Setelah mangkir beberapa kali, akhirnya Agam kembali datang ke rumah orang tuanya. Ajakan untuk makan malam bersama selalu ia tolak demi kenyamanan dada. Namun kali ini dia memiliki tujuan yang berbeda. Bukan hanya sekedar makan malam biasa, tetapi ia juga akan menyampaikan berita. Febi, gadis yang selama ini memilih netral pun juga berubah. Posisinya selama ini memang tidak memungkinkan untuk memihak, antara orang tua atau sahabatnya. Namun kali ini aura permusuhan itu begitu terasa. Febi mendadak menjelma menjadi Agam kedua, yang malas untuk berkunjung menemui kedua orang tuanya. Makan malam berlangsung dengan hening. Hanya terdengar suara sendok yang bertemu dengan piring. Namun semua orang tahu jika mereka sedang berakting. Sebelum akhirnya pembicaraan yang diinginkan kembali memancing. "Jadi gimana Jepang kemarin, Gam?" tanya ayahnya. "Lancar," jawab Agam singkat. "Mr. Haraku mau bekerja sama." Senyum ayahnya langsung merekah. Tentu saja kabar ini sangat membahagiakan
Ternyata apa yang Agam lakukan bukan sekedar ancaman. Surat pengunduran diri sudah ia ajukan. Tentu membuat heboh seluruh karyawan. Banyak rumor yang mulai berkembang. Apa menghilangnya sosok Alicia Cantika menjadi alasan? Namun Agam tidak menghiraukan. Dia sudah terbiasa mendengar banyak rumor yang berkeliaran. Apa lagi ditambah dengan keputusan besarnya sekarang. Tentu kehebohan tidak bisa lagi ditekan. Suara ketukan pintu membuat Agam bergumam. Dika masuk dengan hanya memperlihatkan kepalanya saja. "Pak?" Agam pun mengalihkan pandangan. "Ada apa?" "Pak Dandung ingin bertemu." Wajah Agam yang semula datar mulai berubah. Ada pendar geli di matanya. "Kapan?" "Sekarang. Pak Dandung sudah ada di ruang tunggu." Agam mengangguk. "Minta dia masuk." Sebelum Dika pergi, Agam kembali memanggil. "Gue masih atasan di sini, kan, Ka?" tanyanya. "Kenapa?" "Minta resepsionis lobi bawah untuk jangan biarin orang luar masuk, termasuk Pak Dandung." "Tapi Pak Firman sendir
Pada dasarnya, setiap manusia memiliki kekurangan. Kekurangan yang mungkin tak bisa diterima oleh banyak orang. Namun begitu lah manusia. Makhluk Tuhan yang tidak sempurna. Jelas harapan tentu akan sama, yaitu menjadi pribadi yang lebih dewasa dengan segala permasalan hidup yang ada. Cuti tiga hari Febi telah usai. Dia kembali bekerja dengan hati gusar. Tanggung jawabnya sebagai budak korporat membuatnya sadar. Jika dia tidak bisa terus menghindar. Namun yang pasti menghindari Dika tetap akan ia lakukan. Malu, kesal, resah, dan gelisah. Itu yang Febi rasakan saat ini. Dia membenci dirinya sendiri yang lemah terhadap cinta. Ternyata seperti ini rasanya sakit hati karena cinta. Mulai sekarang, Febi tidak akan mengejek Cia lagi. Dia akan mulai prihatin dengan masalah yang menimpa Cia dan Kakaknya. Pasti rasanya akan lebih sakit dari pada sekedar cinta ditolak. "Hari ini lo agak dieman. Habis cuti bukannya hepi malah kayak orang sakit gigi," celetuk Ridho di sampingnya. "Hati
Rasa canggung begitu terasa. Mencoba mengusik ketenangan jiwa. Awalnya kedua insan itu berusaha untuk bersikap biasa. Namun memang perasaan tak bisa untuk diajak kerja sama. Rumah Cia menjadi tujuan mereka. Bersembunyi dari banyaknya tatapan warga desa. Seperti tetangga pada umumnya, mereka penasaran akan sosok Agam Mahawira. Sebenarnya penampilannya biasa saja, hanya saja wajahnya yang tampan tentu menarik curiga. Di sini lah mereka, duduk berdua di meja makan yang terbuat dari kayu istimewa. Meskipun terlihat sederhana, tetapi percayalah kayu itu sangat mahal harganya. Sudah bertahun-tahun awetnya. Saksi peninggalan Kakek Cia juga. "Kenapa Pak Agam ke sini?" tanya Cia meletakkan teh hangat buatannya. Tidak ada teh jahe. Entah kenapa Cia tidak mau mengingat masa lalu mereka. Agam masih menutup mulutnya. Jujur, dia sedikit terganggu dengan suara pisau dan papan potong yang beradu. Dari tempat duduknya, Agam bisa melihat Nenek Cia yang tengah menyiapkan kudapan untuknya. Me
Kesibukan di kantor masih Agam lakukan. Hanya tinggal satu minggu waktunya sebelum benar-benar pergi meninggalkan. Sebenarnya bisa saja Agam tetap tinggal, mengingat jika orang tuanya tidak lagi membahas perjodohan. Namun entah lah, untuk sekarang Agam hanya ingin melakukan apa yang ia inginkan. Dia akan memastikan sendiri sampai semuanya benar-benar aman dan berjalan sesuai dengan keinginan. Tak akan ada lagi perjodohan dan tak ada lagi cara-cara konyol lainnya untuk mempertahankan perusahaan. Rapat kali ini berlangsung dengan santai. Entah kenapa ketegangan tak begitu terasa seperti rapat sebelumnya. Biasanya Agam tak suka bercanda, tetapi kali ini terasa berbeda. Tak jarang dia menimpali candaan dari karyawannya. "Seharusnya Pak Agam bisa lebih lama di sini. Kita harus lihat goals kita sama-sama, Pak." "Benar, Pak. Kita bisa rayain keberhasilan kita sama-sama nanti." Agam tersenyum tipis. "Saya sudah cukup senang melihat perkembangan yang ada, tapi bukan berarti saya pu
Terik matahari tidak begitu mengganggu. Topi yang terpasang di kepala juga sedikit banyak membantu. Namun tentu saja masih ada yang menggerutu. Masih kesal dengan waktu akhir pekannya yang terganggu. Raut wajah Dika masih kusut. Ia tidak berusaha untuk menutupi kekesalannya. Jika bukan karena permintaan Agam, mungkin dia akan menolak keras untuk hadir ke tempat ini. Sebenarnya Dika juga sudah menolak, tetapi Agam tentu akan tetap memaksa. "Gam, asli gue capek. Balik aja udah." Agam mengabaikan Dika. Dia tampak bersiap mengambil ancang-ancang. Setelah itu dia memukul bola golf-nya hingga jauh. Matanya harus menyipit untuk melihat ke mana arah bolanya pergi. "Sebentar," jawabnya singkat. "Lo udah bikin gue lembur dua minggu ini. Cuma akhir pekan waktu gue bisa santai. Sekarang mau lo ambil juga?" Dika tidak berbohong mengenai rasa lelahnya. Kadang dia heran melihat Agam yang selalu terlihat bugar. Apa yang pria itu minum setiap harinya? "Ada yang ganggu pikiran lo?" Ag
Begitu menginjakkan kaki di ibu kota, tujuan utama Cia adalah rumah sakit. Berbekal informasi dari Febi yang telah mengonfirmasi keadaan Agam, Cia langsung menuju tujuan utama. Beruntung dia sampai di pagi hari sehingga tak sulit untuk mencari kendaraan umum. Tubuh yang lelah tidak membuat Cia memejamkan mata. Bahkan saat di kereta, matanya terus terjaga. Tak henti dia juga berdoa untuk kesembuhan Agam Mahawira. Ini pertama kalinya dia melihat pria itu tumbang karena kesibukannya. "Sudah sampai, Mbak." Lamunan Cia buyar. Dia melihat ke sekitar dan bernapas lega saat ia sudah berada di depan rumah sakit. Dengan cepat dia membayar ongkos taksi dan keluar. Senyum lemah Cia berikan pada seseorang yang sudah menunggunya. Dia melambaikan tangan dan berlari mendekat. Pelukan hangat langsung menyambutnya. "Cia, gue kangen banget!" gumam Febi memeluknya erat. Bahkan Cia bisa mendengar suara sahabatnya itu bergetar. "Gue juga kangen sama lo, Feb." Cia melepaskan pelukannya. "Kok l
Keesokan harinya, Agam sudah diperbolehkan pulang. Beruntung kesehatannya cepat pulih sehingga tak memerlukan banyak waktu untuk pemulihan. Ini juga karena Cia yang mendadak datang. Bisa dibilang keberadaan gadis itu yang membuat Agam tenang. Agam Mahawira adalah tipe orang yang jarang sakit. Namun tidak bisa disangkal, keadaan yang cukup kacau akhir-akhir ini mulai mengganggu kehidupan tenangnya. Mulai dari masalah perjodohan, perusahaan, kesehatan orang tuanya, hingga Cia. Semua masalah datang secara bersamaan. Mungkin kemarin adalah puncaknya. Puncak di mana Agam tidak bisa mengatasinya lagi. Hingga akhirnya dia tumbang sendirian di kamarnya. "Hati-hati," ucap Cia saat Agam memasuki apartemennya. Dia mengawasi pria itu dari belakang. Mungkin Cia terlihat berlebihan. Agam sudah jauh lebih baik sekarang. Namun, dia tetap memperlakukan pria itu seperti orang yang baru saja keluar dari ruang operasi. Agam bisa berjalan dengan lancar, tetapi Cia selalu mengawasinya takut jika pr