Bab 5
"Pah, aku nggak mungkin macam-macam pada Anggi sesuai dengan pesan Papa," sambung Mas Irfan masih berkelit. Pasti ia takut pada papanya, semua hak perusahaan masih dikendalikan oleh papa mertua."Ya, semoga kamu tak mengkhianati Anggi, awas saja kalau itu terjadi. Kamu tahu kan, Anggi adalah menantu pilihan Papa," ujar papa mertuaku.Entahlah, apa yang membuat Papa Anggara begitu sangat menyayangiku. Perlakuannya padaku melebihi ayahku."Ya sudah, Pah. Aku dan Anggi sedang menikmati makan malam nih, ada yang dibicarakan lagi, nggak?" tanya Mas Irfan.
"Baiklah, selamat senang-senang, ya. Jaga Anggi, jangan sakiti dia," pesannya sekali lagi. "Baik, Papa. Assalamualaikum," tutupnya."Waalaikumsalam," jawab papa. Telepon pun terputus.Kami pun melanjutkan makan malam, ada rona kebingungan terpancar di wajah Mas Irfan. Bagaimana tidak, ia pasti bingung telah menyimpan benih di rahim sekretarisnya, sementara papanya tetap mempertahankan bahwa akulah yang pantas mendampinginya.Aku perhatikan selera makan Mas Irfan tiba-tiba memburuk, sedari tadi ia memutar sedotan pada minumannya. Makanan yang ia pesan terlihat masih setengah, padahal dari toko tadi ia sudah mengeluh lapar."Mas, cepat habiskan makanannya, sudah jam setengah sembilan nih," suruhku sambil melihat ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan."Kita pulang sekarang, yuk!" ajaknya. Padahal makanan yang ia pesan belum habis.Aku pun bangkit dan segera pulang, tapi ponselku tiba-tiba berdering. Nada alarm berbunyi, aku segera membacanya. Ternyata jadwal aku dengan dokter kandungan tiap bulan, untuk kegiatan program kehamilanku. Tiap bulan aku konsultasi pada dokter kandungan untuk sekadar ikhtiar agar bisa hamil.
"Mas, besok jadwal kontrol, aku belum daftar ke Dokter Sonia," ucapku sambil melangkah ke parkiran. Mas Irfan pun menoleh sejenak."Besok aku ada meeting dengan klien, kamu sendiri saja ya ke Dokter Sonia," jawabnya. Aku pun mengangguk, aneh sekali biasanya ia tak pernah melewatkan pertemuan ini, kenapa sekarang menolaknya?Aku hanya terdiam sambil berpikir, apa kira-kira ucapan Mas Irfan itu benar? Apa ia hanya alasan saja?Setibanya di rumah, kami berdua segera memejamkan mata untuk menyiapkan hari esok. Rasanya cukup lelah malam ini, tapi aku cukup puas dengan apa yang kudapatkan, yaitu ATM yang sempat dikuasai oleh Karin.***Pagi ini cuaca agak sendu, langit tampak gelap seraya ikut sedih dengan apa yang menimpaku. Namun, hidup ini harus tetap kujalani, meskipun perih dan luka yang telah Mas Irfan torehkan.
"Aku berangkat dulu, ya, oh ya salam untuk Dokter Sonia," ucapnya sambil mengelus rambutku. Rasanya sudah hilang rasa ini melihat perlakuan munafik Mas Irfan padaku."Ya, Mas. Semoga meetingnya sukses dengan klien, ya," sindirku sambil meraih punggung tangannya lalu mengecup seperti biasa.Setelah Mas Irfan berangkat, aku pun membuat jadwal pada dokter kandungan. Namun, tidak dengan Dokter Sonia."Halo, dengan Rumah Sakit Citra Kencana?" jawab operator teleponnya ketika mengangkat telepon."Iya, Mbak, saya mau daftar ke Dokter Wulan SpOG. Masih bisa?" tanyaku."Masih, Bu. Apakah sudah pernah ke sini sebelumnya?""Sudah pernah dulu, Mbak.""Baik, sebentar saya cek, dengan ibu siapa dan tanggal lahirnya? Oh ya, karena Ibu baru janji hari ini tidak seperti pasien yang sudah janji dari bulan lalu, harap datang ke rumah sakit jam 08;30 WIB ya, untuk pendaftaran ulang, jadwal praktek jam sembilan," jawabnya lagi."Baik, Mbak. Kalau begitu, saya daftar atas nama Anggita Rayhana, tanggal lahir 11 Januari 1990," timpalku."Baik, sebentar saya proses." Setelah beberapa detik. "Sudah didaftarkan, antrian ke 12 ya, Bu.""Terima kasih banyak, Mbak," tutupku. Telepon pun terputus.Aku segera bersiap untuk berangkat, jam delapan aku harus daftar ulang ke rumah sakit tersebut. Tidak apalah hanya untuk bulan ini aku tidak kontrol ke Dokter Sonia.***
Setibanya di rumah sakit, aku daftarkan diri ke pendaftaran. Menunggu kontrol setengah jam, itu pun juga harus menunggu antrian ke 12. Jadi, aku putuskan untuk menunggu di kantin saja.
Jam di tangan telah menunjukkan pukul 09;00 WIB. Aku segera meluncur ke tempat Dokter Wulan SpOG. Aku langkahkan kaki ini dengan selamat, berharap apa yang kurencanakan berjalan dengan baik.Setibanya di sana, aku sudah tidak terkejut lagi melihat Karin juga sedang duduk antri menunggu Dokter Wulan SpOG."Hai, Karin," sapaku dengan kedua alis terangkat."Anggi, kamu?" sahutnya dengan mulut menganga."Ya, aku, kenapa?" tanyaku dengan senyuman mengembang. Seketika Karin pun terlihat bergeming, matanya membulat seraya tak mampu berkedip.***Flashback malam harinya sebelum tidur
Aku belum bisa tertidur pulas, tapi mendengar ponsel Mas Irfan berisik mendapatkan pesan. Sepertinya ia sedang chatting dengan Karin. Ini membuatku sangat penasaran. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak tidur lebih dulu, rasa penasaran semakin menggebu ingin membaca pesannya.[Jangan lupa besok jemput aku untuk periksa kandungan.][Ya, tadi juga Anggi minta antar ke dokter kandungan, tapi aku ingat besok jadwal kamu kontrol.][Untungnya aku dan Anggi kamu pilihkan dokter kandungan yang berbeda rumah sakit.][Sudahlah, kamu tidur, ada yang ingin aku bicarakan juga besok, tentang Papaku.][Selamat tidur, Sayang.][Kamu juga. I love you, jaga bayi kita.]
Sakit rasanya membaca isi chatnya. Namun, aku tak boleh lemah, ada Papa Angga yang mendukungku. Sebaiknya aku cari saja dokter kandungan yang biasa ia kunjungi, pasti ada di histori chatting mereka.
Aku memang lancang, membuka ponsel suami ketika ia tertidur pulas. Namun, ini semua kulakukan demi mendapatkan informasi mengenai dokter kandungan yang biasa dikunjungi oleh Karin.Setelah membaca pesan beberapa bulan ke belakang. Akhirnya aku mendapatkan informasi akurat. Beberapa bulan lalu.[Jika benar kamu positif, periksakan kehamilanmu, tapi jangan ke Dokter Sonia Rumah Sakit Ibu Ananda. Periksa saja ke Rumah Sakit Citra Kencana, dengan Dokter Wulan SpOG, ia juga bagus.] Kulihat tanggal dan bulannya tertera tanggal 19 Agustus 2021. Astaga, berati usia kandungannya baru menginjak kisaran empat bulan, tapi sudah repot beli perlengkapan bayi. BersambungBab 6"Loh kamu di sini juga periksa kandungannya? Memang kamu sedang hamil juga?" sindir Karin membuatku tersenyum tipis."Nggak usah nyindir, aku heran ya sama kamu, Karin. Kerja sekretaris tapi seenaknya jalan-jalan ke rumah sakit. Aku aduin ke Papa mertuaku nanti supaya Mas Irfan ganti sekretaris saja. Punya sekretaris kok seenaknya keluar masuk kantor," cetusku benar-benar geram dengan kelakuan wanita yang berkulit eksotis itu. Modal seksi dan gaya mempesona saja sudah berani menggoda suami orang."Silakan saja ngadu, paling nanti kamu dicerai oleh Mas Irfan," sindir balik Karin dengan alis terangkat. Sifat sombongnya mulai ia tunjukkan."Oh jadi kamu nantang aku, ya? Wanita jal*ng," sindirku lagi."Jangan sembarangan bicara kamu, Nggi," balas Karin mulai emosi."Loh, kok marah, kenyataannya seperti itu, mana suamimu? Itu anak siapa yang ada di rahim kamu? Apa sudah ada ikatan pernikahan?" sindirku lagi mem
Bab 7POV IrfanFlashback awal mula tergoda KarinKetika lelaki sering bertemu maka timbul perasaan lebih terhadap lawan jenisnya. Terlebih ia sering menemani ketika bekerja. Pastinya akan timbul benih-benih cinta. Entahlah, mata ini tak dapat menahan godaan sosok Karin yang begitu mempesona. Lekuk tubuhnya yang selalu ia tonjolkan ketika bersama di kantor, membuatku akhirnya jatuh di pelukannya."Maaf, Pak, kalau menurut saya, pernikahan yang telah dibangun selama 2 tahun, tapi belum memiliki keturunan, itu sudah bukti bahwa istri Pak Irfan mandul," hasut Karin ketika kami sedang makan siang bersama."Entahlah, kami sedang berusaha program ke dokter kandungan, sudah berjalan sebulan," jawabku.Tiba-tiba tangan wanita yang sudah bekerja hampir setengah tahun menggenggam tanganku."Percayalah, Pak. Anak adalah aset untuk Pak Irfan, anak adalah penerus perusahaan. Sama halnya Pak Angga, pemilik dari perusahaan in
Bab 8Aku coba melangkah. Namun, ketika hampir mendekati Mas Irfan. Tiba-tiba ada yang menarik pergelangan tanganku. Seorang lelaki bertubuh tinggi semampai, hidung mancung dan berkulit sawo matang."Lepas! Kamu siapa?" tanyaku sambil menepis genggamannya. Ia pun coba menutup mulutku dengan tangan seraya menyuruhku diam."Sttt, jangan keras-keras, saya orang suruhan Pak Angga." Aku menatapnya dengan mata menyipit."Papa mertuaku?" tanyaku keheranan. Ia pun mengangguk."Kita ke kantor," ajaknya."Sebentar, saya mau ngalihin Mas Irfan dulu," ucapku.Tiba-tiba kulihat wanita hamil yang tadi menunggu antrian keluar dari toilet."Mbak, tunggu sebentar," cegahku."Ya, Mbak." 
Bab 9Kami berdua masuk ke kamar dimana Karin harus bed rest. Rendi bertugas jaga di depan. Langkah kaki kami berdua beranjak beriringan, hingga tiba di hadapan bed nomor 3 di antara 5 pasien rumah sakit.Papa mertuaku melipat kedua tangannya di atas dada sambil tersenyum tipis pada mama mertuaku."Papa," celetuk Mama Gita terkejut. Matanya tak berkedip ketika papa berada di hadapannya. Kemudian, kulihat Mama berpindah posisi, yang tadinya sedang duduk sambil menyuapi Karin buah, kini ia bangkit dan meletakkan buahnya di atas meja."Ya, ini aku, kenapa? Kaget?" sindir Papa Angga sambil mengangkat kedua alisnya. Kemudian, Mama Gita menghampiri papa mertuaku, lalu meraih punggung tangannya untuk dikecup."Irfan, Papa datang kok nggak cium tangan? Cepat cium tangan Papa!" perintah Mama Gita pada anaknya. Kemudian,
Bab 10POV IrfanAku hanya bisa menghela napas, ketika papaku sendiri telah membekukan keuangan perusahaan untuk anaknya. Akhirnya aku terpaksa menghubungi Mama Gita untuk meminta bantuannya."Halo, Mah." Aku memulai buka pembicaraan."Ya, Irfan kamu di mana, kok bising gitu suaranya?" tanyanya balik."Aku di RS Citra Kencana, Mah. Karin hampir keguguran," celetukku pada mama melalui sambungan telepon."Loh kok bisa?" tanyanya balik."Ceritanya panjang. Mama bisa ke sini, nggak? Aku butuh bantuan Mama.""Iya, Mama segera ke situ, di ruang VVIP, kan?""Rencana kelas 3, Mah. Keuangan kantor dibekukan Papa. Aku minta tolong rayu Papa bisa nggak?" tanyaku lagi."Susah, F
Bab 11Herannya dengan Mas Irfan, sudah kepergok masih saja berkelit. Apalagi Mama Gita, ia justru mengumpat aku dengan sebutan wanita udik dan sebagainya. Sakit, itu sudah pasti, tapi aku berusaha menahan emosi. Sebab papa mertuaku sungguh amat membelaku.Mas Irfan cemburu dengan perlakuan papanya padaku. Ia menuduh papanya sendiri memiliki rasa yang lebih terhadapku. Padahal, aku tahu ia seperti itu karena dititipkan oleh kedua orang tuaku.Aku pun sudah memberikan bukti padanya, tapi apa yang kudapatkan? Ya, ia mengaku bahwa ada hubungan spesial dengan Karin. Namun, tidak mengakui telah menikah dan akan memiliki anak darinya.Akhirnya aku tunjukkan bukti akurat yang Desi kirim ketika aku dalam perjalanan ke rumah sakit."Lihat ini, ada video yang dapat membuktikan bahwa kalian telah menikah diam-diam," ucapku pada Mas Irfan. Kemudian, kuputar video pernikahan siri yang singkat itu. Ya, aku sengaja memberikan video ini set
Bab 12POV Pak Anggara"Anggi! Bangun! Tolong!" teriakku histeris ketika Anggi pingsan terkena tusukan. Darah segar yang keluar dari pinggangnya pun tak berhenti mengalir. Aku panik dan mencemaskan Anggi. Sebab, ia tertusuk karena hendak menghalangi preman tadi.Rendi terbangun dari pingsannya setelah dicelakai oleh orang yang tak kami kenal."Astaga! Mbak Anggi kenapa, Pak?" tanyanya ketika mulai bangkit. Rendi mulai melangkah ke arahku yang sedang memangku Anggi."Tertusuk, cepat bawa ke mobil, kita bawa ke rumah sakit." Kemudian, beberapa orang yang lewat pun turut membantu menolong kami. Jalan yang tadi sepi kini sudah mulai dilewati orang ketika aku teriak meminta bantuan."Tadi saya dengar suara teriakan minta tolong, makanya ke sini," ucap salah seorang yang menolong. Kami berempat m
Bab 13POV IrfanAku terkejut ketika mendengar penuturan Papa Angga melalui sambungan telepon. Anggi ditusuk oleh preman? Apa jangan-jangan ini ulah Karin? Aku harus menghubunginya sambil jalan ke rumah sakit."Mah, ayo ke rumah sakit, Anggi ditusuk," ajakku. Namun, mama tidak ingin ikut."Kamu saja, Mama nggak mau.""Mah, jangan bikin Papa tambah kesal, tambah ingin hapus daftar nama kita, untuk sekarang ini kita sedang terhimpit," ucapku padanya. Egonya mama pada papa bisa menghancurkan rencanaku untuk tetap mempertahankan pernikahanku dengan Anggi.Satu-satunya jalan untuk menjadi pewaris perusahaan adalah mempertahankan pernikahanku dengan Anggi. Sebab, Anggi lah orang yang paling disayangi papa, entahlah apa yang membuatnya seperti itu."Baiklah, meskipun kesal yan
Bab 72Tidak lama kemudian, berselang beberapa jam kemudian, Sherina dan Satrio datang. Mereka langsung bertemu dengan Anggi dan Irfan di kantor yang nyaris hancur.Sherina mengejutkan sesuatu, ia memberikan informasi yang membuat Satrio terbelalak."Pak, saya tahu pelaku pembakaran kantor Irgi Pratama," jelas Sherina.Anggi dan Irfan tertegun, ia nyaris tak berkedip menatap wajah wanita yang sempat dituduh sebagai penerornya. Kaki Anggi melangkah ke arah Sherina, meskipun berat Sherina hanya menghela napas di hadapan Anggi."Saya tahu, pasti kamu mau menuduh saya lagi, iya kan?" sindir Sherina. Sebelum ditanya ia sudah menebak apa yang akan Anggi lakukan.Kemudian, Irfan menggandeng erat tangan istrinya. Ia tidak ingin Anggi melakukan kesalahan yang kedua kalinya.&nbs
Bab 71Angga langsung menghubungi Rendi. Namun, ia ragu-ragu sebab orang kepercayaannya itu sedang berada di rumah sakit menemani Arya.Tangan Angga dihentak-hentakkan, seraya kebingungan harus menghubungi siapa untuk menugaskan ke Jogja. Sebab, ia sudah amat kelelahan mengurusi urusan di sini.Angga menghela napas panjang. Sedangkan Anggi dan Irfan saling beradu pandangan, mereka berdua tiba-tiba mengangguk."Pah, kami berdua yang ke Jogja, besok pagi berangkat," ucap Irfan membuat mata Angga seketika berair."Apa kalian tidak lelah? Aku khawatir dengan kesehatan kalian," tutur Angga belum mengizinkan mereka berdua."Pah, kami berdua masih muda, sedangkan Papa usianya sudah tidak memungkinkan lagi untuk kecapean, jadi biarkan saja ya, kami belajar mengurus hal yang ekstrim seperti ini," rayu Anggi.Kemudian, Gita merangkul pundak lelaki yang sangat setia padanya, dilingkarkan tangan di leher Angga.
Bab 70"Baiklah, kami bebaskan Sherina dan Satrio berdasarkan bukti yang Bapak berikan, tentunya kami juga akan segera mencari keberadaan saudara Dodi," ucap komandan membuat seketika suasana mencair. Semuanya mengelus dadanya masing-masing seraya lega dengan keputusan yang diambil oleh komandan.Kemudian, komandan memerintahkan petugas untuk membebaskan Sherina dan Satrio tanpa syarat apapun. Mereka berdua dibebaskan karena terbukti tidak bersalah.Semuanya bangkit menyambut kedatangan Sherina dan Satrio. Kemudian, seketika itu juga Alex menyergap tubuh Satrio."Pah," sapa Satrio pada Alex. Meskipun ayah sambung, tapi Alex memperlakukan Satrio seperti anak kandungnya. Mereka berdua melepaskan rasa haru, air matanya pun tak terasa meleleh membasahi pipinya."Kamu sudah bebas, janji Papa sudah ditepati," timpal Alex kepada anaknya.Seisi ruangan berjabat tangan, namun senyum Sherina terlihat sangat terpaksa
Bab 69Setelah dibuka rekaman yang tersimpan. Terdengar suara di antara mereka yang berada di satu meja restoran berdebat."Kenapa kamu lakukan ini sampai terlalu jauh? Bukankah Pak Irgi telah memberikan pesangon cukup besar?" tanya istrinya Dodi. "Kamu tega melihat anak istrimu kini luntang-lantung tidak jelas?" tambahnya lagi dengan nada menekan."Sudahlah, tahu apa kamu urusan lelaki? Sekarang habiskan makanan, kita akan terbang ke Jawa Timur!" Dodi terdengar tambah marah.Kemudian, hening seketika. Setelah itu Dodi terdengar menghubungi seseorang."Candra, tolong kamu habiskan laki-laki yang bernama Arya, dia telah terlalu jauh ikut campur," suruh Dodi melalui sambungan telepon."Gila kamu, Mas! Sudah bersalah malah nyelakain orang! Bukankah janji kamu hanya menakut-nakuti keluarga Pratama? Kenapa sejauh ini?" sentak istrinya."Kamu mau ikut pergi atau di sini?" Pertanyaan terakhir y
Bab 68"Ada apa dengan Arya, Ren?" tanya Anggara. Posisinya yang tadi duduk setelah menyuruh Anggi dan Irfan masuk kini berdiri."Pah, tenang ya, duduk bicaranya biar tenang," pesan Irfan sambil mengelus-elus punggung mertuanya."Arya kecelakaan, Pak," terang Rendi memberikan informasi yang membuat keluarga Pratama kehilangan harapan."Astaga, lalu bagaimana kondisinya?" tanya Angga terkejut sekaligus panik. Lalu mulutnya komat-kamit memberikan informasi pada anak mantu dan sahabatnya yang berada di sebelah Angga."Kondisinya belum sadarkan diri, Pak. Sekarang ada di Rumah Sakit Sentosa," ucapnya membuat Angga tanpa pikir panjang mematikan sambungan teleponnya. Ia menghela napas berat seraya tidak mempercayai takdir."Yuk kita ke Rumah Sakit Sentosa!" ajaknya sambil meraih tas kecil yang ia bawa.Mereka berempat bersiap ke rumah sakit. Kali ini sepasang suami istri itu yang menenangkan p
Bab 67"Saya minta maaf atas tuduhan yang kemarin," ucap Anggi dengan kerendahan hati."Tidak salah dengar? Anggi yang bersikeras menahanku kini minta maaf?" sindir telak Sherina. Sepertinya ada dendam kesumat di dalam hati Sherina.Kemudian, Irfan membuka percakapan dengan memotong pembicaraan Sherina. Ini supaya tidak berlarut-larut dalam dendam."Ya, ini kesalahpahaman, mohon dimaklumi, Sherina. Maaf kami benar-benar baru mengetahui yang sebenarnya," tutur Irfan coba membela istrinya.Hening, seketika suasana hening, Satrio pun menatap lekat ke arah Anggi."Saya tahu, kamu seperti itu karena tuduhan anak buah peneror itu, saya paham betul," timpal Satrio."Saya janji akan membersihkan nama baik kalian nantinya," ucap Anggi.Sedangkan Sherina masih duduk terpaku bersandar dengan santai. Ia merasa menang atas ucapan maaf yang telah dilontarkan Anggi dan Irfan."Saya
Bab 66"Iya, Sayang. Ini Papa ada di kediaman rumah Alex Subroto," ucap Angga membuat Anggi mencelos. Ia sendirian, tidak ada Irfan yang berusaha menenangkan."Pah, jadi aku benar salah tahan orang? Atau bagaimana?" tanya Anggi masih ragu."Ya, ini Bu Lastri telah menceritakan pada kami, sepulang dari Bali ia bolak-balik dari rumah ke perusahaan Alex kadang perusahaan Subroto, Satrio sangat diandalkan kedua perusahaan itu jadi tidak mungkin sempat memikirkan tindakan kriminal, lagi pula, ada urusan apa Satrio dan kita, Nak," ujar Angga semakin membuat Anggi merasa bersalah.Anggi yang sudah tidak tahu lagi harus bicara apa, ia hanya menyesali perbuatannya."Pah, tolong cari peneror yang sebenarnya, aku mohon maaf pada semua," tutur Anggi lalu mematikan sambungan teleponnya.An
Bab 65"Disuruh nyelidikin yang datang mengunjungi Karto? Apa ada yang mengunjunginya?" tanya Irfan penasaran."Iya, Pak. Ini saya sedang mencari keberadaannya, saya cari dari plat nomor kendaraan dulu," jawab Arya."Ya sudah, kalau begitu, nanti saya hubungi lagi ya," ucap Irfan. Kemudian telepon pun ia putus.Dalam hening, Irfan berpikir, kalau ada yang menjenguk Karto, itu artinya Sherina dan Satrio bukanlah orang yang menjadi dalang teror keluarga Pratama. Artinya ia salah tuduh, dan merugikan dua orang.Irfan coba membicarakan hal ini pada istrinya, Anggi."Sayang, kamu tahu nggak barusan Arya bilang apa?" tanya Irfan.Anggi pun menggelengkan kepalanya."Apa itu?" tanya Anggi singkat."Kata
Bab 64"Pah, Papa keluarkan aku dari sini!" ungkap Satrio membuat wajah Sherina yang tadinya marah kini berubah kebingungan."Papa ke sini untuk bicarakan sesuatu pada kalian," jawab Alex."Papa? Ini apa-apaan, Pak? Jadi Satrio ini anak Pak Alex?" tanya Sherina disertai tawa kebingungan."Tenang dulu, Sherina, kamu duduk," suruh Alex.Kemudian, ketika Sherina sudah tenang, Alex mulai bicara padanya. Angga pun turut menyimak Alex bicara. Semua menyoroti Alex."Pertama, saya akan ungkap kenapa Satrio panggil saya Papa. Dia anak tiri saya, jujur saja memang sengaja merahasiakan ini dari perusahaan. Tapi sebagian ada yang sudah tahu," tutur Alex membuat Sherina menghela napas.Sherina duduk dengan posisi tangan menyanggah dagunya."Lalu kenapa Pak Alex rela anaknya di penjara?" tanya Sherina."Saya anggap ini adalah karma untuk saya, dulu saya juga bertindak tanpa mencari