Bab 6
"Loh kamu di sini juga periksa kandungannya? Memang kamu sedang hamil juga?" sindir Karin membuatku tersenyum tipis.
"Nggak usah nyindir, aku heran ya sama kamu, Karin. Kerja sekretaris tapi seenaknya jalan-jalan ke rumah sakit. Aku aduin ke Papa mertuaku nanti supaya Mas Irfan ganti sekretaris saja. Punya sekretaris kok seenaknya keluar masuk kantor," cetusku benar-benar geram dengan kelakuan wanita yang berkulit eksotis itu. Modal seksi dan gaya mempesona saja sudah berani menggoda suami orang."Silakan saja ngadu, paling nanti kamu dicerai oleh Mas Irfan," sindir balik Karin dengan alis terangkat. Sifat sombongnya mulai ia tunjukkan."Oh jadi kamu nantang aku, ya? Wanita jal*ng," sindirku lagi."Jangan sembarangan bicara kamu, Nggi," balas Karin mulai emosi."Loh, kok marah, kenyataannya seperti itu, mana suamimu? Itu anak siapa yang ada di rahim kamu? Apa sudah ada ikatan pernikahan?" sindirku lagi membuat netra Karin membulat, matanya tampak memerah ketika aku meluapkan kekesalan padanya."Anak yang kukandung ada bapaknya, ya, jangan sampai aku hilang kesabaran di sini, wanita mandul," umpat Karin. Ia semakin meninggi ketika aku mulai memancing amarahnya.Aku memberikan tepuk tangan padanya, senyum ini pun aku kembangkan di hadapan wanita yang memang lebih tinggi lima centi meter dariku."Mandul kamu bilang? Jangan sok tahu, j*blay," umpatku gantian tapi sedikit menekan di telinganya.Napasnya terlihat naik turun, aku memperhatikannya, emosinya sudah mulai membara tak terkontrol."Kurang ajar kamu, ya, kalau berani kita ribut jangan di sini!" tantang Karin. Akhirnya ia menantangku untuk keluar dari rumah sakit."Siapa takut," celetukku dengan alis terangkat dan senyum sedikit mengembang.Aku tidak langsung jalan, karena ada pesan masuk dari Mas Irfan. Namun, belum sempat aku baca, Karin menarik pergelangan tanganku dengan paksa, aku pun menepisnya dengan keras."Ayo ikut aku!" Karin menantang sambil menarik pergelangan tangan ini dengan keras, padahal tanpa ia tarik pun aku akan jalan mengikuti langkahnya."Iya, aku pasti ikut kamu!" jawabku sambil menepis tangan Karin dengan amat keras, sebab aku tidak suka dipaksa seperti itu.Bruk!Karin jatuh ke lantai ketika aku berusaha melepaskan genggaman tangannya. Padahal aku hanya menepis ajakannya yang terlalu memaksa.
"Aw!" teriaknya ketika jatuh ke lantai.Aku pun segera menolongnya. Walau bagaimanapun, ia dalam keadaan hamil, tidak kuasa aku melihat wanita hamil jatuh.
"Kamu nggak apa-apa, kan?" tanyaku sambil menyodorkan tangan untuk membantunya bangkit."Kamu tuh sengaja, ya, sengaja ingin mencelakakan aku?" tukasnya ketika masih tersungkur di lantai. Wanita yang terlihat seperti meringis kesakitan bercampur kesal itu malah menyalahkan aku. Padahal jelas-jelas ia duluan yang memaksa untuk menyeretku keluar rumah sakit.Tidak lama kemudian, darah mulai keluar dari pahanya yang mulus. Ya, terlihat sekali, sebab Karin memakai baju hamil seukuran lutut dan lengan tertutup jas."Karin, itu ada darah keluar dari paha kamu," ucapku sambil berusaha menolongnya."Tuh kan, ini gara-gara kamu, Anggi. Tolong! Tolong saya!" Kemudian para suami yang menunggu antrian istrinya pun turut membantu Karin, suster yang sedang bertugas di dekat kami juga turut menghampiri. Tiba-tiba suasana menjadi ramai. Namun, batang hidung Mas Irfan belum terlihat juga."Bu, ini pendarahannya ngalir terus, sebaiknya bawa ke UGD saja biar langsung ditangani dokter," usul salah seorang suster. "Tapi urutan saya di Dokter Wulan sebentar lagi, Sus. Saya nunggu di sini saja," jawab Karin sambil ditatih oleh lelaki dan salah seorang suster. Ia tetap tak mau ditolong olehku. "Ya sudah, kalau ada apa-apa, misal tiba-tiba kontraksi hebat, segera ke UGD ya, Bu," pesan suster yang tadi turut menatih Karin.Setelah ia duduk, aku pun duduk di belakangnya. Sambil membaca pesan dari Mas Irfan yang tadi belum sempat aku baca.[Bagaimana pertemuan dengan Dokter Sonia?] tanyanya. Berati ia tidak mengantarkan Karin ke sini? Atau ia sengaja tes kejujuranku lagi? Sebaiknya aku balas dengan alasan lain saja.[Dokter Sonia menyarankan aku untuk periksakan kandungan ke Dokter Wulan di Rumah Sakit Citra Kencana. Sebab, hari ini beliau ada seminar.]Aku kirim balasannya, Mas Irfan pun membalasnya lagi.[Ya, aku tahu, tadi sekretarisku bilang bertemu denganmu di rumah sakit. Ternyata istriku masih jujur ya.] balasnya membuatku mengernyitkan dahi. Karin beritahu Mas Irfan? Rasanya tidak mungkin, sedari tadi Karin bersamaku debat di sini.Aku tak membalas chatnya lagi. Mas Irfan ada di sini, aku yakin itu. Namun, karena ada aku di sini, ia berusaha bersembunyi.Aku letakkan ponselku ke dalam tas, lalu melihat ke arah Karin yang sedang meringis kesakitan. Lalu aku bangkit melihat ke depan."Karin, darahnya semakin banyak yang keluar, ke UGD saja sesuai pesan suster tadi," usulku."Sakit! Tolong sakit!" Tiba-tiba tangis Karin pecah mengeluh kesakitan. "Mas! Tolong!" teriaknya lagi sambil meremas perutnya.Ia memanggil seseorang dengan sebutan Mas? Itu artinya suamiku ada di sini. Namun, bersembunyi. Aku celingukan mencari keberadaan Mas Irfan, tapi mataku tak menemukannya."Kamu dengan suamimu, ke sini?" sindirku."Kamu jangan menambahkan kesakitan aku, Anggi. Diam bisa nggak? Perutku tiba-tiba seperti diremas-remas, sakit," lirihnya kesakitan."Ya sudah, kita ke UGD," usulku lagi. "Sus, tolong panggilkan petugas UGD!" teriakku ke salah satu suster.Kemudian, suster datang bersama petugas, dan membawa Karin untuk ke UGD. Aku sengaja tidak ikut mengantarkan Karin ke UGD. Sebab, ingin tahu apakah Mas Irfan berani muncul di sana setelah aku tidak lagi mengikuti Karin.Aku kembali duduk, tapi rasa penasaran kian menjadi setelah beberapa menit Karin dibawa ke UGD, Dokter Wulan keluar dari ruangan. Sepertinya ia yang akan menindaklanjuti kondisi Karin. Praktek ditunda tindakan medis lebih dulu. Kami pun rela menunggu Dokter untuk praktek kembali.Aku pun turut mengikuti langkah Dokter Wulan beserta suster pendampingnya. Seketika langkahku terhenti ketika melihat Mas Irfan sudah berada di depan ruang UGD dengan memakai pakaian kantor yang tadi pagi kusiapkan. Ia tampak mondar-mandir di depan UGD seraya cemas.Aku pun segera menghampiri Mas Irfan dengan langkah perlahan.BersambungBab 7POV IrfanFlashback awal mula tergoda KarinKetika lelaki sering bertemu maka timbul perasaan lebih terhadap lawan jenisnya. Terlebih ia sering menemani ketika bekerja. Pastinya akan timbul benih-benih cinta. Entahlah, mata ini tak dapat menahan godaan sosok Karin yang begitu mempesona. Lekuk tubuhnya yang selalu ia tonjolkan ketika bersama di kantor, membuatku akhirnya jatuh di pelukannya."Maaf, Pak, kalau menurut saya, pernikahan yang telah dibangun selama 2 tahun, tapi belum memiliki keturunan, itu sudah bukti bahwa istri Pak Irfan mandul," hasut Karin ketika kami sedang makan siang bersama."Entahlah, kami sedang berusaha program ke dokter kandungan, sudah berjalan sebulan," jawabku.Tiba-tiba tangan wanita yang sudah bekerja hampir setengah tahun menggenggam tanganku."Percayalah, Pak. Anak adalah aset untuk Pak Irfan, anak adalah penerus perusahaan. Sama halnya Pak Angga, pemilik dari perusahaan in
Bab 8Aku coba melangkah. Namun, ketika hampir mendekati Mas Irfan. Tiba-tiba ada yang menarik pergelangan tanganku. Seorang lelaki bertubuh tinggi semampai, hidung mancung dan berkulit sawo matang."Lepas! Kamu siapa?" tanyaku sambil menepis genggamannya. Ia pun coba menutup mulutku dengan tangan seraya menyuruhku diam."Sttt, jangan keras-keras, saya orang suruhan Pak Angga." Aku menatapnya dengan mata menyipit."Papa mertuaku?" tanyaku keheranan. Ia pun mengangguk."Kita ke kantor," ajaknya."Sebentar, saya mau ngalihin Mas Irfan dulu," ucapku.Tiba-tiba kulihat wanita hamil yang tadi menunggu antrian keluar dari toilet."Mbak, tunggu sebentar," cegahku."Ya, Mbak." 
Bab 9Kami berdua masuk ke kamar dimana Karin harus bed rest. Rendi bertugas jaga di depan. Langkah kaki kami berdua beranjak beriringan, hingga tiba di hadapan bed nomor 3 di antara 5 pasien rumah sakit.Papa mertuaku melipat kedua tangannya di atas dada sambil tersenyum tipis pada mama mertuaku."Papa," celetuk Mama Gita terkejut. Matanya tak berkedip ketika papa berada di hadapannya. Kemudian, kulihat Mama berpindah posisi, yang tadinya sedang duduk sambil menyuapi Karin buah, kini ia bangkit dan meletakkan buahnya di atas meja."Ya, ini aku, kenapa? Kaget?" sindir Papa Angga sambil mengangkat kedua alisnya. Kemudian, Mama Gita menghampiri papa mertuaku, lalu meraih punggung tangannya untuk dikecup."Irfan, Papa datang kok nggak cium tangan? Cepat cium tangan Papa!" perintah Mama Gita pada anaknya. Kemudian,
Bab 10POV IrfanAku hanya bisa menghela napas, ketika papaku sendiri telah membekukan keuangan perusahaan untuk anaknya. Akhirnya aku terpaksa menghubungi Mama Gita untuk meminta bantuannya."Halo, Mah." Aku memulai buka pembicaraan."Ya, Irfan kamu di mana, kok bising gitu suaranya?" tanyanya balik."Aku di RS Citra Kencana, Mah. Karin hampir keguguran," celetukku pada mama melalui sambungan telepon."Loh kok bisa?" tanyanya balik."Ceritanya panjang. Mama bisa ke sini, nggak? Aku butuh bantuan Mama.""Iya, Mama segera ke situ, di ruang VVIP, kan?""Rencana kelas 3, Mah. Keuangan kantor dibekukan Papa. Aku minta tolong rayu Papa bisa nggak?" tanyaku lagi."Susah, F
Bab 11Herannya dengan Mas Irfan, sudah kepergok masih saja berkelit. Apalagi Mama Gita, ia justru mengumpat aku dengan sebutan wanita udik dan sebagainya. Sakit, itu sudah pasti, tapi aku berusaha menahan emosi. Sebab papa mertuaku sungguh amat membelaku.Mas Irfan cemburu dengan perlakuan papanya padaku. Ia menuduh papanya sendiri memiliki rasa yang lebih terhadapku. Padahal, aku tahu ia seperti itu karena dititipkan oleh kedua orang tuaku.Aku pun sudah memberikan bukti padanya, tapi apa yang kudapatkan? Ya, ia mengaku bahwa ada hubungan spesial dengan Karin. Namun, tidak mengakui telah menikah dan akan memiliki anak darinya.Akhirnya aku tunjukkan bukti akurat yang Desi kirim ketika aku dalam perjalanan ke rumah sakit."Lihat ini, ada video yang dapat membuktikan bahwa kalian telah menikah diam-diam," ucapku pada Mas Irfan. Kemudian, kuputar video pernikahan siri yang singkat itu. Ya, aku sengaja memberikan video ini set
Bab 12POV Pak Anggara"Anggi! Bangun! Tolong!" teriakku histeris ketika Anggi pingsan terkena tusukan. Darah segar yang keluar dari pinggangnya pun tak berhenti mengalir. Aku panik dan mencemaskan Anggi. Sebab, ia tertusuk karena hendak menghalangi preman tadi.Rendi terbangun dari pingsannya setelah dicelakai oleh orang yang tak kami kenal."Astaga! Mbak Anggi kenapa, Pak?" tanyanya ketika mulai bangkit. Rendi mulai melangkah ke arahku yang sedang memangku Anggi."Tertusuk, cepat bawa ke mobil, kita bawa ke rumah sakit." Kemudian, beberapa orang yang lewat pun turut membantu menolong kami. Jalan yang tadi sepi kini sudah mulai dilewati orang ketika aku teriak meminta bantuan."Tadi saya dengar suara teriakan minta tolong, makanya ke sini," ucap salah seorang yang menolong. Kami berempat m
Bab 13POV IrfanAku terkejut ketika mendengar penuturan Papa Angga melalui sambungan telepon. Anggi ditusuk oleh preman? Apa jangan-jangan ini ulah Karin? Aku harus menghubunginya sambil jalan ke rumah sakit."Mah, ayo ke rumah sakit, Anggi ditusuk," ajakku. Namun, mama tidak ingin ikut."Kamu saja, Mama nggak mau.""Mah, jangan bikin Papa tambah kesal, tambah ingin hapus daftar nama kita, untuk sekarang ini kita sedang terhimpit," ucapku padanya. Egonya mama pada papa bisa menghancurkan rencanaku untuk tetap mempertahankan pernikahanku dengan Anggi.Satu-satunya jalan untuk menjadi pewaris perusahaan adalah mempertahankan pernikahanku dengan Anggi. Sebab, Anggi lah orang yang paling disayangi papa, entahlah apa yang membuatnya seperti itu."Baiklah, meskipun kesal yan
Bab 14POV Irfan"Apa-apaan kamu Irfan nuduh Mama yang mencelakai Anggi, mana mungkin Mama celakai menantu sendiri," sanggahnya. Aku terdiam sejenak, masih belum percaya pada ucapan mama."Gimana ya, Mah. Bukankah Mama benci dengan Anggi? Siapa tahu dugaanku ini benar, maaf ya Mah, hanya menduga kok," cetusku."Loh, itu nuduh itu bukan dugaan. Nuduh tanpa bukti, padahal Mama sudah membela kamu di hadapan Papa. Sesakit ini dituduh yang tidak dilakukan," lirih mama tiba-tiba membuatku merasa bersalah."Bukan gitu, maaf ya, Mah. Aku heran saja kenapa Mama malam-malam gini nelepon aku?" tanyaku penasaran."Justru Mama hubungi kamu karena ingin menanyakan, kenapa tadi Karin nelponin Mama terus?" tanyanya. Penuturan Mama Gita membuatku jadi merasakan ada yang tidak beres dengan tingkahnya Karin.Kemudian, di saat aku sedang berbicara dengan mama melalui sambungan telepon, Rendi tiba-tiba muncul dari
Bab 72Tidak lama kemudian, berselang beberapa jam kemudian, Sherina dan Satrio datang. Mereka langsung bertemu dengan Anggi dan Irfan di kantor yang nyaris hancur.Sherina mengejutkan sesuatu, ia memberikan informasi yang membuat Satrio terbelalak."Pak, saya tahu pelaku pembakaran kantor Irgi Pratama," jelas Sherina.Anggi dan Irfan tertegun, ia nyaris tak berkedip menatap wajah wanita yang sempat dituduh sebagai penerornya. Kaki Anggi melangkah ke arah Sherina, meskipun berat Sherina hanya menghela napas di hadapan Anggi."Saya tahu, pasti kamu mau menuduh saya lagi, iya kan?" sindir Sherina. Sebelum ditanya ia sudah menebak apa yang akan Anggi lakukan.Kemudian, Irfan menggandeng erat tangan istrinya. Ia tidak ingin Anggi melakukan kesalahan yang kedua kalinya.&nbs
Bab 71Angga langsung menghubungi Rendi. Namun, ia ragu-ragu sebab orang kepercayaannya itu sedang berada di rumah sakit menemani Arya.Tangan Angga dihentak-hentakkan, seraya kebingungan harus menghubungi siapa untuk menugaskan ke Jogja. Sebab, ia sudah amat kelelahan mengurusi urusan di sini.Angga menghela napas panjang. Sedangkan Anggi dan Irfan saling beradu pandangan, mereka berdua tiba-tiba mengangguk."Pah, kami berdua yang ke Jogja, besok pagi berangkat," ucap Irfan membuat mata Angga seketika berair."Apa kalian tidak lelah? Aku khawatir dengan kesehatan kalian," tutur Angga belum mengizinkan mereka berdua."Pah, kami berdua masih muda, sedangkan Papa usianya sudah tidak memungkinkan lagi untuk kecapean, jadi biarkan saja ya, kami belajar mengurus hal yang ekstrim seperti ini," rayu Anggi.Kemudian, Gita merangkul pundak lelaki yang sangat setia padanya, dilingkarkan tangan di leher Angga.
Bab 70"Baiklah, kami bebaskan Sherina dan Satrio berdasarkan bukti yang Bapak berikan, tentunya kami juga akan segera mencari keberadaan saudara Dodi," ucap komandan membuat seketika suasana mencair. Semuanya mengelus dadanya masing-masing seraya lega dengan keputusan yang diambil oleh komandan.Kemudian, komandan memerintahkan petugas untuk membebaskan Sherina dan Satrio tanpa syarat apapun. Mereka berdua dibebaskan karena terbukti tidak bersalah.Semuanya bangkit menyambut kedatangan Sherina dan Satrio. Kemudian, seketika itu juga Alex menyergap tubuh Satrio."Pah," sapa Satrio pada Alex. Meskipun ayah sambung, tapi Alex memperlakukan Satrio seperti anak kandungnya. Mereka berdua melepaskan rasa haru, air matanya pun tak terasa meleleh membasahi pipinya."Kamu sudah bebas, janji Papa sudah ditepati," timpal Alex kepada anaknya.Seisi ruangan berjabat tangan, namun senyum Sherina terlihat sangat terpaksa
Bab 69Setelah dibuka rekaman yang tersimpan. Terdengar suara di antara mereka yang berada di satu meja restoran berdebat."Kenapa kamu lakukan ini sampai terlalu jauh? Bukankah Pak Irgi telah memberikan pesangon cukup besar?" tanya istrinya Dodi. "Kamu tega melihat anak istrimu kini luntang-lantung tidak jelas?" tambahnya lagi dengan nada menekan."Sudahlah, tahu apa kamu urusan lelaki? Sekarang habiskan makanan, kita akan terbang ke Jawa Timur!" Dodi terdengar tambah marah.Kemudian, hening seketika. Setelah itu Dodi terdengar menghubungi seseorang."Candra, tolong kamu habiskan laki-laki yang bernama Arya, dia telah terlalu jauh ikut campur," suruh Dodi melalui sambungan telepon."Gila kamu, Mas! Sudah bersalah malah nyelakain orang! Bukankah janji kamu hanya menakut-nakuti keluarga Pratama? Kenapa sejauh ini?" sentak istrinya."Kamu mau ikut pergi atau di sini?" Pertanyaan terakhir y
Bab 68"Ada apa dengan Arya, Ren?" tanya Anggara. Posisinya yang tadi duduk setelah menyuruh Anggi dan Irfan masuk kini berdiri."Pah, tenang ya, duduk bicaranya biar tenang," pesan Irfan sambil mengelus-elus punggung mertuanya."Arya kecelakaan, Pak," terang Rendi memberikan informasi yang membuat keluarga Pratama kehilangan harapan."Astaga, lalu bagaimana kondisinya?" tanya Angga terkejut sekaligus panik. Lalu mulutnya komat-kamit memberikan informasi pada anak mantu dan sahabatnya yang berada di sebelah Angga."Kondisinya belum sadarkan diri, Pak. Sekarang ada di Rumah Sakit Sentosa," ucapnya membuat Angga tanpa pikir panjang mematikan sambungan teleponnya. Ia menghela napas berat seraya tidak mempercayai takdir."Yuk kita ke Rumah Sakit Sentosa!" ajaknya sambil meraih tas kecil yang ia bawa.Mereka berempat bersiap ke rumah sakit. Kali ini sepasang suami istri itu yang menenangkan p
Bab 67"Saya minta maaf atas tuduhan yang kemarin," ucap Anggi dengan kerendahan hati."Tidak salah dengar? Anggi yang bersikeras menahanku kini minta maaf?" sindir telak Sherina. Sepertinya ada dendam kesumat di dalam hati Sherina.Kemudian, Irfan membuka percakapan dengan memotong pembicaraan Sherina. Ini supaya tidak berlarut-larut dalam dendam."Ya, ini kesalahpahaman, mohon dimaklumi, Sherina. Maaf kami benar-benar baru mengetahui yang sebenarnya," tutur Irfan coba membela istrinya.Hening, seketika suasana hening, Satrio pun menatap lekat ke arah Anggi."Saya tahu, kamu seperti itu karena tuduhan anak buah peneror itu, saya paham betul," timpal Satrio."Saya janji akan membersihkan nama baik kalian nantinya," ucap Anggi.Sedangkan Sherina masih duduk terpaku bersandar dengan santai. Ia merasa menang atas ucapan maaf yang telah dilontarkan Anggi dan Irfan."Saya
Bab 66"Iya, Sayang. Ini Papa ada di kediaman rumah Alex Subroto," ucap Angga membuat Anggi mencelos. Ia sendirian, tidak ada Irfan yang berusaha menenangkan."Pah, jadi aku benar salah tahan orang? Atau bagaimana?" tanya Anggi masih ragu."Ya, ini Bu Lastri telah menceritakan pada kami, sepulang dari Bali ia bolak-balik dari rumah ke perusahaan Alex kadang perusahaan Subroto, Satrio sangat diandalkan kedua perusahaan itu jadi tidak mungkin sempat memikirkan tindakan kriminal, lagi pula, ada urusan apa Satrio dan kita, Nak," ujar Angga semakin membuat Anggi merasa bersalah.Anggi yang sudah tidak tahu lagi harus bicara apa, ia hanya menyesali perbuatannya."Pah, tolong cari peneror yang sebenarnya, aku mohon maaf pada semua," tutur Anggi lalu mematikan sambungan teleponnya.An
Bab 65"Disuruh nyelidikin yang datang mengunjungi Karto? Apa ada yang mengunjunginya?" tanya Irfan penasaran."Iya, Pak. Ini saya sedang mencari keberadaannya, saya cari dari plat nomor kendaraan dulu," jawab Arya."Ya sudah, kalau begitu, nanti saya hubungi lagi ya," ucap Irfan. Kemudian telepon pun ia putus.Dalam hening, Irfan berpikir, kalau ada yang menjenguk Karto, itu artinya Sherina dan Satrio bukanlah orang yang menjadi dalang teror keluarga Pratama. Artinya ia salah tuduh, dan merugikan dua orang.Irfan coba membicarakan hal ini pada istrinya, Anggi."Sayang, kamu tahu nggak barusan Arya bilang apa?" tanya Irfan.Anggi pun menggelengkan kepalanya."Apa itu?" tanya Anggi singkat."Kata
Bab 64"Pah, Papa keluarkan aku dari sini!" ungkap Satrio membuat wajah Sherina yang tadinya marah kini berubah kebingungan."Papa ke sini untuk bicarakan sesuatu pada kalian," jawab Alex."Papa? Ini apa-apaan, Pak? Jadi Satrio ini anak Pak Alex?" tanya Sherina disertai tawa kebingungan."Tenang dulu, Sherina, kamu duduk," suruh Alex.Kemudian, ketika Sherina sudah tenang, Alex mulai bicara padanya. Angga pun turut menyimak Alex bicara. Semua menyoroti Alex."Pertama, saya akan ungkap kenapa Satrio panggil saya Papa. Dia anak tiri saya, jujur saja memang sengaja merahasiakan ini dari perusahaan. Tapi sebagian ada yang sudah tahu," tutur Alex membuat Sherina menghela napas.Sherina duduk dengan posisi tangan menyanggah dagunya."Lalu kenapa Pak Alex rela anaknya di penjara?" tanya Sherina."Saya anggap ini adalah karma untuk saya, dulu saya juga bertindak tanpa mencari