Dengan riasan tipis di wajah, Hana berjalan menuju restoran hotel tempat pertemuan pertamanya dengan sang calon sugar daddy.
Sejujurnya, Hana ragu akan keputusannya ini, tapi dia terpaksa dan terdesak oleh keadaan.
Namun, temannya meyakinkan Hana bahwa menjadi Sugar Baby dari seorang pria asing tentu lebih mudah karena mereka tidak selalu ada di negara ini.
Jadi, mereka tak akan minta dilayani meski semua kebutuhannya tentu tetap terpenuhi selama mereka masih tetap berhubungan jarak jauh.
“Hana?” sapa seorang pria tampan, “Apa kabar? Kamu sendirian?”
Hana sontak tersentak kala mendadak bertemu dengan mantan kekasihnya.
“Iya. Aku ada janji sama teman,” jawab Hana setelah berhasil menguasai diri.Tidak mungkin ia mengatakan jika ia sedang menunggu Sugar Daddy yang akan menyewanya pada sang mantan kekasih, kan?
“Ekhem..." deham Adam tiba-tiba, “Han, kamu tahu kalau pertunangan itu bukan keinginan aku. Kamu tahu kalau aku terpaksa dan—-““Kamu nggak terpaksa kan saat menghamili dia? Udahlah… Nggak usah di bahas. Lagian itu udah beberapa bulan yang lalu,” potong Hana cepat.“Aku selalu nyariin kamu. Kamu pindah kost, pindah kerja, dan DM aku di sosmed malah kamu blokir semua. Aku hanya mau jelasin—-“
“Dam, kita salah tempat. Bukan di restoran disini. Tapi lantai atasnya lagi.”Kali ini, salah seorang rekan Adam yang baru menghampiri mereka, berbicara.Mantan kekasih Hana itu sontak mengangguk.Namun, sebelum benar-benar pergi, Adam kembali berbalik pada Hana. “Han, aku boleh minta nomor telepon kamu nggak? Ada yang mau aku jelasin sama kamu,” ucapnya penuh harap.
Hana menghela napas. “Nanti aja ya, Dam… Kamu pergi aja dulu. Aku juga lagi nungguin seseorang. Aku ke toilet dulu,” ucap Hana lalu pamit pada Adam dan meninggalkannya dengan mempercepat langkahnya.Tak pernah ia sangka ia akan bertemu lagi dengan pria yang telah menjalin hubungan dengannya selama 3 tahun dan berakhir dengan datangnya seorang wanita ke kafe tempat ia bekerja sambil membawa foto- foto kebersamaannya dengan Adam saat tidur bersama.Setelah mencuci tangannya dan meyakinkan diri jika tidak ada lagi perasaan yang tersisa untuk pria yang mengkhianatinya tersebut, Hana kemudian membulatkan tekadnya untuk membatalkan pertemuannya dengan Mr. Smith malam ini karena moodnya yang terlanjur rusak dan keraguannya semakin besar.Hana lalu keluar dari toilet tersebut dan berjalan cepat ke arah mejanya tadi untuk mengambil tas miliknya. Ia tahu Dita pasti akan marah namun ia juga pasti akan mengerti dengan ketakutannya.Tring!Ponsel milik Hana berdering dan ternyata itu adalah panggilan dari nomor yang tak ia kenal dan terpaksa mengangkatnya karena takut jika itu adalah salah satu dari panggilan kerja yang ia tunggu selama ini.
“Halo…” jawab Hana yang kembali duduk di tempatnya semula.“Halo, Han. Ini aku," jawab si penelepon yang tentu saja Hana kenali sebagai pria yang dulu selalu menemaninya lewat sambungan telepon hingga ia tertidur.“Jangan dimatikan ya… Maaf tadi aku terpaksa buka hape kamu di atas meja dan telepon ke nomor aku. Aku hanya mau dengar suara kamu.” ucap Adam tepat saat Hana menoleh ke arah pintu masuk dimana ada beberapa orang yang memasuki restoran tersebut.Salah satunya adalah sosok seorang pria gagah dan tinggi dengan rahang tegasnya sedang berbicara dengan pria resepsionis tadi.“Maaf sudah bikin kamu menunggu lama…” ucapnya dengan sopan meski wajahnya terlihat datar saja.Deg!
“Kamu Raihana kan?” tanya pria blasteran dengan mata dan rambut coklat gelap tersebut. Hana yakin pria tersebut memiliki darah latin dalam dirinya meski ia terdengar fasih dalam berbicara bahasa yang sama dengannya.
“I-Iya… Saya Hana… Kamu…?”“Saya Christian Smith. Nice to see you…” jawabnya dengan senyuman samar.Hana terperanjat. Dia tak pernah menyangka bahwa Mr. Simth begitu tampan dan gagah.
“A--Anda Mr. Smith?” tanya Hana lagi, mencoba memastikan tidak ada kesalah pahaman diantara mereka.
“Saya tidak mengulang ucapan saya dua kali. Tapi kamu kemana?” ucap Christian menatap Hana yang seperti bersiap akan pergi.
“Oh itu… Saya tadi mau ke toilet.” jawab Hana dengan asal.
“Baiklah… Perlu saya antar?” tanya Christian lagi.
“Tidak… Tidak… Nggak perlu. Saya tahu tempatnya. Permisi.” jawab Hana dengan cepat dan langsung berjalan meninggalkan pria yang menatapnya dengan kening berkerut tersebut.
Di dalam toilet, Hana kemudian dengan cepat mengeluarkan ponselnya dan mencari nomor telepon Dita untuk menceritakan tentang apa yang terjadi saat ini dan ia benar- benar merasa terintimidasi dengan visual pria yang akan menjadi sugar daddynya tersebut. Pria yang ia yakini usianya tidak begitu terpaut jauh dari usianya.
“Apa lagi, Rihana???” jawab Dita.
“Dit, loe pernah ketemu sama Mr. Smith ini nggak?”
“Nggak. Emang kenapa?”
“Lihat fotonya, sosmed, atau apa aja gitu?”
“Nggak pernah, Hanaaa… Emang kenapa sih? Orangnya jelek? Tua banget? Loe nggak suka?” tanya Dita dengan suara yang sebenarnya ingin tertawa. Tentu ia tidak bermaksud ingin mengejek sahabatnya tersebut, namun membayangkan Rihana si gugup saat ini, pasti sedang sangat salah tingkah dan entah memecahkan apa lagi.
“Ya udah… Kalau loe nggak mau, dia juga nggak akan maksa kok. Loe pura- pura minta uang jajan yang banyak aja dan loe pamit pulang. Udah, loe santai aja. Loe bukan lagi sidang skripsi, Han… Santai… Eh tapi… Emang dia sejelek apa sih?”
“Nah itu dia masalahnya, Dit… Dia tuh nggak tua dan nggak jelek sama sekali.” ujar Hana dengan gemas.
“Hah?! Serius loe?!”
“Seribu rius, Pradita….! Dia masih muda, yah palingan 30 tahunan gitu lah…”
“Masa sih? Yah emang sih Tony nggak pernah ngasih tahu kalau dia masih muda atau tua. Gue juga nggak pernah nanya ya karena gue pikir rekan bisnisnya ya paling sepanteran dia juga. Trus trus gimana?”
“Ya gue nggak tahu gimana… Gue gimana dong?” tanya Hana dengan gusar.
“Gini gini… Apa sekarang loe ngerasa takut ama dia? Ada aura- aura jahat atau apa gitu yang loe rasain? Vibes… Vibes nya gimana?”
“Ya gimana ya… Biasa aja sih. Auranya tuh kayak ngintimidasi gue banget. Nggak kelihatan kayak orang jahat juga tapi malah kesannya kayak angkuh aja gitu.” jelas Hana.
“Satu hal yang pengen gue tahu dari loe sekarang ini. Loe masih mau kabur dari sana atau nggak?”
“Ya… Ya gue nggak tahu. Gue takut salah orang.”
“Ini gue lagi ngirim chat dan nanya daddy gue soal si Mr. Smith itu. Tapi, Han… Menurut loe nih, dia cakep nggak? Nggak usahlah gue nanya soal cakep kalau gitu, penampilannya kayak gimana?”
“Well… Dia bersih… Juga tinggi… Juga atletis… Rapih…. Wangi dan… Ganteng…” jelas Hana dengan tersipu.
“Gila ini sih jackpot buat loe…” ujar Dita yang kini baru saja membuka foto yang Tony kirimkan saat bersama Christian.
“Trus gue harus gimana dong?” tanya Hana lagi dengan gelisah.
“Bego banget deh temen gue satu ini…. Sekarang loe rapihin muka sama rambut loe, keluar dari sana, dan matiin telepon ini dan—-“
Tuuuttt…. Tuuuttt…
Sambungan telepon tiba-tiba diputuskan oleh Dita yang kini sedang menggelengkan kepalanya.
“Hana… Hana… Nih anak emang antara lugu, bego, sama terlalu baik!” ucap Dita yang tahu jika Hana pasti akan melakukan apa yang baru saja ia perintahkan.
“Maaf, saya lama…” ucap Hana sambil kembali duduk di kursinya semula. Sayangnya, di saat yang sama, sebuah pesan masuk ke ponsel Hana.[Jangan pulang dulu ya… Ada yang mau aku omongin. Nanti aku ke situ lagi.]Hana sontak membaca pesan dari Adam. Entah bagaimana, pria itu bisa mengetahui nomornya?!Namun tak lama, Hana kembali meletakkan ponselnya tanpa ada niat untuk membuka pesan tersebut.Hanya saja, Hana mendapati Christian meliriknya dengan tatapan tidak suka.“Oke… First of all, saya mau kamu makan dulu. Saya nggak tahu kamu suka makan apa jadi saya belum pesan apapun untuk kamu. Kamu mau pesan apa?” ujar Christian yang kemudian didatangi oleh seorang pelayan.“Ng… Saya nggak tahu mau makan apa saat ini. Ng… Mungkin sama seperti kamu aja.” jawab Hana yang merasa sangat salah tingkah setiap kali mereka bertemu pandang.“Oke… Two Roasted Duck with Lentil Salad.” ucap Christian pada pria muda tersebut.“Masih ada lagi tambahannya, pak?”“Tidak ada. Terima kasih.” jawab Christian de
“Siapa? Yang tadi? Oh… Itu… Itu mantan pacar saya. Kami sudah putus beberapa bulan lalu. Dan dia sudah mau menikah,” jawab Hana memutuskan jujur.“Berapa bulan yang lalu?” tanya Christian lagi saat berhenti tepat di depan sebuah pintu kayu besar tersebut.“Enam atau delapan bulan yang lalu.”“Kamu masih suka sama dia?”“Apa? Ya nggak lah… Nggak…” jawab Hana denga kikuk. Pertanyaan- pertanyaan dari Christian memang sangat pribadi dan bahkan terdengar memaksa.“Bagus… Ayo masuk!” ucap Christian dengan tegas.Jadi, di sinilah Hana. Di kamar suite yang ditempati Christian.Tak hentinya, Hana dibuat kagum dengan kemewahan kamar itu. Di sisi lain, sang pemilik nampak sibuk di meja kerjanya dan nampak sedang mengetikkan sesuatu pada laptop kecil miliknya.“Halo, Dit!” sapa Hana pada Dita yang meneleponnya.“Loe di mana? Masih sama Mr. Smith?” tanya Dita.“Masih. Kenapa?”“Loe baik- baik aja kan? Loe nggak malu- maluin kan?”“Aman… Paling nggak, gue nggak mecahin apapun malam ini. Belum…” j
Tok Tok Tok!Dengan terburu-buru, Dita mengetuk pintu kamar kost sahabatnya tersebut setelah tahu jika Hana sudah ada di dalam kamarnya.“Rihana… Buka cepetan….” desak Dita dengan penasaran.“Iya, bentar…” jawab Hana sambil berjalan ke arah pintu yang pegangannya sedang Dita mainkan.“Apaan sih buru- buru banget?” tanya Hana.“Yaelah pake nanya… Gimana gimana? Si Smith jadi kan sama loe?” “Menurut loe?”“Ya jadi dong… Orang loe udah nggak ada kabarnya lagi tadi. Trus dia bilang apa aja? Dia ngasih loe duit jajan berapa? Kalian udah gituan?”“Otak loe tuh ya, Dit… Emang paling susah diajak lurus. Ya loe ngasih tahu gue kek pertimbangan apa gitu supaya nggak usah jadi ani- ani kayak gini,” jawab Hana yang kemudian berbaring di atas tempat tidurnya dan diikuti oleh Dita yang juga berbaring di sampingnya dan langsung memeluknya dengan manja.“Ya gue juga pengen ngomong gitu sama kayak loe dulu nasehatin gue. Tapi kita punya pilihan apa coba? Kita udah nyoba nyari di jalan lurus, tapi kok
“Masuk!” ucapnya yang membuat Hana dengan cepat berjalan ke arah kursi penumpang dan langsung duduk dengan manis.“Kamu mau kuliah?” tanya Christian.“Nggak kuliah. Aku mau ngurus skripsi. Masih ada yang mau direvisi dan sekalian balikin buku ini ke perpus. Kamu ngapain disini?” tanya Hana.“Aku kebetulan lewat. Dan lihat kamu.”“Oh… Kamu mau ke kantor?”“Iya. Kamu lama disini?”“Nggak tahu juga sih… Aku juga mau ketemu dosen pembimbing dulu.” jawab Hana.“Sore ini kita ke Bali. Aku ada urusan bisnis.”“Kita? Aku ikut?”“Iya, kamu ikut. Itu kan tujuan hubungan kita.”“Iya juga sih… Tapi kamu kok bisa tahu aku kuliah disini?”“Tentu aku harus tahu tentang kamu. Kamu tahu kan isi perjanjian kita hanya berlaku untuk kamu ?Tapi aku juga hanya sebatas tahu aja dan tidak boleh ikut campur.” ucap Christian.“Iya, aku tahu. Kamu kenapa? Seperti kelihatan nggak sehat.”“Iya… Aku agak pusing sejak pagi tadi.” jawab Christian memijat pangkal tulang hidung mancungnya.“Kenapa nggak istirahat aja?
"Tapi, dia bukan suami gue,” ucap Hana kembali. Kali ini, dengan sendu.“Ya emang sih… Tapi kan mereka yang ngebayar kita untuk ngasih pelayanan. Mereka nggak ngabisin duit untuk dapet yang burik kan? Lagian, diantara banyaknya cewek di luar sana yang gue yakin bahkan rela ngangkang dengan gratis buat Daddy loe, tapi dia malah lebih milih buat ngontrak loe itu pasti mengharap loe ngasih something better lah.”“Iya…”“Nah… Sekarang loe daripada habisin waktu untuk ngobrol hao hao ama gue, mending loe ke salon. Top to toe deh. Dan inget, waxing! Bilang aja Brazillian.”“Itu apaan?”“Ya ampun, tolong deh mak… Udah, pokoknya loe ke salon yang ada di mall loe, yang di lantai 4, loe bilang aja loe mau creambath, mau luluran, sama Brazillian Wax. Atau nanti loe telepon gue, biar gue yang ngomong sama mbaknya. Loe nggak usah facial ya.”“Terserah loe deh. Nanti kalau udah di salon gue telepon lagi.” ujar Hana sambil mengganti sepatu hak tinggi yang dipakainya dengan sepatu keds yang lebih nya
“Membaca.”“Kamu suka baca?” tanya Christian masih dengan tidak menoleh pada Hana yang juga hanya menunduk. Perasaannya campur aduk saat ini. Kecewa, sedih, merasa diabaikan, dan tidak berharga sama sekali. Namun dibalik itu semua, ia sedikit senang karena akhirnya pria tampan itu muncul juga di hadapannya.“Suka. Kamu… Udah makan?” tanya Hana.“Menurut kamu?” ucap Christian balik bertanya. “Udah… Pasti sudah.” jawab Hana dengan sendu dan mengumpat dirinya sendiri yang terlalu berbasa basi. “Ini pertama kali kamu menjadi seperti ini?”“Ng… Iya.” “Hm… Pantas saja.”“Kenapa?” tanya Hana saat sepintas lalu melihat seringai mengejek di sudut bibir pria tersebut.“Nggak apa- apa.”“Aku sudah bilang Tony kalau aku butuh wanita yang bersih. Bukan bayi.”“Apa?” tanya Hana dengan raut wajah heran.“Lupakan saja. Temani aku mandi.”“Hah? Aku?”“Kamu bodoh atau apa?! Kenapa aku harus selalu mengulang apa yang aku bilang sama kamu?”“Sudahlah… Kamu boleh pulang besok,” sambung Christian dengan
Pagi-pagi sekali, Hana membuka matanya dengan perlahan dan menyadari jika sebuah lengan besar sedang melingkar di pinggangnya dan membuat ia mengurungkan niatnya untuk bergerak karena tak ingin mengganggu sang pemilik lengan.Hana menarik ujung selimutnya dan menyadari jika ia belum mengenakan pakaian sama sekali sejak pergulatan mereka malam tadi dan itu membuat wajahnya merona. Bayangan akan kejadian semalam membuat ia sadar jika ia telah menyerahkan mahkota kehormatannya pada seorang pria asing bernaman Christian Smith yang baru ditemuinya beberapa kali. Pria asing yang tidak ia ketahui asal usulnya sama sekali. Namun meski begitu, entah mengapa ia juga menikmati semua sentuhan dan apapun yang Christian lakukan padanya semalam. Semua cumbuan pria tersebut seperti memabukkannya dan membiarkan pria tersebut membawa mereka ke puncak kenikmatan hingga terkulai tak berdaya.“Morning, baby…” bisik Christian dengan lembut khas suara serak baru bangun seorang pria.“Pagi…” bisik Hana yang
Hana tersenyum menatap Christian yang mengenakan baju kemeja yang tadi ia temukan di bagasi mobilnya dan terus mengamati pakaian Hana yang masih lembab tersebut. Hana menjadi pusat perhatian beberapa orang yang berpapasan dengan mereka dan ia sendiri malah terlihat biasa saja dan tak peduli. Bahkan justru Christian yang merasa sedikit risih ketika mata beberapa pria malah tertuju pada wanita yang berada dalam genggamannya tersebut.“Tidak ada lagi berenang di pantai tanpa rencana atau persiapan.” ucapnya ketika keluar dari lift dan berjalan menuju kamar mereka.“Yes, sir…” jawab Hana dengan santai dan melewati Christian yang hanya bisa menggelengkan kepalanya.Menit berikutnya, Hana langsung melepaskan semua pakaian yang melekat di tubuhnya ketika Christian baru saja membuka pintu kamar mereka.“Aku sangat kepanasan dan sangat sangat gerah.” ucap Hana dengan geram sambil memasuki kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan asal. “Hana, kamu baik- baik aja?” tanya Christian sambil memun
“Sayang, kamu dimana?” tanya Christian pada Hana sambil membuka laptop milikku. Kami sedang dalam perjalanan menuju lokasi pembangunan.“Aku udah di jalan, sayang. Mau ke kantor teman yang aku ceritain. Doain aku diterima ya…”“Maaf ya, aku nggak bisa anterin. Tadi di kantor lagi banyak tamu. Aku nggak sempat pulang.” “Nggak apa- apa. Kamu udah makan?”“Belum, sayang… Nanti aja. Tanggung.” “Aku juga belum… Tadi aku takut telat jadinya buru- buru,” jawab Hana terdengar sendu.“Kok gitu sih… Ya udah… Kalau misalnya nanti waktunya dapat, aku jemput kamu makan siang ya… Semoga kamu bisa lowong,”“Gimana sih, sayang… Masa iya aku hari pertama kerja, belum tentu keterima juga, aku langsung ijin makan siang di jam yang udah lewat makan siang. Lagian aku tadi beli onigiri kok di supermarket,” jelas Hana.“Mana kenyang sih makan gituan… Ya udah, nanti aku lihat kalau misalnya sempat, aku semperin kamu.”“Jauh, Chris…”Tok TokChristian langsung menoleh pada arah datangnya suara yang langsung
Christian POVAku duduk di kursi kerjaku sambil memandang pemandangan ibukota yang jalanannya seolah tak pernah sepi. Kesibukan bahkan membuat mereka jarang berada di rumah. Sama sepertiku sebelum menikah dengan Hana. Semuanya begitu membosankan dan aku tidak pernah betah tinggal di rumah besar keluargaku ataupun sendirian di dalam apartemen milikku. Sepi, monoton, membosankan dan hanya aku isi dengan pekerjaan dan berkencan sesekali. Kekasih? Aku tidak punya dan tidak tertarik. Mereka akan meminta banyak waktuku dan aku belum menemukan wanita yang membuatku rela meninggalkan pekerjaanku hanya untuk menngobrol dengannya.Aku memang cukup mapan. Perusahaan, aset dan harta milik mendiang kedua orang tuaku yang mereka wariskan kepadaku sebagai satu- satunya anak kandung mereka. Tentu Max tidak terhitung karena dia adalah anak papa bersama tante Brenda, yang tidak lain adalah sekertarisnya sendiri. Dengan kata lain, papa dan tante Brenda mengkhianati mama. Tapi jujur, tanpa kehadiran tant
Hana POVAku mendekati Christian yang nampak sedang santai sambil membuka ponsel yang sejak kemarin tidak ia sentuh tersebut. Satu tangannya kemudian menarikku untuk merebahkan kepalaku di atas pahanya dan membelai lembut rambut panjangku.“Kamu kenapa belum tidur?” tanyaku sambil memandangi wajahnya yang sedikit terlihat serius.“Dikit lagi, sayang. Aku lagi periksa beberapa pesan dari Maya dulu,” jawabnya lalu mendaratkan satu kecupan manis di keningku.“Lapar nggak?” tanyaku.“Nggak juga sih… Emangnya kamu lapar? Mau makan apa?” ucapnya balik bertanya lalu menatapku dengan senyuman lembutnya. Entah mengapa di awal pertemuan kami, ia selalu memasang wajah tegang, masam dan dingin sedangkan sebenarnya ia bisa semanis dan selembut ini.“Aku mau masak mie instant. Kamu mau?” tawarku.“Mie instant? Nggak mau yang lain? Gimana kalau pesan aja, sayang? Mie instant kan nggak bagus,”“Tapi aku pengennya itu aja, Chris… Sekali ini aja. Sejak kamu datang, aku nggak pernah makan itu lagi. Bole
Hana POVAku hanya bisa tersenyum melihat Christian dengan bangganya menyalakan kipas angin setelah kami menikmati makan malam sederhana kami. Setelah tadi siang ia terpaksa menghabiskan nasi dan lauk khas warteg kampung karena sudah terlalu kelaparan, akhirnya malam ini ia meminta dengan sopan untuk dibuatkan sepiring nasi goreng buatanku seperti biasanya. Meski awal penyesuaian kami hidup bersama dulu ia sering protes karena terlalu sering mengkonsumsi nasi, namun kini ia mulai terbiasa dengan pola makanku. “Gimana, enak kan kalau pakai kipas angin?” tanyanya sambil duduk di sampingku dengan kedua lengan yang ia bentangkan di sandaran kursi.“Iya… Enak,” jawabku dengan tersenyum.“Emang kenapa nggak mau pakai AC aja? Kan enak lebih sejuk,” “AC nya mau di tempelin kemana, Chris? Yang ada malah roboh semua dinding rumah ini,” candaku. Namun itu mengandung kebenaran. Lagipula, siapa yang membutuhkan AC dan kipas angin saat tinggal di desa sesejuk ini?“Itu kamu lagi baca apaan?” tany
Hana POV“Jadi dia yang kamu maksud dari kampung sebelah?” tanya Christian yang membuatku heran. Ia nampak menyetir dengan perlahan namun namun sedikit terlihat serius. Sejak menurunkan Lisa di rumah pamannya, ia memang tidak seperti biasanya.“Kampung sebelah? Maksudnya?” ucapku balik bertanya karena tidak paham akan apa yang ia tanyakan.“Tadi kan kamu bilang nggak nyangka akan punya suami aku. Tadinya impian kamu hanya sebatas orang kampung sebelah udah paling bagus banget… Jadi maksud kamu si Wara wiri itu…” jawabnya yang lebih terdengar seperti sedang meledekku.“Wira, Chris… Namanya Abang Wira,” imbuhku yang membuatnya mendelik kesal.“Kemarin panggil orang dengan sebutan Mas, sekarang Abang. Dan kamu malah panggil aku Christian atau Mr Smith. Aneh banget…” protes Christian yang membuatku mengulum senyuman.“Ya kan tapi kalau kamu aku manggilnya sayang. Dan itu panggilan yang nggak aku kasih ke orang lain. Kalau kamu mau aku panggil kamu mas, abang, aa, bli, daeng, uda, atau apa
Kedua mata Christian nampak terbelalak ketika ia baru saja membuka pintu kayu ruangan yang Hana sebut kamar mandi tersebut. Bukan karena apa, melainkan semua yang ia dapati dalam ruangan kecil berbatu tersebut sungguh jauh dari batas titik paham kesederhanaannya.“Chris… Air panasnya bel—“ ucap Hana yang malah terkejut karena pria tinggi yang terlihat sedikit membungkuk tersebut malah hanya berdiri di depan kamar mandi dengan kedua tangan yang memegangi sisi kiri kanan jalan masuknya.“Kenapa?” tanya Hana dengan heran.“Sayang, no offense… Tapi… Apa… Nggak ada kamar mandi lainnya?” tanya Christian dengan menoleh pada Hana yang kini berdiri tepat di samping kanannya dan ikut menengok ke dalam kamar mandi.“Kenapa emangnya?”“Sayang, aku… Aku nggak pernah melihat tipe kamar mandi seperti ini. Maksud aku… Apa nggak ada toilet yang lain? Aku nggak tahu harus gimana pakainya,” jawab Christian dengan polosnya dan membuat Hana tertawa dalam hati. “Oh… Itu… Gini deh cara pakainya kamu buka c
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 6 jam lamanya, akhirnya pasangan suami istri tersebut sampai pada sebuah rumah gubuk sederhana yang menjadi tujuan mereka. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari saat Hana turun dari mobil SUV mewah yang Christian minta untuk disiapkan sebelum berangkat tadi.Christian berjalan mendekati Hana sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket yang ia kenakan karena cuaca yang cukup dingin saat ini. Ia kemudian menarik jemari sang istri untuk kembali ia masukkan ke dalam saku jaketnya.“Kamu nggak kedinginan?” tanya Christian sambil mengecup puncak kepala sang istri yang hanya tersenyum. Ia tahu betul ada rasa sendu dibalik senyuman getir tersebut.“Katanya bule… Masa dingin gini aja udah bilang kedinginan…” goda Hana.“Are you okay, baby?” tanya Christian yang kini melingkarkan lengannya di pundak Hana yang hanya mengangguk.“Masuk yuk… Tadi sebelum jalan, aku udah minta tolong sama anak ibu Suti untuk sedikit beresin rumah ini. Rumah mer
Hana POVMalam ini Christian memperlakukanku sangat manis. Mulai dari menyentuhku dengan lembut dan penuh pemujaan akan setiap inchi kulitku yang ia sentuh, membiarkanku menuntaskan hasrat berkali- kali, memandikanku bak seorang pengasuh, mengeringkan dan menyisir rambutku dengan telaten, bahkan memasak pasta carbonara kesukaanku. “Terima kasih, sayang…” ucapku sambil merangkak dan berbaring di atas tubuhnya. Mengecup pipinya dengan lembut lalu bersandar di dada bidangnya. Ia pun langsung meletakkan ponsel yang baru saja ia gunakan untuk menelepon Leon ke atas nakas. “Kok makasih…” ujarnya sambil mengulurkan tangan memeluk tubuhku dan menarik selimut dengan kakinya agar menutupi kakiku yang hanya mengenakan nightgown pendek berwarna merah marun.“Ya makasih karena kamu udah baik banget seharian ini. Mulai dari pagi- pagi banget, kamu ternyata udah nyiapin baju dan make up artist. Kamu juga ternyata temanin aku wisuda. Udah gitu kamu nikahin aku, kasih aku malam pengantin yang manis
Jawaban mengambang dan ambigu Hana yang sebenarnya tanpa sadar menjawab iya akhirnya ia tutup dengan pamit secara sopan dan riuh tepuk tangan kawan- kawannya. Hal yang membuat Christian menahan senyumannya karena sempat melihat kedua tangan Hana yang ia sembunyikan di balik pinggangnya dan ujung jemarinya saling bertautan pertanda kegugupannya.Hingga akhirnya satu persatu nama mahasiswa yang akan wisuda hari ini disebut dan mulai menaiki anak tangga dan menyalami satu per satu para petinggi kampus dan yayasan yang menyelamati mereka. Dan tentu saja, Christian berada diantara salah satunya dan berdiri pada posisi paling akhir.Beberapa mahasiswa terlihat antusias ketika sampai pada Christian dan bahkan tanpa segan mengajaknya untuk berfoto sambil berjabat tangan. Dan tidak seperti biasanya, pria tersebut malah memasang wajah ramah dengan senyuman manis pada semua orang yang berada di sekitarnya saat ini.Hingga tiba akhirnya kini Hana berdiri di hadapannya dan dengan senyuman yang me