Mas Doni menggandengku. Sedangkan polisi yang bersama kami memimpin jalan.
Tak berselang lama, sebuah rumah kayu terlibat. Seorang polisi menunggu kami. Bergegas kami menghampirinya.Dua orang polisi lainnya berpencar ke arah samping dan belakang. Sedangkan polisi yang bersama kami ke sisi lainnya.Aku dan Mas Doni menunggu bersama polisi bernama Mahendra di depan rumah itu.Argh!Teriakan Mira. Mendengarnya seketika tubuhku terasa lemas. Aku takut terjadi sesuatu pada gadis itu.“Mas.” Aku menatap Mas Doni yang berdiri di sampingku. Menggenggam erat lengannya.“Jangan takut, Mira pasti akan baik-baik saja.” Entah bagaimana pria itu bisa setenang itu. Padahal Mira adalah darah dagingnya.“San, kamu tunggu di sini, aku akan melihat ke sana.” Mas Doni melepas genggaman tanganku. Pria itu masuk ke rumah.Dari luar aku bisa mendengar beberapa kali suara tembakan terdengar. Bukan hanya itu, beberapa kali jug“Bu.” Wanita yang tak ada hubungan darah denganku itu, rela mengorbankan nyawanya untukku.Aku tak menyangka, orang yang kukira hadirnya akan merusak kebahagiaanku itu justru menjadi orang yang melindungi dan menyayangku. Padahal aku pertama melihatnya saja sudah begitu benci. Aku juga sering mengungkapkan kebencianku lewat kata-kata.Saat ini melihatnya terkapar dengan bersarang di punggungnya.“Tolong!”Papa berlari ke arah kami dengan seorang polisi. Melihat Ibu yang matanya terpejam, Papa terlihat ketakutan. Pria itu langsung menggendongnya.Dengan air mata berurai, aku mengejar mereka. Saat ini yang aku rasakan bukan sakit karena badan yang penuh lebam dan lecet. Akan tetapi, sedih melihat orang yang sempat aku benci ternyata justru melindungi.“Pa, Mira ikut,” tanyaku ragu ketika Papa hendak masuk ke mobil yang di dalamnya ada Bu Santi.“Masuklah Mira.” Aku masuk ke jok sama dengan I
“Mira.” Akhirnya langkah polisi itu terhenti tepat di depan sebuah pintu kamar kelas satu.Aku tersenyum memandang pria itu. Tak lupa aku juga mengucapkan terima kasih padanya.Tanpa ragu, aku membuka pintu kamar tempat Ibu dirawat. Aku melihat wanita itu berbaring dengan wajah meringis. Pasti dia sedang kesakitan saat ini.“Mira.” Mimik wajah wanita itu seketika berubah melihat kehadiranku.Aku mendekat. “Bu.”“Syukurlah kamu dalam keadaan baik-baik saja.”Harusnya aku yang menanyakan hal itu, bukan sebaliknya. Erat aku menggenggam tangan wanita itu. “Bu maaf.” Seketika tangisku pecah. Aku mencium tangan yang terluka karena aku. “Karena Mira, Ibu jadi begini.”Aku juga memikirkan keadaan adikku itu. Pasti saat ini dia sedang bersedih karena Ibu tak berada di sampingnya.Lembut Ibu membelai puncak kepalaku dan berkata, “ibu tidak apa-apa Mira. Ini hanya l
Sebelum belanja kami makan bersama di tempat makan yang menyediakan masakan padang. Entah mengapa aku ingin sekali makanan itu. Mungkin, ini yang dinamakan mengidam.Bukan hal baru lagi ketika ada orang yang memandang kehamilanku lalu saling berbisik. Aku sudah tak memedulikan hal itu lagi. Yang terpenting saat ini aku berusaha memperbaiki diri agar lebih baik lagi.Usai makan kami lantas menuju ke swalayan yang cukup besar di kota kami. Ibu membawaku baik ke lantai dua. Ibu hendak membelikanku beberapa baju karena memang kebanyakan baju yang aku miliki mulai tidak muat. Terutama pada bagian perut.Ketika melewati deretan gamis, aku berhenti. Ada perasaan ingin merubah diri.“Mir, ada apa? Kamu mau?” Ibu bertanya padaku.Perlahan aku mengangguk.Ibu memintaku untung mengambil sebuah gamis berwarna merah muda dan mencobanya.“Masha Allah, kamu cantik sekali, Mir.” Aku memandang diri pada cermin. Memang kelihatan s
“Mbak ini siapa, ya?” Aku memandang wanita yang tak pernah sekali pun kutemui itu. Wanita cantik dengan wajah dan badan yang tampak terawat.“Saya, Sandra. Ibunya Mira.” Entah dari mana wanita itu tahu alamat kami.Aku juga tak bisa memercayainya begitu saja. Mas Doni tak pernah membicarakannya. Dia hanya mengatakan tak tahu di mana keberadaan ibunya Mira.“Mbak, bolehkan saya bertemu Mira?” Wanita itu kembali bertanya.Belum sempat aku menjawab, Mira sudah menghampiri kami. Sandra jalan begitu saja melewatiku dan memeluk Mira.Gadis itu tampak bingung. Dia memandangku, dengan mengangkat kedua alisnya, aku tahu maksud gadis itu. Aku menjawab dengan menggeleng.Mira melepaskan pelukan wanita yang mengaku bernama Sandra. Dia lantas memandang wanita di hadapannya. “Maaf, Ibu siapa, ya?”Sebelum mendengar jawaban wanita itu, aku terlebih dahulu memintanya untuk duduk di ruang tamu. Rasanya tid
Setibanya di dapur, gegas aku menghapus air mata. Tak tahan melihat mereka. Sungguh menyedihkan. Hanya karena keadaan keduanya terpisah. Setelah sedikit lega, aku membuatkan teh hangat untuk wanita itu lalu kembali ke depan. “Silakan diminum, Mbak.” Aku meletakan cangkir ke atas meja lantas duduk di sofa yang berbeda dengan Mira. Sengaja aku melakukannya agar mereka memiliki sedikit ruang untuk melepas rindu. “Ibu tahu Mira ada di sini dari mana?” Sandra memandangku dan Mira bergantian. “Suami Ibu.” Sandra menjelaskan kalau suaminya ikut menangani kasus Mira. “Dari suami ibu pula, ibu tahu keadaanmu, Mir.” Aku terbelalak mendengar penjelasan wanita itu. Berarti selama ini keluarga Sandra dekat dengan kami. “Maaf, Mbak. Kalau boleh tahu, nama suami Mbak siapa?” Aku coba memberanikan diri untuk bertanya daripada penasaran. “Yuda.” Deg! Lagi-lagi wanita itu mengejutkanku. Ternyata suami wanita itu tak lain adalah teman Mas Doni sendiri. Harusnya dia tahu keberadaan ibunya Mira. En
Bukan Sandra yang keluar dari mobil, tapi Pak Yuda. Pria itu keluar lalu membuka pintu di sebelah kemudi. Aku begitu terkejut ketika dia membantu Mas Doni turun. Entah apa yang terjadi pada suamiku itu. Aku segera berlari mendekat. Melihat dari ujung kaki hingga ujung kepala. Celana yang dikenakan Mas Doni robek. Ada noda darah di sana. “Bu Santi, biar saya jelaskan di dalam,” kata Pal Yuda. Pria itu memapah Mas Doni masuk. Ketika hendak menyusul, mobil lain memasuki halaman. Mobil Mas Doni. “San.” Ternyata Sandra yang mengemudikan mobil Mas Doni. Aku langsung mempersilakannya untuk masuk. “Terima kasih, San, tapi kami mau langsung pulang. Sudah malam, Doni juga butuh istirahat.” Bersamaan itu, Pak Yuda juga keluar. Mereka langsung pamit pulang. Tak lupa, aku mengucapkan terima kasih pada mereka. Usai mengantar kepergian mereka, bergegas aku masuk untuk melihat kondisi Mas Doni. Pria itu sudah ada di kamar dengan Mira berada di kamarnya. “Papa kenapa?” tanya gadis itu. “Papa
Suasana seketika berubah menjadi panik. Mira tergolek di lantai dengan tangan yang berlumuran darah. Gadis itu melakukan apa yang tak seharusnya dilakukannya. Pak Yuda segera mengecek keadaan Mira. Sedangkan aku hanya bisa termangu melihat kondisi gadis itu. Rasa takut menyelimuti diri. Sandra tak henti-hentinya menangis. Dia merutuki diri karena telah meninggalkannya. “Kita harus segera membawanya ke rumah sakit.” Tanpa pikir panjang Mas Doni dan Pak Yuda menggendong tubuh Mira keluar. Aku segera mendahului mereka untuk menyiapkan mobil. “San, kamu duduk di belakang. Biar aku yang mengemudikan mobil.” Aku memenuhi permintaan Mas Doni. Aku naik di jok belakang, setelahnya Mas Doni dan Pak Yuda memasukkan Mira. Aku meletakan kepala gadis itu dalam pangkuan. “Aku ikut,” pinta Sandra. Pak Yuda lantas meminta istrinya untuk masuk ke mobil mereka. Mereka berdua mengikuti di belakang kami. Aku memandang wajah Mira. Pucat. Rasanya ngilu ketika melihat darah di tangannya. Entah apa ya
“San, kami jangan khawatir. Aku akan mengurus segalanya." Mendengar Mas Doni akan mengurus masalah Zaka, aku merasa tenang. Tentunya, dia akan mengurus pria yang mengancam Mira itu bersama Pak Yuda. Aku kembali melakukan aktivitas walau pikiran masih tak tenang. Mengingat stok bahan makanan di dalam kulkas menipis, aku keluar untuk berbelanja di warung yang berada tak jauh dari rumah. Shakira juga kebetulan sedang tidur. Jadi, tak masalah bila aku meninggalkannya sebentar. “Bu Santi katanya, Mira anu, ya?” Ketika keluar rumah banyak pertanyaan yang aku dapatkan dari para tetangga. Hal itu membuatku jengah. Beberapa dari mereka menyalahkan Mira. Mereka menganggap gadis itu terlalu liar. Beberapa juga menyalahkan orang tuanya yang kurang menjaga. “Bu Santi, katanya Mira coba bunuh diri, ya?” Perkataan Bu Devi membuatku terkejut. Entah dari mana wanita itu tahu. Dengan tatapan mata masih tertuju pada sayuran yang sudah mulai layu, aku menjawab pertanyaan wanita itu. “Tahu dari mana