Dalam waktu sekejap langit cerah berubah menjadi mendung. Membuat hati Agam yang kacau juga tampak mendukung. Perasaan bersalah membuatnya mematung. Kala mendengar kalimat-kalimat sakit yang menghunus jantung. Sampai kapan Agam harus bertahan di tempat ini? Dia lelah mendengar perbincangan dua pria paruh baya yang ia hormati, sayangnya juga ia benci untuk saat ini. Mungkin terdengar kasar di telinga. Namun itulah yang Agam rasakan saat ini. "Permainan kamu kurang bagus hari ini, Gam." Agam menatap bola yang ia pukul dan mengangguk setuju. Dia tersenyum tipis, senyum yang tak sampai ke mata. Kemudian ia bergerak untuk mundur. Tidak berniat menjawab karena rasa malas yang ia rasakan. "Kamu sakit?" Suara lembut itu terdengar di telinga. Agam menggeleng dan mengambil jarak selebar satu meter. Dia tidak mau dekat dengan siapa pun untuk saat ini. Jangan pernah mendekatinya jika tak ingin melihatnya kehilangan kendali. "Gimana hubungan kalian? Ada perkembangan?" Ayah Agam mul
Memang sulit jika membicarakan masalah hati. Apa lagi pada orang yang sedang tersakiti. Tak ada yang bisa membantu selain diri sendiri. Membuat semua perhatian yang ada seolah tak lagi berarti. Di meja makan itu, tidak ada yang membuka suara. Febi meringis melihat tingkah sahabatnya. Seperti kerasukan, Cia memakan baksonya dengan lahap. Bukan itu sebenarnya akar permasalahannya. Banyaknya sambal yang Cia tuang lah yang membuat Febi bergidik. Febi tahu suasana hati Cia sedang tidak baik. Oleh karena itu dia membiarkannya. Namun jika terus diam, maka Cia yang akan berakhir kesakitan. "Pelan-pelan." Febi memberi selembar tisu. "Sambelnya lo makan nggak?" tanya Cia pada Ridho. "Makan aja." Ridho memberikan sambalnya. Ya, pria itu juga ada di apartemen Cia malam ini. Menuruti permintaan temannya yang menginginkan bakso mercon. Setelah mengetahui apa yang terjadi dari mulut Febi, dia langsung meluncur. Ridho masih tidak menyangka akan aksi orang tua Febi yang secara terang-ter
Keadaan benar-benar tidak lagi memungkinkan. Dua sejoli yang saling mencintai harus menjaga jarak karena situasi yang tak aman. Memilih untuk mengalah demi keegoisan. Tak ingin jika kebencian akan semakin menekan. Cia pikir kesabarannya selama ini akan memberi sedikit keringanan. Namun malah berubah kebalikan. Masalah kompleks pun tak bisa lagi diabaikan. Tidak banyak yang bisa ia lakukan selain bertahan. Namun resiko yang ia tanggung adalah siksaan batin yang tak terhindarkan. "Jangan melamun," tegur Dika berbisik. Cia mengerjap dan menggeleng pelan. Dia kembali menatap laptopnya. Berusaha fokus mencatat poin penting dalam rapat siang ini. Melihat Agam dalam mode serius seperti ini membuatnya sering lupa diri. Selain mengagumi, Cia juga teringat dengan apa yang mereka lalui akhir-akhir ini. "Saya akan ikut memantau semuanya sampai akhir tahun. Setelah itu kita evaluasi. Jika penurunan berhasil ditekan maka kita lanjutkan dengan strategi yang sama. Jika tidak, saya minta tim
Agam kembali melakukan perjalanan kerja. Bedanya kali ini dia berangkat ke luar negeri, lebih tepatnya Jepang. Namun sayang, Cia tidak bisa ikut mendampingi. Kendalanya adalah dia belum memiliki passport. Jika membuatnya lebih dulu tentu akan memerlukan waktu yang tidak sebentar. Sedangkan Agam tidak memiliki banyak waktu lagi di tengah kesibukannya. Sudah dua hari Agam pergi. Tidak sendiri, melainkan ada Dika yang menemani. Jika tidak ada pria itu, mungkin Cia tidak akan mengetahui kabar Agam. Pria itu benar-benar sibuk. Agam sedang melakukan banyak usaha untuk membuat perusahaan membaik. "Punggung gue capek banget," gumam Cia merenggangkan punggungnya. "Mau gue pijitin?" tanya Febi dari belakang. Cia menggeleng dan menekan kata sandi apartemennya. Febi juga melakukan hal yang sama. Mereka baru saja pulang dari kantor saat ini. "Feb?" panggil Cia sebelum masuk ke apartemennya. "Ya?" "Pijet, yuk?" ajak Cia dengan wajah berseri. Membayangkan tubuhnya dipijat oleh tena
Bagi Cia, lemah karena cinta adalah hal yang memalukan. Dia bisa berkata demikian karena mengalaminya sendiri. Cia memiliki kebiasaan buruk tentang cinta. Akal sehatnya seolah hilang jika sudah berurusan dengan perasaan murni itu. Jika cinta tersebut memberikan kebahagiaan, tentu akan menjadi energi yang positif. Namun bagaimana jadinya jika rasa cinta itu memberikan kesedihan? Bukan hanya akal sehat yang hilang, tetapi juga gairah hidupnya. Entah sudah berapa lama Cia duduk di sofa sambil menatap jalanan ibu kota, dia sendiri tidak tahu. Yang pasti setelah pulang dari bekerja, dia langsung duduk di sana sampai hari mulai gelap. Masih dengan pakaian kerjanya, Cia duduk meringkuk sambil memeluk lututnya. Jangankan berganti baju, untuk menyalakan lampu saja dia sudah malas. Hatinya benar-benar tidak tenang. Namun Cia tidak menangis kali ini. Dia sudah lelah meratapi nasibnya sendiri yang menyedihkan. Dia hanya butuh Agam untuk mendukungnya. Karena Cia bertahan hingga saat ini ju
Kenyataan memang tak seindah harapan. Tak semenyenangkan khayalan. Juga tak secerah keinginan. Semesta seolah menyadarkan manusia akan keadaan. Namun apa tak boleh manusia memilih jalan aman? Agam Mahawira berada di titik paling rendah saat ini. Kesedihan yang pernah terjadi dalam hidupnya tak bisa menyamai perasaannya saat ini. Ada rasa marah, kecewa, sedih, dan tak percaya yang ia rasakan. Syukur saja, ekspresi datar yang berhasil ia tampilkan. Agam kembali membaca lembaran kertas di tangannya. Rahangnya mengeras setiap membaca kata demi kata. Matanya menyala siap untuk berteriak murka. Namun, lagi-lagi Agam berhasil menyembunyikan emosinya dengan sempurna. "Cia bilang sama lo?" tanya Agam pada pria di hadapannya. Dika menggeleng lemah. "Gue juga baru tau sekarang." Agam meletakkan kertas itu dan mengusap wajahnya kasar. "Segampang itu dia nyerah," gumamnya. "Gam, nggak mudah jadi Cia." Dika menatap sahabatnya prihatin. Di tengah masalah perusahaan, ada masalah priba
Setelah mangkir beberapa kali, akhirnya Agam kembali datang ke rumah orang tuanya. Ajakan untuk makan malam bersama selalu ia tolak demi kenyamanan dada. Namun kali ini dia memiliki tujuan yang berbeda. Bukan hanya sekedar makan malam biasa, tetapi ia juga akan menyampaikan berita. Febi, gadis yang selama ini memilih netral pun juga berubah. Posisinya selama ini memang tidak memungkinkan untuk memihak, antara orang tua atau sahabatnya. Namun kali ini aura permusuhan itu begitu terasa. Febi mendadak menjelma menjadi Agam kedua, yang malas untuk berkunjung menemui kedua orang tuanya. Makan malam berlangsung dengan hening. Hanya terdengar suara sendok yang bertemu dengan piring. Namun semua orang tahu jika mereka sedang berakting. Sebelum akhirnya pembicaraan yang diinginkan kembali memancing. "Jadi gimana Jepang kemarin, Gam?" tanya ayahnya. "Lancar," jawab Agam singkat. "Mr. Haraku mau bekerja sama." Senyum ayahnya langsung merekah. Tentu saja kabar ini sangat membahagiakan
Ternyata apa yang Agam lakukan bukan sekedar ancaman. Surat pengunduran diri sudah ia ajukan. Tentu membuat heboh seluruh karyawan. Banyak rumor yang mulai berkembang. Apa menghilangnya sosok Alicia Cantika menjadi alasan? Namun Agam tidak menghiraukan. Dia sudah terbiasa mendengar banyak rumor yang berkeliaran. Apa lagi ditambah dengan keputusan besarnya sekarang. Tentu kehebohan tidak bisa lagi ditekan. Suara ketukan pintu membuat Agam bergumam. Dika masuk dengan hanya memperlihatkan kepalanya saja. "Pak?" Agam pun mengalihkan pandangan. "Ada apa?" "Pak Dandung ingin bertemu." Wajah Agam yang semula datar mulai berubah. Ada pendar geli di matanya. "Kapan?" "Sekarang. Pak Dandung sudah ada di ruang tunggu." Agam mengangguk. "Minta dia masuk." Sebelum Dika pergi, Agam kembali memanggil. "Gue masih atasan di sini, kan, Ka?" tanyanya. "Kenapa?" "Minta resepsionis lobi bawah untuk jangan biarin orang luar masuk, termasuk Pak Dandung." "Tapi Pak Firman sendir
Cia memasuki dapur dengan senyum lebar. Dia memelankan langkah kakinya agar tidak ada suara yang keluar. Dari belakang, matanya menatap Agam dengan jantung berdebar. Berniat mengejutkan suaminya yang tengah mengolah roti tawar. "Dor!" ucap Cia keras. Bukannya terkejut, Agam malah meliriknya santai. Membuat senyum Cia seketika luntur. Apa lagi saat pria itu kembali fokus pada masakannya. "Kok nggak kaget, sih?" tanya Cia memeluk Agam manja dari belakang. "Aroma parfum kamu sudah sampai duluan." Cia mencium tubuhnya dan mengangguk pelan. Benar juga, pagi ini dia merasa sangat segar sampai tanpa sadar menyemprot banyak parfum di tubuhnya. Cia mengedikkan bahunya dan kembali tersenyum. "Selamat pagi," ucapnya dengan bibir yang maju. Agam kembali menoleh dan menunduk, menyambut ciuman selamat pagi dari istrinya. Kegiatan romantis yang sudah menjadi kebiasaan mereka setelah menikah. "Kak Agam masak apa?" "Sandwich," ucap Agam sambil menyuapkan tomat ceri ke mulut istriny
"Ke kiri dikit." "Ke kanan, Kak." "Itu agak miring." "Ih, terlalu ke bawah." "Nah, itu udah pa— aduh, belum. Masih miring." Agam menghela napas pelan. Dia menatap istrinya dengan sabar. Agam tidak mau berucap yang tidak-tidak pada istrinya yang tengah hamil besar. Bisa-bisa keadaan akan langsung berbalik. Wanita itu yang akan kembali mengomel. "Di lihat dulu. Posisi mana yang kamu mau?" "Ke kanan dikit." "Gini?" tanya Agam menggeser posisi pigura yang akan ia pajang. "Nah, pas!" Cia bertepuk tangan senang. Agam pun lega. Dia turun dari tangga dan berdiri di samping istrinya. Ikut menatap empat buah foto yang terpajang di ruang tengah mereka. Foto maternity yang terlihat begitu indah. Jangan pikir jika Cia yang menginginkan pemotretan itu. Justru Agam yang mengusulkannya. Baginya, setiap momen penting memang harus diabadikan. "Ada yang lupa." Cia mengambil sebuah kertas dari saku bajunya. "Kak Agam punya pigura lagi, nggak?" Tanpa menjawab, Agam mengambil pigu
Suara ketukan pintu kamar hotel terdengar. Cia menoleh dengan dahi berkerut. Tangannya bergerak menutup mulutnya rapat. Berusaha menahan suara aneh yang keluar dari sana. Ketukan kembali terdengar. Cia menatap Agam dengan gelengan pelan. Namun sayang, pria itu mengabaikannya. Semakin bergerak cepat di atas tubuhnya. "Kak?" bisik Cia tertahan. Matanya terpejam merasakan sensasi yang menyenangkan. Berhenti memang bukan hal yang diinginkan Agam dan Cia. Mereka hanya tinggal menunggu puncaknya saja. Namun ketukan pintu memberi sensasi yang berbeda. Seketika gerak Agam mulai tergesa. Membuat Cia pasrah di bawah tubuhnya. "Agam? Cia? Kalian masih tidur, Nak?" Cia kembali membuka mata. Dia menggeleng pada suaminya. Tidak menyangka jika ibu mertuanya yang datang. Agam masih mengabaikan ketukan itu. Dia menatap wajah istrinya lekat. Sampai akhirnya dia menggeram dan jatuh di atas tubuh Cia. "Kayaknya kita telat," bisik Cia terengah. Dengan malas, Agam bangun dan menarik Cia a
Perjalanan Agam dan Cia pulang ke Jakarta berlangsung cukup melelahkan. Selain karena kurang tidur, tenaga yang ada seolah hanya tertinggal sisa-sisa saja. Bahkan mereka hampir terlambat terbang tadi pagi karena kesiangan. Apa lagi jika bukan karena ulah Agam. Pria itu seolah tidak membiarkan Cia bersantai meski sejenak. Dia seperti tak kenal lelah semalam. Membuat Cia hanya bisa pasrah dalam rengkuhan. Dalam bayangan Cia saat ini, tempat tidur adalah hal yang ia damba. Pasti rasanya begitu nikmat merebahkan diri di sana. Tidur di pesawat memang sedikit mengurangi rasa lelahnya, tetapi tetap rasanya tidak senyenyak saat di tempat tidurnya. Beruntung Dika bersedia menjemput mereka di bandara. Ini lebih nyaman dari pada menggunakan taksi. Setidaknya baik Agam dan Cia bisa memejamkan mata sejenak. Membiarkan Dika menjadi supir pribadi mereka untuk kali ini saja. "Febi nggak ikut, Kak?" tanya Cia memeluk lengan Agam dan menyandarkan kepalanya di sana. "Nggak bisa izin, habis ken
Angin laut yang berhembus bergerak menerbangkan rambut seorang gadis yang tak terikat. Sengaja rambut panjang itu diurai untuk menghalangi sinar matahari yang lumayan menyengat. Namun meski begitu, panasnya matahari tidak membuatnya berlindung dengan cepat. Gadis itu justru menikmati momen bersama suaminya dengan hangat. Saat ini Agam dan Cia sudah berada di Sumba, di salah satu villa cantik yang telah Agam siapkan. Sudah tiga hari mereka di sana, dan hari ini adalah hari terakhir mereka sebelum kembali ke Jakarta besok pagi. Jangan tanya bagaimana bulan madu mereka berjalan. Menyenangkan tentu saja. Namun ada satu hal yang membuat kesenangan mereka tidak sempurna, yaitu keintiman yang ada. Meski begitu, Cia tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik pada suaminya. Malu tentu masih terasa. Namun semua itu tertutupi oleh rasa bersalahnya. Tidak ada yang bisa mereka perbuat selain menundanya. "Nanti kirim laporannya ke email. Biar saya cek." Agam mengakhiri panggilannya dan
Jantung itu masih berdebar kencang. Menciptakan momen aneh yang begitu tegang. Seharusnya setelah resepsi selesai, perasaannya bisa lebih tenang. Bukannya demikian, aura di sekitar malah terasa semakin menantang. Di lorong hotel, hanya terdengar suara langkah kaki. Suara nyaring itu keluar dari sepatu Cia yang berhak 10 senti. Di belakangnya, Agam terlihat mengikuti. Mengawasi langkahnya yang terlihat tertatih. Akibat lelah karena acara resepsi. Tidak ada lagi pihak wedding organizer yang menemani. Acara sudah benar-benar selesai. Setelah berganti pakaian, baik Cia dan Agam kembali ke kamar mereka hampir dini hari. Tubuh lelah tentu mendominasi. Namun percayalah, hati Cia tidak memikirkan hal itu saat ini. Ada hal yang lebih menegangkan akan terjadi dan itu adalah pertama kalinya ia alami. Malam pertama. Ah, jantung Cia benar-benar berdebar. Dia bertanya-tanya, apa Agam merasakan hal yang sama? "Yang lain di kamar mana, Kak?" tanya Cia menunggu Agam membuka pintu kamar mer
Selama dua bulan Cia dan Agam disibukan dengan persiapan pernikahan. Selama dua bulan juga Cia dan Agam sering berdebat karena perbedaan pendapat. Selama dua bulan pula banyak huru-hara yang terjadi di antara mereka. Namun dalam dua bulan juga, mereka dibuat sangat mantap dengan keputusan yang mereka ambil. Yaitu, pernikahan. Tidak ada yang menduga jika momen istimewa ini akan terjadi. Tidak ada yang menduga juga jika mereka berdua bisa melalui semua rintangan yang ada. Dan tidak ada yang menduga pula jika keduanya akan bersatu di pelaminan. "Sah!" Cia memejamkan mata erat begitu suara saksi terdengar sangat lantang. Rasa haru mulai ia rasakan. Namun sebisa mungkin Cia tidak ingin menangis. Riasan wajahnya sudah sangat cantik dan Cia tidak mau merusaknya. "Cium-cium!" Suara siapa lagi jika bukan si bungsu Febi. Membuat Cia menoleh pada pria di sampingnya. Rasa panas mulai menjalar ke wajahnya. Demi apapun, dia malu jika harus menatap mata Agam secara langsung. Menatap ma
Suara pintu yang terbuka dan tertutup secara perlahan membuat Cia membuka mata. Dia sudah bangun sejak subuh, hanya saja dia kembali berbaring sebelum matahari benar-benar muncul. Di dalam kegelapan, Cia bisa melihat siluet seorang gadis yang tengah berjalan mengendap. Febi, sahabatnya itu sudah bangun. Cia melirik Agam yang masih tertidur. Dengan hati-hati dia bangun dan mengikuti ke mana Febi pergi. Dia melihat gadis itu membuka pintu apartemen, bersiap untuk pergi. "Mau ke mana?" tanya Cia berbisik. Febi terlihat terkejut. Tubuhnya menegang dan ia berbalik dengan hati-hati. Dia menghela napas kasar saat hanya melihat Cia. "Gue mau pulang." Cia melipat kedua tangannya di dada. Tidak percaya dengan ucapan Febi. Karena sahabatnya itu berbicara tanpa menatap matanya. "Gue mau liat Kak Dika. Please, jangan kasih tau Kak Agam." Akhirnya Febi mengaku. Cia menghela napas kasar. "Kak Agam bisa marah kalau tau." "Tolong, Ci. Gue kepikiran Kak Dika. Wajahnya babak belur se
Berita tentang hubungan Agam dan Cia kembali menjadi perbincangan. Kali ini bukan lagi rumor belaka, melainkan benar adanya. Foto yang diunggah oleh Febi Mahadita adalah sumbernya. Potret lamaran yang sangat mengejutkan karena dilakukan secara tiba-tiba. Namun percayalah, tidak ada kabar buruk di balik semuanya. Baik Agam dan Cia hanya ingin cepat bersama. Cia sendiri juga tidak lagi peduli dengan rumor yang beredar tentangnya. Toh, dia juga sudah tidak bekerja untuk Agam. Yang terpenting, rumor itu juga tidak benar. Diterpa berbagai masalah membuat Cia sadar. Jika terus mendengarkan perkataan orang lain, hidup tidak akan bisa tenang. Seperti kata Agam, kita tidak bisa mengontrol pikiran orang lain. Karena itu, Cia sebisa mungkin tidak memedulikan kabar buruk tentang dirinya. Yang terpenting adalah orang-orang terdekat tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiga hari setelah acara lamaran, Cia kembali ke Jakarta. Mulai sekarang dia akan disibukkan dengan rencana pernikahan. Ternyat