POV MIRADia PutrakuAku mematut diri di cermin. Penampilanku begitu beda dengan riasan sedikit tebal. Sejenak, aku memandang tas kertas yang berisi gaun pemberian Pak James. Gaun itu tak hanya terlalu pendek. Bagian dadanya juga terbuka. Aku membeli pakaian yang lebih tertutup dengan uang pemberiannya. “Sudah selesai.” Wanita berparas cantik dengan celana jeans dan kaos dengan nama salon itu memutar tubuhku menghadapnya. “Cantik sempurna. Mbak pasti hendak bertemu tunangan atau pacarnya mungkin. Wah! Beruntung sekali pasangan Mbak memiliki wanita secantik ini.”8 Aku tak menanggapi perkataan wanita itu. Tak mungkin juga aku mengatakan kalau diri ini akan menjual diri. “Terima kasih, Mbak.” Aku pergi meninggalkan wanita itu. Sebelumnya aku membayar ke kasir terlebih dahulu. Sebelum keluar salon, terlebih dulu aku memesan taksi daring Pikiranku berkecamuk. Aku kembali memandang diri melalui kaca yang ada di atas kepala sopir taksi. Ah ... apa gunanya aku menutup aurat, bila pada ak
POV MIRASekali Hina, Selamanya Hina“Zahir bukan putramu!”Aku memandang pria itu nyalang. Tak terima kalau dirinya mengaku sebagai ayah Zahir. Aku tidak mau, putraku itu memiliki ayah seperti dia. Memang diriku juga hina, tapi tak seluruhnya kesalahan diri ini. Semua terjadi karena Jodi.“Apa katamu?” Jodi kembali mengungkit kejadian masa lalu.“Belum pasti kalau dia putramu. Bilamana itu benar, aku tak akan membiarkan kamu membawanya,” tantangku.Ya, tak akan kubiarkan putraku itu jatuh ke tangan Jodi. Aku tidak ingin bocah imut itu mendapat didikan yang salah. Bila pun benar Jodi adalah ayah biologis Zahir, segala cara akan aku lakukan agar Zahir tak jatuh ke tangannya. Aku yang mengandung, dan membesarkannya seorang diri walau menahan malu dan hinaan dari para tetangga.“Ok. Fine. Aku tak akan mengusik kehidupanmu, tapi puaskan aku malam ini!” Pria itu berjalan mendekat. Seketika aku berlari ke arah pintu. Tak kubiarkan Jodi kembali membawaku ke lubang dosa yang sama.“Cek! Suda
Bab 31“Mira.”Ketika terbangun, Mama Santi sudah berada di sampingku.Aku coba untuk bangun. Melihat hal itu, gegas Mama membantuku duduk. Beliau juga meletakan bantal di belakangku. Tak lupa aku berterima kasih pada beliau.Mata wanita yang sudah kembali duduk di kursi yang ada di samping ranjang itu tampak merah. Pasti beliau baru saja menangis. Lagi-lagi aku merutuki diri. Karena aku, semua terluka.“Mir, kenapa tak pernah cerita pada kami. Kenapa kamu tanggung sendiri semua ini.”Mama menyayangkan keputusanku menemui Pak James. Beliau pasti sudah tahu dari Ali. “Ma, jangan menangis. Mira tak apa-apa.” Aku meraih tangan Mama dan menggenggamnya. Tubuh wanita itu berguncang. Dia memang bukan Mama kandungku, tapi dia orang pertama yang merangkul ketika tak ada orang yang mau menerima hadirku. Beliau orang yang mengajarkan untuk menjadi lebih baik lagi.“Tidak apa-apa.” Mama tampak marah. “Lihat dirimu!” Beliau menunjukku. “Bagaimana kalau sesuatu terjadi padamu? Bagaimana nasib Zahi
“Pa, boleh berhenti sebentar,” pintaku ketika mobil yang kami tumpangi melewati toko mainan.“Ada apa?” tanya Papa.Aku mengutarakan keinginanku untuk membelikan mainan Zahir. Namun, Papa melarangku turun. “Biar Papa saja yang beli.”Tanpa menunggu persetujuan dariku, Papa keluar. Pria itu berlari memasuki toko. Tak berselang lama, beliau kembali dengan dua boneka yang sedang viral di tangan. Boneka boba berwarna merah muda dan biru. Papa sengaja membeli dua, satu untuk Zahir, satunya lagi untuk Shakira.Kali ini hanya Papa yang bersamaku. Pagi tadi, usai tahu aku diperbolehkan pulang, Mama Santi pulang lebih dulu. Hendak membereskan kamarku katanya. Mobil kembali melaju. Aku memejamkan mata. Menyiapkan diri untuk bertemu orang yang aku benci. Nenek. Orang yang kuanggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada diri ini. Selama berada di rumah sakit, wanita itu tak menjengukku.“Mama.” Baru saja mobil memasuki halaman, Zahir berlari mendekat, disusul Mama San
Di halaman, Zahir tampak begitu bahagia bermain dengan Mas Angga. Mereka berdua bergantian menendang bola plastik. Zahir tertawa lepas, ketika dia berhasil menendang bola yang dioper Mas Angga. Hah! Mungkin keputusanku memang yang terbaik. Aku menolak permintaannya untuk kembali. Bukan karena tak setia. Mungkin ini adalah jalan yang terbaik untuk kami agar tak ada yang tersakiti. “Hubungan suami-istri memang bisa terputus, tapi hubungan kakak-adik tak akan pernah terputus.” Itu yang aku katakan pada Mas Angga. Boleh saja, pria itu tak menganggapku sebagai seorang istri. Paling tidak dia mau menerimaku sebagai seorang adik. Kembali meniti rumah tangga dengannya rasanya tak mungkin. Sudah cukup aku menyakitinya. Aku juga tak ingin masalah baru terjadi. Iya, semua yang dekat denganku akan menderita. “Kamu itu bodoh atau dungu?” Nenek menunjuk mukaku. Walaupun hati rasanya sakit mendengar perkataannya, aku coba bersabar. Apalagi beliau ibu dari Papa. “Harusnya kamu bersyukur masih
“Mas, siapa gadis ini!” Aku menunjuk gadis muda yang berdiri di samping Mas Doni, suamiku. Pria yang menikahiku sepuluh tahun lalu itu hanya diam menunduk. Entah rahasia apa yang disembunyikannya. Entah siapa pula gadis belia yang ada di sampingnya.Pandanganku seketika beralih pada tangan kanan Mas Doni yang menggenggam erat tangan gadis itu. Sedangkan tangan kirinya memegang koper biru berukuran sedang.Hal itu membuatku benar-benar bingung. Banyak tanya yang hinggap di kepala. Siapa gadis belia itu. Ada hubungan apa di antara mereka.“Mas, ada apa ini? Di-Dia, siapa?” Aku menunjuk gadis yang mengenakan celana jeans pendek sebatas paha dengan rambut kucir kuda.Mas Doni tak menjawab pertanyaanku. Pria itu justru memandang gadis belia yang ada di sampingnya dan mengajaknya masuk ke rumah tanpa menghiraukan kehadiranku.Cepat, aku mengikuti mereka. Meminta Mas Doni untuk menjelaskan padaku siapa gadis yang dibawanya. Namun, pria itu justru memintaku untuk diam dengan meletakan telun
Hanya kupandangi dua orang yang kini sedang merapikan pakaian gadis belia itu di kamar tamu. Pada akhirnya aku mengiyakan permintaan Mas Doni. Rumah yang kami tinggali bukan hanya hakku dan Shakira, putriku yang baru berusia delapan tahun. Buah cinta Mas Doni yang saat ini masih berada di sekolah.Di sisi lain, aku bingung. Bagaimana caranya aku memperkenalkan Mira padanya. “Santi.” Mas Doni menghampiriku. Sedangkan gadis belia itu masih sibuk menata pakaiannya. Sejenak gadis itu melirikku. “Kamu masak apa hari ini?” tanyanya. Dia juga mengatakan kalau Mira lapar. Sejak pagi dia belum sarapan.“Aku belum masak, Mas. Kalau mau suruh dua untuk makan roti dulu.”“Santi. Dia tidak terbiasa sarapan roti.”“Seadanya dulu, Mas.” Pagi tadi, aku dan Shakira hanya sarapan roti. Aku memilih meninggalkan mereka. Aku perlu menata hati untuk bisa menerima kehadiran gadis belia itu di rumah kami. Bahkan, mungkin semua akan berubah karena kehadirannya.Aku memutuskan untuk menjemput Shakira lebih
Sebuah boneka beruang besar teronggok di atas sofa. Mimik wajah Shakira berubah. Yang awalnya tampak terkejut, kini berubah tawa. Gadis kecil itu berlari ke arah boneka, mengambil dan memeluknya erat. Pandanganku beralih ke setiap sudut ruangan. Entah di mana Mas Doni dan Mira sekarang. Mereka tak terlihat, rumah juga tak dalam keadaan terkunci. Pasti mereka ada di rumah, tapi di mana. “Papa mana, Ma?” tanya Shakira setelah puas dengan bonekanya. Aku menggelengkan kepala karena tak tahu keberadaan pria itu. Shakira meletakan kembali bonekanya. Dia berkata hendak mencari papanya. Gadis kecil itu berjalan menyusuri setiap sudut ruangan. Aku mengikutinya. Di kamar kami, pria itu tak ada. Bahkan di kamar Shakira. Hampir semua ruangan tak ada. Hanya satu ruang yang belum kami datangi. Kamar tamu. Akhirnya Shakira tiba di depan ruang tamu. Gadis kecil itu perlahan membukanya. Melalui pintu yang sedikit terbuka, terlihat Mas Doni sedang memasang rak-rak di dinding dengan sebuah alat me
Di halaman, Zahir tampak begitu bahagia bermain dengan Mas Angga. Mereka berdua bergantian menendang bola plastik. Zahir tertawa lepas, ketika dia berhasil menendang bola yang dioper Mas Angga. Hah! Mungkin keputusanku memang yang terbaik. Aku menolak permintaannya untuk kembali. Bukan karena tak setia. Mungkin ini adalah jalan yang terbaik untuk kami agar tak ada yang tersakiti. “Hubungan suami-istri memang bisa terputus, tapi hubungan kakak-adik tak akan pernah terputus.” Itu yang aku katakan pada Mas Angga. Boleh saja, pria itu tak menganggapku sebagai seorang istri. Paling tidak dia mau menerimaku sebagai seorang adik. Kembali meniti rumah tangga dengannya rasanya tak mungkin. Sudah cukup aku menyakitinya. Aku juga tak ingin masalah baru terjadi. Iya, semua yang dekat denganku akan menderita. “Kamu itu bodoh atau dungu?” Nenek menunjuk mukaku. Walaupun hati rasanya sakit mendengar perkataannya, aku coba bersabar. Apalagi beliau ibu dari Papa. “Harusnya kamu bersyukur masih
“Pa, boleh berhenti sebentar,” pintaku ketika mobil yang kami tumpangi melewati toko mainan.“Ada apa?” tanya Papa.Aku mengutarakan keinginanku untuk membelikan mainan Zahir. Namun, Papa melarangku turun. “Biar Papa saja yang beli.”Tanpa menunggu persetujuan dariku, Papa keluar. Pria itu berlari memasuki toko. Tak berselang lama, beliau kembali dengan dua boneka yang sedang viral di tangan. Boneka boba berwarna merah muda dan biru. Papa sengaja membeli dua, satu untuk Zahir, satunya lagi untuk Shakira.Kali ini hanya Papa yang bersamaku. Pagi tadi, usai tahu aku diperbolehkan pulang, Mama Santi pulang lebih dulu. Hendak membereskan kamarku katanya. Mobil kembali melaju. Aku memejamkan mata. Menyiapkan diri untuk bertemu orang yang aku benci. Nenek. Orang yang kuanggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada diri ini. Selama berada di rumah sakit, wanita itu tak menjengukku.“Mama.” Baru saja mobil memasuki halaman, Zahir berlari mendekat, disusul Mama San
Bab 31“Mira.”Ketika terbangun, Mama Santi sudah berada di sampingku.Aku coba untuk bangun. Melihat hal itu, gegas Mama membantuku duduk. Beliau juga meletakan bantal di belakangku. Tak lupa aku berterima kasih pada beliau.Mata wanita yang sudah kembali duduk di kursi yang ada di samping ranjang itu tampak merah. Pasti beliau baru saja menangis. Lagi-lagi aku merutuki diri. Karena aku, semua terluka.“Mir, kenapa tak pernah cerita pada kami. Kenapa kamu tanggung sendiri semua ini.”Mama menyayangkan keputusanku menemui Pak James. Beliau pasti sudah tahu dari Ali. “Ma, jangan menangis. Mira tak apa-apa.” Aku meraih tangan Mama dan menggenggamnya. Tubuh wanita itu berguncang. Dia memang bukan Mama kandungku, tapi dia orang pertama yang merangkul ketika tak ada orang yang mau menerima hadirku. Beliau orang yang mengajarkan untuk menjadi lebih baik lagi.“Tidak apa-apa.” Mama tampak marah. “Lihat dirimu!” Beliau menunjukku. “Bagaimana kalau sesuatu terjadi padamu? Bagaimana nasib Zahi
POV MIRASekali Hina, Selamanya Hina“Zahir bukan putramu!”Aku memandang pria itu nyalang. Tak terima kalau dirinya mengaku sebagai ayah Zahir. Aku tidak mau, putraku itu memiliki ayah seperti dia. Memang diriku juga hina, tapi tak seluruhnya kesalahan diri ini. Semua terjadi karena Jodi.“Apa katamu?” Jodi kembali mengungkit kejadian masa lalu.“Belum pasti kalau dia putramu. Bilamana itu benar, aku tak akan membiarkan kamu membawanya,” tantangku.Ya, tak akan kubiarkan putraku itu jatuh ke tangan Jodi. Aku tidak ingin bocah imut itu mendapat didikan yang salah. Bila pun benar Jodi adalah ayah biologis Zahir, segala cara akan aku lakukan agar Zahir tak jatuh ke tangannya. Aku yang mengandung, dan membesarkannya seorang diri walau menahan malu dan hinaan dari para tetangga.“Ok. Fine. Aku tak akan mengusik kehidupanmu, tapi puaskan aku malam ini!” Pria itu berjalan mendekat. Seketika aku berlari ke arah pintu. Tak kubiarkan Jodi kembali membawaku ke lubang dosa yang sama.“Cek! Suda
POV MIRADia PutrakuAku mematut diri di cermin. Penampilanku begitu beda dengan riasan sedikit tebal. Sejenak, aku memandang tas kertas yang berisi gaun pemberian Pak James. Gaun itu tak hanya terlalu pendek. Bagian dadanya juga terbuka. Aku membeli pakaian yang lebih tertutup dengan uang pemberiannya. “Sudah selesai.” Wanita berparas cantik dengan celana jeans dan kaos dengan nama salon itu memutar tubuhku menghadapnya. “Cantik sempurna. Mbak pasti hendak bertemu tunangan atau pacarnya mungkin. Wah! Beruntung sekali pasangan Mbak memiliki wanita secantik ini.”8 Aku tak menanggapi perkataan wanita itu. Tak mungkin juga aku mengatakan kalau diri ini akan menjual diri. “Terima kasih, Mbak.” Aku pergi meninggalkan wanita itu. Sebelumnya aku membayar ke kasir terlebih dahulu. Sebelum keluar salon, terlebih dulu aku memesan taksi daring Pikiranku berkecamuk. Aku kembali memandang diri melalui kaca yang ada di atas kepala sopir taksi. Ah ... apa gunanya aku menutup aurat, bila pada ak
POV AnggaAku rasanya sangat membenci Mira. Karena dia, aku mendekam di penjara. Ah ... bagaimana bisa, aku terjebak dalam pernikahan ini. Harusnya aku tegas dalam menolak perjodohan dulu. Harusnya aku pergi dari rumah itu. Ibarat jatuh tertimpa tangga. Bukan hanya kehilangan Naura, aku juga harus mendekam di penjara. Argh! Dua narapidana yang berada dalam satu sel denganku memandang ketika aku berteriak. Rasanya kepala dan dadaku tertimbun ribuan batu. Berat. Papa Yuda juga sekali tak menjengukku. Mungkin, pria itu malu dan kecewa memiliki putra sepertiku. Apalagi, beliau merupakan abdi negara. Bukan hanya memikirkan diri sendiri. Aku juga kalut ketika Mama Sandra terkulai saat polisi membawaku paksa. Dari kejadian yang menimpa diri ini, aku bisa melihat rasa cinta yang tulus dari seorang ibu untuk anaknya. “Ma, maafkan Angga.” Ada sedikit sesal, ketika mengingat diri ini pernah marah pada Mama. Terutama ketika wanita itu membicarakan Mira. Memang, wanita itu baik. Dia perhati
Membaca pesan pria itu, seketika wajahku memanas. Napas naik turun. Dada terasa sesak. Rasanya aku ingin berteriak. Memang, sekali kertas ketumpahan tinta, kertas itu tak akan kembali bersih. Begitu juga denganku, yang berusaha menjadi baik, tapi bayang-bayang masa lalu selalu menghantuiku. Sebisa mungkin, aku berusaha menahan air mataku agar tak tumpah.Surat dari Pak James, lekas aku simpan ke dalam paper bag dan meletakan benda itu ke lantai samping nakas.Aku memandang Mama. Wajah yang selalu terlihat tegas itu kini terlihat pucat pasi. Rasanya seribu kali, aku meminta maaf tak akan cukup. Ya Allah, berikan kesembuhan untuk mamaku. Bila kami berkehendak, biar aku yang menanggung rasa sakitnya.Mulutku tak henti-hentinya melantunkan doa demi kesembuhan Mama Sandra. Wanita itu masih tergolek berdaya. Alat bantu pernapasan memang sudah dilepas. Namun, detak jantungnya belum kembali normal.Ya Allah, karena dosa yang hambamu ini perbuat, keluarga hamba menderita. Ternyata karmamu itu
Gegas, aku memesan taksi daring lalu pulang.Setibanya di rumah, aku disambut Zahir yang asyik main mobil bersama Shakira di halaman.“Mama.” Bocah kecil mendekat seraya mengulurkan tangan memberi salam. Kuhujani bocah kecil itu dengan ciuman sebelum pamit untuk membersihkan diri.“Mira. Kamu tidak ke rumah sakit?” tanya Mama Santi saat kami berpapasan di depan pintu utama.Aku menjawab pertanyaan Mama dengan menggeleng.Beliau lantas menjelaskan padaku kalau Mama Sandra tadi menelepon. Beliau memberi kabar kalau Angga diperbolehkan pulang. Namun, setelahnya Mama Sandra menangis.Mendengar hal itu jantungku seakan berhenti. Mas Angga tidak akan pulang ke rumah melainkan ke penjara. Karena itu Mama Sandra menangis. “Mir, ada apa?”Mama Santi belum tahu kasus Mas Angga. Lekas aku menggeleng lalu pamit pada beliau untuk ke rumah sakit. Gegas aku berlari ke arah motor yang terparkir di halaman dengan kunci yang masih mengantung pada tempatnya. Kulajukan motor dengan kecepatan penuh. Le
Bab 26POV MIRAHasrat SATU MALAMCukup lama kami menunggu orang yang dimaksud oleh Naura. Bahkan, kopi yang tadinya berasap kini berubah dingin.Satu persatu orang yang tadi berada di kafe, silih berganti. Sudah lebih dari setengah jam, kami menunggu. Aku pun bertanya pada Naura, kenapa orang itu tak kunjung datang.“Dia sedang dalam perjalanan,” kata wanita yang sibuk dengan ponselnya.Sedari tadi, kami memang duduk bersama. Naura lebih banyak mengacuhkanku.“Naura, apa kamu tidak bisa berbicara sendiri dengan Pak James.”“Aku sudah coba. Dia sendiri yang meminta untuk berbicara denganmu.” Pandangan Naura tiba-tiba beralih pada pintu masuk kafe. Aku ikut memandang ke mana arah mata wanita itu. Seorang pria memakai jas hitam masuk. Pria itu melambaikan tangan pada Naura. Naura hanya menganggapi dengan senyuman.Beberapa pengunjung wanita lain juga ikut memandang ke Pak James. Sepertinya mereka terpana dengan ketampanan pria itu. Dia tak hanya tampan, dia juga kaya. Wanita mana yang t