Kami berdua duduk berhadapan di meja dapur. Ini sudah lewat dari tengah malam, tapi demi mendengar tawaran janjinya yang akan menuruti semua keinginanku jika aku mau memaafkannya, mendadak aku jadi antusias untuk segera membahasnya.
Setelah menyeduh dua cangkir kopi beberapa menit yang lalu, kini kami menikmati aroma wangi kopi masing-masing yang merebak dari kedua cangkir di hadapan kami.
"Jadi, apa yang kamu inginkan, Han?" Dia memulai pembicaraan.
"Kamu masih ingat kan kemarin waktu kita packing pakaianmu saat kamu bilang mau ke Bali, Mas?" tanyaku mengingatkan.
"Iya ingat." Dia mengangguk.
"Aku mau memulai usaha. Kamu harus siapkan modal buat aku."
"Sudah kamu hitung berapa yang kamu butuhkan?"
"Siapkan saja 150 juta."
"Apa? Itu besar sekali, Han. Tabunganku nggak ada segitu. Kamu tau sendiri kan kemarin habis dipakai beli mobil kamu."
"Memangnya berapa sisa tabungan kamu, Mas?"
"Paling tinggal 50 juta aja,"
"Boleh aku liat?" Aku mengulurkan tangan meminta ponselnya. Dengan ragu dia memberikannya. Yang aku tahu Mas Reyfan memang hanya memiliki satu rekening bank saja yang aktif. Entah kalau ada yang dia sembunyikan.
Segera kubuka aplikasi mobile banking yang dia punya.
"Pin?" tanyaku padanya. Dia pun mengucapkan beberapa angka. Mataku sedikit membulat. Ternyata dia menggunakan tanggal pernikahan kami untuk PIN akun banking-nya. Dalam hatiku ada perasaan senang yang yang tiba-tiba mencuat.
Dan benar saja, saat kubuka isi saldonya, ternyata di dalamnya hanya ada sekitar 59 juta saja disana.
"Oke, kasih aku 50 juta tunai dan aku juga mau sertifikat rumah ini kamu balik namakan atas namaku, Mas."
"Sertifikat? Tapi buat apa, Han?"
"Buat jaga-jaga. Nggak ada jaminan kan kalau kamu besok-besok nggak akan ngulangin kesalahan yang sama, Mas? Jangan khawatir, semua itu untuk anakmu, Keenan."
"Tapi kan walaupun rumah ini atas namaku, tetap rumah ini milik kamu juga, Sayang. Kenapa harus dibalik nama sih? Toh kita selamanya akan tinggal di sini 'kan?"
"Ini cuma buat jaga-jaga, Mas. Nggak ada yang bisa menjamin kamu besok akan ketemu siapa dan kamu akan tertarik sama siapa? Kalau kamu sudah dibutakan perempuan lain, apa iya kamu bakal mikirin nasib aku sama Keenan?"
"Jadi menurut kamu aku nggak sayang sama kalian? Nggak mikirin kalian?"
"Bukti nyatanya kemarin sudah ada 'kan? Kamu selingkuh, ya berarti kamu sudah tidak mikirin aku sama Keenan."
"Ya ampun, Hani. Aku cuma iseng, sumpah. Dan aku nyesel."
"Iseng, tapi sampai dibela-belain bohongin istri mau pergi ke Bali? Itu yang namanya iseng, Mas?" Mataku nyalang menatapnya, hingga kurasa nyalinya sedikit menciut melihat wajahku.
"Tenang saja, Mas, kita akan baik-baik saja meskipun rumah ini sudah kamu serahkan padaku. Asalkan kamu tidak macam-macam lagi," kataku dengan pasti.
"Apa harus seperti itu, Han?"
"Aku jadi curiga, Mas, sepertinya kamu memang tidak tulus deh meminta maaf. Buktinya, kamu masih saja perhitungan kayak gini sama aku dan Keenan. Kamu bilang kami berdua ini segalanya buat kamu. Kenapa hanya masalah kecil seperti rumah saja belibet banget?"
"Oke oke ... oke aku mau. Ya sudah, besok aku urus balik namanya."
"Nah gitu, kan sama-sama enak, Mas."
"Tapi kamu nggak akan usir aku keluar dari rumah ini kan kalau rumah ini sudah jadi milik kamu, Sayang?
"Kamu pikir aku istri yang sekejam itu?"
"Jangan galak-galak kenapa sih, Han? Kita lagi ngobrol baik-baik kan ini?"
"Lagian siapa Mas yang mulai duluan? Rumah tangga sudah tenang gini, eh kamu malah main api. Ingat ya baik-baik. Kalau sampai sekali lagi itu terjadi, kamu nggak akan pernah lagi bisa ketemu Keenan."
"Ngomongnya yang baik-baik aja, Hani!" Dia sedikit menghardik. Jelas dia tidak suka aku mengungkit-ungkit soal tentang berpisah dari Keenan kepadanya.
"Ngomong-ngomong, besok kita adakan pertemuan keluarga dengan orang tua kita, Mas." Entah kenapa tiba-tiba keisenganku muncul.
"Mau apa?" Dia mengernyit heran.
"Ya biar mereka tau, kelakuan anak lelakinya seperti apa?" Susah payah kucoba menahan agar tidak tersenyum melihat wajahnya yang tiba-tiba pucat.
"Hani, jangan macam-macam ah. Aku kan sudah nurutin semua permintaan kamu, Sayang."
"Kalau tidak mau, ya sudah. Berarti usahakan semua yang aku minta tadi diurus secepatnya."
"Iya iyaaa, besok aku urus. Sekarang sudah bisa tidur kan? Aku capek, Han." Wajahnya nampak sangat memelas. Aku tersenyum puas. Salah siapa bikin masalah?
"Ya sudah tidur sana," ucapku.
"Kamu nggak tidur?"
"Bantar lagi, Mas. Aku masih shock dengan semua yang terjadi hari ini. Bener-bener nggak nyangka." Aku menggelengkan kepalaku.
"Udah lah, jangan dipikirin lagi, ya? Kita ulangi lagi dari awal," katanya sambil meraih kedua tanganku yang sejak tadi berada di atas meja. Aku membiarkannya saja meskipun sebenarnya aku sudah sangat muak mengingat apa yang sudah dilakukannya.
"Aku penasaran. Kenapa kamu menyukai ayam kampus kayak gitu sih? Apa hebatnya dia dari aku? Apa aku masih kurang memuaskanmu Mas?"
"Shasha itu bukan seperti itu, Han."
"Tuh kamu membela dia lagi 'kan?"
"Bukan gitu. Aku cuma kasian aja sama dia."
"Kasian? Kasian bagaimana maksudnya?" Mendadak aku penasaran.
"Dia dari keluarga nggak mampu, Han. Dia hampir saja terjerumus ke kehidupan malam. Makanya aku ..."
"Apa? Makanya kamu apa? Memacarinya? Membiayai kuliahnya? Enak banget ya jadi dia?" Aku mencebik kesal.
"Jangan bicara seperti itu dong, Han."
"Aku tuh sebenarnya nggak ngerti ya Mas. Kamu itu terlaku naif atau gimana? Mau maunya dikadalin sama anak bawang gitu."
"Sumpah, awalnya aku cuma kasian sama dia, Han. Nggak tau kenapa kelanjutannya malah jadi kayak gini."
Dan apakah aku percaya dengan segala penjelasannya itu? Tentu saja tidak. Kata-kata tidak menjamin kebenaran. Aku harus tetap waspada.
"Kapan memangnya kalian ketemu?"
"Beberapa bulan yang lalu, saat aku ke rumah mbak Ratri."
Oooh jadi begitu. Baiklah, setidaknya sedikit banyak aku sudah bisa membayangkan jalan perselingkuhan suamiku ini. Walaupun masih ada beberapa hal yang mengganjal dalam benakku. Benarkah dia hanya khilaf?
Sebenarnya jika kupikir-pikir lagi, mungkin ada benarnya juga. Karena dia melakukan aksi perselingkuhannya seperti orang yang masih amatiran, nggak rapi. Tapi, aku tidak boleh terlalu percaya. Yang jelas aku harus terus fokus dengan satu tujuan, yaitu memindahkan aset Mas Reyfan satu demi satu ke tanganku. Setelah itu, jika dia berani main belakang lagi, tinggal aku buang ke jalanan bersama wanita selingkuhannya.
Satu hal lainnya lagi yang masih menjadi pikiranku adalah mbak Ratri. Apa sebenarnya yang disembunyikan wanita itu? Sepertinya aku tidak terlalu yakin dia hanya menampung anak-anak kost di rumah besarnya itu. Kebusukannya jelas sudah terlihat dengan andilnya dia menyembunyikan bangkai adiknya di depan istrinya. Mendukung perselingkuhan adiknya dengan wanita lain. Bukankah itu aneh?
.
.
.
"Jadi kamu memutuskan untuk memaafkan Reyfan, Han?" Ibu mengelus rambutku saat aku meletakkan kepalaku di pangkuannya.
Sebenarnya ingin sekali aku katakan pada ibu, bahwa ini hanya trik ku saja untuk menguras harta mas Reyfan, berjaga-jaga jika suatu saat dia berbuat hal curang lagi. Tapi tidak, orang tuaku tak mungkin kulibatkan dengan hal-hal semacam ini.
"Iya Bu."
"Bagus, Nduk. Kamu memang harus berlapang dada karena masih ada Keenan diantara kalian. Jangan korbankan kehidupan anakmu jika memang hubungan kalian masih bisa diperbaiki.
Ibu tak akan mengerti, bagaimana sakitnya melihat suami sendiri bersama dengan wanita lain, biarpun lelaki itu bilang hanya iseng dan sebuah ketidak sengajaan.
Kehidupan pernikahan ibu memang lebih beruntung dibandingkan aku. Bapak adalah lelaki yang taat dan seorang pengabdi keluarga. Dari kecil, setauku ibu tak pernah mendapatkan perlakuan tidak baik dari bapak. Dan seperti itulah sebenarnya rumah tangga yang selalu aku idam-idamkan selama ini, damai dan tenang. Tapi nyatanya, keberuntungan tiap orang tidaklah sama.
Aku menyunggingkan senyum getir. Aku paham betul apa yang dimaksud ibu. Bukannya dia ingin membela menantunya itu, tapi lebih karena dia tidak ingin kehidupanku berantakan dengan perceraian. Dalam hatiku berkata, tenanglah bu, jika memang anakmu ini harus menjanda suatu hari nanti, aku tak akan menyusahkan siapapun. Karena aku akan berusaha menjadi wanita mandiri dan sukses.
"Oiya, tadi pagi ibu ketemu Adam lho waktu pulang dari minimarket," kata ibu antusias.
"Oya? Ada apa bu?"
"Kalian apa masih sering ketemu?"
"Nggak lah, Bu. Cuma kadang aja telponan."
"Setelah ibu pikir-pikir sepertinya Adam itu kok suka ya sama kamu, Han?"
"Ibu ini ngomong apa sih?" Aku terkekeh pelan.
"Lho iya, ibu baru kepikiran tadi lho. Jadi kita sempat ngobrol sebentar tadi. Ternyata dia itu katanya belum mau menikah. Padahal kan usianya sepantaran kamu to, Han?"
"Iya memang sepantaran Hani. Trus, hubungannya apa sama Hani?" Mataku memicing menatap ibu.
"Tadi dia banyak nanya soal kamu lho."
"Banyak nanya kan bukan berarti suka, Ibuu." Aku tergelak. Ibuku ini terkadang memang lucu.
"Eh tapi, dulu sudah agak lama ibu pernah ngobrol sama mamanya Adam. Ibu pikir bercanda waktu ibu tanya Adam kapan nikah, mamanya Adam masa ngomong gini, Han."
"Ngomong apaan?"
"Adamnya belum mau nikah, katanya gara-gara kecewa ditinggal nikah sama Hani."
"Ih, ibu ini ngomong apa sih?" Kembali aku tergelak.
"Lho iya, ibu pikir mamanya Adam juga bercanda waktu itu. Tapi kok setelah tadi ketemu Adam, ibu rasa-rasa dia itu kayaknya memang pernah naksir deh sama kamu."
"Lagian juga mau apa? Hani kan sudah bersuami, Bu."
"Nah justru itu. Ibu cuma mau berpesan. Hati-hati. Karena kamu sudah bersuami, jaga jarak sama Adam. Jangan sampai nanti timbul fitnah, gitu lho," kata ibu sambil terkekeh. Meletakkan kepalaku di bantal sofa, lalu beliau berjalan menuju dapur.
"Pengen minum apa, Han? Ibu ambilin," teriaknya dari dapur.
"Nggak, Bu. Nanti Hani ambil sendiri."
Adam? Menyukaiku? Aku mengerutkan dahi. Masa' sih?
"Ma, Papa! Papa!" teriak Keenan sambil berlari-lari kecil ke dalam rumah. Aku yang sedang ngobrol dengan Mbok Jum di ruang tamu segera menoleh. Benar saja, mobil Mas Reyfan sudah terparkir di garasi. Keasikan ngobrol, kami sampai tidak menyadari ada suara mobil yang datang. "Mana, Sayang?" tanyaku pada bocah lelaki berumur 3 tahun itu dengan wajah cerah. Keenan segera menunjuk-nunjukkan tangannya ke arah luar. Mbok Jum dengan cekatan segera keluar menghampiri Mas Reyfan dan membawakan tas kerjanya. Kugandeng bocah kecilku menyambut kedatangan papanya di pintu. "Assalamu'alaikum. Hai, Sayang," sapanya sambil mencium pipiku, lalu meraih Keenan ke dalam gendongannya dan langsung menciumi putranya itu dengan gemas. Begitulah kehidupan kami 2 minggu setelah percakapanku dengan Mas Reyfan di dapur membicarakan soal kesepakatan dan janjinya itu. Aku berusaha bersikap wajar mulai hari itu, dan dia pun lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah setelah pulang dari kan
"Mbok Juuum ... !" teriak Mas Reyfan sambil menuruni tangga ke lantai bawah. Dia bergerak cepat menuruni tangga sambil sebelah tangannya membenarkan letak dasinya. "Ya, Pak?" Mbok Jum yang sedang membantuku menyiapkan sarapan tergopoh-gopoh menghampirinya. "Mbok liat kunci mobil nggak?" tanyanya panik. Astaga!!! Jantungku rasanya mau copot mendengar itu. Bagaimana aku bisa salah taruh kunci? Harusnya kutaruh kembali di atas nakas tadi malam. Duuuh, bagaimana ini? Jantungku sontak berdegup kencang sementara keringat dingin sepertinya sudah mulai membasahi tengkukku. "Nggak liat tuh Pak. Apa biasanya ndak di kamar Bapak?" Mbok Jum balik tanya. Untuk menghindari kecurigaan, aku segera berjalan menghampiri Mas Reyfan. "Nyari apa sih Mas? Kok teriak-teriak gitu?" "Itu ... kunci mobil. Dimana ya kok ngga ada?" "Kan biasanya di kamar. Di atas nakas," kataku meyakinkan. "Iyaa, seingatku juga kemarin aku taruh di sana, tapi nggak ada." "Yakin?
Aku kembali ke rumah dengan perasaan tak menentu. Kembali kuingat-ingat lagi pesan Adam sebelum aku meninggalkan cafe tadi. Dia bilang, aku tidak boleh gugup, bersikap tenang seolah tak tau apa-apa. Jangan sampai membicarakan masalah ponsel itu. karena jika mas Reyfan tahu ponsel itu aku yang bawa, maka rencana untuk melaporkan kasus itu bisa jadi berantakan. Sebelum aku memarkirkan mobilku di garasi, sempat kulihat mobil mas Reyfan terparkir di jalan depan rumah kami. Dengan tenang, kuayunkan langkah menuju ke dalam. Di ruang tengah, Mas Reyfan sedang berdiri mondar-mandir dengan gelisah di depan mbok Jum yang sedang duduk di sofa memangku Keenan. "Ada apa, Mas?" tanyaku saat akhirnya aku mencapai tempatnya berdiri. Mimik mukaku kubuat senatural mungkin. "Han, kamu nggak buka mobilku semalam kan?" Mas Reyfan menatapku tajam.Sudah kuduga, sepertinya dia sudah tahu bahwa ponselnya hilang. Dan sekarang dia sedang kebingungan mencarinya. "Buka mobil? Memangnya
"Han, kenalin ini Kompol Daniel Devanno. Beliau dari Satuan Reskrim," kata Adam padaku saat memperkenalkan seseorang yang katanya sahabatnya itu. Dan dia, si Daniel itu, ternyata adalah lelaki yang aku jumpai diparkiran tadi. Jadi, lelaki tadi adalah seorang polisi? Aku bangkit dari dudukku saat lelaki itu mengulurkan tangannya hendak menyalamiku. Rasanya aku seperti kehilangan muka saat dia menatapku sangat lekat dengan kedua matanya. Ternyata mata yang tadi sempat membuatku penasaran, yang ditutupinya dengan kacamata itu, memiliki sorot yang begitu tajam hingga seolah jantungku berhenti berdetak seketika saat telapak tangannya berhasil mendarat di telapak tanganku. Pemandangan yang terjadi selanjutnya adalah bahwa tangan kokoh itu kini seperti tangan raksasa yang akan meremukkan tulang-tulang tanganku yang kecil. Mendadak aku bergidik ngeri saat dalam beberapa detik tangan itu tak jua dilepaskannya dariku. Kurasa sepertinya dia memang berniat ingin meremukkan tulangku karen
"Di luar ada polisi yang mencari Bapak," kata Mbok Jum memberi tahu. Mas Reyfan dan aku saling berpandangan, dan aku yakin aku tak salah lihat kalau wajah suamiku saat ini berubah pucat. Tak berapa lama kemudian kami bertiga menuruni tangga menuju lantai bawah berurutan dengan saling membisu. Kami seperti larut dalam pikiran masing-masing. Dan saat sampai di ruang tamu, aku melihatnya. Daniel, si manusia tanpa senyum itu, sedang berdiri di sana berbicara dengan tiga orang berseragam polisi lengkap. Sementara dia sendiri, masih mengenakan blue jeans dan atasan kaosnya yang sore tadi dia kenakan, hanya saja telah terbungkus rapat dengan jaket warna hitam. "Selamat Malam, Pak Reyfan. Saya Daniel Devanno dari Polresta. Kakak Anda, ibu Tantri Kusuma, beberapa saat yang lalu telah tertangkap tangan tengah melakukan kagiatan prostitusi. Dan anda diduga terlibat dalam kasus ini. Untuk itu, Anda harus ikut dengan kami untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut di kantor."
"Mami? Mami kapan datang? Maaf Mi, aku nggak tau," kataku penuh penyesalan, lalu bermaksud mencium tangannya. Tapi perempuan paruh baya itu menolak mengulurkan tangannya padaku. Wajahnya mencelos, membuatku menelan ludah. "Udah jangan basa basi, Han. Mami sudah tau, kamu kan yang melaporkan Ratri sama Reyfan ke polisi?" Pertanyaannya yang tiba-tiba, membuatku sangat terkejut. Bagaimana mungkin mereka mengetahui hal itu? "Kamu benar-benar istri nggak tau diri, Han. Lihat apa yang Reyfan sudah berikan sama kamu. Bukannya berterima kasih kamu malah nusuk dia dari belakang," lanjut wanita itu mulai mengumpatiku. Walaupun selama ini aku tahu bahwa ibu mertuaku itu tak pernah bisa menyukaiku dengan tulus, tapi aku tidak menyangka dia akan datang dengan marah-marah tidak jelas seperti sekarang. "Mami, apa yang sedang Mami bicarakan ini sih?" Aku mencoba mencari tahu. "Halah jangan pura-pura kamu, Hani. Kita semua sudah tau apa yang kamu lakukan di rumah Ratri. Kamu
"Maaf Pak Randi, tapi kenapa ya rumah saya harus diamankan? Apa Bapak juga polisi?" "Oh bukan, Bu. Saya bukan polisi. Saya hanya salah satu kenalan Pak Daniel. Lebih tepatnya, anak buah Pak Daniel. Tapi untuk pertanyaan ibu itu, mohon maaf saya tidak bisa menjawab, karena saya hanya diberi amanat saja sama beliau untuk berjaga di sini," kata pria bertubuh kekar itu. Aku mendesah, pria itu semakin aneh saja. Tadinya kupikir Pak Randi juga anggota kepolisian, tapi ternyata bukan. Jadi penjagaan atasku dan keluargaku ini berarti bukan resmi dari kepolisian dong. Apa sebenarnya tujuan pria bernama Daniel itu? "Ya sudah Pak, kalau begitu saya permisi dulu. Saya harus ke rumah orang tua saya. Permisi," pamitku dengan sopan pada pria yang kutaksir berusia lebih dari 30 tahunan itu. "Silahkan, Bu," sahut Pak Randi. Kemudian pria itu membantuku membukakan pintu pagar dan menutupnya kembali. "Terima kasih, Pak," kataku sebelum akhirnya melajukan mobilnya pelan. . .
Pria gagah bertubuh tinggi besar dengan seragam kepolisian lengkap itu turun dari mobil SUV hitam yang diparkirnya di depan rumah yang sudah nampak lengang. Jarum jam di arloji yang melingkar di pergelangan tangan kokohnya sudah menunjuk angka 10 saat ia tiba di rumah itu. Mendengar deru mobil di halaman rumah, bergegas seorang wanita paruh baya membukakan pintu depan rumah dan menyambut sang tuan yang pulang dengan rasa lelahnya seperti biasa. "Tasya sudah tidur, Bi'?" tanyanya pada wanita paruh baya saat si pembantu rumah tangganya itu mengulurkan tangan ke tas kerjanya seperti biasa. "Sudah Pak, dari habis isya' tadi," jawabnya. Daniel melepas sepatunya di kamar tamu. Kebetulan hari ini dia hanya berdiam diri di kantor, jadi tentu saja sepatu itu tak terlalu kotor untuk dibawanya masuk rumah. Masih dengan seragamnya, pria berusia 35 tahun itu bergegas ke kamar mandi membersihkan diri. Guyuran air dingin malam itu membuat wajah lelahnya segar kembal
Satu bulan setelah pertemuannya kembali dengan Santi, hari ini keduanya nampak sedang duduk di sebuah ruang pertemuan di salah satu sudut kantor Adam.Di hadapan keduanya ada 4 orang karyawan inti di perusahaan Adam yang sedang menghadap ke arah mereka. Nampak di depan mereka tumpukan berkas yang baru saja selesai dibahas."Jadi rencanaku bisnis kosmetik ini nantinya akan seperti itu. Bagaimana menurut kalian?" tanya Adam pada keempat anak buahnya."Bagus, Pak. Saya rasa ide ini sangat cemerlang mengingat pasar kosmetik yang saya lihat saat ini sedang lesu-lesunya. Hampir tak ada brand baru yang muncul akhir-akhir ini," ujar salah satu karyawan itu."Iya itu maksudku. Ya sudah kalau gitu kita cukup
Malam itu entah kenapa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Adam. Kedatangan mantan karyawannya dengan penampilan yang sedikit berbeda namun masih sama malu-malunya itu membuatnya justru susah untuk lupa.Dari sejak lelaki itu menginjakkan kaki di rumah orangtuanya, Adam hanya terlihat mondar mandir dari kamar menuju balkon. Secangkir kopi dibawanya ke sana kemari dengan perasaan kacau yang sulit dia mengerti sendiri."Lagi ngapain kamu, Dam? Mama perhatikan dari pintu tadi kayak orang lagi bingung gitu?"Ibunya yang sedari tadi mengamati tingkah aneh putranya menghentikan langkahnya di pintu balkon."Mama ngagetin aja." Muka Adam langsung memerah karenanya.
Beberapa minggu setelah pertemuannya dengan mantan bosnya, gadis itu melakukan treatment di sebuah klinik kecantikan. Hani juga telah membekalinya uang yang cukup untuk dia belanjakan beberapa potong baju yang akan lebih membuatnya percaya diri saat bertemu dengan Adam nanti.Dan siang itu adalah hari yang telah direncanakannya untuk menemui Adam. Santi melangkah dengan penuh kayakinan menuju ke kantor Adam usai turun dari taksi online yang ditumpanginya."Bisa saya bertemu dengan pak Adam?" tanyanya pada resepsionis."Maaf, apa ada sudah janji sebelumnya, Bu?" tanya balik sang gadis dengan seragam warna violet itu."Mmmm."Santi mulai men
Rapatnya Hani menyimpan rasa shock atas pertemuannya dengan Adam, bahkan membuat Daniel pun tak menyadari bahwa istrinya memang sedang sedikit tak enak badan hari itu. Sampai-sampai lelaki itu setengah memaksa mengajak sang istri untuk mau ikut bersamanya keluar larut malam.Hanya untuk membuat Daniel tak cemas dengan kondisi dirinya yang memang sedang kurang baik setelah kejadian yang menimpa siang harinya, Hani pun terpaksa menuruti ajakan suaminya.Daniel membawa istrinya ke sebuah Kafe bernuansa outdoor di daerah pinggiran kota malam itu. Mereka tiba di tujuan saat hari telah lewat. Meski begitu, suasana masih terlihat lumayan ramai. Tempatnya yang didesain sangat romantis ternyata sedikit membawa suasana hati Hani menjadi lebih membaik."Kamu suka temp
Tubuh Hani masih gemetar, bahkan ketika mobilnya sudah memasuki halaman rumah. Usai Adam membiarkannya pergi dari parkiran mall, wanita itu mengendarai dengan sangat pelan sembari berusaha menenangkan kembali gejolak di dalam dadanya. Kalimat demi kalimat Adam terngiang-ngiang di kepalanya seolah tak mau pergi."Lho, Bu Hani kenapa?" Bik Marni yang saat itu sedang bermain bersama dengan Tasya dan Keenan di serambi rumah sedikit kaget melihat Hani nampak seperti orang linglung saat keluar dari mobilnya di garasi.Sesaat Hani baru menyadari ada yang memperhatikannya. Buru-buru wanita itu menggeleng."Enggak kok, Bi'. Cuma agak pusing sedikit," jawabnya.Lalu dengan sigap, Bi' Marni pun segera m
"Sudah dibayar sama mas yang di sana, Bu."Hani dan 3 orang teman wanitanya saling pandang. Lalu bersamaan menoleh ke arah yang di tunjuk oleh kasir restoran."Yang mana? Yang di dalam ruangan itu?" tanya salah seorang teman Hani."Iya, yang sedang memimpin rapat itu, Bu."Hani tak mungkin tak mengenalnya. Di dalam ruang meeting dengan dinding kaca itu memang ada Adam dan beberapa orang yang mengenakan seragam yang dia kenali sebagai karyawan kantor Adam."Kamu kenal, Han?" tanya salah seorang temannya lagi, melihat Hani seolah sedang menunggu orang itu membalikkan badan untuk melihat ke arah mereka.
"Setelah sidang putusan minggu depan, datanglah ke kantor. Aku sudah menyiapkan semuanya untuk kamu," ucap Adam siang itu saat bangkit dari tempat duduknya di sebuah restoran mewah di kota itu.Diva mendongak, memandangnya dengan senyuman remeh."Menyiapkan apa?" tanyanya. Sebenarnya Diva sudah tahu apa maksud dari kata-kata lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya itu. Namun Diva tak mudah begitu saja untuk merendahkan dirinya. Apalagi di hadapan Adam, yang menurutnya telah menghancurkan impian dan masa depannya."Bagianmu. Itu sudah kewajibanku sebagai mantan suami," jawab Adam singkat. Diva pun melengos mendengar itu. Baginya, ucapan Adam itu adalah sebuah penghinaan."Ambil saja u
"Kalau boleh aku sarankan, pertimbangkan lagi rencanamu untuk menaikkan kasus direktur PT Diwangga Karya itu, Daniel. Itu tidak akan baik untuk karirmu."Kapten Gunardi, lelaki yang masih nampak gagah di usianya yang sudah hampir menginjak masa pensiun itu menatap lekat bawahannya dari kursi kebesarannya.Daniel baru saja menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya dan keluarganya pada atasannya itu dan semua hal yang berkaitan dengan kasus PT. Diwangga Karya."Tapi saya sudah merasa dirugikan dengan kelakuan direktur itu, Pak. Saya hanya ingin minta keadilan. Lagipula, dia telah melakukan pelanggaran hukum dengan membuat laporan palsunya. Merekayasa kejadian demi untuk mencapai tujuannya.""Aku ta
"Pak, ada perkembangan terbaru kasus Diwangga," kata seorang ajudan yang baru saja masuk ke ruangan Daniel siang itu.Setelah memerintahkan anak buahnya itu untuk duduk, Daniel pun memeriksa berkas yang baru saja diserahkan."Jadi gudang yang terbakar itu sebenarnya sudah tidak dipakai?" tanya Daniel kemudian. Dahinya nampak berkerut."Betul, Pak. Tim sudah menyelidiki semuanya. Bahkan menurut warga setempat, semuanya juga bilang seperti itu. Jadi, ada kemungkinan ini bukan sabotase, melainkan memang sengaja dibakar."Dahi Daniel makin berkerut."Lalu apa kira kira motifnya?""Itu yang