Bab 8
Aku coba melangkah. Namun, ketika hampir mendekati Mas Irfan. Tiba-tiba ada yang menarik pergelangan tanganku. Seorang lelaki bertubuh tinggi semampai, hidung mancung dan berkulit sawo matang.
"Lepas! Kamu siapa?" tanyaku sambil menepis genggamannya. Ia pun coba menutup mulutku dengan tangan seraya menyuruhku diam.
"Sttt, jangan keras-keras, saya orang suruhan Pak Angga." Aku menatapnya dengan mata menyipit.
"Papa mertuaku?" tanyaku keheranan. Ia pun mengangguk.
"Kita ke kantor," ajaknya.
"Sebentar, saya mau ngalihin Mas Irfan dulu," ucapku.
Tiba-tiba kulihat wanita hamil yang tadi menunggu antrian keluar dari toilet.
"Mbak, tunggu sebentar," cegahku.
"Ya, Mbak."
"Nanti kalau ada lelaki yang menanyakan Anggi, itu saya, bilang saja, Mbak dengar dari suster bahwa saya cancel jadwal dengan Dokter Wulan," suruhku.
"Oh gitu ya, Mbak. Ya sudah nanti saya bilang seperti itu," jawabnya membuatku lega.
Setelah itu, aku dan lelaki suruhan Papa Angga bergegas ke parkiran. Entahlah, papa mertuaku kenapa menyuruh orang untuk menjemputku.
Aku menaiki mobil Avanza Veloz milik detektif itu. Sepertinya orang ini seorang detektif, wajahnya agak sedikit datar, ia jarang bicara.
"Mas, Anda detektif mertua saya?" tanyaku ketika masih di perjalanan.
"Bukan, Mbak. Saya hanya orang kepercayaannya Pak Angga di luar kota. Baru semalam diminta ikut dengannya ke Jakarta," jawabnya santai.
Aku pun mengangguk seraya paham dengan ucapannya.
Kemudian, setibanya di kantor. Mertuaku sudah menungguku di kantor bagian keuangan.
"Bu Anggi sudah ditunggu Pak Angga di ruangan Mbak Desi," ucap satpam yang berjaga di depan.
"Terima kasih, Pak," jawabku sopan. Kemudian melangkahkan kaki ini menuju ruangan bagian keuangan.
Aku masuk dengan mengetuk pintu, lalu dipersilakan masuk, dan ternyata kulihat papa mertuaku sedang berada di depan komputer.
"Pah, kenapa pulang ngga ngomong-ngomong?" tanyaku sambil meraih punggung tangannya.
"Sengaja, semalam saat Papa hubungi kamu itu sudah di jalan dengan Rendi, yang barusan jemput kamu di RS," ungkap papa mertuaku. Aku pun mengangguk seraya paham dengan ucapannya. Namun, yang aku heran, kenapa ia tahu aku ada di rumah sakit?
"Kok tahu aku ada di RS, Pah?" tanyaku lagi.
"Ya, tahu dari Rendi juga. Jadi dia sudah mengikutimu sejak berangkat tadi pagi," terang papa lagi. Aku tersenyum tipis, sedikit mengerutkan kening. Sungguh papa mertuaku luar biasa, ia mertua rasa orang tua.
"Lalu maksudnya gimana, Pah?" tanyaku lagi.
Kemudian, kulihat wajah Desi pun menunduk ketika mertuaku menyorotnya.
"Des, ada apa ini?" tanyaku heran.
"Jadi, Desi yang melaporkan perselingkuhan Irfan dengan Karin, sebab laporan keuangan pun amburadul karena banyak saldo yang masuk ke rekening Irfan pribadi, entahlah uangnya pasti untuk Karin, ya kan Anggi?" tanya papa mertuaku.
Aku bergeming, sambil menatap wajah mertuaku yang tidak mirip dengan Mas Irfan. Ternyata aku tak perlu menunjukkan bukti apapun ke papa mertuaku untuk membuatnya percaya. Ia pun sudah lebih dulu mengetahuinya.
"Pah, aku baru mengetahuinya setelah membaca pesan penarikan tunai, ATM Mas Irfan dipegang oleh Karin kemarin. Dan anehnya Mama tahu, Pah," jelasku meskipun dengan sungkan.
Papa menghela napas panjang, kemudian ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.
"Sudah kuduga, Gita pasti tahu, Papa curiga Mama Gita belakangan ini sibuk merajut kaos kaki bayi, ia kan pandai membuat kaos kaki dari benang wol." Papa menggelengkan kepalanya seraya tak percaya.
"Sebenarnya aku ingin marah, tapi ...." Aku menunda ucapan.
"Kamu tadi di rumah sakit ingin memergoki mereka?" tanya papa.
"Iya, tapi Mas Irfan tidak ada. Sampai akhirnya aku dan Karin saling umpat," sambungku lagi.
"Ya, tadi Rendi menghubungi papa, bagaimana keadaan Karin?"
"Tadi pendarahan, Pah, di rumah sakit, entahlah keguguran atau tidak," timpalku.
"Iya, Papa tahu, makanya Rendi langsung menarik tanganmu, khawatir tambah runyam jika bertemu dengan Irfan saat itu. Setelah kamu pergi, Irfan juga minta ditransfer sejumlah uang, tapi Papa sedang membekukan keuangan kantor. Ini sengaja, agar ia tak dapat menggunakan uang seenaknya. Tenang saja, Sayang, Papa akan berusaha untuk memisahkan mereka, kamu berhak bahagia," ungkapnya membuatku terkejut. Sayang katanya? Ia menyebutku dengan panggilan seperti itu? Rasanya membuatku rindu dengan kedua orang tuaku di kampung.
"Jadi Mas Irfan sudah menghubungi Desi?" Papa pun mengangguk ketika aku bertanya. "Apa kita langsung ke rumah sakit, Pah?" usulku.
Uang tabungan sudah ada di tanganku, makanya ia menghubungi kantor. Lalu bagaimana keadaan Karin dan bayinya?
"Iya, sepertinya kita harus ke sana, Papa ingin memergokinya sekarang juga. Pasti Mama Gita pun ada di rumah sakit," jawab papa mertuaku setuju.
Akhirnya ia setuju untuk kembali ke rumah sakit. Ya, sandiwara ini harus segera diakhiri, mereka harus tahu bahwa kami bukanlah orang bodoh yang mudah dibohongi.
"Rendi di mana?" tanya papa padaku.
"Masih di depan, Pah."
"Baiklah, kita ke sana dengan mobil Rendi saja, ini supaya Irfan tidak lari ketika melihat kedatangan kita," usul papa. Aku pun mengangguk setuju. Kemudian, papa menghubungi Rendi untuk bersiap dan menunggu di lobi.
Kami menuju ke rumah sakit untuk menyelesaikan masalah keluarga. Ada rasa bahagia juga sedih. Aku bahagia memiliki mertua yang care dan lebih mengutamakan perasaan menantu ketimbang anaknya. Sedihnya, sebentar lagi aku akan mendengar Mas Irfan terpaksa mengakui segala yang telah ia lakukan.
Setibanya di rumah sakit. Rendi langsung ke bagian informasi untuk mencari tahu pasien Karin Alika.
"Gimana, Ren?" tanya papa.
"Ada di kamar 413 lantai 3 kelas 3, Pak. Pasien Karin Alika dirawat inap untuk bed rest," jawabnya. Ternyata hanya bed rest tidak keguguran. Syukurlah, aku jadi tidak disalahkan olehnya lagi.
"Baiklah, kita segera ke ruangannya," ajak papa sambil melangkah. Ia tampak antusias untuk memergoki mereka bertiga. Ya, Mama Gita, Mas Irfan, dan Karin.
Aku pun mempersiapkan diri untuk menemui mereka bertiga. Semoga tidak ada lagi yang menghindar. Mereka harus tahu bahwa seorang Anggara Pratama sangat mendukung dan menyayangiku.
Setibanya di kamar 413. Aku dan Papa menunggu di luar, yang lebih dulu masuk adalah Rendi, orang kepercayaan mertuaku. Ia masuk untuk memastikan bahwa mereka ada di kamar yang kami kunjungi.
Selang beberapa detik, Rendi pun kembali ke luar.
"Ada, Pak. Ibu juga ada di dalam," ucapnya sambil membuka masker yang ia kenakan.
Bersambung
Bab 9Kami berdua masuk ke kamar dimana Karin harus bed rest. Rendi bertugas jaga di depan. Langkah kaki kami berdua beranjak beriringan, hingga tiba di hadapan bed nomor 3 di antara 5 pasien rumah sakit.Papa mertuaku melipat kedua tangannya di atas dada sambil tersenyum tipis pada mama mertuaku."Papa," celetuk Mama Gita terkejut. Matanya tak berkedip ketika papa berada di hadapannya. Kemudian, kulihat Mama berpindah posisi, yang tadinya sedang duduk sambil menyuapi Karin buah, kini ia bangkit dan meletakkan buahnya di atas meja."Ya, ini aku, kenapa? Kaget?" sindir Papa Angga sambil mengangkat kedua alisnya. Kemudian, Mama Gita menghampiri papa mertuaku, lalu meraih punggung tangannya untuk dikecup."Irfan, Papa datang kok nggak cium tangan? Cepat cium tangan Papa!" perintah Mama Gita pada anaknya. Kemudian,
Bab 10POV IrfanAku hanya bisa menghela napas, ketika papaku sendiri telah membekukan keuangan perusahaan untuk anaknya. Akhirnya aku terpaksa menghubungi Mama Gita untuk meminta bantuannya."Halo, Mah." Aku memulai buka pembicaraan."Ya, Irfan kamu di mana, kok bising gitu suaranya?" tanyanya balik."Aku di RS Citra Kencana, Mah. Karin hampir keguguran," celetukku pada mama melalui sambungan telepon."Loh kok bisa?" tanyanya balik."Ceritanya panjang. Mama bisa ke sini, nggak? Aku butuh bantuan Mama.""Iya, Mama segera ke situ, di ruang VVIP, kan?""Rencana kelas 3, Mah. Keuangan kantor dibekukan Papa. Aku minta tolong rayu Papa bisa nggak?" tanyaku lagi."Susah, F
Bab 11Herannya dengan Mas Irfan, sudah kepergok masih saja berkelit. Apalagi Mama Gita, ia justru mengumpat aku dengan sebutan wanita udik dan sebagainya. Sakit, itu sudah pasti, tapi aku berusaha menahan emosi. Sebab papa mertuaku sungguh amat membelaku.Mas Irfan cemburu dengan perlakuan papanya padaku. Ia menuduh papanya sendiri memiliki rasa yang lebih terhadapku. Padahal, aku tahu ia seperti itu karena dititipkan oleh kedua orang tuaku.Aku pun sudah memberikan bukti padanya, tapi apa yang kudapatkan? Ya, ia mengaku bahwa ada hubungan spesial dengan Karin. Namun, tidak mengakui telah menikah dan akan memiliki anak darinya.Akhirnya aku tunjukkan bukti akurat yang Desi kirim ketika aku dalam perjalanan ke rumah sakit."Lihat ini, ada video yang dapat membuktikan bahwa kalian telah menikah diam-diam," ucapku pada Mas Irfan. Kemudian, kuputar video pernikahan siri yang singkat itu. Ya, aku sengaja memberikan video ini set
Bab 12POV Pak Anggara"Anggi! Bangun! Tolong!" teriakku histeris ketika Anggi pingsan terkena tusukan. Darah segar yang keluar dari pinggangnya pun tak berhenti mengalir. Aku panik dan mencemaskan Anggi. Sebab, ia tertusuk karena hendak menghalangi preman tadi.Rendi terbangun dari pingsannya setelah dicelakai oleh orang yang tak kami kenal."Astaga! Mbak Anggi kenapa, Pak?" tanyanya ketika mulai bangkit. Rendi mulai melangkah ke arahku yang sedang memangku Anggi."Tertusuk, cepat bawa ke mobil, kita bawa ke rumah sakit." Kemudian, beberapa orang yang lewat pun turut membantu menolong kami. Jalan yang tadi sepi kini sudah mulai dilewati orang ketika aku teriak meminta bantuan."Tadi saya dengar suara teriakan minta tolong, makanya ke sini," ucap salah seorang yang menolong. Kami berempat m
Bab 13POV IrfanAku terkejut ketika mendengar penuturan Papa Angga melalui sambungan telepon. Anggi ditusuk oleh preman? Apa jangan-jangan ini ulah Karin? Aku harus menghubunginya sambil jalan ke rumah sakit."Mah, ayo ke rumah sakit, Anggi ditusuk," ajakku. Namun, mama tidak ingin ikut."Kamu saja, Mama nggak mau.""Mah, jangan bikin Papa tambah kesal, tambah ingin hapus daftar nama kita, untuk sekarang ini kita sedang terhimpit," ucapku padanya. Egonya mama pada papa bisa menghancurkan rencanaku untuk tetap mempertahankan pernikahanku dengan Anggi.Satu-satunya jalan untuk menjadi pewaris perusahaan adalah mempertahankan pernikahanku dengan Anggi. Sebab, Anggi lah orang yang paling disayangi papa, entahlah apa yang membuatnya seperti itu."Baiklah, meskipun kesal yan
Bab 14POV Irfan"Apa-apaan kamu Irfan nuduh Mama yang mencelakai Anggi, mana mungkin Mama celakai menantu sendiri," sanggahnya. Aku terdiam sejenak, masih belum percaya pada ucapan mama."Gimana ya, Mah. Bukankah Mama benci dengan Anggi? Siapa tahu dugaanku ini benar, maaf ya Mah, hanya menduga kok," cetusku."Loh, itu nuduh itu bukan dugaan. Nuduh tanpa bukti, padahal Mama sudah membela kamu di hadapan Papa. Sesakit ini dituduh yang tidak dilakukan," lirih mama tiba-tiba membuatku merasa bersalah."Bukan gitu, maaf ya, Mah. Aku heran saja kenapa Mama malam-malam gini nelepon aku?" tanyaku penasaran."Justru Mama hubungi kamu karena ingin menanyakan, kenapa tadi Karin nelponin Mama terus?" tanyanya. Penuturan Mama Gita membuatku jadi merasakan ada yang tidak beres dengan tingkahnya Karin.Kemudian, di saat aku sedang berbicara dengan mama melalui sambungan telepon, Rendi tiba-tiba muncul dari
Bab 15POV Irfan"Maksud kalian apa?" tanyaku ketika baru saja tiba di hadapan mereka. Mata ketiganya tak kalah membulat sama sepertiku. Pasti ada rahasia yang mereka sembunyikan makanya terkejut ketika tahu bahwa aku ada di sini."Irfan, kamu di sini?" tanya papa. Kemudian kedua mertuaku bangkit dari duduknya."Iya, aku mendengar obrolan kalian barusan," jawabku.Kemudian papa menghampiriku dan menyuruh duduk di dekatnya."Bagaimana kondisi Anggi?" tanyanya yang amat mengkhawatirkan menantunya. Meskipun menurutku ini adalah wajar karena papa merasa utang budi atas pengorbanan yang Anggi lakukan. Namun, aneh saja jika ia selalu membela semua yang dilakukan Anggi."Anggi sudah sadar, semalam juga telah cerita padaku, ia curiga penusukan ini dilakukan musuh Papa, ap
Bab 16POV Karin"Bagaimana kondisimu?" tanya Pak Alex Subroto, saingan bisnis Pak Angga."Sudah lebih baik, bagaimana keadaan Anggi? Apakah ia selamat?" tanyaku dengan alis terangkat. Kemudian, Pak Alex mengeluarkan sebuah amplop coklat yang berisikan uang bagianku. Bukan waktu singkat membuat keluarga Pratama hancur, membutuhkan waktu yang sangat panjang, hingga aku harus rela mengorbankan tubuh ini untuk Mas Irfan."Dia selamat, itu juga saya baru tahu dari orang suruhan saya yang datang ke rumah sakit, entahlah saya menginginkan Angga yang terluka, tapi malah menantunya," jawab Pak Alex."Polisi pasti mencari tahu tentang ini, dan rencana kita untuk mengelabuhi mereka sepertinya berhasil, mereka pasti anggap yang menjadi incaran adalah Anggi, padahal Pak Angga.""Tapi tetap saja saya menyesal yang terkena tusukan Anggi, bukan Angga. Sebab musuh saya Angga," jelas Pak Alex."Sudahlah, ini uang un
Bab 72Tidak lama kemudian, berselang beberapa jam kemudian, Sherina dan Satrio datang. Mereka langsung bertemu dengan Anggi dan Irfan di kantor yang nyaris hancur.Sherina mengejutkan sesuatu, ia memberikan informasi yang membuat Satrio terbelalak."Pak, saya tahu pelaku pembakaran kantor Irgi Pratama," jelas Sherina.Anggi dan Irfan tertegun, ia nyaris tak berkedip menatap wajah wanita yang sempat dituduh sebagai penerornya. Kaki Anggi melangkah ke arah Sherina, meskipun berat Sherina hanya menghela napas di hadapan Anggi."Saya tahu, pasti kamu mau menuduh saya lagi, iya kan?" sindir Sherina. Sebelum ditanya ia sudah menebak apa yang akan Anggi lakukan.Kemudian, Irfan menggandeng erat tangan istrinya. Ia tidak ingin Anggi melakukan kesalahan yang kedua kalinya.&nbs
Bab 71Angga langsung menghubungi Rendi. Namun, ia ragu-ragu sebab orang kepercayaannya itu sedang berada di rumah sakit menemani Arya.Tangan Angga dihentak-hentakkan, seraya kebingungan harus menghubungi siapa untuk menugaskan ke Jogja. Sebab, ia sudah amat kelelahan mengurusi urusan di sini.Angga menghela napas panjang. Sedangkan Anggi dan Irfan saling beradu pandangan, mereka berdua tiba-tiba mengangguk."Pah, kami berdua yang ke Jogja, besok pagi berangkat," ucap Irfan membuat mata Angga seketika berair."Apa kalian tidak lelah? Aku khawatir dengan kesehatan kalian," tutur Angga belum mengizinkan mereka berdua."Pah, kami berdua masih muda, sedangkan Papa usianya sudah tidak memungkinkan lagi untuk kecapean, jadi biarkan saja ya, kami belajar mengurus hal yang ekstrim seperti ini," rayu Anggi.Kemudian, Gita merangkul pundak lelaki yang sangat setia padanya, dilingkarkan tangan di leher Angga.
Bab 70"Baiklah, kami bebaskan Sherina dan Satrio berdasarkan bukti yang Bapak berikan, tentunya kami juga akan segera mencari keberadaan saudara Dodi," ucap komandan membuat seketika suasana mencair. Semuanya mengelus dadanya masing-masing seraya lega dengan keputusan yang diambil oleh komandan.Kemudian, komandan memerintahkan petugas untuk membebaskan Sherina dan Satrio tanpa syarat apapun. Mereka berdua dibebaskan karena terbukti tidak bersalah.Semuanya bangkit menyambut kedatangan Sherina dan Satrio. Kemudian, seketika itu juga Alex menyergap tubuh Satrio."Pah," sapa Satrio pada Alex. Meskipun ayah sambung, tapi Alex memperlakukan Satrio seperti anak kandungnya. Mereka berdua melepaskan rasa haru, air matanya pun tak terasa meleleh membasahi pipinya."Kamu sudah bebas, janji Papa sudah ditepati," timpal Alex kepada anaknya.Seisi ruangan berjabat tangan, namun senyum Sherina terlihat sangat terpaksa
Bab 69Setelah dibuka rekaman yang tersimpan. Terdengar suara di antara mereka yang berada di satu meja restoran berdebat."Kenapa kamu lakukan ini sampai terlalu jauh? Bukankah Pak Irgi telah memberikan pesangon cukup besar?" tanya istrinya Dodi. "Kamu tega melihat anak istrimu kini luntang-lantung tidak jelas?" tambahnya lagi dengan nada menekan."Sudahlah, tahu apa kamu urusan lelaki? Sekarang habiskan makanan, kita akan terbang ke Jawa Timur!" Dodi terdengar tambah marah.Kemudian, hening seketika. Setelah itu Dodi terdengar menghubungi seseorang."Candra, tolong kamu habiskan laki-laki yang bernama Arya, dia telah terlalu jauh ikut campur," suruh Dodi melalui sambungan telepon."Gila kamu, Mas! Sudah bersalah malah nyelakain orang! Bukankah janji kamu hanya menakut-nakuti keluarga Pratama? Kenapa sejauh ini?" sentak istrinya."Kamu mau ikut pergi atau di sini?" Pertanyaan terakhir y
Bab 68"Ada apa dengan Arya, Ren?" tanya Anggara. Posisinya yang tadi duduk setelah menyuruh Anggi dan Irfan masuk kini berdiri."Pah, tenang ya, duduk bicaranya biar tenang," pesan Irfan sambil mengelus-elus punggung mertuanya."Arya kecelakaan, Pak," terang Rendi memberikan informasi yang membuat keluarga Pratama kehilangan harapan."Astaga, lalu bagaimana kondisinya?" tanya Angga terkejut sekaligus panik. Lalu mulutnya komat-kamit memberikan informasi pada anak mantu dan sahabatnya yang berada di sebelah Angga."Kondisinya belum sadarkan diri, Pak. Sekarang ada di Rumah Sakit Sentosa," ucapnya membuat Angga tanpa pikir panjang mematikan sambungan teleponnya. Ia menghela napas berat seraya tidak mempercayai takdir."Yuk kita ke Rumah Sakit Sentosa!" ajaknya sambil meraih tas kecil yang ia bawa.Mereka berempat bersiap ke rumah sakit. Kali ini sepasang suami istri itu yang menenangkan p
Bab 67"Saya minta maaf atas tuduhan yang kemarin," ucap Anggi dengan kerendahan hati."Tidak salah dengar? Anggi yang bersikeras menahanku kini minta maaf?" sindir telak Sherina. Sepertinya ada dendam kesumat di dalam hati Sherina.Kemudian, Irfan membuka percakapan dengan memotong pembicaraan Sherina. Ini supaya tidak berlarut-larut dalam dendam."Ya, ini kesalahpahaman, mohon dimaklumi, Sherina. Maaf kami benar-benar baru mengetahui yang sebenarnya," tutur Irfan coba membela istrinya.Hening, seketika suasana hening, Satrio pun menatap lekat ke arah Anggi."Saya tahu, kamu seperti itu karena tuduhan anak buah peneror itu, saya paham betul," timpal Satrio."Saya janji akan membersihkan nama baik kalian nantinya," ucap Anggi.Sedangkan Sherina masih duduk terpaku bersandar dengan santai. Ia merasa menang atas ucapan maaf yang telah dilontarkan Anggi dan Irfan."Saya
Bab 66"Iya, Sayang. Ini Papa ada di kediaman rumah Alex Subroto," ucap Angga membuat Anggi mencelos. Ia sendirian, tidak ada Irfan yang berusaha menenangkan."Pah, jadi aku benar salah tahan orang? Atau bagaimana?" tanya Anggi masih ragu."Ya, ini Bu Lastri telah menceritakan pada kami, sepulang dari Bali ia bolak-balik dari rumah ke perusahaan Alex kadang perusahaan Subroto, Satrio sangat diandalkan kedua perusahaan itu jadi tidak mungkin sempat memikirkan tindakan kriminal, lagi pula, ada urusan apa Satrio dan kita, Nak," ujar Angga semakin membuat Anggi merasa bersalah.Anggi yang sudah tidak tahu lagi harus bicara apa, ia hanya menyesali perbuatannya."Pah, tolong cari peneror yang sebenarnya, aku mohon maaf pada semua," tutur Anggi lalu mematikan sambungan teleponnya.An
Bab 65"Disuruh nyelidikin yang datang mengunjungi Karto? Apa ada yang mengunjunginya?" tanya Irfan penasaran."Iya, Pak. Ini saya sedang mencari keberadaannya, saya cari dari plat nomor kendaraan dulu," jawab Arya."Ya sudah, kalau begitu, nanti saya hubungi lagi ya," ucap Irfan. Kemudian telepon pun ia putus.Dalam hening, Irfan berpikir, kalau ada yang menjenguk Karto, itu artinya Sherina dan Satrio bukanlah orang yang menjadi dalang teror keluarga Pratama. Artinya ia salah tuduh, dan merugikan dua orang.Irfan coba membicarakan hal ini pada istrinya, Anggi."Sayang, kamu tahu nggak barusan Arya bilang apa?" tanya Irfan.Anggi pun menggelengkan kepalanya."Apa itu?" tanya Anggi singkat."Kata
Bab 64"Pah, Papa keluarkan aku dari sini!" ungkap Satrio membuat wajah Sherina yang tadinya marah kini berubah kebingungan."Papa ke sini untuk bicarakan sesuatu pada kalian," jawab Alex."Papa? Ini apa-apaan, Pak? Jadi Satrio ini anak Pak Alex?" tanya Sherina disertai tawa kebingungan."Tenang dulu, Sherina, kamu duduk," suruh Alex.Kemudian, ketika Sherina sudah tenang, Alex mulai bicara padanya. Angga pun turut menyimak Alex bicara. Semua menyoroti Alex."Pertama, saya akan ungkap kenapa Satrio panggil saya Papa. Dia anak tiri saya, jujur saja memang sengaja merahasiakan ini dari perusahaan. Tapi sebagian ada yang sudah tahu," tutur Alex membuat Sherina menghela napas.Sherina duduk dengan posisi tangan menyanggah dagunya."Lalu kenapa Pak Alex rela anaknya di penjara?" tanya Sherina."Saya anggap ini adalah karma untuk saya, dulu saya juga bertindak tanpa mencari