Aku kembali ke rumah dengan perasaan tak menentu. Kembali kuingat-ingat lagi pesan Adam sebelum aku meninggalkan cafe tadi. Dia bilang, aku tidak boleh gugup, bersikap tenang seolah tak tau apa-apa. Jangan sampai membicarakan masalah ponsel itu. karena jika mas Reyfan tahu ponsel itu aku yang bawa, maka rencana untuk melaporkan kasus itu bisa jadi berantakan.
Sebelum aku memarkirkan mobilku di garasi, sempat kulihat mobil mas Reyfan terparkir di jalan depan rumah kami.
Dengan tenang, kuayunkan langkah menuju ke dalam. Di ruang tengah, Mas Reyfan sedang berdiri mondar-mandir dengan gelisah di depan mbok Jum yang sedang duduk di sofa memangku Keenan.
"Ada apa, Mas?" tanyaku saat akhirnya aku mencapai tempatnya berdiri. Mimik mukaku kubuat senatural mungkin.
"Han, kamu nggak buka mobilku semalam kan?" Mas Reyfan menatapku tajam.
Sudah kuduga, sepertinya dia sudah tahu bahwa ponselnya hilang. Dan sekarang dia sedang kebingungan mencarinya."Buka mobil? Memangnya ada apa, Mas?" tanyaku pura-pura tidak mengerti sama sekali dengan apa yang dia bicarakan.
"Aku serius, Han. Kamu nggak ngambil sesuatu dari mobilku kan?"
"Sebentar, Sebentar. Mas ini sedang ngomongin apa sih sebenarnya? Aku kok bingung," kataku mengubah ekspresi dari bingung menjadi heran, lalu mencoba mendudukkan diri di sofa dengan tenang.
"Ada yang nyuri barang di mobilku. Mbok Jum bilang nggak tau. Lalu siapa?"
"Barang? Barang apa, Mas?"
Kulihat wajahnya nampak sangat frustasi. Berkali-kali dia ingin mengatakan sesuatu tapi sepertinya urung dilakukannya setelah menatapku. Mungkinkah dia tidak berani mengatakan bahwa dia kehilangan ponselnya? Apa dia takut aku justru akan marah padanya?
Oh, baguslah, ternyata ini lebih mudah dari yang kubayangkan. Aku menarik nafas lega. Nampaknya raut wajahku pun sudah kembali normal.
"Mas, ada apa sih ini?" Karena dia tak juga bersuara, aku terus saja mendesaknya, mencoba membuatnya lebih kebingungan dan putus asa.
"Ah sudahlah. Nanti aku cari sendiri. Aku mau balik ke kantor," katanya akhirnya.
Hmmm Mas Reyfan, jadi cuma segini saja nyalimu berhadapan dengan istrimu? Aku tersenyum puas saat akhirnya dia meninggalkan rumah lagi.
"Bapak kenapa sih tadi, Mbok?" tanyaku pada Mbok Jum karena masih penasaran seperti apa paniknya Mas Reyfan saat pulang.
"Nggak tau, Bu. Datang-datang teriak-teriak sambil marah-marah. Katanya handphone nya hilang. Mas Keenan sampai ketakutan," jelas Mbok Jum.
Brengs*k sekali lelaki itu beraninya marah-marah, giliran di hadapanku malah melempem. Sepertinya aku memang harus bertindak cepat sebelum semuanya terlambat. Memikirkan hal itu, aku segera menghubungi nomer kontak Adam.
"Ya, Hani? Gimana, kamu baik-baik saja 'kan?" sahutnya dari seberang dengan cepat tanpa aku harus menunggu nada sambung berdering cukup lama.
"Aku baik, Dam. Aku sudah putuskan. Aku akan buat laporan," kataku pasti.
"Sudah yakin?" tanyanya.
"Iya."
"Oke baiklah. Tunggu kabar dariku. Aku hubungi temanku dulu, Han."
.
.
.
Aku rasa mungkin aku akan gila jika terus-terusan hidup dengan suami model seperti Mas Reyfan ini. Awalnya kukira dia hanya berselingkuh. Tapi ternyata, justru lebih parah dari itu. Aku bergidik ngeri saat teringat sudah berapa lama dia melakukan hal itu di belakangku?
Yang jelas, setahun yang lalu, rumah Mbak Ratri masih belum menjadi rumah kost para gadis kampus itu. Jadi, apakah mereka sebenarnya belum lama melakukan perbuatan bejat itu? Dan apapun itu, yang lebih parahnya adalah bahwa selama ini aku ternyata tidur dengan lelaki yang entah sudah dengan siapa saja dia berhubungan s*ks.
Memikirkan hal itu mendadak aku jadi lemas. Bagaimana jika ternyata mas Reyfan banyak berhubungan dengan para pekerja s*ks itu dan nantinya akan berdampak pada kesehatanku? Ya Tuhan, aku begitu ngeri membayangkan semua itu. Mungkin aku harus segera memeriksakan diriku ke dokter setelah ini. Dan takkan kubiarkan lagi suami bejat itu menyentuhku lagi.
[Hani, aku tunggu di kantorku 2 jam lagi.]
Pesan yang kuterima dari Adam. Lalu dia mengirimiku denah lokasi dengan g****e maps via pesan w******p-nya. Aku pun bergegas menghampiri mbok Jum.
"Mbok, tolong jaga rumah ya? Keenan mau aku ajak ke rumah bapak. Nanti kalau Pak Reyfan pulang, Simbok bilang aku pergi ke rumah ibu. Ya, Mbok?" jelasku pada Mbok Jum. Dan wanita tua yang sudah beberapa tahun bekerja bersamaku itupun mengangguk mengerti.
Terburu-buru ke kamar menyiapkan beberapa bajuku dan Keenan. Lalu mengambil berkas-berkas penting dari dalam lemariku, surat-surat kendaraan, perhiasan serta buku tabunganku. Semuanya yang aku anggap penting kumasukkan ke dalam tas. Ini adalah caraku berjaga-jaga seandainya aku harus menginap di tempat ibu nanti jika situasinya menjadi buruk.
.
.
.
Bapak dan ibu yang mendengarkan ceritaku terlihat sangat terpukul. Tentu saja mereka tidak menyangka menantu kebanggaan mereka itu ternyata mempunyai sisi gelap yang tak pernah terbayangkan oleh mereka sebelumnya.
Berkali-kali ibu menangis memeluk bahuku. Aku tahu bagaimana sedihnya dia membayangkan sebentar lagi aku akan menjadi janda dari mas Reyfan. Setelah mengetahui kebusukan mas Reyfan dan kakaknya itu, tidak mungkin orang tuaku akan membiarkanku hidup bersamanya lagi.
"Aku nitip Keenan dulu ya, Bu. Aku mau menemui Adam," pamitku pada orang tuaku saat jam sudah mendekati waktu pertemuan yang sudah direncanakan Adam.
.
.
.
Kantor Adam memang bukan perusahaan besar. Dia membeli salah satu ruko tiga lantai yang berada di pusat kota. Letaknya sangat strategis karena itu merupakan deretan perkantoran dan pusat perbelanjaan.
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling sambil melajukan mobilku pelan. Padatnya mobil yang sedang terparkir membuatku kebingungan. Mataku mencari-cari petugas parkir yang tak kulihat satupun di sekitar situ. Hingga saat pandanganku tertumbuk pada area kosong yang letaknya cukup jauh dari kantor Adam, segera kulajukan mobilku ke arah sana.
Kurapikan sejenak pakaianku sebelum turun dari mobil. Kulirik arloji di tangan, dan aku ternyata sudah terlambat sekitar 10 menit. Adam pasti sudah menungguku.
Setengah berlari aku menuju ke deretan ruko dimana kantor Adam berada, melewati banyaknya mobil yang terparkir sangat padat di sekitar area itu.
Tapi oh, sial. Aku kaget saat langkahku tiba-tiba menjadi berat seperti ada yang menarikku dari belakang. Aku menoleh dan sialnya slingbag ku ternyata tersangkut di kaca spion salah satu mobil yang terparkir.
Aku mundur lagi, mencoba membebaskan tali slingbagku yang tersangkut itu. Tapi, aduh ... besi di tali tasku justru menggesek badan mobil hingga menimbulkan bunyi khas gesekan besi yang cukup berisik. Dan wajahku pun pucat seketika saat tiba-tiba kaca samping jok depan mobil perlahan turun.
Ya ampun, matilah aku, ternyata ada orang di dalam mobil ini.
"Kalau jalan liat-liat makanya," kata orang itu dengan nada dingin. Aku menoleh ke arahnya setelah berhasil membebaskan tali slingbagku yang terjerat di spion.
Seorang lelaki berkaca mata hitam. Aku tak tahu bagimana cara matanya menatapku, tapi bibirnya sama sekali tidak menampakkan sedikitpun senyuman. Benar-benar terkesan sangat angkuh.
"Maaf, Pak," ucapku penuh sesal. Namun nampaknya dia tak menggubrisku. Mengingat bahwa Adam sudah menungguku, akhirnya aku putuskan untuk segera pergi dari tempat itu, namun tiba-tiba dia membuka pintu mobilnya hingga menutup jalanku.
Saat lelaki itu keluar dari mobil SUV warna hitamnya. Nyaliku sedikit menciut melihat ukuran tubuhnya yang jauh lebih besar dan lebih tinggi dariku. Dan tubuh berotot itu nampak lebih jelas lagi karena dia mengenakan blue jeans dan kaos stretch yang menonjolkan bentuk badannya yang sangat kokoh.
Ish!!! Kenapa aku malah jadi memikirkan tubuh lelaki di depanku ini? Segera saja aku beringsut kesamping, mencari jalan untuk melanjutkan langkahku. Tapi mendadak dia menggeser tubuhnya juga ke samping, hingga jalanku tertutup lagi.
"Permisi, saya mau lewat," kataku dengan sopan. Dia tak bergeming, pun juga tak menjawab atau tersenyum. Matanya masih saja tertutup dengan kaca mata hitamnya hingga saat aku mendongak, aku sama sekali tak tau apa ekspresi wajah di baliknya.
Tiba-tiba aku mendelik ke arahnya. Entah keberanian dari mana aku bisa melakukan hal itu. Tetapi lelaki ini benar-benar sangat mengganggu, dan aku harus segera menyingkirkannya.
"Minggir!" kataku sedikit membentak sambil mendorong tubuh besarnya. Dan sedetik kemudian dia pun menggeser tubuhnya ke samping, memberiku jalan.
Sambil melangkah, aku tersenyum dalam hati. Ternyata jika aku galak, aku bisa juga membuat ciut seorang laki-laki tinggi besar seperti itu. Jelas badan mas Reyfan yang hobi berolah raga itu kalah berotot dibanding dengan lelaki tadi. Jadi harusnya aku tidak takut lagi sekarang melawannya.
.
.
.
Adam menyambutku di lobby dengan senyum sumringahnya.
"Maaf, Dam. Aku telat." Aku mengulurkan tangan menyalaminya. Tersenyum penuh penyesalan.
"Enggak. Kayak sekolah aja telat. Yuk masuk, Han." Adam mengajakku menuju ke lantai atas setelah berpesan pada resepsionisnya.
"Desy, minta pak Parjo siapkan kopi untuk 3 orang ya nanti kalau Pak Daniel sudah datang," katanya.
"Baik, Pak," jawab gadis cantik berseragam batik itu dengan patuh.
Sampai di lantai atas, Adam menghentikan langkahnya di sebuah pintu yang di atasnya tertulis nama panjangnya disana. Adam Satria Renggana, S.E (Executive Director).
Sejenak aku berdecak kagum usai membaca papan nama itu. Meskipun kantor ini tidak besar, tapi Adam adalah pemilik tunggal dari perusahaan rintisannya ini. Dia benar-benar lelaki yang mandiri. Heran dengan diriku sendiri, kenapa dulu aku tak pernah sedikitpun memperhatikan lelaki ini?
"Duduk dulu, Han." Dia menyuruhku duduk di sofa yang terletak di tengah-tengah ruangan. Tepat di depannya, terdapat meja kerja kebesarannya yang juga ada papan nama bertuliskan 'Director' disana.
"Kita tunggu sebentar lagi ya?" Dia menempatkan diri duduk di sofa seberangku. Dan di atas meja, sudah tergeletak ponsel Mas Reyfan yang tadi pagi sempat dibawa olehnya.
"Aku sudah bicarakan semuanya ke teman aku, Han. Dia yang akan bantu, kamu tidak perlu khawatir. Semuanya pasti akan baik-baik saja. Hanya saja, kamu harus sudah siap untuk berpisah dari suamimu. Karena ini nanti pasti akan membuatnya berakhir di penjara." Adam mengatakan itu dengan wajah penuh penyesalan. Mungkin saja dia sedang memikirkan nasibku setelah ini.
"Menurutmu apa aku masih mau bersamanya setelah tau semua ini, Dam?" Aku mengeleng-gelengkan kepalaku. "Aku tidak akan sanggup, Dam. Bahkan aku sudah putuskan untuk bercerai dengannya."
Mulut Adam membulat mendengarku mengucapkan kata cerai. Entahlah apakah dia sedih atau justru bahagia. Tapi dia tidak berkata apapun setelah itu, kecuali hanya menyemangatiku.
"Ya sudah, baik. Apapun yang kamu putuskan, aku selalu mendukungmu, Han," katanya. Meskipun hanya begitu, itu terasa sangat menyejukkan hatiku.
Hening sejenak sebelum semudian pintu ruangan terbuka dan si resepsionis dengan pakaian batik tadi menyembul dari baliknya.
"Pak Daniel sudah datang, Pak," kata gadis itu. Sekilas kulihat Adam mengangguk.
"Persilahkan masuk, Des," katanya.
Dan tak berapa lama, alangkah terkejutnya aku saat seorang lelaki berbadan tinggi besar muncul dari luar pintu ruang kerja Adam.
"Dia itu kan ...?"
"Han, kenalin ini Kompol Daniel Devanno. Beliau dari Satuan Reskrim," kata Adam padaku saat memperkenalkan seseorang yang katanya sahabatnya itu. Dan dia, si Daniel itu, ternyata adalah lelaki yang aku jumpai diparkiran tadi. Jadi, lelaki tadi adalah seorang polisi? Aku bangkit dari dudukku saat lelaki itu mengulurkan tangannya hendak menyalamiku. Rasanya aku seperti kehilangan muka saat dia menatapku sangat lekat dengan kedua matanya. Ternyata mata yang tadi sempat membuatku penasaran, yang ditutupinya dengan kacamata itu, memiliki sorot yang begitu tajam hingga seolah jantungku berhenti berdetak seketika saat telapak tangannya berhasil mendarat di telapak tanganku. Pemandangan yang terjadi selanjutnya adalah bahwa tangan kokoh itu kini seperti tangan raksasa yang akan meremukkan tulang-tulang tanganku yang kecil. Mendadak aku bergidik ngeri saat dalam beberapa detik tangan itu tak jua dilepaskannya dariku. Kurasa sepertinya dia memang berniat ingin meremukkan tulangku karen
"Di luar ada polisi yang mencari Bapak," kata Mbok Jum memberi tahu. Mas Reyfan dan aku saling berpandangan, dan aku yakin aku tak salah lihat kalau wajah suamiku saat ini berubah pucat. Tak berapa lama kemudian kami bertiga menuruni tangga menuju lantai bawah berurutan dengan saling membisu. Kami seperti larut dalam pikiran masing-masing. Dan saat sampai di ruang tamu, aku melihatnya. Daniel, si manusia tanpa senyum itu, sedang berdiri di sana berbicara dengan tiga orang berseragam polisi lengkap. Sementara dia sendiri, masih mengenakan blue jeans dan atasan kaosnya yang sore tadi dia kenakan, hanya saja telah terbungkus rapat dengan jaket warna hitam. "Selamat Malam, Pak Reyfan. Saya Daniel Devanno dari Polresta. Kakak Anda, ibu Tantri Kusuma, beberapa saat yang lalu telah tertangkap tangan tengah melakukan kagiatan prostitusi. Dan anda diduga terlibat dalam kasus ini. Untuk itu, Anda harus ikut dengan kami untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut di kantor."
"Mami? Mami kapan datang? Maaf Mi, aku nggak tau," kataku penuh penyesalan, lalu bermaksud mencium tangannya. Tapi perempuan paruh baya itu menolak mengulurkan tangannya padaku. Wajahnya mencelos, membuatku menelan ludah. "Udah jangan basa basi, Han. Mami sudah tau, kamu kan yang melaporkan Ratri sama Reyfan ke polisi?" Pertanyaannya yang tiba-tiba, membuatku sangat terkejut. Bagaimana mungkin mereka mengetahui hal itu? "Kamu benar-benar istri nggak tau diri, Han. Lihat apa yang Reyfan sudah berikan sama kamu. Bukannya berterima kasih kamu malah nusuk dia dari belakang," lanjut wanita itu mulai mengumpatiku. Walaupun selama ini aku tahu bahwa ibu mertuaku itu tak pernah bisa menyukaiku dengan tulus, tapi aku tidak menyangka dia akan datang dengan marah-marah tidak jelas seperti sekarang. "Mami, apa yang sedang Mami bicarakan ini sih?" Aku mencoba mencari tahu. "Halah jangan pura-pura kamu, Hani. Kita semua sudah tau apa yang kamu lakukan di rumah Ratri. Kamu
"Maaf Pak Randi, tapi kenapa ya rumah saya harus diamankan? Apa Bapak juga polisi?" "Oh bukan, Bu. Saya bukan polisi. Saya hanya salah satu kenalan Pak Daniel. Lebih tepatnya, anak buah Pak Daniel. Tapi untuk pertanyaan ibu itu, mohon maaf saya tidak bisa menjawab, karena saya hanya diberi amanat saja sama beliau untuk berjaga di sini," kata pria bertubuh kekar itu. Aku mendesah, pria itu semakin aneh saja. Tadinya kupikir Pak Randi juga anggota kepolisian, tapi ternyata bukan. Jadi penjagaan atasku dan keluargaku ini berarti bukan resmi dari kepolisian dong. Apa sebenarnya tujuan pria bernama Daniel itu? "Ya sudah Pak, kalau begitu saya permisi dulu. Saya harus ke rumah orang tua saya. Permisi," pamitku dengan sopan pada pria yang kutaksir berusia lebih dari 30 tahunan itu. "Silahkan, Bu," sahut Pak Randi. Kemudian pria itu membantuku membukakan pintu pagar dan menutupnya kembali. "Terima kasih, Pak," kataku sebelum akhirnya melajukan mobilnya pelan. . .
Pria gagah bertubuh tinggi besar dengan seragam kepolisian lengkap itu turun dari mobil SUV hitam yang diparkirnya di depan rumah yang sudah nampak lengang. Jarum jam di arloji yang melingkar di pergelangan tangan kokohnya sudah menunjuk angka 10 saat ia tiba di rumah itu. Mendengar deru mobil di halaman rumah, bergegas seorang wanita paruh baya membukakan pintu depan rumah dan menyambut sang tuan yang pulang dengan rasa lelahnya seperti biasa. "Tasya sudah tidur, Bi'?" tanyanya pada wanita paruh baya saat si pembantu rumah tangganya itu mengulurkan tangan ke tas kerjanya seperti biasa. "Sudah Pak, dari habis isya' tadi," jawabnya. Daniel melepas sepatunya di kamar tamu. Kebetulan hari ini dia hanya berdiam diri di kantor, jadi tentu saja sepatu itu tak terlalu kotor untuk dibawanya masuk rumah. Masih dengan seragamnya, pria berusia 35 tahun itu bergegas ke kamar mandi membersihkan diri. Guyuran air dingin malam itu membuat wajah lelahnya segar kembal
Baik aku maupun Mas Reyfan sama sekali tak ada yang berbicara mulai dari kami bertemu di kantor polisi. Bahkan saat kami berdua memasuki halaman rumah dan turun dari mobil, Mas Reyfan meninggalkanku melangkah duluan tanpa kata. Aku merasa dia sangat marah padaku. Tapi entahlah, dia belum mengatakan apapun setelah pertemuan hari ini. "Makan malam sudah saya hangatkan, Bu." Mbok Jum menyambutku di pintu rumah. "Ya Mbok, sebentar saya bersihkan diri dulu." Aku bergegas naik ke lantai atas. Dan saat berada di kamar, kulihat Mas Reyfan sedang menyiapkan pakaiannya untuk mandi. Kalau biasanya aku pasti akan dengan sigap melakukannya untuknya, meladeni segala keperluannya, namun tatapan tidak bersahabatnya malam ini membuatku tak ingin mendekatinya. Setelah siap dengan pakaian gantinya, dia berjalan melewatiku begitu saja menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar kami. Sekitar lima menit kemudian, dia keluar lagi dengan balutan handuknya. Tak seperti biasa dia se
Kalimat yang hanya tiga kata, tapi mampu memporak-porandakan hati dan perasaanku. Sejak kapan sebenarnya mereka berhubungan hingga sekarang perempuan ini mengaku bahwa dirinya hamil? Mas Reyfan pun sepertinya sama denganku. Shock dengan ucapan gund*knya sendiri. "Ma-maksud kamu apa, Sha?" "Aku hamil. Dan ini anak Mas Reyfan." Perempuan itu terlihat mulai menangis lagi. Sepertinya badanku rasanya ingin limbung jika saja Mbok Jum tidak berada di dekatku dan memegang lenganku. "Kita masuk saja, Bu," ajaknya. "Nggak Mbok, biarkan aku disini." "Sha, itu nggak benar kan?" Kudengar Mas Reyfan bersuara lagi. "Benar Mas, ini anak Mas Reyfan." Perempuan itu lalu merogoh ke dalam tasnya mengambil benda putih pipih dan menyerahkannya pada Mas Reyfan. Itu sebuah testpack yang sedang dia berikan pada suamiku. "Tapi ini belum tentu benar 'kan?" Dia masih menyangkal. "Belum tentu benar gimana Mas? Kita sudah melakukannya." "Iya aku tahu. Tapi .
"Awalnya aku pikir aku telah jatuh cinta untuk kedua kalinya. Tapi sepertinya aku hanya sedang khilaf sampai kebablasan. Setelah kusadari, semuanya telah terlambat." -Reyfan Andriano Semalaman pria itu tidak bisa memejamkan mata. Entah sudah berapa kali dia mengetuk pintu kamar tidur istrinya, namun tak satupun panggilannya dihiraukan. Nampaknya sang istri sudah tak lagi bisa memaafkannya. Penyesalan memang selalu datang belakangan. Hingga hampir subuh, pria itu hanya duduk di sofa ruang tengah sambil menatap kosong layar TV plasma yang entah sedang menayangkan apa. Dia sendiri tertidur beberapa menit dengan sangat tak nyenyak. Saat Mbok Jum keluar dari kamar dan menghampirinya, Reyfan baru berpikir untuk bangkit. "Bapak mau makan atau minum sesuatu? Biar saya siapkan," tawar perempuan baya itu. Reyfan hanya menggeleng tak minat. Lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa menit kemudian dia sudah mengganti baju dengan dengan pakaian kerjanya dan
Satu bulan setelah pertemuannya kembali dengan Santi, hari ini keduanya nampak sedang duduk di sebuah ruang pertemuan di salah satu sudut kantor Adam.Di hadapan keduanya ada 4 orang karyawan inti di perusahaan Adam yang sedang menghadap ke arah mereka. Nampak di depan mereka tumpukan berkas yang baru saja selesai dibahas."Jadi rencanaku bisnis kosmetik ini nantinya akan seperti itu. Bagaimana menurut kalian?" tanya Adam pada keempat anak buahnya."Bagus, Pak. Saya rasa ide ini sangat cemerlang mengingat pasar kosmetik yang saya lihat saat ini sedang lesu-lesunya. Hampir tak ada brand baru yang muncul akhir-akhir ini," ujar salah satu karyawan itu."Iya itu maksudku. Ya sudah kalau gitu kita cukup
Malam itu entah kenapa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Adam. Kedatangan mantan karyawannya dengan penampilan yang sedikit berbeda namun masih sama malu-malunya itu membuatnya justru susah untuk lupa.Dari sejak lelaki itu menginjakkan kaki di rumah orangtuanya, Adam hanya terlihat mondar mandir dari kamar menuju balkon. Secangkir kopi dibawanya ke sana kemari dengan perasaan kacau yang sulit dia mengerti sendiri."Lagi ngapain kamu, Dam? Mama perhatikan dari pintu tadi kayak orang lagi bingung gitu?"Ibunya yang sedari tadi mengamati tingkah aneh putranya menghentikan langkahnya di pintu balkon."Mama ngagetin aja." Muka Adam langsung memerah karenanya.
Beberapa minggu setelah pertemuannya dengan mantan bosnya, gadis itu melakukan treatment di sebuah klinik kecantikan. Hani juga telah membekalinya uang yang cukup untuk dia belanjakan beberapa potong baju yang akan lebih membuatnya percaya diri saat bertemu dengan Adam nanti.Dan siang itu adalah hari yang telah direncanakannya untuk menemui Adam. Santi melangkah dengan penuh kayakinan menuju ke kantor Adam usai turun dari taksi online yang ditumpanginya."Bisa saya bertemu dengan pak Adam?" tanyanya pada resepsionis."Maaf, apa ada sudah janji sebelumnya, Bu?" tanya balik sang gadis dengan seragam warna violet itu."Mmmm."Santi mulai men
Rapatnya Hani menyimpan rasa shock atas pertemuannya dengan Adam, bahkan membuat Daniel pun tak menyadari bahwa istrinya memang sedang sedikit tak enak badan hari itu. Sampai-sampai lelaki itu setengah memaksa mengajak sang istri untuk mau ikut bersamanya keluar larut malam.Hanya untuk membuat Daniel tak cemas dengan kondisi dirinya yang memang sedang kurang baik setelah kejadian yang menimpa siang harinya, Hani pun terpaksa menuruti ajakan suaminya.Daniel membawa istrinya ke sebuah Kafe bernuansa outdoor di daerah pinggiran kota malam itu. Mereka tiba di tujuan saat hari telah lewat. Meski begitu, suasana masih terlihat lumayan ramai. Tempatnya yang didesain sangat romantis ternyata sedikit membawa suasana hati Hani menjadi lebih membaik."Kamu suka temp
Tubuh Hani masih gemetar, bahkan ketika mobilnya sudah memasuki halaman rumah. Usai Adam membiarkannya pergi dari parkiran mall, wanita itu mengendarai dengan sangat pelan sembari berusaha menenangkan kembali gejolak di dalam dadanya. Kalimat demi kalimat Adam terngiang-ngiang di kepalanya seolah tak mau pergi."Lho, Bu Hani kenapa?" Bik Marni yang saat itu sedang bermain bersama dengan Tasya dan Keenan di serambi rumah sedikit kaget melihat Hani nampak seperti orang linglung saat keluar dari mobilnya di garasi.Sesaat Hani baru menyadari ada yang memperhatikannya. Buru-buru wanita itu menggeleng."Enggak kok, Bi'. Cuma agak pusing sedikit," jawabnya.Lalu dengan sigap, Bi' Marni pun segera m
"Sudah dibayar sama mas yang di sana, Bu."Hani dan 3 orang teman wanitanya saling pandang. Lalu bersamaan menoleh ke arah yang di tunjuk oleh kasir restoran."Yang mana? Yang di dalam ruangan itu?" tanya salah seorang teman Hani."Iya, yang sedang memimpin rapat itu, Bu."Hani tak mungkin tak mengenalnya. Di dalam ruang meeting dengan dinding kaca itu memang ada Adam dan beberapa orang yang mengenakan seragam yang dia kenali sebagai karyawan kantor Adam."Kamu kenal, Han?" tanya salah seorang temannya lagi, melihat Hani seolah sedang menunggu orang itu membalikkan badan untuk melihat ke arah mereka.
"Setelah sidang putusan minggu depan, datanglah ke kantor. Aku sudah menyiapkan semuanya untuk kamu," ucap Adam siang itu saat bangkit dari tempat duduknya di sebuah restoran mewah di kota itu.Diva mendongak, memandangnya dengan senyuman remeh."Menyiapkan apa?" tanyanya. Sebenarnya Diva sudah tahu apa maksud dari kata-kata lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya itu. Namun Diva tak mudah begitu saja untuk merendahkan dirinya. Apalagi di hadapan Adam, yang menurutnya telah menghancurkan impian dan masa depannya."Bagianmu. Itu sudah kewajibanku sebagai mantan suami," jawab Adam singkat. Diva pun melengos mendengar itu. Baginya, ucapan Adam itu adalah sebuah penghinaan."Ambil saja u
"Kalau boleh aku sarankan, pertimbangkan lagi rencanamu untuk menaikkan kasus direktur PT Diwangga Karya itu, Daniel. Itu tidak akan baik untuk karirmu."Kapten Gunardi, lelaki yang masih nampak gagah di usianya yang sudah hampir menginjak masa pensiun itu menatap lekat bawahannya dari kursi kebesarannya.Daniel baru saja menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya dan keluarganya pada atasannya itu dan semua hal yang berkaitan dengan kasus PT. Diwangga Karya."Tapi saya sudah merasa dirugikan dengan kelakuan direktur itu, Pak. Saya hanya ingin minta keadilan. Lagipula, dia telah melakukan pelanggaran hukum dengan membuat laporan palsunya. Merekayasa kejadian demi untuk mencapai tujuannya.""Aku ta
"Pak, ada perkembangan terbaru kasus Diwangga," kata seorang ajudan yang baru saja masuk ke ruangan Daniel siang itu.Setelah memerintahkan anak buahnya itu untuk duduk, Daniel pun memeriksa berkas yang baru saja diserahkan."Jadi gudang yang terbakar itu sebenarnya sudah tidak dipakai?" tanya Daniel kemudian. Dahinya nampak berkerut."Betul, Pak. Tim sudah menyelidiki semuanya. Bahkan menurut warga setempat, semuanya juga bilang seperti itu. Jadi, ada kemungkinan ini bukan sabotase, melainkan memang sengaja dibakar."Dahi Daniel makin berkerut."Lalu apa kira kira motifnya?""Itu yang