Kalimat yang hanya tiga kata, tapi mampu memporak-porandakan hati dan perasaanku. Sejak kapan sebenarnya mereka berhubungan hingga sekarang perempuan ini mengaku bahwa dirinya hamil? Mas Reyfan pun sepertinya sama denganku. Shock dengan ucapan gund*knya sendiri. "Ma-maksud kamu apa, Sha?" "Aku hamil. Dan ini anak Mas Reyfan." Perempuan itu terlihat mulai menangis lagi. Sepertinya badanku rasanya ingin limbung jika saja Mbok Jum tidak berada di dekatku dan memegang lenganku. "Kita masuk saja, Bu," ajaknya. "Nggak Mbok, biarkan aku disini." "Sha, itu nggak benar kan?" Kudengar Mas Reyfan bersuara lagi. "Benar Mas, ini anak Mas Reyfan." Perempuan itu lalu merogoh ke dalam tasnya mengambil benda putih pipih dan menyerahkannya pada Mas Reyfan. Itu sebuah testpack yang sedang dia berikan pada suamiku. "Tapi ini belum tentu benar 'kan?" Dia masih menyangkal. "Belum tentu benar gimana Mas? Kita sudah melakukannya." "Iya aku tahu. Tapi .
"Awalnya aku pikir aku telah jatuh cinta untuk kedua kalinya. Tapi sepertinya aku hanya sedang khilaf sampai kebablasan. Setelah kusadari, semuanya telah terlambat." -Reyfan Andriano Semalaman pria itu tidak bisa memejamkan mata. Entah sudah berapa kali dia mengetuk pintu kamar tidur istrinya, namun tak satupun panggilannya dihiraukan. Nampaknya sang istri sudah tak lagi bisa memaafkannya. Penyesalan memang selalu datang belakangan. Hingga hampir subuh, pria itu hanya duduk di sofa ruang tengah sambil menatap kosong layar TV plasma yang entah sedang menayangkan apa. Dia sendiri tertidur beberapa menit dengan sangat tak nyenyak. Saat Mbok Jum keluar dari kamar dan menghampirinya, Reyfan baru berpikir untuk bangkit. "Bapak mau makan atau minum sesuatu? Biar saya siapkan," tawar perempuan baya itu. Reyfan hanya menggeleng tak minat. Lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa menit kemudian dia sudah mengganti baju dengan dengan pakaian kerjanya dan
Aku mendapat laporan dari Mbok Jum pagi itu bahwa Mas Reyfan sudah meninggalkan rumah sehabis subuh. Aku kira dia sudah menuruti kata-kataku untuk enyah dari rumahku. Tapi ternyata aku salah. Koper-koper Mas Reyfan masih ada di rumah. Itu berarti dia akan masih kembali ke rumah ini lagi. Saat jarum jam menunjuk pukul 8, aku pun sudah siap untuk berangkat ke kantor polisi, menemui pria tanpa senyum bernama Daniel itu. Jalanan pagi itu nampak masih lumayan ramai saat aku melintas, hingga membuatku harus ekstra sabar untuk sampai ke tujuan. Setengah jam kemudian aku sudah berhasil memarkirkan mobilku di area parkir kantor yang bagiku sangat menyeramkan itu. Iya benar, dari kecil aku tidak pernah suka dengan kantor polisi. Entah kenapa, setiap bertemu dengan pria-pria berseragam itu pun, kata bapak, Hani kecil akan selalu melengos, takut. "Jalanan macet?" Aku kaget mendengar suara yang begitu dekat di telinga kala aku ingin kembali menutup pintu mobil. Segera saja aku
"Aku hanya ada 50 juta, Dam. Kira-kira gimana?" tanyaku pada pria yang sedang duduk dihadapanku itu. Sejenak dia terdiam, seperti sedang berpikir. "Han, kamu masih suka gambar-gambar desain? Aku ingat dulu kamu suka banget gambar design pakaian kan?" "Iya dulu. Tapi udah nggak pernah lagi. Kok kamu masih inget sih, Dam?" "Ya ingat lah, orang yang lainnya pada rapat kamunya malah sibuk gambar kan?" tawa Adam pecah, sepertinya dia teringat masa-masa itu. Saat kami sering berkumpul bersama para pemuda karang taruna. "Kenapa nggak coba bisnis fashion aja? Kamu ngikutin trend fashion kekinian kan?" tanyanya lagi. Aku menggigit bibir mencoba mencerna arah pembicaraannya. "Lumayan ngikutin sih. Tapi gimana caranya? Aku nggak tau, Dam. Jujur aku awam banget masalah bisnis." "Itulah gunanya aku," kata dia bangga. Kumonyongkan bibir demi mendengar kesombongannya itu. Lagi-lagi dia tertawa. "Jadi gini, Han. Aku ada kenalan konveksi. Dia profesional, sering teri
Wanita tua itu sudah berada di teras rumahku dengan angkuhnya. Dia mungkin belum tahu kalau rumah ini sudah menjadi milikku. "Mau apa lagi kemari, Mi?" tanyaku sudah tak ada respect sedikitpun padanya. Kelakuannya yang membuatku sangat muak untuk masih tetap menganggapnya sebagai orang tua. "Eh, eh, kok melarang Mami kesini. Ini kan rumah anak Mami. Mau kamu bilang apa tetap saja ini rumah Reyfan." Aku tersenyum kecut mendengar celotehnya. Nggak cuma Mami. Ternyata adik iparku, Irwan pun ada di rumah ini. Dia sedang duduk menatap kami yang berseteru di teras dari ruang tamu. "Kemarikan kunci mobil kamu sama suratnya, Han!" "Lhoh mau buat apa, Mi?" tanyaku pura-pura keheranan. "Itu kan mobil yang beli Reyfan. Ya mau Mami jual lah. Memangnya mau diapakan lagi?" "Enak saja mami ngomong begitu." Tanpa mempedulikan Mami lagi, aku bergegas masuk. Malu kalau sampai perseteruan kami dijadikan tontonan para tetangga. Mami mengikutiku masuk. Tak kuhiraukan
"Kamu mau kemana, Han?" Sore itu Mas Reyfan yang baru saja memarkirkan mobilnya di halaman rumah, nampak panik bukan main melihatku, Keenan, dan Mbok Jum sudah bersiap-siap akan pergi dengan beberapa koper yang sudah kami seret ke teras. "Apa-apaan ini? Kalian mau kemana?" Mbok Jum yang melihat Mas Reyfan marah, langsung menggendong Keenan, mengajaknya masuk. Sementara aku mengajak Mas Reyfan duduk di kursi teras setelah menghela nafas panjang mempersiapkan apa yang akan kukatakan padanya. "Aku akan pindah sementara ke rumah Bapak, Mas." "Apa? Tidak boleh! Aku tidak mengijinkanmu, Han." Mas Reyfan bertambah panik. Wajahnya merah bersemu marah mendengar ucapanku. "Tapi ini demi keselamatanku dan Keenan. Kamu nggak mau aku atau Keenan celaka karena ulah ibu atau adikmu 'kan? Kamu lihat sendiri kan Mas apa yang mereka lakukan padaku kemarin?" Aku mencoba mengingatkannya. "Mereka tidak akan bisa berbuat itu lagi. Ada aku, Hani. Aku yang akan melindungi
Adam mengajakku melihat tempat yang akan kami sewa. Dari sekian banyak tempat yang sudah kami kunjungi, sepertinya tempat terakhir yang paling cocok untukku. Lokasinya strategis di pinggir jalan yang tidak terlalu ramai, ruangan utamanya di lantai bawah juga sangat luas bisa digunakan untuk melakukan banyak pekerjaan jika nanti usaha kami maju. Sedangkan di lantai atas, terdapat 3 buah kamar tidur, kamar mandi, dapur dan sebuah ruang lagi yang cukup besar untuk dijadikan ruang tamu dan dan ruang bersantai. "Kalau rumah ini kujadikan tempat tinggal saja gimana menurutmu, Dam?" "Tempat tinggal? Maksudnya?" "Ya tempat tinggal. Jadi aku sekalian tinggal disini, di lantai atas. Sementara lantai bawah buat kantor. Jadi nggak harus bolak balik ke rumah bapak. Lebih hemat waktu dan tenaga 'kan?" Mataku berbinar menatap Adam. Dan dia memicingkan matanya ke arahku. "Ide yang bagus, sepakat," katanya sambil menjabat tanganku. Lalu kembali memasukkan kedua tangannya lagi
"Senyum, Sayang!" perintahku pada Keenan. Anak itu segera saja memamerkan gigi-gigi kecilnya yang berderet rapi, dan .. 'Klik' Jadilah foto kami berdua yang sedang tersenyum manis menatap ke arah kamera dengan kepala saling berdempetan. Keenan, anak lelakiku ini memang sangat tampan. Dia mewarisi senyum manis papanya dan mata beningnya membuat wajahnya semakin terlihat cerah. Ditambah lagi rambutnya yang hitam legam dan lebat membuat kulitnya semakin terlihat bersih. Aku dan Keenan sedang berada di dalam kamar malam itu, berselfie ria sebelum tidur. Keenan terlihat puas memandangi foto dirinya di ponsel. Jam baru menunjuk pukul 8 saat kami merebahkan diri di atas ranjang tadi. "Keenan!" teriak ibu dari luar kamar. Mendengar panggilan eyangnya, segera saja anak itu lari tunggang langgang keluar kamar. Sebelum tidur adalah jadwal ibuku memanjakan Keenan dengan suapan susu hangat. Aku tersenyum melihat tubuh kecilnya yang berlari tanpa menoleh lagi ke arahku.
Satu bulan setelah pertemuannya kembali dengan Santi, hari ini keduanya nampak sedang duduk di sebuah ruang pertemuan di salah satu sudut kantor Adam.Di hadapan keduanya ada 4 orang karyawan inti di perusahaan Adam yang sedang menghadap ke arah mereka. Nampak di depan mereka tumpukan berkas yang baru saja selesai dibahas."Jadi rencanaku bisnis kosmetik ini nantinya akan seperti itu. Bagaimana menurut kalian?" tanya Adam pada keempat anak buahnya."Bagus, Pak. Saya rasa ide ini sangat cemerlang mengingat pasar kosmetik yang saya lihat saat ini sedang lesu-lesunya. Hampir tak ada brand baru yang muncul akhir-akhir ini," ujar salah satu karyawan itu."Iya itu maksudku. Ya sudah kalau gitu kita cukup
Malam itu entah kenapa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Adam. Kedatangan mantan karyawannya dengan penampilan yang sedikit berbeda namun masih sama malu-malunya itu membuatnya justru susah untuk lupa.Dari sejak lelaki itu menginjakkan kaki di rumah orangtuanya, Adam hanya terlihat mondar mandir dari kamar menuju balkon. Secangkir kopi dibawanya ke sana kemari dengan perasaan kacau yang sulit dia mengerti sendiri."Lagi ngapain kamu, Dam? Mama perhatikan dari pintu tadi kayak orang lagi bingung gitu?"Ibunya yang sedari tadi mengamati tingkah aneh putranya menghentikan langkahnya di pintu balkon."Mama ngagetin aja." Muka Adam langsung memerah karenanya.
Beberapa minggu setelah pertemuannya dengan mantan bosnya, gadis itu melakukan treatment di sebuah klinik kecantikan. Hani juga telah membekalinya uang yang cukup untuk dia belanjakan beberapa potong baju yang akan lebih membuatnya percaya diri saat bertemu dengan Adam nanti.Dan siang itu adalah hari yang telah direncanakannya untuk menemui Adam. Santi melangkah dengan penuh kayakinan menuju ke kantor Adam usai turun dari taksi online yang ditumpanginya."Bisa saya bertemu dengan pak Adam?" tanyanya pada resepsionis."Maaf, apa ada sudah janji sebelumnya, Bu?" tanya balik sang gadis dengan seragam warna violet itu."Mmmm."Santi mulai men
Rapatnya Hani menyimpan rasa shock atas pertemuannya dengan Adam, bahkan membuat Daniel pun tak menyadari bahwa istrinya memang sedang sedikit tak enak badan hari itu. Sampai-sampai lelaki itu setengah memaksa mengajak sang istri untuk mau ikut bersamanya keluar larut malam.Hanya untuk membuat Daniel tak cemas dengan kondisi dirinya yang memang sedang kurang baik setelah kejadian yang menimpa siang harinya, Hani pun terpaksa menuruti ajakan suaminya.Daniel membawa istrinya ke sebuah Kafe bernuansa outdoor di daerah pinggiran kota malam itu. Mereka tiba di tujuan saat hari telah lewat. Meski begitu, suasana masih terlihat lumayan ramai. Tempatnya yang didesain sangat romantis ternyata sedikit membawa suasana hati Hani menjadi lebih membaik."Kamu suka temp
Tubuh Hani masih gemetar, bahkan ketika mobilnya sudah memasuki halaman rumah. Usai Adam membiarkannya pergi dari parkiran mall, wanita itu mengendarai dengan sangat pelan sembari berusaha menenangkan kembali gejolak di dalam dadanya. Kalimat demi kalimat Adam terngiang-ngiang di kepalanya seolah tak mau pergi."Lho, Bu Hani kenapa?" Bik Marni yang saat itu sedang bermain bersama dengan Tasya dan Keenan di serambi rumah sedikit kaget melihat Hani nampak seperti orang linglung saat keluar dari mobilnya di garasi.Sesaat Hani baru menyadari ada yang memperhatikannya. Buru-buru wanita itu menggeleng."Enggak kok, Bi'. Cuma agak pusing sedikit," jawabnya.Lalu dengan sigap, Bi' Marni pun segera m
"Sudah dibayar sama mas yang di sana, Bu."Hani dan 3 orang teman wanitanya saling pandang. Lalu bersamaan menoleh ke arah yang di tunjuk oleh kasir restoran."Yang mana? Yang di dalam ruangan itu?" tanya salah seorang teman Hani."Iya, yang sedang memimpin rapat itu, Bu."Hani tak mungkin tak mengenalnya. Di dalam ruang meeting dengan dinding kaca itu memang ada Adam dan beberapa orang yang mengenakan seragam yang dia kenali sebagai karyawan kantor Adam."Kamu kenal, Han?" tanya salah seorang temannya lagi, melihat Hani seolah sedang menunggu orang itu membalikkan badan untuk melihat ke arah mereka.
"Setelah sidang putusan minggu depan, datanglah ke kantor. Aku sudah menyiapkan semuanya untuk kamu," ucap Adam siang itu saat bangkit dari tempat duduknya di sebuah restoran mewah di kota itu.Diva mendongak, memandangnya dengan senyuman remeh."Menyiapkan apa?" tanyanya. Sebenarnya Diva sudah tahu apa maksud dari kata-kata lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya itu. Namun Diva tak mudah begitu saja untuk merendahkan dirinya. Apalagi di hadapan Adam, yang menurutnya telah menghancurkan impian dan masa depannya."Bagianmu. Itu sudah kewajibanku sebagai mantan suami," jawab Adam singkat. Diva pun melengos mendengar itu. Baginya, ucapan Adam itu adalah sebuah penghinaan."Ambil saja u
"Kalau boleh aku sarankan, pertimbangkan lagi rencanamu untuk menaikkan kasus direktur PT Diwangga Karya itu, Daniel. Itu tidak akan baik untuk karirmu."Kapten Gunardi, lelaki yang masih nampak gagah di usianya yang sudah hampir menginjak masa pensiun itu menatap lekat bawahannya dari kursi kebesarannya.Daniel baru saja menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya dan keluarganya pada atasannya itu dan semua hal yang berkaitan dengan kasus PT. Diwangga Karya."Tapi saya sudah merasa dirugikan dengan kelakuan direktur itu, Pak. Saya hanya ingin minta keadilan. Lagipula, dia telah melakukan pelanggaran hukum dengan membuat laporan palsunya. Merekayasa kejadian demi untuk mencapai tujuannya.""Aku ta
"Pak, ada perkembangan terbaru kasus Diwangga," kata seorang ajudan yang baru saja masuk ke ruangan Daniel siang itu.Setelah memerintahkan anak buahnya itu untuk duduk, Daniel pun memeriksa berkas yang baru saja diserahkan."Jadi gudang yang terbakar itu sebenarnya sudah tidak dipakai?" tanya Daniel kemudian. Dahinya nampak berkerut."Betul, Pak. Tim sudah menyelidiki semuanya. Bahkan menurut warga setempat, semuanya juga bilang seperti itu. Jadi, ada kemungkinan ini bukan sabotase, melainkan memang sengaja dibakar."Dahi Daniel makin berkerut."Lalu apa kira kira motifnya?""Itu yang