“Mas.” Melihatku Mas Doni menghentikan aktivitas meneleponnya. Aku memperlihatkan pesan Mira padanya.
Pria itu lantas kembali menghubungi teman-temannya. Dia juga memintaku untuk mengambil tangkapan layar pesan Mira dan mengirimkannya padanya. “Kamu jangan khawatir, San. Sebentar lagi, polisi akan datang. Aku akan ikut mereka mencari Mira,” terang Mas Doni.Rasanya tak tenang kalau hanya menunggu di rumah. Aku meminta Mas Doni untuk membawaku serta. “San, kamu di rumah saja. Ini terlalu berbahaya.” Dia takut aku akan terluka. Apalagi Mira bersama Jodi. Pria itu pasti akan berbuat apa saja untuk mendapatkan yang diinginkannya.“Mas, aku mohon. Izinkan aku ikut.” “Tidak usah. Kamu tunggu saja di rumah.” Mas Doni memegang kedua bahuku.Aku meyakinkan pria itu kalau aku pasti akan baik-baik saja. Karena ada dia di sampingku.“Mas, di rumah sendiri, menunggu kMas Doni menggandengku. Sedangkan polisi yang bersama kami memimpin jalan.Tak berselang lama, sebuah rumah kayu terlibat. Seorang polisi menunggu kami. Bergegas kami menghampirinya.Dua orang polisi lainnya berpencar ke arah samping dan belakang. Sedangkan polisi yang bersama kami ke sisi lainnya.Aku dan Mas Doni menunggu bersama polisi bernama Mahendra di depan rumah itu.Argh!Teriakan Mira. Mendengarnya seketika tubuhku terasa lemas. Aku takut terjadi sesuatu pada gadis itu.“Mas.” Aku menatap Mas Doni yang berdiri di sampingku. Menggenggam erat lengannya.“Jangan takut, Mira pasti akan baik-baik saja.” Entah bagaimana pria itu bisa setenang itu. Padahal Mira adalah darah dagingnya.“San, kamu tunggu di sini, aku akan melihat ke sana.” Mas Doni melepas genggaman tanganku. Pria itu masuk ke rumah.Dari luar aku bisa mendengar beberapa kali suara tembakan terdengar. Bukan hanya itu, beberapa kali jug
“Bu.” Wanita yang tak ada hubungan darah denganku itu, rela mengorbankan nyawanya untukku.Aku tak menyangka, orang yang kukira hadirnya akan merusak kebahagiaanku itu justru menjadi orang yang melindungi dan menyayangku. Padahal aku pertama melihatnya saja sudah begitu benci. Aku juga sering mengungkapkan kebencianku lewat kata-kata.Saat ini melihatnya terkapar dengan bersarang di punggungnya.“Tolong!”Papa berlari ke arah kami dengan seorang polisi. Melihat Ibu yang matanya terpejam, Papa terlihat ketakutan. Pria itu langsung menggendongnya.Dengan air mata berurai, aku mengejar mereka. Saat ini yang aku rasakan bukan sakit karena badan yang penuh lebam dan lecet. Akan tetapi, sedih melihat orang yang sempat aku benci ternyata justru melindungi.“Pa, Mira ikut,” tanyaku ragu ketika Papa hendak masuk ke mobil yang di dalamnya ada Bu Santi.“Masuklah Mira.” Aku masuk ke jok sama dengan I
“Mira.” Akhirnya langkah polisi itu terhenti tepat di depan sebuah pintu kamar kelas satu.Aku tersenyum memandang pria itu. Tak lupa aku juga mengucapkan terima kasih padanya.Tanpa ragu, aku membuka pintu kamar tempat Ibu dirawat. Aku melihat wanita itu berbaring dengan wajah meringis. Pasti dia sedang kesakitan saat ini.“Mira.” Mimik wajah wanita itu seketika berubah melihat kehadiranku.Aku mendekat. “Bu.”“Syukurlah kamu dalam keadaan baik-baik saja.”Harusnya aku yang menanyakan hal itu, bukan sebaliknya. Erat aku menggenggam tangan wanita itu. “Bu maaf.” Seketika tangisku pecah. Aku mencium tangan yang terluka karena aku. “Karena Mira, Ibu jadi begini.”Aku juga memikirkan keadaan adikku itu. Pasti saat ini dia sedang bersedih karena Ibu tak berada di sampingnya.Lembut Ibu membelai puncak kepalaku dan berkata, “ibu tidak apa-apa Mira. Ini hanya l
Sebelum belanja kami makan bersama di tempat makan yang menyediakan masakan padang. Entah mengapa aku ingin sekali makanan itu. Mungkin, ini yang dinamakan mengidam.Bukan hal baru lagi ketika ada orang yang memandang kehamilanku lalu saling berbisik. Aku sudah tak memedulikan hal itu lagi. Yang terpenting saat ini aku berusaha memperbaiki diri agar lebih baik lagi.Usai makan kami lantas menuju ke swalayan yang cukup besar di kota kami. Ibu membawaku baik ke lantai dua. Ibu hendak membelikanku beberapa baju karena memang kebanyakan baju yang aku miliki mulai tidak muat. Terutama pada bagian perut.Ketika melewati deretan gamis, aku berhenti. Ada perasaan ingin merubah diri.“Mir, ada apa? Kamu mau?” Ibu bertanya padaku.Perlahan aku mengangguk.Ibu memintaku untung mengambil sebuah gamis berwarna merah muda dan mencobanya.“Masha Allah, kamu cantik sekali, Mir.” Aku memandang diri pada cermin. Memang kelihatan s
“Mbak ini siapa, ya?” Aku memandang wanita yang tak pernah sekali pun kutemui itu. Wanita cantik dengan wajah dan badan yang tampak terawat.“Saya, Sandra. Ibunya Mira.” Entah dari mana wanita itu tahu alamat kami.Aku juga tak bisa memercayainya begitu saja. Mas Doni tak pernah membicarakannya. Dia hanya mengatakan tak tahu di mana keberadaan ibunya Mira.“Mbak, bolehkan saya bertemu Mira?” Wanita itu kembali bertanya.Belum sempat aku menjawab, Mira sudah menghampiri kami. Sandra jalan begitu saja melewatiku dan memeluk Mira.Gadis itu tampak bingung. Dia memandangku, dengan mengangkat kedua alisnya, aku tahu maksud gadis itu. Aku menjawab dengan menggeleng.Mira melepaskan pelukan wanita yang mengaku bernama Sandra. Dia lantas memandang wanita di hadapannya. “Maaf, Ibu siapa, ya?”Sebelum mendengar jawaban wanita itu, aku terlebih dahulu memintanya untuk duduk di ruang tamu. Rasanya tid
Setibanya di dapur, gegas aku menghapus air mata. Tak tahan melihat mereka. Sungguh menyedihkan. Hanya karena keadaan keduanya terpisah. Setelah sedikit lega, aku membuatkan teh hangat untuk wanita itu lalu kembali ke depan. “Silakan diminum, Mbak.” Aku meletakan cangkir ke atas meja lantas duduk di sofa yang berbeda dengan Mira. Sengaja aku melakukannya agar mereka memiliki sedikit ruang untuk melepas rindu. “Ibu tahu Mira ada di sini dari mana?” Sandra memandangku dan Mira bergantian. “Suami Ibu.” Sandra menjelaskan kalau suaminya ikut menangani kasus Mira. “Dari suami ibu pula, ibu tahu keadaanmu, Mir.” Aku terbelalak mendengar penjelasan wanita itu. Berarti selama ini keluarga Sandra dekat dengan kami. “Maaf, Mbak. Kalau boleh tahu, nama suami Mbak siapa?” Aku coba memberanikan diri untuk bertanya daripada penasaran. “Yuda.” Deg! Lagi-lagi wanita itu mengejutkanku. Ternyata suami wanita itu tak lain adalah teman Mas Doni sendiri. Harusnya dia tahu keberadaan ibunya Mira. En
Bukan Sandra yang keluar dari mobil, tapi Pak Yuda. Pria itu keluar lalu membuka pintu di sebelah kemudi. Aku begitu terkejut ketika dia membantu Mas Doni turun. Entah apa yang terjadi pada suamiku itu. Aku segera berlari mendekat. Melihat dari ujung kaki hingga ujung kepala. Celana yang dikenakan Mas Doni robek. Ada noda darah di sana. “Bu Santi, biar saya jelaskan di dalam,” kata Pal Yuda. Pria itu memapah Mas Doni masuk. Ketika hendak menyusul, mobil lain memasuki halaman. Mobil Mas Doni. “San.” Ternyata Sandra yang mengemudikan mobil Mas Doni. Aku langsung mempersilakannya untuk masuk. “Terima kasih, San, tapi kami mau langsung pulang. Sudah malam, Doni juga butuh istirahat.” Bersamaan itu, Pak Yuda juga keluar. Mereka langsung pamit pulang. Tak lupa, aku mengucapkan terima kasih pada mereka. Usai mengantar kepergian mereka, bergegas aku masuk untuk melihat kondisi Mas Doni. Pria itu sudah ada di kamar dengan Mira berada di kamarnya. “Papa kenapa?” tanya gadis itu. “Papa
Suasana seketika berubah menjadi panik. Mira tergolek di lantai dengan tangan yang berlumuran darah. Gadis itu melakukan apa yang tak seharusnya dilakukannya. Pak Yuda segera mengecek keadaan Mira. Sedangkan aku hanya bisa termangu melihat kondisi gadis itu. Rasa takut menyelimuti diri. Sandra tak henti-hentinya menangis. Dia merutuki diri karena telah meninggalkannya. “Kita harus segera membawanya ke rumah sakit.” Tanpa pikir panjang Mas Doni dan Pak Yuda menggendong tubuh Mira keluar. Aku segera mendahului mereka untuk menyiapkan mobil. “San, kamu duduk di belakang. Biar aku yang mengemudikan mobil.” Aku memenuhi permintaan Mas Doni. Aku naik di jok belakang, setelahnya Mas Doni dan Pak Yuda memasukkan Mira. Aku meletakan kepala gadis itu dalam pangkuan. “Aku ikut,” pinta Sandra. Pak Yuda lantas meminta istrinya untuk masuk ke mobil mereka. Mereka berdua mengikuti di belakang kami. Aku memandang wajah Mira. Pucat. Rasanya ngilu ketika melihat darah di tangannya. Entah apa ya
Di halaman, Zahir tampak begitu bahagia bermain dengan Mas Angga. Mereka berdua bergantian menendang bola plastik. Zahir tertawa lepas, ketika dia berhasil menendang bola yang dioper Mas Angga. Hah! Mungkin keputusanku memang yang terbaik. Aku menolak permintaannya untuk kembali. Bukan karena tak setia. Mungkin ini adalah jalan yang terbaik untuk kami agar tak ada yang tersakiti. “Hubungan suami-istri memang bisa terputus, tapi hubungan kakak-adik tak akan pernah terputus.” Itu yang aku katakan pada Mas Angga. Boleh saja, pria itu tak menganggapku sebagai seorang istri. Paling tidak dia mau menerimaku sebagai seorang adik. Kembali meniti rumah tangga dengannya rasanya tak mungkin. Sudah cukup aku menyakitinya. Aku juga tak ingin masalah baru terjadi. Iya, semua yang dekat denganku akan menderita. “Kamu itu bodoh atau dungu?” Nenek menunjuk mukaku. Walaupun hati rasanya sakit mendengar perkataannya, aku coba bersabar. Apalagi beliau ibu dari Papa. “Harusnya kamu bersyukur masih
“Pa, boleh berhenti sebentar,” pintaku ketika mobil yang kami tumpangi melewati toko mainan.“Ada apa?” tanya Papa.Aku mengutarakan keinginanku untuk membelikan mainan Zahir. Namun, Papa melarangku turun. “Biar Papa saja yang beli.”Tanpa menunggu persetujuan dariku, Papa keluar. Pria itu berlari memasuki toko. Tak berselang lama, beliau kembali dengan dua boneka yang sedang viral di tangan. Boneka boba berwarna merah muda dan biru. Papa sengaja membeli dua, satu untuk Zahir, satunya lagi untuk Shakira.Kali ini hanya Papa yang bersamaku. Pagi tadi, usai tahu aku diperbolehkan pulang, Mama Santi pulang lebih dulu. Hendak membereskan kamarku katanya. Mobil kembali melaju. Aku memejamkan mata. Menyiapkan diri untuk bertemu orang yang aku benci. Nenek. Orang yang kuanggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada diri ini. Selama berada di rumah sakit, wanita itu tak menjengukku.“Mama.” Baru saja mobil memasuki halaman, Zahir berlari mendekat, disusul Mama San
Bab 31“Mira.”Ketika terbangun, Mama Santi sudah berada di sampingku.Aku coba untuk bangun. Melihat hal itu, gegas Mama membantuku duduk. Beliau juga meletakan bantal di belakangku. Tak lupa aku berterima kasih pada beliau.Mata wanita yang sudah kembali duduk di kursi yang ada di samping ranjang itu tampak merah. Pasti beliau baru saja menangis. Lagi-lagi aku merutuki diri. Karena aku, semua terluka.“Mir, kenapa tak pernah cerita pada kami. Kenapa kamu tanggung sendiri semua ini.”Mama menyayangkan keputusanku menemui Pak James. Beliau pasti sudah tahu dari Ali. “Ma, jangan menangis. Mira tak apa-apa.” Aku meraih tangan Mama dan menggenggamnya. Tubuh wanita itu berguncang. Dia memang bukan Mama kandungku, tapi dia orang pertama yang merangkul ketika tak ada orang yang mau menerima hadirku. Beliau orang yang mengajarkan untuk menjadi lebih baik lagi.“Tidak apa-apa.” Mama tampak marah. “Lihat dirimu!” Beliau menunjukku. “Bagaimana kalau sesuatu terjadi padamu? Bagaimana nasib Zahi
POV MIRASekali Hina, Selamanya Hina“Zahir bukan putramu!”Aku memandang pria itu nyalang. Tak terima kalau dirinya mengaku sebagai ayah Zahir. Aku tidak mau, putraku itu memiliki ayah seperti dia. Memang diriku juga hina, tapi tak seluruhnya kesalahan diri ini. Semua terjadi karena Jodi.“Apa katamu?” Jodi kembali mengungkit kejadian masa lalu.“Belum pasti kalau dia putramu. Bilamana itu benar, aku tak akan membiarkan kamu membawanya,” tantangku.Ya, tak akan kubiarkan putraku itu jatuh ke tangan Jodi. Aku tidak ingin bocah imut itu mendapat didikan yang salah. Bila pun benar Jodi adalah ayah biologis Zahir, segala cara akan aku lakukan agar Zahir tak jatuh ke tangannya. Aku yang mengandung, dan membesarkannya seorang diri walau menahan malu dan hinaan dari para tetangga.“Ok. Fine. Aku tak akan mengusik kehidupanmu, tapi puaskan aku malam ini!” Pria itu berjalan mendekat. Seketika aku berlari ke arah pintu. Tak kubiarkan Jodi kembali membawaku ke lubang dosa yang sama.“Cek! Suda
POV MIRADia PutrakuAku mematut diri di cermin. Penampilanku begitu beda dengan riasan sedikit tebal. Sejenak, aku memandang tas kertas yang berisi gaun pemberian Pak James. Gaun itu tak hanya terlalu pendek. Bagian dadanya juga terbuka. Aku membeli pakaian yang lebih tertutup dengan uang pemberiannya. “Sudah selesai.” Wanita berparas cantik dengan celana jeans dan kaos dengan nama salon itu memutar tubuhku menghadapnya. “Cantik sempurna. Mbak pasti hendak bertemu tunangan atau pacarnya mungkin. Wah! Beruntung sekali pasangan Mbak memiliki wanita secantik ini.”8 Aku tak menanggapi perkataan wanita itu. Tak mungkin juga aku mengatakan kalau diri ini akan menjual diri. “Terima kasih, Mbak.” Aku pergi meninggalkan wanita itu. Sebelumnya aku membayar ke kasir terlebih dahulu. Sebelum keluar salon, terlebih dulu aku memesan taksi daring Pikiranku berkecamuk. Aku kembali memandang diri melalui kaca yang ada di atas kepala sopir taksi. Ah ... apa gunanya aku menutup aurat, bila pada ak
POV AnggaAku rasanya sangat membenci Mira. Karena dia, aku mendekam di penjara. Ah ... bagaimana bisa, aku terjebak dalam pernikahan ini. Harusnya aku tegas dalam menolak perjodohan dulu. Harusnya aku pergi dari rumah itu. Ibarat jatuh tertimpa tangga. Bukan hanya kehilangan Naura, aku juga harus mendekam di penjara. Argh! Dua narapidana yang berada dalam satu sel denganku memandang ketika aku berteriak. Rasanya kepala dan dadaku tertimbun ribuan batu. Berat. Papa Yuda juga sekali tak menjengukku. Mungkin, pria itu malu dan kecewa memiliki putra sepertiku. Apalagi, beliau merupakan abdi negara. Bukan hanya memikirkan diri sendiri. Aku juga kalut ketika Mama Sandra terkulai saat polisi membawaku paksa. Dari kejadian yang menimpa diri ini, aku bisa melihat rasa cinta yang tulus dari seorang ibu untuk anaknya. “Ma, maafkan Angga.” Ada sedikit sesal, ketika mengingat diri ini pernah marah pada Mama. Terutama ketika wanita itu membicarakan Mira. Memang, wanita itu baik. Dia perhati
Membaca pesan pria itu, seketika wajahku memanas. Napas naik turun. Dada terasa sesak. Rasanya aku ingin berteriak. Memang, sekali kertas ketumpahan tinta, kertas itu tak akan kembali bersih. Begitu juga denganku, yang berusaha menjadi baik, tapi bayang-bayang masa lalu selalu menghantuiku. Sebisa mungkin, aku berusaha menahan air mataku agar tak tumpah.Surat dari Pak James, lekas aku simpan ke dalam paper bag dan meletakan benda itu ke lantai samping nakas.Aku memandang Mama. Wajah yang selalu terlihat tegas itu kini terlihat pucat pasi. Rasanya seribu kali, aku meminta maaf tak akan cukup. Ya Allah, berikan kesembuhan untuk mamaku. Bila kami berkehendak, biar aku yang menanggung rasa sakitnya.Mulutku tak henti-hentinya melantunkan doa demi kesembuhan Mama Sandra. Wanita itu masih tergolek berdaya. Alat bantu pernapasan memang sudah dilepas. Namun, detak jantungnya belum kembali normal.Ya Allah, karena dosa yang hambamu ini perbuat, keluarga hamba menderita. Ternyata karmamu itu
Gegas, aku memesan taksi daring lalu pulang.Setibanya di rumah, aku disambut Zahir yang asyik main mobil bersama Shakira di halaman.“Mama.” Bocah kecil mendekat seraya mengulurkan tangan memberi salam. Kuhujani bocah kecil itu dengan ciuman sebelum pamit untuk membersihkan diri.“Mira. Kamu tidak ke rumah sakit?” tanya Mama Santi saat kami berpapasan di depan pintu utama.Aku menjawab pertanyaan Mama dengan menggeleng.Beliau lantas menjelaskan padaku kalau Mama Sandra tadi menelepon. Beliau memberi kabar kalau Angga diperbolehkan pulang. Namun, setelahnya Mama Sandra menangis.Mendengar hal itu jantungku seakan berhenti. Mas Angga tidak akan pulang ke rumah melainkan ke penjara. Karena itu Mama Sandra menangis. “Mir, ada apa?”Mama Santi belum tahu kasus Mas Angga. Lekas aku menggeleng lalu pamit pada beliau untuk ke rumah sakit. Gegas aku berlari ke arah motor yang terparkir di halaman dengan kunci yang masih mengantung pada tempatnya. Kulajukan motor dengan kecepatan penuh. Le
Bab 26POV MIRAHasrat SATU MALAMCukup lama kami menunggu orang yang dimaksud oleh Naura. Bahkan, kopi yang tadinya berasap kini berubah dingin.Satu persatu orang yang tadi berada di kafe, silih berganti. Sudah lebih dari setengah jam, kami menunggu. Aku pun bertanya pada Naura, kenapa orang itu tak kunjung datang.“Dia sedang dalam perjalanan,” kata wanita yang sibuk dengan ponselnya.Sedari tadi, kami memang duduk bersama. Naura lebih banyak mengacuhkanku.“Naura, apa kamu tidak bisa berbicara sendiri dengan Pak James.”“Aku sudah coba. Dia sendiri yang meminta untuk berbicara denganmu.” Pandangan Naura tiba-tiba beralih pada pintu masuk kafe. Aku ikut memandang ke mana arah mata wanita itu. Seorang pria memakai jas hitam masuk. Pria itu melambaikan tangan pada Naura. Naura hanya menganggapi dengan senyuman.Beberapa pengunjung wanita lain juga ikut memandang ke Pak James. Sepertinya mereka terpana dengan ketampanan pria itu. Dia tak hanya tampan, dia juga kaya. Wanita mana yang t