Pov AnggaMama Santi diam. Wanita itu mempersilakanku untuk masuk rumah dan berbicara di dalam. Aku menatap ke sekeliling. Sepi. Tak ada tanda-tanda Mira dan Zahir. Mungkinkah wanita itu dan putranya tak ada di dini. Lalu di mana mereka. “Silakan duduk, Nak Angga. Biar mama buatkan minum dulu,” tawar wanita itu. “Tidak perlu, Ma. Kebetulan Angga baru saja minum. Kedatangan Angga hanya ingin mencari Mira dan membawanya pulang.” Wanita itu tak menimpali dan memilih berjalan meninggalkanku menuju dapur. Aku menatap setiap sudut ruang tamu. Rapi. Sama seperti Mira. Dia selalu menata rapi rumah. Ketika memandang, tanpa sengaja aku melihat sebuah mainan tergeletak di lantai. Mobil mainan milik Zahir. Mereka ada di sini. “Ada masalah apa di antara kalian?” tanya Mama yang membawa nampan berisi minuman. “Hanya ada sedikit kesalahpahaman di antara kami.” Mama Santi meletakan cangkir berisi kopi di atas meja. Beliau lalau duduk di kursi yang ada di sampingku. “Maaf, bukannya mama ingin
Argh!Aku meninju kemudi mobil. Hal itu membuat klakson berbunyi. Pikiranku kalut. Semua yang terjadi membuatku gila. Mama Sandra, mertuaku, dan Mira. Entah kenapa bisa jadi begini. Kacau semuanya! Papa pasti akan sangat marah, bila mertuaku itu mengadukan semua yang terjadi. Bodohnya aku yang mengatakan hal itu. Argh! Aku mengacak rambut. Setelahnya, aku melajukan mobil tanpa arah. Ya, aku butuh hiburan malam ini.Mobil yang aku tumpangi akhirnya terhenti di sebuah taman kota. Karena sudah larut, para penjual juga sudah mulai berkemas dan pulang. Apalagi malam tahun baru kali ini tak boleh ada acara apa pun. Tak ada perayaan. Jadi semua sepi. Aku turun dari mobil, karena haus, aku berjalan menghampiri penjual minuman yang juga sedang berkemas. Beruntung pria yang ditaksir berusia 50 tahunan itu masih mau melayani.Satu buah air mineral dengan kemasan botol sedang dan minuman bersoda yang aku ambil. Aku lalu menyodorkan uang pecahan dua puluh ribuan dan meminta pria itu untuk men
POV Angga“Gua malam ini mau menginap di rumah Lo.” Orang yang pertama aku hubungi adalah Heri. Alasannya, karena dia tinggal sendiri. Hanya di tempat dia aku tak sungkan untuk menginap. “Ada apa? Tumben Lo mau nginap di tempat gua? Enggak salah?” Selama ini aku memang belum pernah menginap di rumah teman-temanku. “Bacot, Lo!” “Eh, Lo kalau mau ke sini jangan lupa bawa minuman beserta camilannya.” Mendapat persetujuan darinya, aku membuka aplikasi ojek daring yang beberapa saat lalu baru aku unduh. Sebelum ke rumah Heri, terlebih dahulu aku menuju mesin anjungan tunai untuk mengambil sejumlah uang. Rencana, esok hari aku hendak mencari kontrakan. “Ngga, ternyata Lo beneran mau menginap di rumah gua?” Heri tampak terkejut melihat kedatanganku. Awalnya dia mengira aku hanya main-main dengan ucapanku. “Nih!” Aku menyerahkan minuman ringan dan makanan yang sempat aku beli di jalan. “BTW, Lo enggak bawa mobil?” Heri tampak celingukan mencari keberadaan mobilku di halaman rumahnya.
Perkataan Mas Angga yang menyebutku sebagai buah busuk. Terasa menyakitkan. Memang aku ini sudah busuk. Namun, tak semua busuk tidak bisa dimakan. Terkadang ada bagian buah yang masih segar, bila dibersihkan dan dibuang bagian busuknya akan bisa di makan.Bukan hanya buah, begitu juga dengan manusia. Andai ada seseorang yang datang mengulurkan tangan dan membantu untuk kembali dalam kebaikan. Maka sikap buruk perlahan akan terkikis. Kemudian kebaikan perlahan akan menggantikan.Aku pun berusaha mencegah kepergian pria itu. Namun, sia-sia. Aku hanya bisa memandang pria itu pergi meninggalkan rumah yang diklaim milikku itu. Bahkan aku masih tak paham, ketika dia mengatakan kalau Mama Sandra sudah menceritakan semua padaku. Menceritakan tentang apa?Badanku terasa lemas, ketika mengingat alasan pria itu menikahiku. Dipaksa Mama Sandra. Aku tak menyangka Mama akan melakukan hal itu. Padahal Mas Angga juga putranya. Mereka sudah hidup bersama selama puluhan tahun.Aku berkali-kali menyeka
POV ANGGA“Naura cepat. Klien kita sudah menunggu.” Pria itu kembali melambaikan tangan pada Naura. Naura mengangguk mendengarnya. Naura memandangku. “Maaf, Ngga. Aku berangkat bareng Pak James. Aku lupa kalau hari ini kami ada pertemuan.” Aku tahu kalau itu hanya kebohongan Naura saja. “Tapi, Naura ....” “Maaf, Ngga. Aku berangkat dulu.” Naura berjalan begitu saja meninggalkanku menuju mobil Pak James. Aku coba menahan tangannya, tapi Naura menepisnya. Tak ada lagi yang bisa kuperbuat selain menatap kepergiannya. Pria yang berdiri bersandar mobil itu, tertawa penuh kemenangan. Menji*jikan. Andai, dia bukan atasanku, sudah habis aku ha*jar. Pak James membuka pintu untuk Naura. Wanita itu duduk di samping kemudi. Naura sama sekali tak melirikku. Usai menutup pintu, Pak James sedikit berlari ke sisi lain. Dia lantas ikut masuk dan melajukan mobilnya. Argh! Aku meninju udara. Suasana hati yang kacau, membuatku berniat untuk tidak masuk bekerja. Aku kembali masuk rumah Naura unt
“Naura, aku tak pernah ....”“Jangan berkilah kamu, Angga. Semua sudah jelas. Aku juga sudah mengecek semua kebenarannya. Kamu sudah menikah lebih dari setahun lalu. Selama itu pula kamu menghianatiku. Tega kamu Angga!” Naura berkali-kali memukulku. Aku hanya bisa menerima begitu saja, tanpa membalasnya.“Naura akan aku jelaskan semuanya.” Hal ini yang selalu aku takutkan. Naura tahu tentang Mira dari orang lain. “Tidak perlu, Ngga. Sekali seorang pria berkhianat, tak ada kata maaf untuknya. Karena bila kata maaf itu terucap dan kembali pun suatu saat kamu akan kembali melakukannya.” Naura membalikkan badan. Wanita itu hendak meninggalkanku. Segera aku meraih tangannya.“Naura tolong dengarkan aku. Aku menikahi Mira karena terpaksa.”“Terpaksa?” Naura tak percaya.Kujelaskan semua kebenarannya pada Naura.“Demi Allah, sampai detik ini aku belum pernah menyentuh Mira.”“Tak ada kucing yang tahan melihat ikan asin di hadapannya. Kita sama-sama dewasa, Ngga. Tak perlu lagi ada yang kam
POV MIRA“Zahir, kamu dari mana?” Aku begitu terkeju mendapati bocah kecil itu dalam keadaan basah kuyup. “Nando.” Mendengar nama itu, aku tahu kalau dia pasti hendak main ke rumah temannya. Aku lantas menasihatinya agar tidak pergi dari rumah tanpa izin. Terutama jika hujan. Pasti akan bahaya kalau dia keluar rumah sendiri. Kebetulan depan rumah merupakan jalan yang cukup ramai kendaraan. Ketika hujan, pasti pandangan mereka terhalang dan membahayakan. “Zahir sama Papa.” “Papa?” Aku terkejut mendengar perkataan bocah itu. Zahir mengangguk, lalu dia menarikku ke teras. Aku celingukan mencari keberadaan Mas Angga. “Mana?” Aku memandang Zahir. “Tadi di sana.” Bocah menunjuk ke arah pagar. Bersamaan itu, sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan melaju menembus hujan. Mungkin pengendara mobil itu adalah Mas Angga. “Mungkin Papa sudah pergi. Ayo Zahir mandi dulu.” Lekas aku membawa Zahir masuk. “Zahir habis main hujan ya, Nak?” tanya Mama Santi yang baru saja keluar dari ka
POV MIRASudah dua hari Zahir dirawat. Namun, badannya masih lemas walau panasnya sudah turun. Bocah kecil itu berubah diam. Tak seceria sebelumnya. Melihat hal itu, aku merasa khawatir. Seperti pagi itu, aku ada di sampingnya. Sedangkan bocah kecil itu terus saja terlelap. Sekalinya terbangun, yang ditanyakan kapan papanya datang. Dan aku, tak bisa menjawab pertanyaan itu. “Mira, bagaimana keadaan Zahir?” Mama Sandra datang hari itu. Entah dari siapa dia tahu kalau Zahir sedang sakit. Mama lantas meletakan tas dan sebuah paper bag di atas sofa panjang tanpa sandaran. “Kenapa kamu tak memberitahu mama kalau Zahir sakit.” Wanita itu berdiri di samping ranjang Zahir. Lembut kening bocah kecil itu dikecupnya. “Mira terlalu bingung, Ma. Di pikiran Mira hanya Zahir.” “Tak seharusnya kamu seperti ini. Apa kamu tak menganggap Mama sebagai orang tuamu?” Mendengar perkataan Mama, lekas aku menggeleng. Aku tak bermaksud seperti itu kepadanya. Memang, aku terlalu fokus dengan Zahir. Apal
Di halaman, Zahir tampak begitu bahagia bermain dengan Mas Angga. Mereka berdua bergantian menendang bola plastik. Zahir tertawa lepas, ketika dia berhasil menendang bola yang dioper Mas Angga. Hah! Mungkin keputusanku memang yang terbaik. Aku menolak permintaannya untuk kembali. Bukan karena tak setia. Mungkin ini adalah jalan yang terbaik untuk kami agar tak ada yang tersakiti. “Hubungan suami-istri memang bisa terputus, tapi hubungan kakak-adik tak akan pernah terputus.” Itu yang aku katakan pada Mas Angga. Boleh saja, pria itu tak menganggapku sebagai seorang istri. Paling tidak dia mau menerimaku sebagai seorang adik. Kembali meniti rumah tangga dengannya rasanya tak mungkin. Sudah cukup aku menyakitinya. Aku juga tak ingin masalah baru terjadi. Iya, semua yang dekat denganku akan menderita. “Kamu itu bodoh atau dungu?” Nenek menunjuk mukaku. Walaupun hati rasanya sakit mendengar perkataannya, aku coba bersabar. Apalagi beliau ibu dari Papa. “Harusnya kamu bersyukur masih
“Pa, boleh berhenti sebentar,” pintaku ketika mobil yang kami tumpangi melewati toko mainan.“Ada apa?” tanya Papa.Aku mengutarakan keinginanku untuk membelikan mainan Zahir. Namun, Papa melarangku turun. “Biar Papa saja yang beli.”Tanpa menunggu persetujuan dariku, Papa keluar. Pria itu berlari memasuki toko. Tak berselang lama, beliau kembali dengan dua boneka yang sedang viral di tangan. Boneka boba berwarna merah muda dan biru. Papa sengaja membeli dua, satu untuk Zahir, satunya lagi untuk Shakira.Kali ini hanya Papa yang bersamaku. Pagi tadi, usai tahu aku diperbolehkan pulang, Mama Santi pulang lebih dulu. Hendak membereskan kamarku katanya. Mobil kembali melaju. Aku memejamkan mata. Menyiapkan diri untuk bertemu orang yang aku benci. Nenek. Orang yang kuanggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada diri ini. Selama berada di rumah sakit, wanita itu tak menjengukku.“Mama.” Baru saja mobil memasuki halaman, Zahir berlari mendekat, disusul Mama San
Bab 31“Mira.”Ketika terbangun, Mama Santi sudah berada di sampingku.Aku coba untuk bangun. Melihat hal itu, gegas Mama membantuku duduk. Beliau juga meletakan bantal di belakangku. Tak lupa aku berterima kasih pada beliau.Mata wanita yang sudah kembali duduk di kursi yang ada di samping ranjang itu tampak merah. Pasti beliau baru saja menangis. Lagi-lagi aku merutuki diri. Karena aku, semua terluka.“Mir, kenapa tak pernah cerita pada kami. Kenapa kamu tanggung sendiri semua ini.”Mama menyayangkan keputusanku menemui Pak James. Beliau pasti sudah tahu dari Ali. “Ma, jangan menangis. Mira tak apa-apa.” Aku meraih tangan Mama dan menggenggamnya. Tubuh wanita itu berguncang. Dia memang bukan Mama kandungku, tapi dia orang pertama yang merangkul ketika tak ada orang yang mau menerima hadirku. Beliau orang yang mengajarkan untuk menjadi lebih baik lagi.“Tidak apa-apa.” Mama tampak marah. “Lihat dirimu!” Beliau menunjukku. “Bagaimana kalau sesuatu terjadi padamu? Bagaimana nasib Zahi
POV MIRASekali Hina, Selamanya Hina“Zahir bukan putramu!”Aku memandang pria itu nyalang. Tak terima kalau dirinya mengaku sebagai ayah Zahir. Aku tidak mau, putraku itu memiliki ayah seperti dia. Memang diriku juga hina, tapi tak seluruhnya kesalahan diri ini. Semua terjadi karena Jodi.“Apa katamu?” Jodi kembali mengungkit kejadian masa lalu.“Belum pasti kalau dia putramu. Bilamana itu benar, aku tak akan membiarkan kamu membawanya,” tantangku.Ya, tak akan kubiarkan putraku itu jatuh ke tangan Jodi. Aku tidak ingin bocah imut itu mendapat didikan yang salah. Bila pun benar Jodi adalah ayah biologis Zahir, segala cara akan aku lakukan agar Zahir tak jatuh ke tangannya. Aku yang mengandung, dan membesarkannya seorang diri walau menahan malu dan hinaan dari para tetangga.“Ok. Fine. Aku tak akan mengusik kehidupanmu, tapi puaskan aku malam ini!” Pria itu berjalan mendekat. Seketika aku berlari ke arah pintu. Tak kubiarkan Jodi kembali membawaku ke lubang dosa yang sama.“Cek! Suda
POV MIRADia PutrakuAku mematut diri di cermin. Penampilanku begitu beda dengan riasan sedikit tebal. Sejenak, aku memandang tas kertas yang berisi gaun pemberian Pak James. Gaun itu tak hanya terlalu pendek. Bagian dadanya juga terbuka. Aku membeli pakaian yang lebih tertutup dengan uang pemberiannya. “Sudah selesai.” Wanita berparas cantik dengan celana jeans dan kaos dengan nama salon itu memutar tubuhku menghadapnya. “Cantik sempurna. Mbak pasti hendak bertemu tunangan atau pacarnya mungkin. Wah! Beruntung sekali pasangan Mbak memiliki wanita secantik ini.”8 Aku tak menanggapi perkataan wanita itu. Tak mungkin juga aku mengatakan kalau diri ini akan menjual diri. “Terima kasih, Mbak.” Aku pergi meninggalkan wanita itu. Sebelumnya aku membayar ke kasir terlebih dahulu. Sebelum keluar salon, terlebih dulu aku memesan taksi daring Pikiranku berkecamuk. Aku kembali memandang diri melalui kaca yang ada di atas kepala sopir taksi. Ah ... apa gunanya aku menutup aurat, bila pada ak
POV AnggaAku rasanya sangat membenci Mira. Karena dia, aku mendekam di penjara. Ah ... bagaimana bisa, aku terjebak dalam pernikahan ini. Harusnya aku tegas dalam menolak perjodohan dulu. Harusnya aku pergi dari rumah itu. Ibarat jatuh tertimpa tangga. Bukan hanya kehilangan Naura, aku juga harus mendekam di penjara. Argh! Dua narapidana yang berada dalam satu sel denganku memandang ketika aku berteriak. Rasanya kepala dan dadaku tertimbun ribuan batu. Berat. Papa Yuda juga sekali tak menjengukku. Mungkin, pria itu malu dan kecewa memiliki putra sepertiku. Apalagi, beliau merupakan abdi negara. Bukan hanya memikirkan diri sendiri. Aku juga kalut ketika Mama Sandra terkulai saat polisi membawaku paksa. Dari kejadian yang menimpa diri ini, aku bisa melihat rasa cinta yang tulus dari seorang ibu untuk anaknya. “Ma, maafkan Angga.” Ada sedikit sesal, ketika mengingat diri ini pernah marah pada Mama. Terutama ketika wanita itu membicarakan Mira. Memang, wanita itu baik. Dia perhati
Membaca pesan pria itu, seketika wajahku memanas. Napas naik turun. Dada terasa sesak. Rasanya aku ingin berteriak. Memang, sekali kertas ketumpahan tinta, kertas itu tak akan kembali bersih. Begitu juga denganku, yang berusaha menjadi baik, tapi bayang-bayang masa lalu selalu menghantuiku. Sebisa mungkin, aku berusaha menahan air mataku agar tak tumpah.Surat dari Pak James, lekas aku simpan ke dalam paper bag dan meletakan benda itu ke lantai samping nakas.Aku memandang Mama. Wajah yang selalu terlihat tegas itu kini terlihat pucat pasi. Rasanya seribu kali, aku meminta maaf tak akan cukup. Ya Allah, berikan kesembuhan untuk mamaku. Bila kami berkehendak, biar aku yang menanggung rasa sakitnya.Mulutku tak henti-hentinya melantunkan doa demi kesembuhan Mama Sandra. Wanita itu masih tergolek berdaya. Alat bantu pernapasan memang sudah dilepas. Namun, detak jantungnya belum kembali normal.Ya Allah, karena dosa yang hambamu ini perbuat, keluarga hamba menderita. Ternyata karmamu itu
Gegas, aku memesan taksi daring lalu pulang.Setibanya di rumah, aku disambut Zahir yang asyik main mobil bersama Shakira di halaman.“Mama.” Bocah kecil mendekat seraya mengulurkan tangan memberi salam. Kuhujani bocah kecil itu dengan ciuman sebelum pamit untuk membersihkan diri.“Mira. Kamu tidak ke rumah sakit?” tanya Mama Santi saat kami berpapasan di depan pintu utama.Aku menjawab pertanyaan Mama dengan menggeleng.Beliau lantas menjelaskan padaku kalau Mama Sandra tadi menelepon. Beliau memberi kabar kalau Angga diperbolehkan pulang. Namun, setelahnya Mama Sandra menangis.Mendengar hal itu jantungku seakan berhenti. Mas Angga tidak akan pulang ke rumah melainkan ke penjara. Karena itu Mama Sandra menangis. “Mir, ada apa?”Mama Santi belum tahu kasus Mas Angga. Lekas aku menggeleng lalu pamit pada beliau untuk ke rumah sakit. Gegas aku berlari ke arah motor yang terparkir di halaman dengan kunci yang masih mengantung pada tempatnya. Kulajukan motor dengan kecepatan penuh. Le
Bab 26POV MIRAHasrat SATU MALAMCukup lama kami menunggu orang yang dimaksud oleh Naura. Bahkan, kopi yang tadinya berasap kini berubah dingin.Satu persatu orang yang tadi berada di kafe, silih berganti. Sudah lebih dari setengah jam, kami menunggu. Aku pun bertanya pada Naura, kenapa orang itu tak kunjung datang.“Dia sedang dalam perjalanan,” kata wanita yang sibuk dengan ponselnya.Sedari tadi, kami memang duduk bersama. Naura lebih banyak mengacuhkanku.“Naura, apa kamu tidak bisa berbicara sendiri dengan Pak James.”“Aku sudah coba. Dia sendiri yang meminta untuk berbicara denganmu.” Pandangan Naura tiba-tiba beralih pada pintu masuk kafe. Aku ikut memandang ke mana arah mata wanita itu. Seorang pria memakai jas hitam masuk. Pria itu melambaikan tangan pada Naura. Naura hanya menganggapi dengan senyuman.Beberapa pengunjung wanita lain juga ikut memandang ke Pak James. Sepertinya mereka terpana dengan ketampanan pria itu. Dia tak hanya tampan, dia juga kaya. Wanita mana yang t