"Ma, Papa! Papa!" teriak Keenan sambil berlari-lari kecil ke dalam rumah.
Aku yang sedang ngobrol dengan Mbok Jum di ruang tamu segera menoleh. Benar saja, mobil Mas Reyfan sudah terparkir di garasi. Keasikan ngobrol, kami sampai tidak menyadari ada suara mobil yang datang.
"Mana, Sayang?" tanyaku pada bocah lelaki berumur 3 tahun itu dengan wajah cerah. Keenan segera menunjuk-nunjukkan tangannya ke arah luar. Mbok Jum dengan cekatan segera keluar menghampiri Mas Reyfan dan membawakan tas kerjanya.
Kugandeng bocah kecilku menyambut kedatangan papanya di pintu.
"Assalamu'alaikum. Hai, Sayang," sapanya sambil mencium pipiku, lalu meraih Keenan ke dalam gendongannya dan langsung menciumi putranya itu dengan gemas.
Begitulah kehidupan kami 2 minggu setelah percakapanku dengan Mas Reyfan di dapur membicarakan soal kesepakatan dan janjinya itu. Aku berusaha bersikap wajar mulai hari itu, dan dia pun lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah setelah pulang dari kantor. Entahlah, apakah dia benar-benar sudah insyaf atau belum, aku sendiri kurang yakin.
"Keenan lagi apa, tadi kok Papa lihat lari-lari di halaman?" seloroh sang Papa.
"Kejar-kejar kucing, Pah," jawab anak itu dengan bahasa khas anak kecilnya. Mas Reyfan semakin gemas sampai mencubit hidung anak semata wayangnya tanpa ampun.
"Habis ngapain, Sayang?" tanyanya padaku setelah menurunkan Keenan dari gendongannya.
"Nggak ngapa-ngapain Mas, cuma ngobrol aja sama Mbok Jum." Dia segera menggandeng tangan mengajakku duduk.
Sikap Mas Reyfan memang kurasakan semakin lembut dari hari ke hari. Namun perasaanku sendiri tak bisa dibohongi, sepertinya rasa cinta yang pernah kupunyai terhadapnya sudah semakin pudar akibat apa yang telah dia lakukan. Meskipun begitu, aku masih tetap berusaha bersikap normal karena aku tak ingin rencana yang telah kususun rapi gagal berantakan.
Uang 50 juta yang pernah kuminta sekarang sudah ada di tabunganku. Tinggal mencari cara untuk memutarnya menjadi sebuah usaha yang bisa kujadikan peganganku untuk mandiri nantinya. Sementara itu, rumah masih dalam proses balik atas namaku. Dan sepanjang menunggu waktu itu, aku akan terus bersikap selayaknya istri yang tak pernah tersakiti oleh suaminya.
"Oiya, Sayang. Aku lupa. Aku tadi beliin mainan buat Keenan. Masih di mobil, tolong ambilin ya, di jok belakang." katanya sambil melepas sepatunya. Aku mengangguk dan menyambar kunci mobil yang tergeletak di meja bersebelahan dengan ponsel Mas Reyfan.
Aku segera bergegas keluar menuju garasi dimana mobil hatchback suamiku terparkir. Sesuai perintah, aku langsung membuka pintu kursi belakang mobil. Dan benar saja ada kardus mainan lumayan besar yang teronggok di sana. Tanganku segera meraihnya, dan dengan susah payah berusaha mengeluarkan kardus itu. Namun sebelum berhasil mengeluarkan benda yang lumayan besar itu tiba-tiba ada sesuatu yang berbunyi di dalam mobil. Aku kaget, sepertinya itu bunyi itu dari sebuah ponsel.
Refleks kurogoh saku dasterku. Oh tidak, itu bukan ponselku, karena aku tidak mengantongi ponsel saat ini. Lalu ponsel siapa? Aku ingat bahwa ponsel mas Reyfan tadi ada di atas meja dan diletakkan bersebelahan dengan kunci mobilnya. Mendadak perasaanku jadi tidak enak.
Kuletakkan kembali kardus mainan Keenan di tempatnya semula, lalu aku mencoba mencari-cari sumber suara deringan itu. Dimana? Sepertinya tidak disekitar jok depan atau belakang. Suara itu terdengar sangat kecil seperti teredam olah sesuatu. Ponsel siapa yang berdering itu? Mungkinkah Mas Reyfan menyimpan ponsel di dalam mobilnya? Tapi untuk apa?
"Ada kan, Sayang?!" Aku kaget mendengar suara teriakannya dari dalam rumah.
"Iya Mas, ada. Sebentar. Susah keluarnya," sahutku.
Rasa penasaranku belum hilang, namun suara ponsel itu sudah tak lagi terdengar.
Karena tak ingin Mas Reyfan jadi curiga, aku pun segera mengeluarkan kardus mainan Keenan dan membawanya masuk. Tapi aku bertekad akan menemukan ponsel itu nanti. Karena aku begitu yakin, aku tidak salah dengar. Itu suara ponsel yang sepertinya sengaja disembunyikan di dalam mobil. Walaupun aku belum tahu di sebelah mana.
.
.
.
Malam harinya, aku menunggu Mas Reyfan terlelap. Aku berencana untuk menggeledah isi mobilnya. Masih sangat yakin ada sesuatu di dalam sana yang tidak aku ketahui.
Saat jam menunjuk pukul 10 aku sudah membaringkan diriku di kamar. Berharap Mas Reyfan segera menyusulku dan segera tertidur pulas. Tapi sepertinya penantianku masih akan lama, karena sampai satu jam kemudian pria itu tak jua muncul.
Berulang kali aku menguap, tapi sekuat tenaga kutahan agar diriku tak sampai jatuh tertidur. Hingga akhirnya saat kantuk sudah benar-benar sangat menyiksa, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Mas Reyfan muncul dari sana. Tapi aku bergerak lebih cepat, menutup mata dan pura-pura sudah terlelap.
Dengan kantuk yang masih menyerang, kupaksakan untuk tetap terjaga hingga akhirnya setengah jam kemudian kudengar suara dengkuran halus di sampingku. Kulirik dari ekor mata, suamiku tercinta itu nampaknya langsung tertidur pulas.
Mengendap-endap aku keluar dari kamar setelah meraih kunci mobil hatchbacknya di di atas nakas. Kali ini aku harus menemukan benda itu.
Dan saat sampai di bawah, kubuka pintu mobil dengan sangat pelan. Memulai pencarianku dari jok depan, laci dasboard sampai tempat-tempat tersembunyi yang kemungkinan bisa digunakan untuk menyembunyikan sebuah ponsel.
Kugunakan lampu ponselku untuk membantu penerangan. Berdoa semoga saja tidak ada satpam kompleks yang sedang lewat, karena akan celaka kalau sampai aku disangka maling.
Sampai ke jok belakang pun tak juga kutemukan benda sialan yang sedang kucari itu. Ya Tuhan, dimana kamu sembunyikan benda itu Mas? Wajahku mulai panik. Ini sudah terlalu lama aku mengobrak-abrik mobilnya. Aku takut dia terbangun dan menyadari aku dan kunci mobilnya tak ada di kamar.
Di tengah keputus-asaan aku baru ingat ternyata belum memeriksa bagasi belakang mobil. Segera saja kumelangkah berputar ke belakang, membuka pintu bagasi pelan-pelan. Hanya ada sandal, sepatu yang memang biasa Mas Reyfan taruh di sana serta beberapa benda-benda lain yang sudah kuhafal. Tak ada yang mencurigakan.
Namun aku masih saja penasaran. Ku obrak abrik benda-benda di bagasi itu sampai akhirnya aku terperanjat melihat sebuah slingbag yang tersembunyi di bawah karpet mobil. Slingbag kecil tanpa isi, sangat tipis. Siapa sangka akan berada di tempat seperti itu?
Tanpa menunda lagi, kuambil sling bag itu dan tak sia-sia, aku menemukan sebuah ponsel disana. Dan aku sangat yakin ini adalah ponsel yang sama dengan yang aku dengar bunyinya tadi sore saat mengambil kardus mainan Keenan.
Beruntungnya karena ternyata ponsel itu tak dikunci. Aku yakin Mas Reyfan sengaja menyembunyikan ponsel ini dimobil karena ada tujuan tertentu. Mungkinkah dia masih berhubungan dengan si ayam kampus bernama Shasha itu?
Tak mau terus-terusan penasaran, aku segera meluncur ke aplikasi chat di ponsel itu. Dan alangkah terkejutnya aku. Banyak chat dari nama Shasha disana, juga Mbak Ratri, dan nama-nama lainnya lagi yang tak ku kenal.
Chat dengan nama Shasha yang paling membuatku penasaran. Mataku begitu perih saat akhirnya aku tahu isinya. Chat-chat mesum itu, dengan gadis bernama Shasha itu, membuatku bergidik, jijik. Ya Tuhan, Mas Reyfan. Apa yang sedang kamu lakukan ini, Mas? Hampir saja tangisku pecah jika saja aku tak segera sadar bahwa aku harus kuat dengan semua kenyataan yang kutemui. Karena ini bukan pertama kalinya untukku.
Kulanjutkan dengan chat dengan nama mbak Ratri. Aku penasaran apa yang mereka bicarakan. Aku mengira pasti namaku disebut-sebut dalam pembicaraan mereka. Dan ternyata aku salah, salah besar. Karena apa yang kutemukan ternyata sungguh di luar dugaan. Bagian terakhir chat suamiku yang saat ini seolah telah berubah menjadi manusia alim itu ternyata sungguh mencengangkan.
[Hari minggu Cindy sudah booked? Kalau belum, ada temenku yang mau make dia.]
Degg!!!
"Mbok Juuum ... !" teriak Mas Reyfan sambil menuruni tangga ke lantai bawah. Dia bergerak cepat menuruni tangga sambil sebelah tangannya membenarkan letak dasinya. "Ya, Pak?" Mbok Jum yang sedang membantuku menyiapkan sarapan tergopoh-gopoh menghampirinya. "Mbok liat kunci mobil nggak?" tanyanya panik. Astaga!!! Jantungku rasanya mau copot mendengar itu. Bagaimana aku bisa salah taruh kunci? Harusnya kutaruh kembali di atas nakas tadi malam. Duuuh, bagaimana ini? Jantungku sontak berdegup kencang sementara keringat dingin sepertinya sudah mulai membasahi tengkukku. "Nggak liat tuh Pak. Apa biasanya ndak di kamar Bapak?" Mbok Jum balik tanya. Untuk menghindari kecurigaan, aku segera berjalan menghampiri Mas Reyfan. "Nyari apa sih Mas? Kok teriak-teriak gitu?" "Itu ... kunci mobil. Dimana ya kok ngga ada?" "Kan biasanya di kamar. Di atas nakas," kataku meyakinkan. "Iyaa, seingatku juga kemarin aku taruh di sana, tapi nggak ada." "Yakin?
Aku kembali ke rumah dengan perasaan tak menentu. Kembali kuingat-ingat lagi pesan Adam sebelum aku meninggalkan cafe tadi. Dia bilang, aku tidak boleh gugup, bersikap tenang seolah tak tau apa-apa. Jangan sampai membicarakan masalah ponsel itu. karena jika mas Reyfan tahu ponsel itu aku yang bawa, maka rencana untuk melaporkan kasus itu bisa jadi berantakan. Sebelum aku memarkirkan mobilku di garasi, sempat kulihat mobil mas Reyfan terparkir di jalan depan rumah kami. Dengan tenang, kuayunkan langkah menuju ke dalam. Di ruang tengah, Mas Reyfan sedang berdiri mondar-mandir dengan gelisah di depan mbok Jum yang sedang duduk di sofa memangku Keenan. "Ada apa, Mas?" tanyaku saat akhirnya aku mencapai tempatnya berdiri. Mimik mukaku kubuat senatural mungkin. "Han, kamu nggak buka mobilku semalam kan?" Mas Reyfan menatapku tajam.Sudah kuduga, sepertinya dia sudah tahu bahwa ponselnya hilang. Dan sekarang dia sedang kebingungan mencarinya. "Buka mobil? Memangnya
"Han, kenalin ini Kompol Daniel Devanno. Beliau dari Satuan Reskrim," kata Adam padaku saat memperkenalkan seseorang yang katanya sahabatnya itu. Dan dia, si Daniel itu, ternyata adalah lelaki yang aku jumpai diparkiran tadi. Jadi, lelaki tadi adalah seorang polisi? Aku bangkit dari dudukku saat lelaki itu mengulurkan tangannya hendak menyalamiku. Rasanya aku seperti kehilangan muka saat dia menatapku sangat lekat dengan kedua matanya. Ternyata mata yang tadi sempat membuatku penasaran, yang ditutupinya dengan kacamata itu, memiliki sorot yang begitu tajam hingga seolah jantungku berhenti berdetak seketika saat telapak tangannya berhasil mendarat di telapak tanganku. Pemandangan yang terjadi selanjutnya adalah bahwa tangan kokoh itu kini seperti tangan raksasa yang akan meremukkan tulang-tulang tanganku yang kecil. Mendadak aku bergidik ngeri saat dalam beberapa detik tangan itu tak jua dilepaskannya dariku. Kurasa sepertinya dia memang berniat ingin meremukkan tulangku karen
"Di luar ada polisi yang mencari Bapak," kata Mbok Jum memberi tahu. Mas Reyfan dan aku saling berpandangan, dan aku yakin aku tak salah lihat kalau wajah suamiku saat ini berubah pucat. Tak berapa lama kemudian kami bertiga menuruni tangga menuju lantai bawah berurutan dengan saling membisu. Kami seperti larut dalam pikiran masing-masing. Dan saat sampai di ruang tamu, aku melihatnya. Daniel, si manusia tanpa senyum itu, sedang berdiri di sana berbicara dengan tiga orang berseragam polisi lengkap. Sementara dia sendiri, masih mengenakan blue jeans dan atasan kaosnya yang sore tadi dia kenakan, hanya saja telah terbungkus rapat dengan jaket warna hitam. "Selamat Malam, Pak Reyfan. Saya Daniel Devanno dari Polresta. Kakak Anda, ibu Tantri Kusuma, beberapa saat yang lalu telah tertangkap tangan tengah melakukan kagiatan prostitusi. Dan anda diduga terlibat dalam kasus ini. Untuk itu, Anda harus ikut dengan kami untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut di kantor."
"Mami? Mami kapan datang? Maaf Mi, aku nggak tau," kataku penuh penyesalan, lalu bermaksud mencium tangannya. Tapi perempuan paruh baya itu menolak mengulurkan tangannya padaku. Wajahnya mencelos, membuatku menelan ludah. "Udah jangan basa basi, Han. Mami sudah tau, kamu kan yang melaporkan Ratri sama Reyfan ke polisi?" Pertanyaannya yang tiba-tiba, membuatku sangat terkejut. Bagaimana mungkin mereka mengetahui hal itu? "Kamu benar-benar istri nggak tau diri, Han. Lihat apa yang Reyfan sudah berikan sama kamu. Bukannya berterima kasih kamu malah nusuk dia dari belakang," lanjut wanita itu mulai mengumpatiku. Walaupun selama ini aku tahu bahwa ibu mertuaku itu tak pernah bisa menyukaiku dengan tulus, tapi aku tidak menyangka dia akan datang dengan marah-marah tidak jelas seperti sekarang. "Mami, apa yang sedang Mami bicarakan ini sih?" Aku mencoba mencari tahu. "Halah jangan pura-pura kamu, Hani. Kita semua sudah tau apa yang kamu lakukan di rumah Ratri. Kamu
"Maaf Pak Randi, tapi kenapa ya rumah saya harus diamankan? Apa Bapak juga polisi?" "Oh bukan, Bu. Saya bukan polisi. Saya hanya salah satu kenalan Pak Daniel. Lebih tepatnya, anak buah Pak Daniel. Tapi untuk pertanyaan ibu itu, mohon maaf saya tidak bisa menjawab, karena saya hanya diberi amanat saja sama beliau untuk berjaga di sini," kata pria bertubuh kekar itu. Aku mendesah, pria itu semakin aneh saja. Tadinya kupikir Pak Randi juga anggota kepolisian, tapi ternyata bukan. Jadi penjagaan atasku dan keluargaku ini berarti bukan resmi dari kepolisian dong. Apa sebenarnya tujuan pria bernama Daniel itu? "Ya sudah Pak, kalau begitu saya permisi dulu. Saya harus ke rumah orang tua saya. Permisi," pamitku dengan sopan pada pria yang kutaksir berusia lebih dari 30 tahunan itu. "Silahkan, Bu," sahut Pak Randi. Kemudian pria itu membantuku membukakan pintu pagar dan menutupnya kembali. "Terima kasih, Pak," kataku sebelum akhirnya melajukan mobilnya pelan. . .
Pria gagah bertubuh tinggi besar dengan seragam kepolisian lengkap itu turun dari mobil SUV hitam yang diparkirnya di depan rumah yang sudah nampak lengang. Jarum jam di arloji yang melingkar di pergelangan tangan kokohnya sudah menunjuk angka 10 saat ia tiba di rumah itu. Mendengar deru mobil di halaman rumah, bergegas seorang wanita paruh baya membukakan pintu depan rumah dan menyambut sang tuan yang pulang dengan rasa lelahnya seperti biasa. "Tasya sudah tidur, Bi'?" tanyanya pada wanita paruh baya saat si pembantu rumah tangganya itu mengulurkan tangan ke tas kerjanya seperti biasa. "Sudah Pak, dari habis isya' tadi," jawabnya. Daniel melepas sepatunya di kamar tamu. Kebetulan hari ini dia hanya berdiam diri di kantor, jadi tentu saja sepatu itu tak terlalu kotor untuk dibawanya masuk rumah. Masih dengan seragamnya, pria berusia 35 tahun itu bergegas ke kamar mandi membersihkan diri. Guyuran air dingin malam itu membuat wajah lelahnya segar kembal
Baik aku maupun Mas Reyfan sama sekali tak ada yang berbicara mulai dari kami bertemu di kantor polisi. Bahkan saat kami berdua memasuki halaman rumah dan turun dari mobil, Mas Reyfan meninggalkanku melangkah duluan tanpa kata. Aku merasa dia sangat marah padaku. Tapi entahlah, dia belum mengatakan apapun setelah pertemuan hari ini. "Makan malam sudah saya hangatkan, Bu." Mbok Jum menyambutku di pintu rumah. "Ya Mbok, sebentar saya bersihkan diri dulu." Aku bergegas naik ke lantai atas. Dan saat berada di kamar, kulihat Mas Reyfan sedang menyiapkan pakaiannya untuk mandi. Kalau biasanya aku pasti akan dengan sigap melakukannya untuknya, meladeni segala keperluannya, namun tatapan tidak bersahabatnya malam ini membuatku tak ingin mendekatinya. Setelah siap dengan pakaian gantinya, dia berjalan melewatiku begitu saja menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar kami. Sekitar lima menit kemudian, dia keluar lagi dengan balutan handuknya. Tak seperti biasa dia se
Satu bulan setelah pertemuannya kembali dengan Santi, hari ini keduanya nampak sedang duduk di sebuah ruang pertemuan di salah satu sudut kantor Adam.Di hadapan keduanya ada 4 orang karyawan inti di perusahaan Adam yang sedang menghadap ke arah mereka. Nampak di depan mereka tumpukan berkas yang baru saja selesai dibahas."Jadi rencanaku bisnis kosmetik ini nantinya akan seperti itu. Bagaimana menurut kalian?" tanya Adam pada keempat anak buahnya."Bagus, Pak. Saya rasa ide ini sangat cemerlang mengingat pasar kosmetik yang saya lihat saat ini sedang lesu-lesunya. Hampir tak ada brand baru yang muncul akhir-akhir ini," ujar salah satu karyawan itu."Iya itu maksudku. Ya sudah kalau gitu kita cukup
Malam itu entah kenapa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Adam. Kedatangan mantan karyawannya dengan penampilan yang sedikit berbeda namun masih sama malu-malunya itu membuatnya justru susah untuk lupa.Dari sejak lelaki itu menginjakkan kaki di rumah orangtuanya, Adam hanya terlihat mondar mandir dari kamar menuju balkon. Secangkir kopi dibawanya ke sana kemari dengan perasaan kacau yang sulit dia mengerti sendiri."Lagi ngapain kamu, Dam? Mama perhatikan dari pintu tadi kayak orang lagi bingung gitu?"Ibunya yang sedari tadi mengamati tingkah aneh putranya menghentikan langkahnya di pintu balkon."Mama ngagetin aja." Muka Adam langsung memerah karenanya.
Beberapa minggu setelah pertemuannya dengan mantan bosnya, gadis itu melakukan treatment di sebuah klinik kecantikan. Hani juga telah membekalinya uang yang cukup untuk dia belanjakan beberapa potong baju yang akan lebih membuatnya percaya diri saat bertemu dengan Adam nanti.Dan siang itu adalah hari yang telah direncanakannya untuk menemui Adam. Santi melangkah dengan penuh kayakinan menuju ke kantor Adam usai turun dari taksi online yang ditumpanginya."Bisa saya bertemu dengan pak Adam?" tanyanya pada resepsionis."Maaf, apa ada sudah janji sebelumnya, Bu?" tanya balik sang gadis dengan seragam warna violet itu."Mmmm."Santi mulai men
Rapatnya Hani menyimpan rasa shock atas pertemuannya dengan Adam, bahkan membuat Daniel pun tak menyadari bahwa istrinya memang sedang sedikit tak enak badan hari itu. Sampai-sampai lelaki itu setengah memaksa mengajak sang istri untuk mau ikut bersamanya keluar larut malam.Hanya untuk membuat Daniel tak cemas dengan kondisi dirinya yang memang sedang kurang baik setelah kejadian yang menimpa siang harinya, Hani pun terpaksa menuruti ajakan suaminya.Daniel membawa istrinya ke sebuah Kafe bernuansa outdoor di daerah pinggiran kota malam itu. Mereka tiba di tujuan saat hari telah lewat. Meski begitu, suasana masih terlihat lumayan ramai. Tempatnya yang didesain sangat romantis ternyata sedikit membawa suasana hati Hani menjadi lebih membaik."Kamu suka temp
Tubuh Hani masih gemetar, bahkan ketika mobilnya sudah memasuki halaman rumah. Usai Adam membiarkannya pergi dari parkiran mall, wanita itu mengendarai dengan sangat pelan sembari berusaha menenangkan kembali gejolak di dalam dadanya. Kalimat demi kalimat Adam terngiang-ngiang di kepalanya seolah tak mau pergi."Lho, Bu Hani kenapa?" Bik Marni yang saat itu sedang bermain bersama dengan Tasya dan Keenan di serambi rumah sedikit kaget melihat Hani nampak seperti orang linglung saat keluar dari mobilnya di garasi.Sesaat Hani baru menyadari ada yang memperhatikannya. Buru-buru wanita itu menggeleng."Enggak kok, Bi'. Cuma agak pusing sedikit," jawabnya.Lalu dengan sigap, Bi' Marni pun segera m
"Sudah dibayar sama mas yang di sana, Bu."Hani dan 3 orang teman wanitanya saling pandang. Lalu bersamaan menoleh ke arah yang di tunjuk oleh kasir restoran."Yang mana? Yang di dalam ruangan itu?" tanya salah seorang teman Hani."Iya, yang sedang memimpin rapat itu, Bu."Hani tak mungkin tak mengenalnya. Di dalam ruang meeting dengan dinding kaca itu memang ada Adam dan beberapa orang yang mengenakan seragam yang dia kenali sebagai karyawan kantor Adam."Kamu kenal, Han?" tanya salah seorang temannya lagi, melihat Hani seolah sedang menunggu orang itu membalikkan badan untuk melihat ke arah mereka.
"Setelah sidang putusan minggu depan, datanglah ke kantor. Aku sudah menyiapkan semuanya untuk kamu," ucap Adam siang itu saat bangkit dari tempat duduknya di sebuah restoran mewah di kota itu.Diva mendongak, memandangnya dengan senyuman remeh."Menyiapkan apa?" tanyanya. Sebenarnya Diva sudah tahu apa maksud dari kata-kata lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya itu. Namun Diva tak mudah begitu saja untuk merendahkan dirinya. Apalagi di hadapan Adam, yang menurutnya telah menghancurkan impian dan masa depannya."Bagianmu. Itu sudah kewajibanku sebagai mantan suami," jawab Adam singkat. Diva pun melengos mendengar itu. Baginya, ucapan Adam itu adalah sebuah penghinaan."Ambil saja u
"Kalau boleh aku sarankan, pertimbangkan lagi rencanamu untuk menaikkan kasus direktur PT Diwangga Karya itu, Daniel. Itu tidak akan baik untuk karirmu."Kapten Gunardi, lelaki yang masih nampak gagah di usianya yang sudah hampir menginjak masa pensiun itu menatap lekat bawahannya dari kursi kebesarannya.Daniel baru saja menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya dan keluarganya pada atasannya itu dan semua hal yang berkaitan dengan kasus PT. Diwangga Karya."Tapi saya sudah merasa dirugikan dengan kelakuan direktur itu, Pak. Saya hanya ingin minta keadilan. Lagipula, dia telah melakukan pelanggaran hukum dengan membuat laporan palsunya. Merekayasa kejadian demi untuk mencapai tujuannya.""Aku ta
"Pak, ada perkembangan terbaru kasus Diwangga," kata seorang ajudan yang baru saja masuk ke ruangan Daniel siang itu.Setelah memerintahkan anak buahnya itu untuk duduk, Daniel pun memeriksa berkas yang baru saja diserahkan."Jadi gudang yang terbakar itu sebenarnya sudah tidak dipakai?" tanya Daniel kemudian. Dahinya nampak berkerut."Betul, Pak. Tim sudah menyelidiki semuanya. Bahkan menurut warga setempat, semuanya juga bilang seperti itu. Jadi, ada kemungkinan ini bukan sabotase, melainkan memang sengaja dibakar."Dahi Daniel makin berkerut."Lalu apa kira kira motifnya?""Itu yang