“Naura, aku tak pernah ....”“Jangan berkilah kamu, Angga. Semua sudah jelas. Aku juga sudah mengecek semua kebenarannya. Kamu sudah menikah lebih dari setahun lalu. Selama itu pula kamu menghianatiku. Tega kamu Angga!” Naura berkali-kali memukulku. Aku hanya bisa menerima begitu saja, tanpa membalasnya.“Naura akan aku jelaskan semuanya.” Hal ini yang selalu aku takutkan. Naura tahu tentang Mira dari orang lain. “Tidak perlu, Ngga. Sekali seorang pria berkhianat, tak ada kata maaf untuknya. Karena bila kata maaf itu terucap dan kembali pun suatu saat kamu akan kembali melakukannya.” Naura membalikkan badan. Wanita itu hendak meninggalkanku. Segera aku meraih tangannya.“Naura tolong dengarkan aku. Aku menikahi Mira karena terpaksa.”“Terpaksa?” Naura tak percaya.Kujelaskan semua kebenarannya pada Naura.“Demi Allah, sampai detik ini aku belum pernah menyentuh Mira.”“Tak ada kucing yang tahan melihat ikan asin di hadapannya. Kita sama-sama dewasa, Ngga. Tak perlu lagi ada yang kam
POV MIRA“Zahir, kamu dari mana?” Aku begitu terkeju mendapati bocah kecil itu dalam keadaan basah kuyup. “Nando.” Mendengar nama itu, aku tahu kalau dia pasti hendak main ke rumah temannya. Aku lantas menasihatinya agar tidak pergi dari rumah tanpa izin. Terutama jika hujan. Pasti akan bahaya kalau dia keluar rumah sendiri. Kebetulan depan rumah merupakan jalan yang cukup ramai kendaraan. Ketika hujan, pasti pandangan mereka terhalang dan membahayakan. “Zahir sama Papa.” “Papa?” Aku terkejut mendengar perkataan bocah itu. Zahir mengangguk, lalu dia menarikku ke teras. Aku celingukan mencari keberadaan Mas Angga. “Mana?” Aku memandang Zahir. “Tadi di sana.” Bocah menunjuk ke arah pagar. Bersamaan itu, sebuah mobil yang terparkir di seberang jalan melaju menembus hujan. Mungkin pengendara mobil itu adalah Mas Angga. “Mungkin Papa sudah pergi. Ayo Zahir mandi dulu.” Lekas aku membawa Zahir masuk. “Zahir habis main hujan ya, Nak?” tanya Mama Santi yang baru saja keluar dari ka
POV MIRASudah dua hari Zahir dirawat. Namun, badannya masih lemas walau panasnya sudah turun. Bocah kecil itu berubah diam. Tak seceria sebelumnya. Melihat hal itu, aku merasa khawatir. Seperti pagi itu, aku ada di sampingnya. Sedangkan bocah kecil itu terus saja terlelap. Sekalinya terbangun, yang ditanyakan kapan papanya datang. Dan aku, tak bisa menjawab pertanyaan itu. “Mira, bagaimana keadaan Zahir?” Mama Sandra datang hari itu. Entah dari siapa dia tahu kalau Zahir sedang sakit. Mama lantas meletakan tas dan sebuah paper bag di atas sofa panjang tanpa sandaran. “Kenapa kamu tak memberitahu mama kalau Zahir sakit.” Wanita itu berdiri di samping ranjang Zahir. Lembut kening bocah kecil itu dikecupnya. “Mira terlalu bingung, Ma. Di pikiran Mira hanya Zahir.” “Tak seharusnya kamu seperti ini. Apa kamu tak menganggap Mama sebagai orang tuamu?” Mendengar perkataan Mama, lekas aku menggeleng. Aku tak bermaksud seperti itu kepadanya. Memang, aku terlalu fokus dengan Zahir. Apal
POV MIRAMalam harinya, Zahir tertidur lelap. Aku senang melihat bocah itu sudah membaik dan kembali ceria. Mas Angga pulang usai Zahir tidur, sedangkan Mama Sandra tinggal menemaniku. Aku juga menghubungi Mama Santi untuk istirahat saja di rumah, karena ada Mama Sandra yang menemani. “Mira, kamu istirahat saja. Biar Mama yang jaga Zahir.” Padahal Mama sudah mengantuk. Namun, wanita itu justru memintaku untuk tidur. “Mama saja yang tidur duluan. Mira belum mengantuk.” “Ya sudah kalau begitu.” Mama menata kasur lantai yang kami bawa. Beliau lantas merebahkan diri di atasnya. Aku, duduk di samping Zahir. Siang tadi, aku dan Mama sempat berselisih paham. Namun, pada akhirnya Mama mau menerima keputusanku. Rencana, esok hari aku akan menemui Naura untuk menjelaskan segalanya. Merasa kesepian karena Mama juga sudah tidur, aku mengambil ponsel yang ada di saku celana. Aku berencana untuk mengirim ucapan terima kasih pada Mas Angga. Setelah mengetikan dua kata tersebut aku mengirimka
POV MIRASetelah diberi pengertian akhirnya Zahir mau pulang ke rumah Mama Santi. Mama Sandra dan Papa Yuda juga akhirnya mengiyakan permintaanku. Mereka juga berjanji akan mengirimkan mobil mainan yang diinginkan Zahir ke rumah Mama Santi. Sangat sulit untukku kembali ke rumah itu. Tak ada cinta di sana. Yang ada hanya luka. “Ayo kita pulang, Nak. Pasti Zahir sudah rindu kan sama teman-teman, Adek.” Aku menoleh hidung mancung bocah itu. Namun, Zahir yang sedang duduk bersila di ranjang hanya diam. Aku tersenyum melihat tingkahnya. “Ya sudah kalau tidak mau berbicara sama mama.” Segera kuraih tubuh gempal Zahir ke dalam gendongan. Bersama kami keluar dari kamar itu dengan harapan, suatu saat nanti tak akan kembali lagi ke sana. Aku memandang Zahir yang tidur di pangkuan dengan tatapan keluar jendela. Bocah itu diam saja. Tak ada satu kata pun dari mulutnya. Sepertinya dia memang marah padaku. Aku juga ikut memandang keluar. Menatap pengendara motor yang berlalu lalang. Tak ada k
POV MIRASetelah memohon, akhirnya keluargaku mengizinkanku untuk ikut menemui Mas Angga. Mama Santi yang tinggal di rumah untuk menjaga Zahir. Papa Doni tidak ikut. Beliau masih marah dengan pria itu. Selama perjalanan, aku begitu takut. Jantung pun berdetak sangat kencang. Mas Angga memang tak mencintaiku, tapi aku tak tega jika melihatnya terluka. Erat, aku menggenggam tangan Mama Sandra yang sama takutnya denganku. Walau Mas Angga bukan putra kandung beliau, tapi kasih sayang Mama melebihi ibu kandung. Memang beliu pernah mengancam Mas Angga. Namun, itu semua dilakukan karena beliau takut kehilangan Mas Angga. Papa Yuda mengemudikan mobil dengan cepat. Tak ada kata yang terlontar dari mulut pria itu. Namun, dari sikapnya, aku tahu kalau beliau juga mengkhawatirkan Mas Angga. Jalanan yang senggang, membuat mobil yang kami tumpangi melesat tanpa hambatan. Hingga tak membutuhkan waktu lama untuk tiba di rumah sakit yang disebutkan penelepon tadi. Mobil yang dikendarai Papa Yuda
Mengingat Heri pernah memberiku nomor ponsel Naura, aku berencana untuk menghubunginya. Tak mungkin untuk menemuinya saat ini. Selain hari sudah mulai petang, aku juga sudah meninggalkan Papa dan Mas Angga terlalu lama. Papa pasti mencariku.Usai bertemu Angga, aku berhenti sejenak di taman kota yang tak jauh dari rumah sakit untuk menelepon Naura. Taman saat itu sedikit sepi. Hanya ada beberapa pengunjung saja. Aku lantas duduk di sebuah ayunan, lalu mengeluarkan ponsel dari tas kecil berwarna biru yang kubawa.Cukup lama, aku melakukan panggilan. Berdering, tapi tak ada jawaban. Beberapa kali aku mencoba. Hingga pada panggilan kelima teleponku dijawab.Tanpa basa-basi aku meminta waktu padanya untuk berbicara empat mata.Awalnya Naura menolak. Dia bersikeras tak ingin bertemu denganku. Aku juga sudah menjelaskan akan hubunganku Mas Angga. Namun, dia tetap tak mau mendengar. “Demi Allah, Naura. Mas Angga tak pernah menyentuhku. Selama ini kami tidur di kamar yang berbeda. Aku mo
Aku mengiyakan. Lekas kulangkahkan kaki ke musala rumah sakit untuk menunaikan kewajiban tiga rakaat. Aku juga pamit pada beliau, untuk menunggu waktu Salat Isya.Ketika kembali ke kamar Mas Angga, Papa sudah tak ada. Mungkin beliau sudah pergi. Aku lantas duduk di sofa. Pria yang ada di atas ranjang tampak tertidur lelap. Aku tahu dari suara dengkurannya.Hah!Aku mengembuskan napas. Batu tadi siang aku keluar dari rumah sakit. Kenapa harus kembali ke sini lagi. Aku sudah rindu dengan tempat tidur yang empul dan nyaman. Badan juga terasa pegal semua. Beberapa hari selama Zahir dirawat, tidurku tak nyenyak.Lelah, aku merebahkan diri di sofa. Hingga, aku tertidur lelap.***Suara brankar membangunkanku. Terdengar juga suara tangisan seorang wanita seiring dengan langkah brankar yang menjauh. Pasti ada pasien tadi dalam keadaan darurat. Lekas aku melirik Mas Angga yang masih terbaring di atas ranjang tanpa selimut. Aku memandang diri. Ada selimut yang menutupi. Pasti Mas Angga yang me
Di halaman, Zahir tampak begitu bahagia bermain dengan Mas Angga. Mereka berdua bergantian menendang bola plastik. Zahir tertawa lepas, ketika dia berhasil menendang bola yang dioper Mas Angga. Hah! Mungkin keputusanku memang yang terbaik. Aku menolak permintaannya untuk kembali. Bukan karena tak setia. Mungkin ini adalah jalan yang terbaik untuk kami agar tak ada yang tersakiti. “Hubungan suami-istri memang bisa terputus, tapi hubungan kakak-adik tak akan pernah terputus.” Itu yang aku katakan pada Mas Angga. Boleh saja, pria itu tak menganggapku sebagai seorang istri. Paling tidak dia mau menerimaku sebagai seorang adik. Kembali meniti rumah tangga dengannya rasanya tak mungkin. Sudah cukup aku menyakitinya. Aku juga tak ingin masalah baru terjadi. Iya, semua yang dekat denganku akan menderita. “Kamu itu bodoh atau dungu?” Nenek menunjuk mukaku. Walaupun hati rasanya sakit mendengar perkataannya, aku coba bersabar. Apalagi beliau ibu dari Papa. “Harusnya kamu bersyukur masih
“Pa, boleh berhenti sebentar,” pintaku ketika mobil yang kami tumpangi melewati toko mainan.“Ada apa?” tanya Papa.Aku mengutarakan keinginanku untuk membelikan mainan Zahir. Namun, Papa melarangku turun. “Biar Papa saja yang beli.”Tanpa menunggu persetujuan dariku, Papa keluar. Pria itu berlari memasuki toko. Tak berselang lama, beliau kembali dengan dua boneka yang sedang viral di tangan. Boneka boba berwarna merah muda dan biru. Papa sengaja membeli dua, satu untuk Zahir, satunya lagi untuk Shakira.Kali ini hanya Papa yang bersamaku. Pagi tadi, usai tahu aku diperbolehkan pulang, Mama Santi pulang lebih dulu. Hendak membereskan kamarku katanya. Mobil kembali melaju. Aku memejamkan mata. Menyiapkan diri untuk bertemu orang yang aku benci. Nenek. Orang yang kuanggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada diri ini. Selama berada di rumah sakit, wanita itu tak menjengukku.“Mama.” Baru saja mobil memasuki halaman, Zahir berlari mendekat, disusul Mama San
Bab 31“Mira.”Ketika terbangun, Mama Santi sudah berada di sampingku.Aku coba untuk bangun. Melihat hal itu, gegas Mama membantuku duduk. Beliau juga meletakan bantal di belakangku. Tak lupa aku berterima kasih pada beliau.Mata wanita yang sudah kembali duduk di kursi yang ada di samping ranjang itu tampak merah. Pasti beliau baru saja menangis. Lagi-lagi aku merutuki diri. Karena aku, semua terluka.“Mir, kenapa tak pernah cerita pada kami. Kenapa kamu tanggung sendiri semua ini.”Mama menyayangkan keputusanku menemui Pak James. Beliau pasti sudah tahu dari Ali. “Ma, jangan menangis. Mira tak apa-apa.” Aku meraih tangan Mama dan menggenggamnya. Tubuh wanita itu berguncang. Dia memang bukan Mama kandungku, tapi dia orang pertama yang merangkul ketika tak ada orang yang mau menerima hadirku. Beliau orang yang mengajarkan untuk menjadi lebih baik lagi.“Tidak apa-apa.” Mama tampak marah. “Lihat dirimu!” Beliau menunjukku. “Bagaimana kalau sesuatu terjadi padamu? Bagaimana nasib Zahi
POV MIRASekali Hina, Selamanya Hina“Zahir bukan putramu!”Aku memandang pria itu nyalang. Tak terima kalau dirinya mengaku sebagai ayah Zahir. Aku tidak mau, putraku itu memiliki ayah seperti dia. Memang diriku juga hina, tapi tak seluruhnya kesalahan diri ini. Semua terjadi karena Jodi.“Apa katamu?” Jodi kembali mengungkit kejadian masa lalu.“Belum pasti kalau dia putramu. Bilamana itu benar, aku tak akan membiarkan kamu membawanya,” tantangku.Ya, tak akan kubiarkan putraku itu jatuh ke tangan Jodi. Aku tidak ingin bocah imut itu mendapat didikan yang salah. Bila pun benar Jodi adalah ayah biologis Zahir, segala cara akan aku lakukan agar Zahir tak jatuh ke tangannya. Aku yang mengandung, dan membesarkannya seorang diri walau menahan malu dan hinaan dari para tetangga.“Ok. Fine. Aku tak akan mengusik kehidupanmu, tapi puaskan aku malam ini!” Pria itu berjalan mendekat. Seketika aku berlari ke arah pintu. Tak kubiarkan Jodi kembali membawaku ke lubang dosa yang sama.“Cek! Suda
POV MIRADia PutrakuAku mematut diri di cermin. Penampilanku begitu beda dengan riasan sedikit tebal. Sejenak, aku memandang tas kertas yang berisi gaun pemberian Pak James. Gaun itu tak hanya terlalu pendek. Bagian dadanya juga terbuka. Aku membeli pakaian yang lebih tertutup dengan uang pemberiannya. “Sudah selesai.” Wanita berparas cantik dengan celana jeans dan kaos dengan nama salon itu memutar tubuhku menghadapnya. “Cantik sempurna. Mbak pasti hendak bertemu tunangan atau pacarnya mungkin. Wah! Beruntung sekali pasangan Mbak memiliki wanita secantik ini.”8 Aku tak menanggapi perkataan wanita itu. Tak mungkin juga aku mengatakan kalau diri ini akan menjual diri. “Terima kasih, Mbak.” Aku pergi meninggalkan wanita itu. Sebelumnya aku membayar ke kasir terlebih dahulu. Sebelum keluar salon, terlebih dulu aku memesan taksi daring Pikiranku berkecamuk. Aku kembali memandang diri melalui kaca yang ada di atas kepala sopir taksi. Ah ... apa gunanya aku menutup aurat, bila pada ak
POV AnggaAku rasanya sangat membenci Mira. Karena dia, aku mendekam di penjara. Ah ... bagaimana bisa, aku terjebak dalam pernikahan ini. Harusnya aku tegas dalam menolak perjodohan dulu. Harusnya aku pergi dari rumah itu. Ibarat jatuh tertimpa tangga. Bukan hanya kehilangan Naura, aku juga harus mendekam di penjara. Argh! Dua narapidana yang berada dalam satu sel denganku memandang ketika aku berteriak. Rasanya kepala dan dadaku tertimbun ribuan batu. Berat. Papa Yuda juga sekali tak menjengukku. Mungkin, pria itu malu dan kecewa memiliki putra sepertiku. Apalagi, beliau merupakan abdi negara. Bukan hanya memikirkan diri sendiri. Aku juga kalut ketika Mama Sandra terkulai saat polisi membawaku paksa. Dari kejadian yang menimpa diri ini, aku bisa melihat rasa cinta yang tulus dari seorang ibu untuk anaknya. “Ma, maafkan Angga.” Ada sedikit sesal, ketika mengingat diri ini pernah marah pada Mama. Terutama ketika wanita itu membicarakan Mira. Memang, wanita itu baik. Dia perhati
Membaca pesan pria itu, seketika wajahku memanas. Napas naik turun. Dada terasa sesak. Rasanya aku ingin berteriak. Memang, sekali kertas ketumpahan tinta, kertas itu tak akan kembali bersih. Begitu juga denganku, yang berusaha menjadi baik, tapi bayang-bayang masa lalu selalu menghantuiku. Sebisa mungkin, aku berusaha menahan air mataku agar tak tumpah.Surat dari Pak James, lekas aku simpan ke dalam paper bag dan meletakan benda itu ke lantai samping nakas.Aku memandang Mama. Wajah yang selalu terlihat tegas itu kini terlihat pucat pasi. Rasanya seribu kali, aku meminta maaf tak akan cukup. Ya Allah, berikan kesembuhan untuk mamaku. Bila kami berkehendak, biar aku yang menanggung rasa sakitnya.Mulutku tak henti-hentinya melantunkan doa demi kesembuhan Mama Sandra. Wanita itu masih tergolek berdaya. Alat bantu pernapasan memang sudah dilepas. Namun, detak jantungnya belum kembali normal.Ya Allah, karena dosa yang hambamu ini perbuat, keluarga hamba menderita. Ternyata karmamu itu
Gegas, aku memesan taksi daring lalu pulang.Setibanya di rumah, aku disambut Zahir yang asyik main mobil bersama Shakira di halaman.“Mama.” Bocah kecil mendekat seraya mengulurkan tangan memberi salam. Kuhujani bocah kecil itu dengan ciuman sebelum pamit untuk membersihkan diri.“Mira. Kamu tidak ke rumah sakit?” tanya Mama Santi saat kami berpapasan di depan pintu utama.Aku menjawab pertanyaan Mama dengan menggeleng.Beliau lantas menjelaskan padaku kalau Mama Sandra tadi menelepon. Beliau memberi kabar kalau Angga diperbolehkan pulang. Namun, setelahnya Mama Sandra menangis.Mendengar hal itu jantungku seakan berhenti. Mas Angga tidak akan pulang ke rumah melainkan ke penjara. Karena itu Mama Sandra menangis. “Mir, ada apa?”Mama Santi belum tahu kasus Mas Angga. Lekas aku menggeleng lalu pamit pada beliau untuk ke rumah sakit. Gegas aku berlari ke arah motor yang terparkir di halaman dengan kunci yang masih mengantung pada tempatnya. Kulajukan motor dengan kecepatan penuh. Le
Bab 26POV MIRAHasrat SATU MALAMCukup lama kami menunggu orang yang dimaksud oleh Naura. Bahkan, kopi yang tadinya berasap kini berubah dingin.Satu persatu orang yang tadi berada di kafe, silih berganti. Sudah lebih dari setengah jam, kami menunggu. Aku pun bertanya pada Naura, kenapa orang itu tak kunjung datang.“Dia sedang dalam perjalanan,” kata wanita yang sibuk dengan ponselnya.Sedari tadi, kami memang duduk bersama. Naura lebih banyak mengacuhkanku.“Naura, apa kamu tidak bisa berbicara sendiri dengan Pak James.”“Aku sudah coba. Dia sendiri yang meminta untuk berbicara denganmu.” Pandangan Naura tiba-tiba beralih pada pintu masuk kafe. Aku ikut memandang ke mana arah mata wanita itu. Seorang pria memakai jas hitam masuk. Pria itu melambaikan tangan pada Naura. Naura hanya menganggapi dengan senyuman.Beberapa pengunjung wanita lain juga ikut memandang ke Pak James. Sepertinya mereka terpana dengan ketampanan pria itu. Dia tak hanya tampan, dia juga kaya. Wanita mana yang t