POV MIRA“Zahir, kamu dari mana?” Aku begitu terkeju mendapati bocah kecil itu dalam keadaan basah kuyup. “Nando.” Mendengar nama itu, aku tahu kalau dia pasti hendak main ke rumah temannya. Aku lantas menasihatinya agar tidak pergi dari rumah tanpa izin. Terutama jika hujan. Pasti akan bahaya kalau dia keluar rumah sendiri. Kebetulan depan rumah merupakan jalan yang cukup ramai kendaraan. Ketika hujan, pasti pandangan mereka terhalang dan membahayakan. “Zahir sama Papa.” “Papa?” Aku terkejut mendengar perkataan bocah itu. Zahir mengangguk, lalu dia menarikku ke teras. Aku celingukan mencari keberadaan Mas Angga. “Mana?” Aku memandang Zahir. “Tadi di sana.” Bocah menunjuk ke arah pagar. Bersamaan itu, sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan melaju menembus hujan. Mungkin pengendara mobil itu adalah Mas Angga. “Mungkin Papa sudah pergi. Ayo Zahir mandi dulu.” Lekas aku membawa Zahir masuk. “Zahir habis main hujan ya, Nak?” tanya Mama Santi yang baru saja keluar dari ka
POV MIRASudah dua hari Zahir dirawat. Namun, badannya masih lemas walau panasnya sudah turun. Bocah kecil itu berubah diam. Tak seceria sebelumnya. Melihat hal itu, aku merasa khawatir. Seperti pagi itu, aku ada di sampingnya. Sedangkan bocah kecil itu terus saja terlelap. Sekalinya terbangun, yang ditanyakan kapan papanya datang. Dan aku, tak bisa menjawab pertanyaan itu. “Mira, bagaimana keadaan Zahir?” Mama Sandra datang hari itu. Entah dari siapa dia tahu kalau Zahir sedang sakit. Mama lantas meletakan tas dan sebuah paper bag di atas sofa panjang tanpa sandaran. “Kenapa kamu tak memberitahu mama kalau Zahir sakit.” Wanita itu berdiri di samping ranjang Zahir. Lembut kening bocah kecil itu dikecupnya. “Mira terlalu bingung, Ma. Di pikiran Mira hanya Zahir.” “Tak seharusnya kamu seperti ini. Apa kamu tak menganggap Mama sebagai orang tuamu?” Mendengar perkataan Mama, lekas aku menggeleng. Aku tak bermaksud seperti itu kepadanya. Memang, aku terlalu fokus dengan Zahir. Apal
POV MIRAMalam harinya, Zahir tertidur lelap. Aku senang melihat bocah itu sudah membaik dan kembali ceria. Mas Angga pulang usai Zahir tidur, sedangkan Mama Sandra tinggal menemaniku. Aku juga menghubungi Mama Santi untuk istirahat saja di rumah, karena ada Mama Sandra yang menemani. “Mira, kamu istirahat saja. Biar Mama yang jaga Zahir.” Padahal Mama sudah mengantuk. Namun, wanita itu justru memintaku untuk tidur. “Mama saja yang tidur duluan. Mira belum mengantuk.” “Ya sudah kalau begitu.” Mama menata kasur lantai yang kami bawa. Beliau lantas merebahkan diri di atasnya. Aku, duduk di samping Zahir. Siang tadi, aku dan Mama sempat berselisih paham. Namun, pada akhirnya Mama mau menerima keputusanku. Rencana, esok hari aku akan menemui Naura untuk menjelaskan segalanya. Merasa kesepian karena Mama juga sudah tidur, aku mengambil ponsel yang ada di saku celana. Aku berencana untuk mengirim ucapan terima kasih pada Mas Angga. Setelah mengetikan dua kata tersebut aku mengirimka
POV MIRASetelah diberi pengertian akhirnya Zahir mau pulang ke rumah Mama Santi. Mama Sandra dan Papa Yuda juga akhirnya mengiyakan permintaanku. Mereka juga berjanji akan mengirimkan mobil mainan yang diinginkan Zahir ke rumah Mama Santi. Sangat sulit untukku kembali ke rumah itu. Tak ada cinta di sana. Yang ada hanya luka. “Ayo kita pulang, Nak. Pasti Zahir sudah rindu kan sama teman-teman, Adek.” Aku menoleh hidung mancung bocah itu. Namun, Zahir yang sedang duduk bersila di ranjang hanya diam. Aku tersenyum melihat tingkahnya. “Ya sudah kalau tidak mau berbicara sama mama.” Segera kuraih tubuh gempal Zahir ke dalam gendongan. Bersama kami keluar dari kamar itu dengan harapan, suatu saat nanti tak akan kembali lagi ke sana. Aku memandang Zahir yang tidur di pangkuan dengan tatapan keluar jendela. Bocah itu diam saja. Tak ada satu kata pun dari mulutnya. Sepertinya dia memang marah padaku. Aku juga ikut memandang keluar. Menatap pengendara motor yang berlalu lalang. Tak ada k
POV MIRASetelah memohon, akhirnya keluargaku mengizinkanku untuk ikut menemui Mas Angga. Mama Santi yang tinggal di rumah untuk menjaga Zahir. Papa Doni tidak ikut. Beliau masih marah dengan pria itu. Selama perjalanan, aku begitu takut. Jantung pun berdetak sangat kencang. Mas Angga memang tak mencintaiku, tapi aku tak tega jika melihatnya terluka. Erat, aku menggenggam tangan Mama Sandra yang sama takutnya denganku. Walau Mas Angga bukan putra kandung beliau, tapi kasih sayang Mama melebihi ibu kandung. Memang beliu pernah mengancam Mas Angga. Namun, itu semua dilakukan karena beliau takut kehilangan Mas Angga. Papa Yuda mengemudikan mobil dengan cepat. Tak ada kata yang terlontar dari mulut pria itu. Namun, dari sikapnya, aku tahu kalau beliau juga mengkhawatirkan Mas Angga. Jalanan yang senggang, membuat mobil yang kami tumpangi melesat tanpa hambatan. Hingga tak membutuhkan waktu lama untuk tiba di rumah sakit yang disebutkan penelepon tadi. Mobil yang dikendarai Papa Yuda
Mengingat Heri pernah memberiku nomor ponsel Naura, aku berencana untuk menghubunginya. Tak mungkin untuk menemuinya saat ini. Selain hari sudah mulai petang, aku juga sudah meninggalkan Papa dan Mas Angga terlalu lama. Papa pasti mencariku.Usai bertemu Angga, aku berhenti sejenak di taman kota yang tak jauh dari rumah sakit untuk menelepon Naura. Taman saat itu sedikit sepi. Hanya ada beberapa pengunjung saja. Aku lantas duduk di sebuah ayunan, lalu mengeluarkan ponsel dari tas kecil berwarna biru yang kubawa.Cukup lama, aku melakukan panggilan. Berdering, tapi tak ada jawaban. Beberapa kali aku mencoba. Hingga pada panggilan kelima teleponku dijawab.Tanpa basa-basi aku meminta waktu padanya untuk berbicara empat mata.Awalnya Naura menolak. Dia bersikeras tak ingin bertemu denganku. Aku juga sudah menjelaskan akan hubunganku Mas Angga. Namun, dia tetap tak mau mendengar. “Demi Allah, Naura. Mas Angga tak pernah menyentuhku. Selama ini kami tidur di kamar yang berbeda. Aku mo
Aku mengiyakan. Lekas kulangkahkan kaki ke musala rumah sakit untuk menunaikan kewajiban tiga rakaat. Aku juga pamit pada beliau, untuk menunggu waktu Salat Isya.Ketika kembali ke kamar Mas Angga, Papa sudah tak ada. Mungkin beliau sudah pergi. Aku lantas duduk di sofa. Pria yang ada di atas ranjang tampak tertidur lelap. Aku tahu dari suara dengkurannya.Hah!Aku mengembuskan napas. Batu tadi siang aku keluar dari rumah sakit. Kenapa harus kembali ke sini lagi. Aku sudah rindu dengan tempat tidur yang empul dan nyaman. Badan juga terasa pegal semua. Beberapa hari selama Zahir dirawat, tidurku tak nyenyak.Lelah, aku merebahkan diri di sofa. Hingga, aku tertidur lelap.***Suara brankar membangunkanku. Terdengar juga suara tangisan seorang wanita seiring dengan langkah brankar yang menjauh. Pasti ada pasien tadi dalam keadaan darurat. Lekas aku melirik Mas Angga yang masih terbaring di atas ranjang tanpa selimut. Aku memandang diri. Ada selimut yang menutupi. Pasti Mas Angga yang me
Bab 26POV MIRAHasrat SATU MALAMCukup lama kami menunggu orang yang dimaksud oleh Naura. Bahkan, kopi yang tadinya berasap kini berubah dingin.Satu persatu orang yang tadi berada di kafe, silih berganti. Sudah lebih dari setengah jam, kami menunggu. Aku pun bertanya pada Naura, kenapa orang itu tak kunjung datang.“Dia sedang dalam perjalanan,” kata wanita yang sibuk dengan ponselnya.Sedari tadi, kami memang duduk bersama. Naura lebih banyak mengacuhkanku.“Naura, apa kamu tidak bisa berbicara sendiri dengan Pak James.”“Aku sudah coba. Dia sendiri yang meminta untuk berbicara denganmu.” Pandangan Naura tiba-tiba beralih pada pintu masuk kafe. Aku ikut memandang ke mana arah mata wanita itu. Seorang pria memakai jas hitam masuk. Pria itu melambaikan tangan pada Naura. Naura hanya menganggapi dengan senyuman.Beberapa pengunjung wanita lain juga ikut memandang ke Pak James. Sepertinya mereka terpana dengan ketampanan pria itu. Dia tak hanya tampan, dia juga kaya. Wanita mana yang t