Bab 7
POV Irfan
Flashback awal mula tergoda Karin
Ketika lelaki sering bertemu maka timbul perasaan lebih terhadap lawan jenisnya. Terlebih ia sering menemani ketika bekerja. Pastinya akan timbul benih-benih cinta. Entahlah, mata ini tak dapat menahan godaan sosok Karin yang begitu mempesona. Lekuk tubuhnya yang selalu ia tonjolkan ketika bersama di kantor, membuatku akhirnya jatuh di pelukannya.
"Maaf, Pak, kalau menurut saya, pernikahan yang telah dibangun selama 2 tahun, tapi belum memiliki keturunan, itu sudah bukti bahwa istri Pak Irfan mandul," hasut Karin ketika kami sedang makan siang bersama."Entahlah, kami sedang berusaha program ke dokter kandungan, sudah berjalan sebulan," jawabku.Tiba-tiba tangan wanita yang sudah bekerja hampir setengah tahun menggenggam tanganku."Percayalah, Pak. Anak adalah aset untuk Pak Irfan, anak adalah penerus perusahaan. Sama halnya Pak Angga, pemilik dari perusahaan ini, ia berharap banyak pada Pak Irfan," rayu Karin sambil menatapku penuh perhatian. Jantungku pun mulai berdetak kencang, ketika bangkit lalu duduk di sampingku."Tapi, pernikahanku dengan Anggi atas keinginan Papa, mana bisa aku berpaling darinya," jawabku."Nggak perlu, berpaling, aku siap jadi istri simpananmu, yang terpenting, aku bisa memberikan kamu keturunan. Percayalah, Pak Angga pasti menginginkan cucu," rayunya lagi sambil menyandar di bahuku. Aku melihat sekeliling, khawatir ada yang kenal dan melaporkan hal ini pada papa."Karin, ini umum, tolong jaga sikap, aku khawatir ada yang melihat kebersamaan kita," pintaku sambil berusaha melepaskan sandarannya.Aku tidak tahu, apa yang harus kulakukan. Namun, entah kenapa jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya hari ini ketika berada di dekat Karin. Apakah aku mulai jatuh cinta?"Kalau Pak Irfan malu di sini, kita bisa ke apartemen saya, Pak," usul Karin. Kemudian, ia menatapku dengan senyum mengembang. Lalu ia mengangkat kedua alisnya. "Gimana? Setuju? Tenang, kita ngobrol saja di apartemen, mencurahkan isi hati." Akhirnya aku mengangguk tak dapat mengelak ajakannya, sebab ia sudah bangkit dari duduk dan menarik telapak tanganku.Kami meluncur ke arah apartemen Karin, ia sangat antusias sekali mengajakku sekadar ngobrol."Aku hanya ingin jadi teman ngobrol Pak Irfan saja, tenang Pak, jangan tegang," goda Karin ketika aku melajukan mobil. Aku tersenyum mengangkat setengah bibirku.Setibanya di apartemen, aku disuguhkan minuman beralkohol olehnya. Ternyata Karin biasa minum-minuman keras, aku geleng-geleng ketika disuguhkannya."Kamu biasa minum ini?" tanyaku heran."Nggak, kalau lagi suntuk saja, Pak," sahutnya.
"Oh gitu, terakhir saya minum alkohol itu ketika putus cinta dari cinta pertama saya, sampai akhirnya saya dijodohkan dengan Anggi," jelasku ketika ia menuangkan segelas minuman alkohol."Oh ya, menarik sekali masa lalunya, Pak. Oh ya, boleh nggak saya panggil Mas di sini, boleh ya," rayu Karin sambil memberikan minumannya. Aku pun menerimanya, lalu meneguk minuman yang telah disuguhkan Karin."Tambah lagi," pintaku. Sebab, aku merasa hangat ketika meneguk minuman yang telah disediakan Karin. Ia pun terus menerus menuangkan minuman itu hingga kami berdua mabuk berat. Kemudian, Karin pun menggodaku hingga akhirnya kami melakukan hubungan layaknya suami-istri.***Dua bulan kemudian
"Aku hamil, Mas," ucap Karin ketika berada di kantor.
"Sttt, jangan keras-keras," sahutku sambil menutup mulutnya."Bagaimana dengan bayi ini?" tanya Karin."Aku akan tanggung jawab," jawabku lagi."Apanya yang tanggung jawab?" Tiba-tiba mamaku muncul dari balik pintu. Kami berdua terbelalak melihat kedatangan mama yang mendadak."Mah, duduk dulu, tenang, ya," rayuku padanya. Karin pun keluar dari ruanganku, sebab sudah aku kedipkan mata sebagai tanda untuk segera keluar.Aku berusaha meyakinkan mama bahwa anak itu akan menjadi penerus keluarga Pratama. Akhirnya mama setuju dengan keputusanku untuk bertanggungjawab pada Karin. Namun, aku dipertegas oleh mama untuk memeriksa kandungan Karin terlebih dahulu, khawatir ia berbohong.[Jika benar kamu positif, periksakan kehamilanmu, tapi jangan ke Dokter Sonia Rumah Sakit Ibu Ananda. Periksa saja ke Rumah Sakit Citra Kencana, dengan Dokter Wulan SpOG, ia juga bagus.] Aku kirim pesan ketika ia berada di ruangannya.
[Siap, Mas. Aku akan periksakan di sana. Kamu ikut, ya!] ajaknya. Namun, aku tak membalas pesan tersebut. Rasanya masih tak percaya, aku telah mengkhianati Anggi.Kami menikah secara siri pada tanggal 21 Agustus 2021, setelah meyakinkan diri dengan memeriksakan ke Dokter Wulan SpOG bahwa Karin benar-benar hamil.***Flashback di toko bayi
Malam itu ketika Anggi mengajakku ke toko bayi, aku mengirim pesan ke mama untuk bersembunyi ke toilet. Namun, akhirnya kepergok juga, dengan usaha menutupi ini semua, akhirnya Anggi pun percaya denganku, dengan syarat saldo ATM dipindah ke rekeningnya.
Selanjutnya kami makan malam bersama. Namun, aku dikejutkan dengan panggilan masuk dari papa. Ia sudah mencium perselingkuhanku. Ini akan membuat resah aku dan Karin.Malam semakin larut, aku masih chat dengan Karin untuk planning ke dokter kandungan sekaligus membicarakan mengenai papaku.***Pagi-pagi sekali aku telah disiapkan segala sesuatunya oleh Anggi, dan aku pun segera ke kantor. Setelah itu barulah ke rumah sakit menemani Karin kontrol.
Setibanya di rumah sakit, tiba-tiba aku kebelet ingin ke toilet. Namun, selesai dari toilet aku dikejutkan dengan sosok Anggi yang tiba-tiba ada di depan antrian Dokter Wulan.'Aku tidak boleh menghampiri mereka sekarang. Ya, lebih baik memantau dari kejauhan saja,' gumamku dalam hati.Kulihat mereka berdebat sengit di sana, sepertinya Karin emosi dengan ucapan Anggi. Aku coba alihkan dengan menanyakan pada Anggi perihal Dokter Sonia. Ia pun menjawabnya dengan jujur. Ternyata ia tidak pernah berbohong padaku. Namun, aku yang tega mengkhianatinya.Pertengkaran mereka pun berlanjut adu mulut hingga akhirnya Karin terjatuh. Astaga, aku ingin menolongnya, tapi itu takkan mungkin. Akhirnya aku menunggu Karin di depan UGD, aku berharap ia dibawa ke UGD karena dari kejauhan darahnya tampak keluar terus menerus.Ketika aku berada di depan UGD. Sedikit ada keanehan yang membuatku penasaran. Suara hentakan langkah yang tiba-tiba menghilang, akhirnya dengan rasa penasaran, aku coba cek ke depan antrian Dokter Wulan, untuk memastikan bahwa itu bukan Anggi.Kulihat ke depan, tidak ada Anggi di kursi manapun. Akhirnya kuberanikan diri untuk menanyakan pada salah satu pasien."Mbak, tadi yang masuk namanya Anggi bukan?" tanyaku."Bukan, Pak. Bu Anggi tadi sudah pulang, tadi saya sempat dengar beliau cancel jadwal pada suster di situ," sahutnya.Aku menghela napas panjang, akhirnya aku bisa tenang menunggu Karin di sini."Panggilan untuk keluarga pasien Nyonya Karin Alika!" Suara panggilan melalui toa rumah sakit pun terdengar. Aku pun beranjak pergi dengan langkah setengah berlari."Sus, bagaimana dengan istri saya?" tanyaku pada suster jaga."Pak, Bu Karin harus bed rest, dirawat di sini ya, silakan bapak urus segala biayanya terlebih dahulu," suruh suster."Tapi janinnya bagaimana, Sus?""Masih sehat kok, Pak. Makanya harus bed rest untuk beberapa hari," jawabnya. Dengan semangat aku pun ke tempat pendaftaran untuk memesan kamar VVIP. Namun, aku teringat, ATM beserta saldonya sudah kupindah ke rekening Anggi tadi sebelum berangkat ke rumah sakit. Uang yang di ATM pe*mata sudah habis.
Akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi kantor bagian keuangan, untuk segera mentransfer ke rekening gajiku."Mbak, tunggu sebentar, saya telepon kantor dulu untuk melakukan deposit ke rumah sakit ini," ucapku pada kasir rumah sakit. Ya, untuk mendapatkan kamar VVIP aku harus deposit sejumlah uang di sini."Iya, Pak."Perusahaan kami ada asuransi tapi tidak untuk kamar VVIP. Aku tidak mau Karin dirawat di kamar kelas 3.
"Halo, Desi, bisa transfer uang 50 juta sekarang?" tanyaku pada bagian keuangan."Maaf, Pak. Tadi Pak Angga audit keuangan, jadi semua sedang dibekukan untuk sementara oleh Pak Angga," jawabnya. Papa audit? Bukankah masih di luar kota? Astaga, bagaimana dengan Karin dan bayi di kandungannya? Masa iya Karin dirawat di kamar kelas 3?BersambungBab 8Aku coba melangkah. Namun, ketika hampir mendekati Mas Irfan. Tiba-tiba ada yang menarik pergelangan tanganku. Seorang lelaki bertubuh tinggi semampai, hidung mancung dan berkulit sawo matang."Lepas! Kamu siapa?" tanyaku sambil menepis genggamannya. Ia pun coba menutup mulutku dengan tangan seraya menyuruhku diam."Sttt, jangan keras-keras, saya orang suruhan Pak Angga." Aku menatapnya dengan mata menyipit."Papa mertuaku?" tanyaku keheranan. Ia pun mengangguk."Kita ke kantor," ajaknya."Sebentar, saya mau ngalihin Mas Irfan dulu," ucapku.Tiba-tiba kulihat wanita hamil yang tadi menunggu antrian keluar dari toilet."Mbak, tunggu sebentar," cegahku."Ya, Mbak." 
Bab 9Kami berdua masuk ke kamar dimana Karin harus bed rest. Rendi bertugas jaga di depan. Langkah kaki kami berdua beranjak beriringan, hingga tiba di hadapan bed nomor 3 di antara 5 pasien rumah sakit.Papa mertuaku melipat kedua tangannya di atas dada sambil tersenyum tipis pada mama mertuaku."Papa," celetuk Mama Gita terkejut. Matanya tak berkedip ketika papa berada di hadapannya. Kemudian, kulihat Mama berpindah posisi, yang tadinya sedang duduk sambil menyuapi Karin buah, kini ia bangkit dan meletakkan buahnya di atas meja."Ya, ini aku, kenapa? Kaget?" sindir Papa Angga sambil mengangkat kedua alisnya. Kemudian, Mama Gita menghampiri papa mertuaku, lalu meraih punggung tangannya untuk dikecup."Irfan, Papa datang kok nggak cium tangan? Cepat cium tangan Papa!" perintah Mama Gita pada anaknya. Kemudian,
Bab 10POV IrfanAku hanya bisa menghela napas, ketika papaku sendiri telah membekukan keuangan perusahaan untuk anaknya. Akhirnya aku terpaksa menghubungi Mama Gita untuk meminta bantuannya."Halo, Mah." Aku memulai buka pembicaraan."Ya, Irfan kamu di mana, kok bising gitu suaranya?" tanyanya balik."Aku di RS Citra Kencana, Mah. Karin hampir keguguran," celetukku pada mama melalui sambungan telepon."Loh kok bisa?" tanyanya balik."Ceritanya panjang. Mama bisa ke sini, nggak? Aku butuh bantuan Mama.""Iya, Mama segera ke situ, di ruang VVIP, kan?""Rencana kelas 3, Mah. Keuangan kantor dibekukan Papa. Aku minta tolong rayu Papa bisa nggak?" tanyaku lagi."Susah, F
Bab 11Herannya dengan Mas Irfan, sudah kepergok masih saja berkelit. Apalagi Mama Gita, ia justru mengumpat aku dengan sebutan wanita udik dan sebagainya. Sakit, itu sudah pasti, tapi aku berusaha menahan emosi. Sebab papa mertuaku sungguh amat membelaku.Mas Irfan cemburu dengan perlakuan papanya padaku. Ia menuduh papanya sendiri memiliki rasa yang lebih terhadapku. Padahal, aku tahu ia seperti itu karena dititipkan oleh kedua orang tuaku.Aku pun sudah memberikan bukti padanya, tapi apa yang kudapatkan? Ya, ia mengaku bahwa ada hubungan spesial dengan Karin. Namun, tidak mengakui telah menikah dan akan memiliki anak darinya.Akhirnya aku tunjukkan bukti akurat yang Desi kirim ketika aku dalam perjalanan ke rumah sakit."Lihat ini, ada video yang dapat membuktikan bahwa kalian telah menikah diam-diam," ucapku pada Mas Irfan. Kemudian, kuputar video pernikahan siri yang singkat itu. Ya, aku sengaja memberikan video ini set
Bab 12POV Pak Anggara"Anggi! Bangun! Tolong!" teriakku histeris ketika Anggi pingsan terkena tusukan. Darah segar yang keluar dari pinggangnya pun tak berhenti mengalir. Aku panik dan mencemaskan Anggi. Sebab, ia tertusuk karena hendak menghalangi preman tadi.Rendi terbangun dari pingsannya setelah dicelakai oleh orang yang tak kami kenal."Astaga! Mbak Anggi kenapa, Pak?" tanyanya ketika mulai bangkit. Rendi mulai melangkah ke arahku yang sedang memangku Anggi."Tertusuk, cepat bawa ke mobil, kita bawa ke rumah sakit." Kemudian, beberapa orang yang lewat pun turut membantu menolong kami. Jalan yang tadi sepi kini sudah mulai dilewati orang ketika aku teriak meminta bantuan."Tadi saya dengar suara teriakan minta tolong, makanya ke sini," ucap salah seorang yang menolong. Kami berempat m
Bab 13POV IrfanAku terkejut ketika mendengar penuturan Papa Angga melalui sambungan telepon. Anggi ditusuk oleh preman? Apa jangan-jangan ini ulah Karin? Aku harus menghubunginya sambil jalan ke rumah sakit."Mah, ayo ke rumah sakit, Anggi ditusuk," ajakku. Namun, mama tidak ingin ikut."Kamu saja, Mama nggak mau.""Mah, jangan bikin Papa tambah kesal, tambah ingin hapus daftar nama kita, untuk sekarang ini kita sedang terhimpit," ucapku padanya. Egonya mama pada papa bisa menghancurkan rencanaku untuk tetap mempertahankan pernikahanku dengan Anggi.Satu-satunya jalan untuk menjadi pewaris perusahaan adalah mempertahankan pernikahanku dengan Anggi. Sebab, Anggi lah orang yang paling disayangi papa, entahlah apa yang membuatnya seperti itu."Baiklah, meskipun kesal yan
Bab 14POV Irfan"Apa-apaan kamu Irfan nuduh Mama yang mencelakai Anggi, mana mungkin Mama celakai menantu sendiri," sanggahnya. Aku terdiam sejenak, masih belum percaya pada ucapan mama."Gimana ya, Mah. Bukankah Mama benci dengan Anggi? Siapa tahu dugaanku ini benar, maaf ya Mah, hanya menduga kok," cetusku."Loh, itu nuduh itu bukan dugaan. Nuduh tanpa bukti, padahal Mama sudah membela kamu di hadapan Papa. Sesakit ini dituduh yang tidak dilakukan," lirih mama tiba-tiba membuatku merasa bersalah."Bukan gitu, maaf ya, Mah. Aku heran saja kenapa Mama malam-malam gini nelepon aku?" tanyaku penasaran."Justru Mama hubungi kamu karena ingin menanyakan, kenapa tadi Karin nelponin Mama terus?" tanyanya. Penuturan Mama Gita membuatku jadi merasakan ada yang tidak beres dengan tingkahnya Karin.Kemudian, di saat aku sedang berbicara dengan mama melalui sambungan telepon, Rendi tiba-tiba muncul dari
Bab 15POV Irfan"Maksud kalian apa?" tanyaku ketika baru saja tiba di hadapan mereka. Mata ketiganya tak kalah membulat sama sepertiku. Pasti ada rahasia yang mereka sembunyikan makanya terkejut ketika tahu bahwa aku ada di sini."Irfan, kamu di sini?" tanya papa. Kemudian kedua mertuaku bangkit dari duduknya."Iya, aku mendengar obrolan kalian barusan," jawabku.Kemudian papa menghampiriku dan menyuruh duduk di dekatnya."Bagaimana kondisi Anggi?" tanyanya yang amat mengkhawatirkan menantunya. Meskipun menurutku ini adalah wajar karena papa merasa utang budi atas pengorbanan yang Anggi lakukan. Namun, aneh saja jika ia selalu membela semua yang dilakukan Anggi."Anggi sudah sadar, semalam juga telah cerita padaku, ia curiga penusukan ini dilakukan musuh Papa, ap
Bab 72Tidak lama kemudian, berselang beberapa jam kemudian, Sherina dan Satrio datang. Mereka langsung bertemu dengan Anggi dan Irfan di kantor yang nyaris hancur.Sherina mengejutkan sesuatu, ia memberikan informasi yang membuat Satrio terbelalak."Pak, saya tahu pelaku pembakaran kantor Irgi Pratama," jelas Sherina.Anggi dan Irfan tertegun, ia nyaris tak berkedip menatap wajah wanita yang sempat dituduh sebagai penerornya. Kaki Anggi melangkah ke arah Sherina, meskipun berat Sherina hanya menghela napas di hadapan Anggi."Saya tahu, pasti kamu mau menuduh saya lagi, iya kan?" sindir Sherina. Sebelum ditanya ia sudah menebak apa yang akan Anggi lakukan.Kemudian, Irfan menggandeng erat tangan istrinya. Ia tidak ingin Anggi melakukan kesalahan yang kedua kalinya.&nbs
Bab 71Angga langsung menghubungi Rendi. Namun, ia ragu-ragu sebab orang kepercayaannya itu sedang berada di rumah sakit menemani Arya.Tangan Angga dihentak-hentakkan, seraya kebingungan harus menghubungi siapa untuk menugaskan ke Jogja. Sebab, ia sudah amat kelelahan mengurusi urusan di sini.Angga menghela napas panjang. Sedangkan Anggi dan Irfan saling beradu pandangan, mereka berdua tiba-tiba mengangguk."Pah, kami berdua yang ke Jogja, besok pagi berangkat," ucap Irfan membuat mata Angga seketika berair."Apa kalian tidak lelah? Aku khawatir dengan kesehatan kalian," tutur Angga belum mengizinkan mereka berdua."Pah, kami berdua masih muda, sedangkan Papa usianya sudah tidak memungkinkan lagi untuk kecapean, jadi biarkan saja ya, kami belajar mengurus hal yang ekstrim seperti ini," rayu Anggi.Kemudian, Gita merangkul pundak lelaki yang sangat setia padanya, dilingkarkan tangan di leher Angga.
Bab 70"Baiklah, kami bebaskan Sherina dan Satrio berdasarkan bukti yang Bapak berikan, tentunya kami juga akan segera mencari keberadaan saudara Dodi," ucap komandan membuat seketika suasana mencair. Semuanya mengelus dadanya masing-masing seraya lega dengan keputusan yang diambil oleh komandan.Kemudian, komandan memerintahkan petugas untuk membebaskan Sherina dan Satrio tanpa syarat apapun. Mereka berdua dibebaskan karena terbukti tidak bersalah.Semuanya bangkit menyambut kedatangan Sherina dan Satrio. Kemudian, seketika itu juga Alex menyergap tubuh Satrio."Pah," sapa Satrio pada Alex. Meskipun ayah sambung, tapi Alex memperlakukan Satrio seperti anak kandungnya. Mereka berdua melepaskan rasa haru, air matanya pun tak terasa meleleh membasahi pipinya."Kamu sudah bebas, janji Papa sudah ditepati," timpal Alex kepada anaknya.Seisi ruangan berjabat tangan, namun senyum Sherina terlihat sangat terpaksa
Bab 69Setelah dibuka rekaman yang tersimpan. Terdengar suara di antara mereka yang berada di satu meja restoran berdebat."Kenapa kamu lakukan ini sampai terlalu jauh? Bukankah Pak Irgi telah memberikan pesangon cukup besar?" tanya istrinya Dodi. "Kamu tega melihat anak istrimu kini luntang-lantung tidak jelas?" tambahnya lagi dengan nada menekan."Sudahlah, tahu apa kamu urusan lelaki? Sekarang habiskan makanan, kita akan terbang ke Jawa Timur!" Dodi terdengar tambah marah.Kemudian, hening seketika. Setelah itu Dodi terdengar menghubungi seseorang."Candra, tolong kamu habiskan laki-laki yang bernama Arya, dia telah terlalu jauh ikut campur," suruh Dodi melalui sambungan telepon."Gila kamu, Mas! Sudah bersalah malah nyelakain orang! Bukankah janji kamu hanya menakut-nakuti keluarga Pratama? Kenapa sejauh ini?" sentak istrinya."Kamu mau ikut pergi atau di sini?" Pertanyaan terakhir y
Bab 68"Ada apa dengan Arya, Ren?" tanya Anggara. Posisinya yang tadi duduk setelah menyuruh Anggi dan Irfan masuk kini berdiri."Pah, tenang ya, duduk bicaranya biar tenang," pesan Irfan sambil mengelus-elus punggung mertuanya."Arya kecelakaan, Pak," terang Rendi memberikan informasi yang membuat keluarga Pratama kehilangan harapan."Astaga, lalu bagaimana kondisinya?" tanya Angga terkejut sekaligus panik. Lalu mulutnya komat-kamit memberikan informasi pada anak mantu dan sahabatnya yang berada di sebelah Angga."Kondisinya belum sadarkan diri, Pak. Sekarang ada di Rumah Sakit Sentosa," ucapnya membuat Angga tanpa pikir panjang mematikan sambungan teleponnya. Ia menghela napas berat seraya tidak mempercayai takdir."Yuk kita ke Rumah Sakit Sentosa!" ajaknya sambil meraih tas kecil yang ia bawa.Mereka berempat bersiap ke rumah sakit. Kali ini sepasang suami istri itu yang menenangkan p
Bab 67"Saya minta maaf atas tuduhan yang kemarin," ucap Anggi dengan kerendahan hati."Tidak salah dengar? Anggi yang bersikeras menahanku kini minta maaf?" sindir telak Sherina. Sepertinya ada dendam kesumat di dalam hati Sherina.Kemudian, Irfan membuka percakapan dengan memotong pembicaraan Sherina. Ini supaya tidak berlarut-larut dalam dendam."Ya, ini kesalahpahaman, mohon dimaklumi, Sherina. Maaf kami benar-benar baru mengetahui yang sebenarnya," tutur Irfan coba membela istrinya.Hening, seketika suasana hening, Satrio pun menatap lekat ke arah Anggi."Saya tahu, kamu seperti itu karena tuduhan anak buah peneror itu, saya paham betul," timpal Satrio."Saya janji akan membersihkan nama baik kalian nantinya," ucap Anggi.Sedangkan Sherina masih duduk terpaku bersandar dengan santai. Ia merasa menang atas ucapan maaf yang telah dilontarkan Anggi dan Irfan."Saya
Bab 66"Iya, Sayang. Ini Papa ada di kediaman rumah Alex Subroto," ucap Angga membuat Anggi mencelos. Ia sendirian, tidak ada Irfan yang berusaha menenangkan."Pah, jadi aku benar salah tahan orang? Atau bagaimana?" tanya Anggi masih ragu."Ya, ini Bu Lastri telah menceritakan pada kami, sepulang dari Bali ia bolak-balik dari rumah ke perusahaan Alex kadang perusahaan Subroto, Satrio sangat diandalkan kedua perusahaan itu jadi tidak mungkin sempat memikirkan tindakan kriminal, lagi pula, ada urusan apa Satrio dan kita, Nak," ujar Angga semakin membuat Anggi merasa bersalah.Anggi yang sudah tidak tahu lagi harus bicara apa, ia hanya menyesali perbuatannya."Pah, tolong cari peneror yang sebenarnya, aku mohon maaf pada semua," tutur Anggi lalu mematikan sambungan teleponnya.An
Bab 65"Disuruh nyelidikin yang datang mengunjungi Karto? Apa ada yang mengunjunginya?" tanya Irfan penasaran."Iya, Pak. Ini saya sedang mencari keberadaannya, saya cari dari plat nomor kendaraan dulu," jawab Arya."Ya sudah, kalau begitu, nanti saya hubungi lagi ya," ucap Irfan. Kemudian telepon pun ia putus.Dalam hening, Irfan berpikir, kalau ada yang menjenguk Karto, itu artinya Sherina dan Satrio bukanlah orang yang menjadi dalang teror keluarga Pratama. Artinya ia salah tuduh, dan merugikan dua orang.Irfan coba membicarakan hal ini pada istrinya, Anggi."Sayang, kamu tahu nggak barusan Arya bilang apa?" tanya Irfan.Anggi pun menggelengkan kepalanya."Apa itu?" tanya Anggi singkat."Kata
Bab 64"Pah, Papa keluarkan aku dari sini!" ungkap Satrio membuat wajah Sherina yang tadinya marah kini berubah kebingungan."Papa ke sini untuk bicarakan sesuatu pada kalian," jawab Alex."Papa? Ini apa-apaan, Pak? Jadi Satrio ini anak Pak Alex?" tanya Sherina disertai tawa kebingungan."Tenang dulu, Sherina, kamu duduk," suruh Alex.Kemudian, ketika Sherina sudah tenang, Alex mulai bicara padanya. Angga pun turut menyimak Alex bicara. Semua menyoroti Alex."Pertama, saya akan ungkap kenapa Satrio panggil saya Papa. Dia anak tiri saya, jujur saja memang sengaja merahasiakan ini dari perusahaan. Tapi sebagian ada yang sudah tahu," tutur Alex membuat Sherina menghela napas.Sherina duduk dengan posisi tangan menyanggah dagunya."Lalu kenapa Pak Alex rela anaknya di penjara?" tanya Sherina."Saya anggap ini adalah karma untuk saya, dulu saya juga bertindak tanpa mencari