamkan kedua matanya hanya untuk mengingat lebih detail lagi.“Ansel? Kenapa kemarin aku menyebutkan namanya?” Kunyahan Tanisha berhenti ketika samar-samar lenguhannya kemarin kembali