Tanisha memutuskan untuk makan dulu. Dia lapar. Entah sebanyak apa tenaga yang dia keluarkan tadi malam sampai keroncongan parah se pagi ini. Dan lagi, si Tuan Besar itu ... dia benar-benar pengecut. Apakah dia sudah terbiasa meniduri perempuan lalu meninggalkannya saat matahari terbit? Cuih! Pecundang!
Makanan ini sungguh enak. Atau pengaruh Nisha sedang kelaparan saja? Entahlah. Padahal ini hanya krim sup jagung biasa, ditambah ayam siram jamur. Bukan menu aneh-aneh yang sama sekali tidak pernah dia makan. Fix tadi malam dia terlalu kelelahan. Apa saja yang sudah dia lakukan bersama laki-laki berotot liat itu?Hah?Sepertinya Tanisha mulai mengingat tentang malam erotis kemarin, walau hanya sedikit. Ya itu, soal otot-otot six pack yang sering menjadi sasaran telapak tangan Tanisha. Gadis itu sampai memejamkan kedua matanya hanya untuk mengingat lebih detail lagi.“Ansel? Kenapa kemarin aku menyebutkan namanya?” Kunyahan Tanisha berhenti ketika samar-samar lenguhannya kemarin kembali menggema di dalam kepala. Bukankah laki-laki itu menyuruh dia untuk menyebutkan namanya?‘Kau tau namaku, Tanisha. Scream my name!’ Perintah itu kembali terngiang-ngiang di dalam kepalanya. Lalu kenapa Nisha meneriakkan nama Ansell? Gila! Jangan bilang yang ada di dalam imajinasi Tanisha tadi malam adalah bule kesasar itu? Nggak ada jalannya!Selesai makan, Nisha menumpuk piring bekasnya menjadi satu. Saat itu lah dia sadar kalau sejak tadi mangkuk supnya menimpa sesuatu. Yaitu kartu ucapan kecil seukuran amplop berukuran sedang. Apakah maid yang tadi tidak sadar ada kertas di bawah sana? Atau justru mereka lah yang menyelipkannya atas perintah seseorang?‘Tanisha, My love. Thank you for unforgettable night. You’re amazing! Can’t wait to see you again, tonight. Have a nice day, I love you.’ (P.S : Tas kamu ada di dalam walk in closet.)Napas Tanisha tertahan di tenggorokan. Ini dari ‘dia’ kah? Tuan Besar yang pengecut itu? Sejak kapan orang asing dengan mudahnya bilang ‘I love yu’ seperti ini? Mereka bahkan tidak saling mengenal. Hanya menghabiskan malam bersama karena Tanisha mabuk. Lalu apa katanya? Sampai bertemu lagi nanti malam? Apa yang sedang dia pikirkan? Dia pikir Tanisha akan mau dijebak untuk kedua kalinya? Cihhh! Never!Wanita itu meletakkan kembali kartu yang ada di tangannya. Lalu beranjak dalam keadaan naked menghampiri walk in closet yang ada di sayap kiri ruangan. Tadi dia sama sekali tidak kepikiran untuk membuka lemari canggih ini karena menurutnya itu sedikit tidak sopan. Sekarang, karena dia sudah mendapat ijin secara langsung, baru lah dia berani. Dan Tanisha harus mengakui kalau dia takjub melihat isi lemari itu. Di sana menggantung indah puluhan baju-baju cantik yang berasal dari brand ternama. Dress, kemeja, blazer, rok, jins, celana kain, lengkap! Tidak hanya baju, juga ada tas dan sepatu dengan berbagai macam model. Mulai dari wedges, stiletto, boot, slip on, sneaker, dan masih banyak lagi.Tanisha tentu saja bertanya itu milik siapa? Apakah si Tuan Besar sudah punya istri dan ini adalah barang-barang miliknya? Lantas kenapa dia masih berani membawa perempuan asing ke dalam kamar ini? Ck! Entah kenapa gadis itu tiba-tiba merasa seperti dikhianati. Atau apa sih sebutan lain untuk perasaan kecewa seperti ini?What? Kecewa? Mustahil! Mereka toh tidak saling mengenal. Lebih baik Tanisha segera mengambil tasnya dan keluar dari tempat ini. Tas yang diletakkan pada satu kotak yang sejajar dengan luxury bag yang lain. Cepat-cepat dia ambil sebelum barang murahannya menebarkan aura negatif kepada tas-tas mahal itu.Hal pertama yang dia lakukan setelah berhasil menemukan tasnya adalah mencari ponsel! Semoga saja belum terlambat untuk mengabari Ansell. Dia juga ingin memberi tahu kalau Tanisha akan memesankan makanan via layanan on line untuk laki-laki itu karena tadi malam tidak pulang.“Ansell?!” Saat panggilannya dijawab oleh bule kesasar di seberang sana, entah bagaimana hati Tanisha bisa melonjak seperti akan lepas dari tempatnya. Apakah dia merindukan pria menyebalkan itu? Atau dia hanya sedang khawatir karena meninggalkannya sendirian di rumah?“Hm.” Suara pria itu terdengar serak-serak basah, seperti baru bangun tidur. Ah, ini masih jam setengah enam pagi. Tanisha sepertinya kepagian.“Maaf aku baru memberi kabar. Aku lembur dan menginap di kantor.”“M.”“Sepertinya kamu masih tidur. Aku Cuma mau bilang, karena aku nggak pulang dan nggak bisa ninggalin uang, hari ini aku akan pesan makanan via on line untukmu.”“M."“Pesananmu seperti biasa ‘kan?”‘M’ saja? Jujur, Tanisha sedikit kesal. Dia sudah bicara panjang kali lebar. Setidaknya ngomong apa kek! Ck!“Ya udah kalau gitu. Aku matiin.”“Tanisha ...” Suara serak itu kembali memanggil. Dan Tanisha kembali merasakan lonjakan kecil di dalam hatinya. Ah, ini gila. Tadi dia baru saja merasa dikhianati si Tuan Besar. Sekarang kenapa malah merasa ‘rindu’ kepada Ansell? Sejak kapan dia punya bibit-bibit play girl seperti ini? Sadar, Tanisha!“Ya?”“Are you ok? Tumben lembur.”Ditanya seperti itu, Tanisha tentu saja mengingat lagi kejadian SP kemarin siang. Kenapa ketika Ansell yang bertanya rasanya sedikit berbeda? Jadi baper lagi ‘kan? Padahal pria itu bukan siapa-siapa untuknya, tapi kenapa Nisha merasa Ansell memanglah orang yang tepat untuk membagi kesedihannya sekarang? Apa karena mereka sudah tinggal bareng selama satu bulan?“Aku baik-baik saja. Hanya lagi banyak kerjaan di kantor.” Namun gadis itu memilih untuk berbohong. Ansell tidak perlu tau kesulitan yang dia hadapi di BNC Furniture.“Jaga kesehatan. Jangan lembur-lembur. Jangan suka keluyuran.”Hening.“Jangan lupa selalu kunci apartemenmu dengan baik. Sekarang semakin banyak orang usil di sekeliling kita. Jangan lupa bersihkan kulkas dan rice cooker-mu satu minggu sekali. Itu juga baik untuk kesehatan. Jangan kelamaan pakai heels, kakimu sering lecet. Janga—““Ansell ...” Tanisha memotong ucapan laki-laki itu. Tiba-tiba saja tangannya bergetar, hidungnya juga mendadak perih dan kedua mata beningnya mulai berkilat. Perasaannya bilang kalau ini ...“Aku titipkan kunci apartemen di resepsionis. Maaf tidak bisa menunggumu pulang.”“An—“Klik.“Ansell!” Tanisha memekik pelan. Masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar barusan.Laki-laki itu ... pergi?? Dia ... dia akhirnya pergi?“ANSELLLLL!”Tapi kenapa Tanisha justru merasa sakit sekarang? Hatinya seperti dikoyak-koyak karena belum siap. Ya ... kenyataannya dia tidak siap Ansell pergi meninggalkan dia.Kenapa? Kenapa dia harus pergi? Apakah karena kata-kata Tanisha tadi malam? Oh God!Berusaha menghubungi Ansell lagi demi menarik ucapannya, namun Tanisha harus kecewa karena nomor itu sudah tidak aktif.“ANSELLLLLL!”***Tanisha memutuskan untuk segera pulang ke apartemen. Ponsel Ansell sudah tidak aktif dan hatinya sama sekali tidak tenang. Ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri kalau laki-laki itu sudah benar-benar pergi. Setengah hatinya berharap itu tidak benar. Berharap Ansell hanya ingin menggertak dia perihal jam pulang kantor. Soalnya pria itu sama sekali tidak punya tempat untuk pulang. Mustahil dia nekat meninggalkan apartemen Tanisha yang menjadi zona nyamannya selama satu bulan terakhir.Namun kunci apartemen cadangan yang selama ini ada pada Ansell, benar-benar Nisha temukan tertinggal di resepsionis. Wanita itu seketika lemas. Tidak mungkin kuncinya ada di sini kalau orangnya masih ada di dalam ‘kan? Atau dia hanya sedang keluar untuk cari angin? Bisa aja ‘kan?“Mba Yul, maaf, mau tanya ... tadi, bule yang kasih kunci ini, ada nitip pesan nggak ke Mba? Entah apa tapi yang harus disampaikan ke saya? Misal tentang dia akan pergi ke mana?”“Nggak ada, Mba Nisha. Kenapa gitu, Mba?” S
Tiga puluh menit perjalanan, akhirnya taksi itu berhenti di depan sebuah tempat, yang kalau dilihat dari luar saja sudah sangat besar dan megah. Itu adalah club yang akan mereka masuki sebentar lagi. “Kamu yakin kita bisa masuk ke sana, Beb?” Nisha mendadak tidak yakin. Secara mereka masih pakai seragam kantor. Takut dipandang sebelah mata.“Yakinnn. Asal udah di atas dua puluh, bisa kok. Yuk?” Hana menarik tangan Tanisha setelah urusan dengan driver taksi selesai. Sepertinya gadis itu sudah tidak sabaran ingin masuk ke tempat bising dan minim cahaya itu.Seperti janjinya tadi, Hana mengenal salah satu security yang selalu berjaga di pintu masuk. Hanya dengan satu kedipan genit, dia dan Tanisha langsung lolos tanpa perlu mengecek kartu identitas.“Beb! Kamu kenal dia dari mana? Bahaya banget ih!” Melihat itu tentu saja Tanisha jadi khawatir. Jangan-jangan Hana dan petugas security itu ada ‘sesuatu’?“Aku ‘kan udah beberapa kali ke sini, Nisha sayang. Tenang aja.”Ah, kenapa juga dia
Rasa nyeri di area selangkangannya membuat Tanisha lagi-lagi tidak bisa berdiri dari atas kasur. Kali ini lebih nyeri dari hari pertama kemarin. Apakah karena tidak memakai pengaman sehingga dia dan pria asing itu kebablasan sampai pagi? Sepertinya iya. Seluruh tubuh Tanisha seakan remuk tak berbentuk. “Mhhhh ...” Dia menggeliat di bawah selimut tebal yang begitu hangat dan nyaman. Tubuhnya masih naked, tanpa sehelai benang pun. Bagaimana ceritanya dia bisa kembali ke kamar ini? Gadis itu mencoba mengingat-ingat kejadian tadi malam. Kalau dia kembali ke kamar president suites yang ada di club kemarin lusa, siapa orang yang sudah membawanya? Seingatnya dia dan Hana tidak datang ke club ini. Apakah ...?Ck! Pantas saja mereka mabuk! Sepertinya minuman mereka sudah disabotase oleh orang yang sangat terobsesi akan dirinya. Siapa lagi kalau bukan si ‘Tuan Besar’? Tanisha sangat ingat, di surat kecil kemarin, orang itu memang bilang ingin bertemu dengannya lagi. Tapi Nisha tidak tau kalau
Hana, Jill, Keisha dan Fransiska menoleh ke arah kubikel Tanisha. Ada apa lagi?“B—Baik, Pak.” Gadis itu berdiri meninggalkan kursinya. Tidak sempat berpikir apa-apa karena itu akan mengulur waktu lagi. Dia juga tidak sempat membalas tatapan teman-temannya dengan tersenyum agar mereka tidak khawatir.Mengetuk pelan pintu ruangan Kennedy, Tanisha mendengar suara khas yang mengijinkannya untuk masuk.“Selamat pagi, Pak.” Dia menyapa dengan sopan.“Kamu tadi datang terlambat?” Kennedy to the point. Tanisha meneguk ludah. Ternyata dosa-dosanya tidak pernah luput dari pantauan atasannya ini.“Absen jam sembilan kurang tiga menit, Pak,” tuturnya. Secara administrasi, itu tidak bisa dikatakan terlambat. Karena kantor ini masuknya memang jam sembilan teng.“Menurut kamu itu sudah terlambat atau tidak?”Tapi kalau ditodong pertanyaan seperti ini, Tanisha tentu tidak berani menjawab sesuai dengan kebenarannya. Kennedy pasti akan punya segudang teori lain yang bisa mematahkan peraturan itu.“Ka
Tanisha merasa hidupnya seperti sedang dipermainkan oleh takdir. Dua hari ini dia uring-uringan karena kehilangan seseorang yang baru dia sadari ternyata cukup berarti dalam hidupannya. Orang asing yang dia temui di trotoar apartemen, yang sudah menyusahkan hidup Tanisha selama satu bulan terakhir. Yang kemudian pergi begitu saja tanpa itikad baik sebagaimana seseorang yang sudah menumpang di apartemen orang lain sampai se-lama itu.Dia mengenal laki-laki itu dengan nama ‘Ansell’. Ansell saja. Tidak ada embel-embel Arthur Benedict seperti nama pria yang saat ini menjadi pusat perhatian semua anak divisi marketing. Tapi ... Tanisha tidak buta. Mereka adalah orang yang sama. Bedanya, Ansell yang dia kenal memelihara banyak rambut tipis di area wajahnya. Kumis, jambang, janggut. Sedangkan wajah Ansell yang ini bersih. Klimis. Bahkan model sisiran rambutnya pun berbeda. Ansell yang kemarin lebih urakan. Yang ini benar-benar rapi, hingga menunjukkan jidatnya yang lebar.Sejak nama itu diu
Apa? Ke ruangan Ansell?Ngapain?Nggak! Tanisha nggak mau!Ansell berbalik. Perintahnya tadi seperti tidak untuk diulang dua atau tiga kali. Keempat bodyguard-nya juga sudah ikut berbalik. Namun Hans dan para dewan direksi masih menunggu Tanisha bergerak.“Ibu Tanisha? Ayo?” Hans menekankan suaranya. “Saya ...” Tanisha berpikir keras untuk mencari alasan. Ngapain coba harus ke ruangan Ansell? Di sini saja ‘kan bisa?“Sebelum beliau mengulangi instruksinya lagi,” desak Hans. Jangan sampai Ansell marah karena perempuan ini.Duhh. Tanisha harus bagaimana? Dia menoleh ke kiri dan kanan, seperti ingin meminta pendapat teman-temannya. “Pergi aja, Beb, siapa tau nggak jadi dikeluarin.” Hana mendukung seratus persen. “Iya. Jujur aja kalau kamu nggak salah!” Jill juga ikut mengompori. Diliriknya Kennedy yang sudah diam tak berkutik. Mampus aja dia! Ketar-ketir nggak tuh?Tanisha menarik napas ragu. Diam-diam dia melirik atasannya. Apakah dia akan aman kalau membongkar kejahatan pria ini? Ja
Tanisha masih bengong mendengar apa yang Ansell ucapkan barusan. Bukan karena kata-kata itu terdengar kurang jelas, melainkan karena dia tidak percaya kalimat seperti itu bisa keluar dari mulut direkturnya sendiri. Menikahi Tanisha secepatnya? Dia sedang kerasukan jin apa kah?“Dan itu akan lebih berbahaya dari pada memecat Kennedy,” jawab perempuan itu akhirnya. Tatapan matanya kembali tegas seperti setiap kali dia marah pada Ansell di apartemen. “Apa pun rencanamu terhadap Kennedy, bisa tolong jangan bawa-bawa aku? Aku sudah dipecat hari ini dan aku sudah memutuskan akan keluar.”“Coba saja. Aku ingin lihat sejauh apa kau berhasil pergi dari aku.”Senyum miring di wajah Ansell sempat membuat Tanisha ragu. Apa lagi rencana laki-laki ini? Sebenarnya dia sangat penasaran, tapi memilih untuk tidak mau mau tau. Semuanya masih terlalu membingungkan. Gadis itu butuh waktu.“Aku mau keluar. Buka pintunya.”Ansel mengangguk. Tidak berencana menahan Tanisha lagi walau sejujurnya dia sangat in
Kedua bola mata Tanisha membesar kala menyadari Ansell sudah menyadap ponselnya. Sejak kapan? Dan bagaimana caranya dia memasang penyadap di barang yang ... akh! Pasti saat Nisha mabuk malam-malam kemarin![Kau! Menyadap ponselku?!][Sejak aku tinggal di apartemenmu, Sayang.]“Hahhh?!” Tanisha tanpa sadar memekik di kursinya. Dia semakin shock! Sejak dia masih di apartemen?! Sinting!!“Kenapa, Beb?” Hana tentu saja ikut kaget. Soalnya suara Tanisha terdengar cukup kencang.“E—eh. Enggak kok.” Nisha cepat-cepat menutup layar ponselnya, sebelum Hana nekat mengintip karena penasaran dengan siapa dia sedang berkirim pesan. Untungnya gadis itu tidak seantusias itu. Hana kembali fokus ke gadget yang ada di tangannya sendiri.Hufftt, jadi selama ini Ansell mengawasinya?? Apa saja yang sudah dia dengar? Berarti, malam dimana dia lembur karena diamuk Kenendy, Ansell tau penyebab yang sebenarnya? Oh God. Apa lagi? Apa Tanisha pernah membahas yang tidak-tidak dengan yang lain? Apa ada aib yang t
Kedua bola mata Tanisha membesar kala menyadari Ansell sudah menyadap ponselnya. Sejak kapan? Dan bagaimana caranya dia memasang penyadap di barang yang ... akh! Pasti saat Nisha mabuk malam-malam kemarin![Kau! Menyadap ponselku?!][Sejak aku tinggal di apartemenmu, Sayang.]“Hahhh?!” Tanisha tanpa sadar memekik di kursinya. Dia semakin shock! Sejak dia masih di apartemen?! Sinting!!“Kenapa, Beb?” Hana tentu saja ikut kaget. Soalnya suara Tanisha terdengar cukup kencang.“E—eh. Enggak kok.” Nisha cepat-cepat menutup layar ponselnya, sebelum Hana nekat mengintip karena penasaran dengan siapa dia sedang berkirim pesan. Untungnya gadis itu tidak seantusias itu. Hana kembali fokus ke gadget yang ada di tangannya sendiri.Hufftt, jadi selama ini Ansell mengawasinya?? Apa saja yang sudah dia dengar? Berarti, malam dimana dia lembur karena diamuk Kenendy, Ansell tau penyebab yang sebenarnya? Oh God. Apa lagi? Apa Tanisha pernah membahas yang tidak-tidak dengan yang lain? Apa ada aib yang t
Tanisha masih bengong mendengar apa yang Ansell ucapkan barusan. Bukan karena kata-kata itu terdengar kurang jelas, melainkan karena dia tidak percaya kalimat seperti itu bisa keluar dari mulut direkturnya sendiri. Menikahi Tanisha secepatnya? Dia sedang kerasukan jin apa kah?“Dan itu akan lebih berbahaya dari pada memecat Kennedy,” jawab perempuan itu akhirnya. Tatapan matanya kembali tegas seperti setiap kali dia marah pada Ansell di apartemen. “Apa pun rencanamu terhadap Kennedy, bisa tolong jangan bawa-bawa aku? Aku sudah dipecat hari ini dan aku sudah memutuskan akan keluar.”“Coba saja. Aku ingin lihat sejauh apa kau berhasil pergi dari aku.”Senyum miring di wajah Ansell sempat membuat Tanisha ragu. Apa lagi rencana laki-laki ini? Sebenarnya dia sangat penasaran, tapi memilih untuk tidak mau mau tau. Semuanya masih terlalu membingungkan. Gadis itu butuh waktu.“Aku mau keluar. Buka pintunya.”Ansel mengangguk. Tidak berencana menahan Tanisha lagi walau sejujurnya dia sangat in
Apa? Ke ruangan Ansell?Ngapain?Nggak! Tanisha nggak mau!Ansell berbalik. Perintahnya tadi seperti tidak untuk diulang dua atau tiga kali. Keempat bodyguard-nya juga sudah ikut berbalik. Namun Hans dan para dewan direksi masih menunggu Tanisha bergerak.“Ibu Tanisha? Ayo?” Hans menekankan suaranya. “Saya ...” Tanisha berpikir keras untuk mencari alasan. Ngapain coba harus ke ruangan Ansell? Di sini saja ‘kan bisa?“Sebelum beliau mengulangi instruksinya lagi,” desak Hans. Jangan sampai Ansell marah karena perempuan ini.Duhh. Tanisha harus bagaimana? Dia menoleh ke kiri dan kanan, seperti ingin meminta pendapat teman-temannya. “Pergi aja, Beb, siapa tau nggak jadi dikeluarin.” Hana mendukung seratus persen. “Iya. Jujur aja kalau kamu nggak salah!” Jill juga ikut mengompori. Diliriknya Kennedy yang sudah diam tak berkutik. Mampus aja dia! Ketar-ketir nggak tuh?Tanisha menarik napas ragu. Diam-diam dia melirik atasannya. Apakah dia akan aman kalau membongkar kejahatan pria ini? Ja
Tanisha merasa hidupnya seperti sedang dipermainkan oleh takdir. Dua hari ini dia uring-uringan karena kehilangan seseorang yang baru dia sadari ternyata cukup berarti dalam hidupannya. Orang asing yang dia temui di trotoar apartemen, yang sudah menyusahkan hidup Tanisha selama satu bulan terakhir. Yang kemudian pergi begitu saja tanpa itikad baik sebagaimana seseorang yang sudah menumpang di apartemen orang lain sampai se-lama itu.Dia mengenal laki-laki itu dengan nama ‘Ansell’. Ansell saja. Tidak ada embel-embel Arthur Benedict seperti nama pria yang saat ini menjadi pusat perhatian semua anak divisi marketing. Tapi ... Tanisha tidak buta. Mereka adalah orang yang sama. Bedanya, Ansell yang dia kenal memelihara banyak rambut tipis di area wajahnya. Kumis, jambang, janggut. Sedangkan wajah Ansell yang ini bersih. Klimis. Bahkan model sisiran rambutnya pun berbeda. Ansell yang kemarin lebih urakan. Yang ini benar-benar rapi, hingga menunjukkan jidatnya yang lebar.Sejak nama itu diu
Hana, Jill, Keisha dan Fransiska menoleh ke arah kubikel Tanisha. Ada apa lagi?“B—Baik, Pak.” Gadis itu berdiri meninggalkan kursinya. Tidak sempat berpikir apa-apa karena itu akan mengulur waktu lagi. Dia juga tidak sempat membalas tatapan teman-temannya dengan tersenyum agar mereka tidak khawatir.Mengetuk pelan pintu ruangan Kennedy, Tanisha mendengar suara khas yang mengijinkannya untuk masuk.“Selamat pagi, Pak.” Dia menyapa dengan sopan.“Kamu tadi datang terlambat?” Kennedy to the point. Tanisha meneguk ludah. Ternyata dosa-dosanya tidak pernah luput dari pantauan atasannya ini.“Absen jam sembilan kurang tiga menit, Pak,” tuturnya. Secara administrasi, itu tidak bisa dikatakan terlambat. Karena kantor ini masuknya memang jam sembilan teng.“Menurut kamu itu sudah terlambat atau tidak?”Tapi kalau ditodong pertanyaan seperti ini, Tanisha tentu tidak berani menjawab sesuai dengan kebenarannya. Kennedy pasti akan punya segudang teori lain yang bisa mematahkan peraturan itu.“Ka
Rasa nyeri di area selangkangannya membuat Tanisha lagi-lagi tidak bisa berdiri dari atas kasur. Kali ini lebih nyeri dari hari pertama kemarin. Apakah karena tidak memakai pengaman sehingga dia dan pria asing itu kebablasan sampai pagi? Sepertinya iya. Seluruh tubuh Tanisha seakan remuk tak berbentuk. “Mhhhh ...” Dia menggeliat di bawah selimut tebal yang begitu hangat dan nyaman. Tubuhnya masih naked, tanpa sehelai benang pun. Bagaimana ceritanya dia bisa kembali ke kamar ini? Gadis itu mencoba mengingat-ingat kejadian tadi malam. Kalau dia kembali ke kamar president suites yang ada di club kemarin lusa, siapa orang yang sudah membawanya? Seingatnya dia dan Hana tidak datang ke club ini. Apakah ...?Ck! Pantas saja mereka mabuk! Sepertinya minuman mereka sudah disabotase oleh orang yang sangat terobsesi akan dirinya. Siapa lagi kalau bukan si ‘Tuan Besar’? Tanisha sangat ingat, di surat kecil kemarin, orang itu memang bilang ingin bertemu dengannya lagi. Tapi Nisha tidak tau kalau
Tiga puluh menit perjalanan, akhirnya taksi itu berhenti di depan sebuah tempat, yang kalau dilihat dari luar saja sudah sangat besar dan megah. Itu adalah club yang akan mereka masuki sebentar lagi. “Kamu yakin kita bisa masuk ke sana, Beb?” Nisha mendadak tidak yakin. Secara mereka masih pakai seragam kantor. Takut dipandang sebelah mata.“Yakinnn. Asal udah di atas dua puluh, bisa kok. Yuk?” Hana menarik tangan Tanisha setelah urusan dengan driver taksi selesai. Sepertinya gadis itu sudah tidak sabaran ingin masuk ke tempat bising dan minim cahaya itu.Seperti janjinya tadi, Hana mengenal salah satu security yang selalu berjaga di pintu masuk. Hanya dengan satu kedipan genit, dia dan Tanisha langsung lolos tanpa perlu mengecek kartu identitas.“Beb! Kamu kenal dia dari mana? Bahaya banget ih!” Melihat itu tentu saja Tanisha jadi khawatir. Jangan-jangan Hana dan petugas security itu ada ‘sesuatu’?“Aku ‘kan udah beberapa kali ke sini, Nisha sayang. Tenang aja.”Ah, kenapa juga dia
Tanisha memutuskan untuk segera pulang ke apartemen. Ponsel Ansell sudah tidak aktif dan hatinya sama sekali tidak tenang. Ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri kalau laki-laki itu sudah benar-benar pergi. Setengah hatinya berharap itu tidak benar. Berharap Ansell hanya ingin menggertak dia perihal jam pulang kantor. Soalnya pria itu sama sekali tidak punya tempat untuk pulang. Mustahil dia nekat meninggalkan apartemen Tanisha yang menjadi zona nyamannya selama satu bulan terakhir.Namun kunci apartemen cadangan yang selama ini ada pada Ansell, benar-benar Nisha temukan tertinggal di resepsionis. Wanita itu seketika lemas. Tidak mungkin kuncinya ada di sini kalau orangnya masih ada di dalam ‘kan? Atau dia hanya sedang keluar untuk cari angin? Bisa aja ‘kan?“Mba Yul, maaf, mau tanya ... tadi, bule yang kasih kunci ini, ada nitip pesan nggak ke Mba? Entah apa tapi yang harus disampaikan ke saya? Misal tentang dia akan pergi ke mana?”“Nggak ada, Mba Nisha. Kenapa gitu, Mba?” S
Tanisha memutuskan untuk makan dulu. Dia lapar. Entah sebanyak apa tenaga yang dia keluarkan tadi malam sampai keroncongan parah se pagi ini. Dan lagi, si Tuan Besar itu ... dia benar-benar pengecut. Apakah dia sudah terbiasa meniduri perempuan lalu meninggalkannya saat matahari terbit? Cuih! Pecundang!Makanan ini sungguh enak. Atau pengaruh Nisha sedang kelaparan saja? Entahlah. Padahal ini hanya krim sup jagung biasa, ditambah ayam siram jamur. Bukan menu aneh-aneh yang sama sekali tidak pernah dia makan. Fix tadi malam dia terlalu kelelahan. Apa saja yang sudah dia lakukan bersama laki-laki berotot liat itu?Hah?Sepertinya Tanisha mulai mengingat tentang malam erotis kemarin, walau hanya sedikit. Ya itu, soal otot-otot six pack yang sering menjadi sasaran telapak tangan Tanisha. Gadis itu sampai memejamkan kedua matanya hanya untuk mengingat lebih detail lagi.“Ansel? Kenapa kemarin aku menyebutkan namanya?” Kunyahan Tanisha berhenti ketika samar-samar lenguhannya kemarin kembali