Begitu menginjakkan kaki di ibu kota, tujuan utama Cia adalah rumah sakit. Berbekal informasi dari Febi yang telah mengonfirmasi keadaan Agam, Cia langsung menuju tujuan utama. Beruntung dia sampai di pagi hari sehingga tak sulit untuk mencari kendaraan umum. Tubuh yang lelah tidak membuat Cia memejamkan mata. Bahkan saat di kereta, matanya terus terjaga. Tak henti dia juga berdoa untuk kesembuhan Agam Mahawira. Ini pertama kalinya dia melihat pria itu tumbang karena kesibukannya. "Sudah sampai, Mbak." Lamunan Cia buyar. Dia melihat ke sekitar dan bernapas lega saat ia sudah berada di depan rumah sakit. Dengan cepat dia membayar ongkos taksi dan keluar. Senyum lemah Cia berikan pada seseorang yang sudah menunggunya. Dia melambaikan tangan dan berlari mendekat. Pelukan hangat langsung menyambutnya. "Cia, gue kangen banget!" gumam Febi memeluknya erat. Bahkan Cia bisa mendengar suara sahabatnya itu bergetar. "Gue juga kangen sama lo, Feb." Cia melepaskan pelukannya. "Kok l
Keesokan harinya, Agam sudah diperbolehkan pulang. Beruntung kesehatannya cepat pulih sehingga tak memerlukan banyak waktu untuk pemulihan. Ini juga karena Cia yang mendadak datang. Bisa dibilang keberadaan gadis itu yang membuat Agam tenang. Agam Mahawira adalah tipe orang yang jarang sakit. Namun tidak bisa disangkal, keadaan yang cukup kacau akhir-akhir ini mulai mengganggu kehidupan tenangnya. Mulai dari masalah perjodohan, perusahaan, kesehatan orang tuanya, hingga Cia. Semua masalah datang secara bersamaan. Mungkin kemarin adalah puncaknya. Puncak di mana Agam tidak bisa mengatasinya lagi. Hingga akhirnya dia tumbang sendirian di kamarnya. "Hati-hati," ucap Cia saat Agam memasuki apartemennya. Dia mengawasi pria itu dari belakang. Mungkin Cia terlihat berlebihan. Agam sudah jauh lebih baik sekarang. Namun, dia tetap memperlakukan pria itu seperti orang yang baru saja keluar dari ruang operasi. Agam bisa berjalan dengan lancar, tetapi Cia selalu mengawasinya takut jika pr
Langit hampir saja gelap. Seorang gadis berdiri di depan panti dengan pandangan berharap. Langkahnya terasa berat pertanda jika ia tak siap. Namun tak ada lagi waktu untuk meratap. Waktunya sudah habis karena ia yang tak cakap. Hari ini adalah hari terakhir Cia duduk di sekolah menengah atas. Hanya tinggal menunggu hari sampai hari perpisahan tiba. Bukannya langsung pulang, kakinya malah membawanya ke sebuah panti. Panti yang menjadi tempat favoritnya selama dua tahun terakhir ini. Dia akan melakukan sesuatu. Sesuatu yang menjadi kunci untuk langkahnya ke depan. Sesuatu yang sudah ia pikirkan dengan matang. Sesuatu yang mungkin saja bisa membuatnya sedih atau bahkan juga senang. Cia sadar jika ia masih labil, tetapi karena kelabilannya itu dia nekat melakukan hal ini. Suara dentuman bola basket membuat langkah Cia terhenti. Dari belakang, dia bisa melihat seorang pria yang tengah bermain basket sendirian. Mengingat jika malam hampir tiba, tentu semua penghuni panti memilih u
Malam ini Agam memutuskan untuk makan malam bersama orang tuanya. Bukan lagi karena paksaan. Dia datang dengan inisiatifnya sendiri. Membuat kedua orang tuanya tersenyum senang menyambutnya. Bahkan Agam juga meminta Febi untuk datang. Meski menolak, tetapi Agam berhasil membuat gadis itu datang dengan imbalan tiga kotak masker korea favoritnya. Meski tidak ada Cia di sisinya, wajah Agam terlihat cerah. Beban berat yang membuat wajahnya kaku akhir-akhir ini seolah sirna. Tergantikan wajah cerah dengan sorot hangat di mata. Perubahan yang signifikan dan ketara. Bahkan sakit di tubuhnya kemarin seolah bukan apa-apa. "Makan yang banyak." Tante Nana tersenyum senang dan kembali menambah lauk di piring kedua anaknya. "Tumben Kak Agam yang ajak kumpul? Ada ap?" Febi bertanya dengan mulut penuh. Ingat, meski Febi berasal dari keluarga kaya, tetapi dia bukanlah seorang puteri raja. "Habisin dulu," perintah Ayahnya. "Mama seneng kalau kita kumpul kayak gini. Sering-sering, ya?"
Berita tentang hubungan Agam dan Cia kembali menjadi perbincangan. Kali ini bukan lagi rumor belaka, melainkan benar adanya. Foto yang diunggah oleh Febi Mahadita adalah sumbernya. Potret lamaran yang sangat mengejutkan karena dilakukan secara tiba-tiba. Namun percayalah, tidak ada kabar buruk di balik semuanya. Baik Agam dan Cia hanya ingin cepat bersama. Cia sendiri juga tidak lagi peduli dengan rumor yang beredar tentangnya. Toh, dia juga sudah tidak bekerja untuk Agam. Yang terpenting, rumor itu juga tidak benar. Diterpa berbagai masalah membuat Cia sadar. Jika terus mendengarkan perkataan orang lain, hidup tidak akan bisa tenang. Seperti kata Agam, kita tidak bisa mengontrol pikiran orang lain. Karena itu, Cia sebisa mungkin tidak memedulikan kabar buruk tentang dirinya. Yang terpenting adalah orang-orang terdekat tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiga hari setelah acara lamaran, Cia kembali ke Jakarta. Mulai sekarang dia akan disibukkan dengan rencana pernikahan. Ternyat
Suara pintu yang terbuka dan tertutup secara perlahan membuat Cia membuka mata. Dia sudah bangun sejak subuh, hanya saja dia kembali berbaring sebelum matahari benar-benar muncul. Di dalam kegelapan, Cia bisa melihat siluet seorang gadis yang tengah berjalan mengendap. Febi, sahabatnya itu sudah bangun. Cia melirik Agam yang masih tertidur. Dengan hati-hati dia bangun dan mengikuti ke mana Febi pergi. Dia melihat gadis itu membuka pintu apartemen, bersiap untuk pergi. "Mau ke mana?" tanya Cia berbisik. Febi terlihat terkejut. Tubuhnya menegang dan ia berbalik dengan hati-hati. Dia menghela napas kasar saat hanya melihat Cia. "Gue mau pulang." Cia melipat kedua tangannya di dada. Tidak percaya dengan ucapan Febi. Karena sahabatnya itu berbicara tanpa menatap matanya. "Gue mau liat Kak Dika. Please, jangan kasih tau Kak Agam." Akhirnya Febi mengaku. Cia menghela napas kasar. "Kak Agam bisa marah kalau tau." "Tolong, Ci. Gue kepikiran Kak Dika. Wajahnya babak belur se
Selama dua bulan Cia dan Agam disibukan dengan persiapan pernikahan. Selama dua bulan juga Cia dan Agam sering berdebat karena perbedaan pendapat. Selama dua bulan pula banyak huru-hara yang terjadi di antara mereka. Namun dalam dua bulan juga, mereka dibuat sangat mantap dengan keputusan yang mereka ambil. Yaitu, pernikahan. Tidak ada yang menduga jika momen istimewa ini akan terjadi. Tidak ada yang menduga juga jika mereka berdua bisa melalui semua rintangan yang ada. Dan tidak ada yang menduga pula jika keduanya akan bersatu di pelaminan. "Sah!" Cia memejamkan mata erat begitu suara saksi terdengar sangat lantang. Rasa haru mulai ia rasakan. Namun sebisa mungkin Cia tidak ingin menangis. Riasan wajahnya sudah sangat cantik dan Cia tidak mau merusaknya. "Cium-cium!" Suara siapa lagi jika bukan si bungsu Febi. Membuat Cia menoleh pada pria di sampingnya. Rasa panas mulai menjalar ke wajahnya. Demi apapun, dia malu jika harus menatap mata Agam secara langsung. Menatap ma
Jantung itu masih berdebar kencang. Menciptakan momen aneh yang begitu tegang. Seharusnya setelah resepsi selesai, perasaannya bisa lebih tenang. Bukannya demikian, aura di sekitar malah terasa semakin menantang. Di lorong hotel, hanya terdengar suara langkah kaki. Suara nyaring itu keluar dari sepatu Cia yang berhak 10 senti. Di belakangnya, Agam terlihat mengikuti. Mengawasi langkahnya yang terlihat tertatih. Akibat lelah karena acara resepsi. Tidak ada lagi pihak wedding organizer yang menemani. Acara sudah benar-benar selesai. Setelah berganti pakaian, baik Cia dan Agam kembali ke kamar mereka hampir dini hari. Tubuh lelah tentu mendominasi. Namun percayalah, hati Cia tidak memikirkan hal itu saat ini. Ada hal yang lebih menegangkan akan terjadi dan itu adalah pertama kalinya ia alami. Malam pertama. Ah, jantung Cia benar-benar berdebar. Dia bertanya-tanya, apa Agam merasakan hal yang sama? "Yang lain di kamar mana, Kak?" tanya Cia menunggu Agam membuka pintu kamar mer