"Keluarga Bu Rahayu," panggil seorang perawat, wanita yang memakai seragam putih-putih itu berdiri di bibir pintu sambil membawa map. Wanita berkulit bersih itu tersenyum ketika aku mendekat.
"Mari silahkan ikut saya, Bu," pinta perawat tadi pada Ambar. Tanpa banyak bicara Ambar pun mengikuti langkah sang perawat. Bunyi sepatu pantofel yang dipakai perawat memecah keheningan diantara mereka di sepanjang koridor rumah sakit.
"Silakan, Bu," ucap perawat itu setelah membuka pintu sebuah ruangan. Ambar tersenyum sebagai rasa terima kasih.
"Permisi, Dok. Ini hasil pemeriksaan pasien yang di ruang ICU, dan ibu ini keluarganya." Setelah menyerahkan map pada sang dokter, perawat itu pun mengundurkan diri.
Dokter paruh baya itu tengah meneliti catatan medis yang dibawakan perawat tadi. Setelah itu terdengar helaan napasnya, tanpa sadar Ambar juga melakukan hal yang sama. Wanita itu khawatir jika terjadi hal buruk pada mertuanya.
"Bu Rahayu sudah sadar ya, Bu. Dari hasil pemeriksaan, semuanya terlihat normal. Jadi besok bisa dipindahkan ke kamar biasa. Di sini tertulis semua baik-baik saja." Dokter itu tersenyum di akhir kalimatnya.
"Alhamdulillah, terima kasih, Dok. Apa saya sudah boleh menemui ibu saya, Pak?" tanyanya penuh harap.
"Silakan tanya dulu ke perawat yang bertugas di sana ya, Bu," sahutnya ramah.
"Oh, terima kasih, Dok. Saya permisi," pamit Ambar sambil bangkit dari duduknya.
Berkali-kali ucapan syukur keluar dari bibir tipisnya, Ambar sempat menyesal telah menunjukkan video itu pada mertuanya. Namun, jika diam saja, maka dirinyalah yang akan terluka atau bisa jadi dia yang saat ini berada di posisi Rahayu. Karena tak fokus ketika sedang berjalan, tak sengaja dia menabrak seseorang yang tengah berdiri di pinggir koridor.
"Punya mat ... ta ndak sih?" Wanita yang awalnya nyolot itu tiba-tiba memelankan suaranya ketika menatap Ambar. Ada sesuatu dari sorot matanya.
"Maaf, Mbak," ucap Ambar yang juga terkejut.
Wanita itu tersenyum tipis. "Kalau jalan hati-hati, jangan suka ngelamun. Nanti kesambet baru tahu rasa," gerutunya sambil berlalu, tetapi masih bisa didengar oleh Ambar. Namun, wanita pemilik alis bak semut berbaris itu memilih abai, karena memang dialah yang bersalah.
Sampai di depan ruang ICU, Ambar langsung menuju ke tempat petugas jaga. Menanyakan kondisi ibu mertuanya dan apakah dia boleh menemuinya.
Dengan ramah perawat yang memakai jilbab itu menjawab juga menjelaskan kondisi Rahayu saat ini. Ambar merasa senang karena dia diperbolehkan masuk sesuai amanah Rahayu.
Ambar langsung masuk dengan ditemani perawat, hingga menimbulkan kekesalan pada sepasang mata yang sedari tadi memperhatikannya. Rudi bangkit, kemudian bergegas melengkah menjauh dari ruangan di mana ibunya dirawat.
Lelaki itu merogoh saku celana untuk mengambil ponsel, setelah menyentuh dan menggeser layarnya, Ayahnya alif itu menghubungi seseorang. Setelah berbincang cukup singkat. Dia kembali meneruskan langkahnya.
Dalam ruangan yang penuh dengan peralatan medis itu, berkali-kali Ambar mengusap air matanya ketika memperhatikan mertuanya tidur. Seolah menyadari tengah diperhatikan perlahan Rahayu membuka matanya. Wanita senja itu tersenyum saat melihat menantunya ada di sisinya.
"Maafkan Rudi ya, Mbar, tapi kalau kamu ndak bisa memaafkannya juga ndak pa-pa. Rudi pantas mendapatkannya," ucapnya dengan suara lirih, mata senja itu berkaca-kaca seolah mewakili kalau hatinya tengah terluka.
"Ibu ndak usah memikirkan itu, maaf ya, Bu. Ndak seharusnya aku menunjukkan video itu," ucap Ambar penuh penyesalan sambil mengelus punggung tangan Rahayu.
"Ibu malu, Mbar. Bagaimana bisa Rudi melakukannya." Rahayu memejamkan matanya seketika butiran bening itu lolos, menetes membasahi bantal.
Tak ada lagi sahutan, kedua wanita beda generasi itu saling menguatkan satu sama lain.
"Sekarang ibu fokus sama kesehatan ibu saja. Agar segera pulih, kasihan Alif masih kangen sama neneknya," ucap Ambar berusaha menghibur mertuanya. Rahayu tersenyum, walaupun terkesan dipaksakan.
"Oh, iya Alif sama siapa, Mbar?" tanya Rahayu, suaranya terdengar cemas.
"Ibu tenang saja, Alif aman di rumah sama Fitri. Pokoknya sekarang ibu fokus dengan kesehatan ibu, pikirannya ditenangkan, ndak usah mikir yang aneh-aneh."
Rahayu menghela napasnya sambil membalas tatapan menantunya. Rahayu yakin Ambar adalah perempuan yang kuat dan tegar. Ambar pasti bisa menyelesaikan masalahnya, meskipun harus berakhir di perceraian. Rahayu hanya ingin menjadi penengah. Wanita senja itu berjanji, akan selalu menganggap Ambar menantunya, apapun yang terjadi.
"Kalau begitu sekarang kamu pulang, biar Fitri yang jaga ibu di sini. Kasian Alif," titah Rahayu setelah cukup lama termenung.
"Ibu ndak pa-pa tak tinggal sebentar?" tanya Ambar memastikan. Rahayu hanya membalasnya dengan anggukan kepala. Akhirnya dengan berat hati, Ambar pun keluar dari ruangan tersebut.
***
Rudi seolah sudah hilang akal, setelah mengajak ketemuan dengan Santi di sebuah hotel, sekarang dia malah menyuruh simpanannya itu datang ke rumahnya. Entah apa yang ada di pikirannya.
"Jam tujuh malam datanglah ke rumah. Aku tunggu," ucapnya sebelum menutup panggilan.
"Ayah, Bunda mana?" tanya Alif setelah pulang dari mengaji dengan diantar Fitri.
"Kata Mbak Fitri ibu ngantar Nenek ke rumah sakit, emangnya Nenek sakit apa, Yah?" imbuhnya bertanya.
"Nenek kecapekan, Kak. Nanti Bunda juga pulang, dia nungging Nenek di rumah sakit. Kasian–"
"Ayah kok ndak nungguin Nenek?! Kan kasian Bunda sendirian di sana," protes Alif memotong ucapan ayahnya.
"Ya nanti gantian, Kak. Sekarang Kakak ganti baju dulu, setelah itu makan." titahnya, membuat Alif menautkan kedua alisnya.
"Alif makannya nanti nunggu Bunda, Yah. Sekarang kita main yuk!" ajak Alif sambil menarik tangan Rudi. Lelaki itu tak bisa menolak, kegalauannya sirna setelah melihat senyum bahagia putranya. Kedua ayah dan anak itu bercengkrama di ruang tengah, tempat di mana keluarga kecil mereka biasanya menghabiskan waktu untuk bercerita.
Di tempat lain, Santi masih belum percaya dengan apa yang didengarnya melalui saluran telepon barusan, setelah tadi sore dia harus menelan kekecewaan saat Rudi menolak kehadirannya ketika berada di rumah sakit. Kini dia malah disuruh datang ke rumahnya. Santi tersenyum bahagia, wanita bertubuh bak gitar spanyol itu bergoyang pargoy untuk menyalurkan kebahagiaan. Baginya jalan untuk mendapatkan Rudi semakin terbuka lebar.
"Jadi wanita kerempeng itu sudah tahu? Terus Mas Rudi ingin aku datang ke rumahnya, biar wanita itu semakin cemburu! Hihihi .... " Santi berbicara sambil tersenyum sendiri. Setelah itu wanita yang selalu tampil memesona itu mulai mempersiapkan diri, dia ingin tampil sempurna di rumah calon suami.
Ambar berada di jalan yang mulai ramai dengan lalu-lalang kendaraan, ibu satu anak itu tengah duduk di bangku belakang kemudi taksi online yang dipesannya. Saat ini dia sedang berbincang dengan Fitri melalui saluran telepon. Wanita yang terlihat lelah itu menanyakan kabar putranya. Hatinya terasa nyeri ketika Fitri mengatakan kalau Alif tengah bermain dengan sang ayah. Setelah meminta Fitri bersiap-siap untuk ke rumah sakit menggantikannya dan mengucapkan terima kasih, Ambar mematikan panggilan telepon. Berkali-kali wanita bertinggi 159cm itu menghela napasnya.
Ambar kembali larut dalam kebimbangan. Alif, buah hatinya tercinta. Bocah berusia empat tahun itu memang menjadi salah satu alasannya untuk berkali-kali mempertimbangkan keinginannya untuk mengakhiri hubungan. Bagi Ambar, perselingkuhan adalah hal yang sangat dibencinya. Seseorang yang pernah menduakan hatinya, akan sulit untuk kembali setia. Jadi, pilihannya hanya satu, melepaskan. Lalu bagaimana dengan Alif? Pikirannya benar-benar bingung.
Tepat 40 menit perjalanan dari rumah sakit hingga sampai di rumahnya. "Pak, tunggu sebentar ya. Habis ini tolong antar saudara saya ke rumah sakit yang tadi," ujarnya pada sang supir.
"Iya, Bu," sahut lelaki sebaya ayahnya itu sambil tersenyum ramah ketika menoleh. Ada yang terasa sejuk menelusup ke hati Ambar, melihat senyum si supir mengingatkan dengan almarhum ayahnya.
Ambar termangu ketika hendak keluar dari kendaraan yang membawanya pulang, dia mengurungkan niatnya karena ada seorang wanita tengah berdiri sambil memencet bel rumahnya.
"Pak, mundurin sedikit mobilnya," pintanya pada sang supir.
Flashback "Mas, ayo," panggil Santi yang baru saja masuk ke kamar Rudi. Wanita bertubuh seksi yang bekerja sebagai asisten manajer itu tak sabar ingin segera meneguk madu bersama kekasihnya tersebut.Rudi masih sibuk dengan ponselnya setelah melakukan video call dengan sang putra, lelaki itu melirik Santi sekilas, kemudian menyimpan ponselnya di meja tanpa mengakhiri panggilan karena sudah tergiur ingin meneguk kenikmatan yang akan diberikan Santi. Senyum kedua insan yang tengah dimabuk asmara itu mengembang, mereka sama-sama mendamba kenikmatan surga dunia, walaupun mereka sadar kalau semua itu salah. ..Rudi seorang suami sekaligus ayah, memilih menyerah setelah sekian purnama bertahan dari godaan sang bawahan. Kenikmatan yang ditawarkan Santi kini menjadi candu, hingga dia melupakan segalanya. Sepuluh bulan yang lalu dia ditugaskan di kantor cabang baru sebagai manajer pemasaran, sekaligus sebagai promosi kenaikan jabatan. Lelaki itu dipandang layak karena memiliki sikap tangg
Rudi membernarkan posisinya."Buat apa ikut?" tanya Rudi sambil mencium keningnya."Aku gak bisa lama-lama pisah denganmu, Mas," ujarnya beralasan. Suaranya terdengar manja di telinga Rudi. Membuat lelaki itu gemas dan kembali memberinya sebuah ciuman."Hanya dua hari, Sayang," sahutnya, kali ini lelaki itu mencium rambut Santi yang mengeluarkan aroma wangi shampoo."Lama, Mas. Aku gak bisa jauh-jauh darimu," ucapnya. "Pasti nanti kamu menghabiskan waktu dengan wanita bau bawang itu.""Dia kan istriku, Sayang. Nanti kalau aku tak memanjakannya, dia malah curiga," sahut Rudi sambil menowel hidung Santi karena gemas...Pagi-pagi Rudi dan Santi siap untuk bekerja. Mereka sarapan sambil bercanda gurau, terkadang juga membahas tentang masa depan mereka, benar-benar seperti pasangan halal yang bahagia.Setelah selesai Santi berangkat terlebih dulu, agar tak menimbulkan kecurigaan dari rekan kerjanya. Untuk saat ini memang belum ada yang tahu karena mereka sangat pandai menyembunyikan hubun
Hampir setiap bersama, kedua insan yang tengah dimabuk asmara itu melakukan penyatuan, tak ada kata lelah bagi keduanya. Seolah benar adanya, jika kesalahan itu dilakukan maka akan mendapatkan sensasi yang berbeda."Terima kasih, Sayang," ucap Rudi sambil mencium pucuk kepala Santi. Setelah raganya merasakan kelelahan yang luar biasa karena dipaksa bekerja menuruti hasratnya."Apa sih nggak buat kamu, Mas, yang penting kamu bahagia," sahut Santi sambil tersenyum menggoda. Dengan Rudi gadis bukan perawan itu mempunyai perasaan lebih. Tak seperti lelaki yang sempat singgah di hidupnya, yang hanya dimanfaatkan hartanya saja."Kamu memang paling mengerti diriku, Sayang," balas Rudi. Setelah itu lelaki itu memejamkan matanya dengan bibir mengulas senyum kepuasan. Tak lama kemudian sudah terdengar dengkuran halus dari bibir tipisnya. Santi tersenyum, baginya wajah itu tak pernah membosankan, semakin dipandang semakin membuatnya terpesona.Besok Rudi akan pulang, menemui anak dan istrinya. Me
Kerasnya kehidupan yang dulu dialami Santi, membuatnya menghalalkan segala cara agar keinginannya bisa tercapai. Santi terjebak dalam pergaulan bebas. Gadis itu sudah berpetualang dalam dekapan lelaki hidung belang sedari memasuki bangku SMA. Santi muda sempat berpikir untuk mengakhiri pekerjaannya. Namun, keadaan ekonomi orang tuanya yang pas-pasan tak bisa memenuhi keinginannya untuk meneruskan pendidikan ke bangku kuliah. Hingga dia kembali menjadi wanita panggilan.Dengan tekad yang kuat, dia pamit kepada orang tuanya untuk menempuh pendidikan di kota. Banyaknya tuntutan gaya hidup membuatnya tak bisa melepaskan diri dari lembah hitam kenistaan. Namun, ada satu hal yang bisa dibanggakan darinya, Santi tetap berhasil menamatkan kuliahnya walaupun dengan sedikit sogokan pada dosen pembimbingnya. Dengan kemolekan tubuhnya.Selepas kuliah Santi langsung bekerja sebagai asisten manajer di sebuah kantor. Sesekali dia masih menerima panggilan jika memasuki akhir bulan. Gajinya yang tak
Ambar masih bertahan di dalam taksi, menunggu kira-kira apa yang akan terjadi. Firasatnya mengatakan kalau dia adalah wanita yang berada di video itu. Namun, Ambar tak mau gegabah, ibunya Alif itu mengamati gerak-gerik sang wanita yang masih berdiri di depan dengan membawa sebuah bungkusan di tangan kirinya.Pintu rumah terbuka, Rudi terlihat keluar sambil menggendong Alif. Seketika Ambar menjadi emosi. Namun, dia mengurungkan niatnya untuk turun setelah melihat Rudi membuka pagar. "Hallo, Alif," sapa Santi. Namun, bocah berambut ikal itu terlihat cuek bahkan memundurkan tubuhnya ketika hendak dicium Santi. Alif juga diam saja ketika Santi memberikan bingkisan yang sedari tadi dipegangnya."Ini Tante bawain mainan buat Alif. Diterima dong, Nak ganteng," ranyunya. Mendengar kata mainan bocah itu tampak tertarik, dia terlihat mencondongkan badannya. Namun, tiba-tiba dia kembali mundur."Nggak pa-pa, Sayang. Ini ambil gih," rayunya lagi. Kali ini Alif malah menyembunyikan wajahnya di be
Ambar masih terpaku di tempatnya sambil menatap ponsel yang sudah tak berbentuk. Perlahan wanita berambut ikal itu menunduk lalu mengambil pecahan ponsel tersebut. Dengan sangat menyesal dia berjalan ke arah taksi yang masih setia menunggunya."Bapak, maaf. Ponsel bapak rusak. Em, gini sekarang tolong antar saya ke ATM terdekat, setelah itu kita ke counter untuk beli ponsel baru. Em, Bapak masih ingat email-nya kan?" tanya Ambar panjang lebar, wanita yang suka dengan warna merah hati itu benar-benar merasa bersalah."Wah, saya nggak tahu kalau urusan itu, Bu. Anak saya yang ngotak-ngatik itu," sahutnya polos."Oh, ya udah kalau gitu. Sekarang kita langsung ke ATM ya, Pak. Terus beli ponsel untuk bapak. Semoga saja anaknya ndak lupa sama email-nya ya, Pak.""Iya, Bu. Gak pa-pa. Ibu gak usah khawatir. Saya yang minta maaf, karena ponselnya rusak jadi gak punya barang bukti.""Kok malah bapak yang minta maaf," sahut Ambar yang masih merasa tak enak hati. Setelah itu Ambar dan Pak supir t
"Fitri ... bagaimana, susah ndak nyari kamarnya?" tanya Rahayu dengan suara lirih sambil tersenyum.Santi mengehentikan langkahnya, perempuan itu terlihat heran dengan sikap ibunya Rudi. Dia juga berpikir apa wanita tua itu sudah gila?"Permisi, Mbak," ucap seseorang dari belakang Santi. Menyadari siapa yang datang, wanita yang hendak menceritakan hubungannya dengan Rudi pada Rahayu itu langsung balik badan dan segera berlalu dari ruangan itu."Siapa dia, Bu?" tanya Fitri setelah duduk di bangku plastik yang disediakan pihak rumah sakit untuk keluarga yang menjaga pasien.Rahayu menggeleng tanda tak mengerti. "Bagaimana kondisi di rumah?" tanyanya kemudian."Ndak terjadi apa-apa, Bu. Mbak Ambar dan Mas Rudi hanya saling diem-dieman," sahut Fitri berbohong sesuai permintaan Ambar. Agar mertuanya itu tidak begitu memikirkan masalahnya."Semoga saja tidak terjadi sesuatu yang ...." Rahayu tidak melanjutkan, wanita itu memejamkan matanya. Di usianya yang sudah renta, dia di hadapkan denga
Rudi kehabisan kata-kata, tetapi itu tak berlangsung lama. Lelaki itu kembali mengancam Ambar. "Jika kamu ingin berpisah, maka kamu harus keluar dari rumah ini. Tanpa membawa harta benda, kecuali barang yang sedang kamu pakai di badan. Ingat perjanjiannya kan, siapapun yang menuntut perceraian dia akan keluar."Ambar memejamkan matanya, jelas dia masih ingat dengan perjanjian yang mereka sepakati bersama. Bodohnya saat itu, dia merasa satu-satunya wanita yang dicintai Rudi, jadi dia yakin tak mungkin suaminya itu akan berpaling. Hingga janji itu dibuat, bukan siapa yang berselingkuh tapi siapa yang menginginkan perceraian. Bodoh."Aku akan keluar bersama Alif, karena aku tak mau anakku diasuh oleh wanita yang tak bermartabat.""Keluar dari rumah ini tanpa membawa apapun. Termasuk Alif!" tegas Rudi lagi. Merasa di atas angin Rudi pun bangkit. Namun, langkanya kembali terhenti."Kalau begitu video itu akan sampai ke kantormu, dan kamu tahu kan akibatnya," ucap Ambar tenang."Jangan meng
"Ada apa, Dek?""Kinan ndak nyahut, Bang.""Kinan! Kinan! Buka pintunya, Kinan!"Karena masih belum ada jawaban, Iyan pun mulai mendobrak pintu. Namun, setelah dobrakan kedua terdengar anak kunci yang diputar. Suami-istri itu saling berpandangan, kemudian perlahan melangkah mundur. Pintu kamar terbuka, Iyan dan Ambar sama-sama terperanjat melihat pemandangan yang tersaji di depan mata."Lebih baik aku mati, aku sudah tidak kuat ...." Tubuh berlumuran darah itu ambruk tetapi masih bisa ditahan oleh Iyan, sehingga tak sampai tersungkur."Ya Allah, Kinan!" seru Ambar bersamaan dengan Iyan."Ambil kunci mobil. Kita ke rumah sakit!"Keduanya bergegas ke depan menuju mobil, kemudian dengan kecepatan tinggi Iyan membelah jalanan yang tidak terlalu padat.**Semua keluarga kembali dan langsung ke rumah sakit di mana Kinan dirawat. Begitu juga dengan Miranti dan Bowo, keduanya langsung berangkat setelah mendapatkan kabar. Diiringi isak tangis, Miranti berkali-kali meminta maaf pada Farida kar
Malam sudah larut ketika mobil yang dikendarai Iyan sampai di kediamannya. Selama perjalanan, kedua pasutri itu membicarakan banyak hal, bercanda dan tertawa. Sementara Kinan memilih untuk memejamkan matanya, wanita bertubuh agak berisi itu berpura-pura tidur untuk meredam gejolak amarah karena cemburu, hingga dia benar-benar terlelap, walaupun tak nyenyak. Iyan meminta Ambar untuk membangunkan Kinan. Sementara dia membuka pintu."Mbak Kinan, bangun. Sudah sampai rumah," ucap Ambar dengan suara pelan sambil mengguncang pundak wanita pemilik wajah manis itu. Kinan mengerjap, setelah kesadaran pulih, tanpa bicara dia keluar dari mobil dan berlalu begitu saja meninggalkan Ambar yang masih berdiri mematung di samping mobil."Terima kasih, Mas," ucap Kinan saat dia sampai di depan Iyan yang berdiri di samping pintu, Iyan hanya tersenyum dan itu membuat Kinan melanjutkan langkahnya dengan pelan. Wanita yang tengah hamil muda itu semakin kesal ketika Iyan melangkah ke arah istrinya.Kinan se
"Ya udah kalau terserah abang. Kamu nggak boleh protes ya." Akhirnya dia berucap. Ambar yang mendengarnya hanya menghedikkan bahu sebagai jawaban.Wanita pemilik bulu mata lentik itu mengerutkan keningnya setelah mobil yang dikendarai suaminya hanya berpindah tempat parkir."Hotel?" tanyanya sambil mengamati sekitar."Iya, katanya terserah aku. Aku kan mau makan itu," goda Iyan sambil menaik turunkan kedua alisnya."Abang ...." Ambar benar-benar tak menyangka suaminya bisa berpikir ke situ."Udah dua malam loh, Dek. Kamu tak tahu bagaimana rasanya jadi aku." Saat mengatakannya Iyan memasang muka memelas hingga membuat Ambar gemas."Tapi ... tapi kenapa mesti di hotel? Aku ndak bawa surat nikah loh," sanggah Ambar cepat."Tenang," sahut Iyan sambil mengeluarkan buku tipis dari laci mobil."Abang, ish ...." Ambar semakin salah tingkah dibuatnya."Yuk! Ayo ... apa mau tak gendong?" ancam Iyan karena Ambar tak kunjung beranjak dari tempat duduknya. Bundanya Alif itu mengalah, dengan langk
Sepanjang perjalanan Kinan tak henti-hentinya bercerita, walaupun tak ada tanggapan yang berarti dari Iyan. Sementara Ambar masih sibuk dengan ponselnya. Kali ini bundanya Alif itu tengah berbalas pesan dengan Vina. [Hai, Mbakku. Lagi ngapain?] tanya Vina dalam pesannya.Ambar mengambil foto lalu mengirimkan pada Vina [Lagi nganterin bumil periksa] balasnya.Vina mengirimkan emoticon mata terbelalak, menandakan kalau dia tengah terkejut. [Baru kemarin dia periksa loh. Wah nggak bener ini] balasnya yang diakhiri dengan emoticon marah.[Biarin aja kita ikuti saja permainannya. Rencana kalina mau nginep berapa hari?] Ambar mengalihkan pembicaraan.[Terus Abang bagaimana? Apa dia nggak nolak gitu?] tanya Vina lagi, gadis itu sungguh penasaran campur geram pada Kinan.[Udah, tapi mo gimana lagi, di rumah cuma ada kita kan] terkirim dan langsung centang biru. Vina sedang mengetik."Dek Ambarku, seru banget main ponselnya, sampai senyam-senyum sendiri." Iyan yang sudah penasaran dengan sika
Kedua insan yang tengah kasmaran itu meredam gejolak yang tadinya berkorbar. "Aku akan melihatnya," ucap Ambar dengan suara serak dan napas tersengal."Aku saja," cegah Iyan yang juga tengah mengatur napasnya."Jangan, Bang. Itu pasti Kinan. Bair aku aja. Abang mandi dulu gih, sebentar lagi Magrib," ujar Ambar sambil melangkah menuju pintu."Ada apa, Mbak Kinan?" tanya Ambar setelah pintu terbuka."Maaf, Mbak Ambar. Mas Iyan-nya ada? Aku mau bicara dengannya." Tanpa rasa segan Kinan mencari lelaki yang jelas-jelas sudah beristri."Katakan saja, nanti aku sampaikan padanya," sahut Ambar cepat."Aku lebih enak ngomong sama Mas Iyan langsung." Kinan masih bersikeras dengan keinginannya."Ada apa, Dek?" tanya Iyan yang baru saja keluar dari kamar mandi. Melihat Iyan yang tengah mengacak rambutnya yang basah, Kinan menjadi kesal, wanita yang tengah hamil muda itu cemburu."Nanti habis Magrib, Mas Iyan antar aku periksa ke bidan ya? Sebenarnya balum waktunya balik, tapi badanku rasanya kura
"Maaf, Tante. Aku ndak bisa ikut, tadi aku sudah bilang sama Mas Iyan?" Ucapan Kinan mengejutkan semua orang yang sudah bersiap-siap untuk pergi. Mereka semua menoleh pada wanita berparas ayu tersebut.Vina yang sudah bersiap mengangkat ransel, kembali meletakkannya. "Bagaimana bisa, Kinan. Alif aja ikut kami, harusnya kamu ngerti dong." Vina sudah tidak tahan lagi. Adik ipar Ambar itu semakin kesal menghadapi keras kepalanya Kinan."Aku sungguh kurang enak badan, Vin. Kamu tahu, bahkan hanya mendengar kata 'naik mobil' perutku sudah mual," sanggah Kinan."Omong kosong!" umpat Vina yang sudah tidak tahan lagi dengan sandiwara Kinan."Vina ...." Sebenarnya Farida mengerti mengapa putrinya bersikap seperti itu, setelah semua bekerjasama memberi waktu pada Iyan dan Ambar, Kinan malah merusaknya. "Dia hanya berpura-pura, Bu," tukas Vina. Namun, wanita yang melahirkannya itu tak begitu menghiraukan. "Sudahlah, jika Kinan tak mau ikut, nggak usah dipaksa. Ayo sekarang kita ke depan, kasih
"Ada yang bisa kubantu?" tanyanya membuat Ambar berjingkat. Setelah bisa menguasai keterkejutannya Ambar pun membalas ucapan suaminya. "Ndak usah .... " Bundanya Alif itu menjeda kalimatnya, wanita itu bingung harus memanggil Iyan dengan sebutan apa."Kenapa diam?" tanya Iyan dengan suara rendah. Lelaki itu semakin mendekat dan itu semakin membuat Ambar gugup."Em ....""Bingung mau manggil aku dengan sebutan apa?" tanya Iyan, tatapannya semakin fokus pada sang istri.Ambar tersenyum kemudian mengangguk. "Susah kah?" tanya Iyan lagi. Karena merasa didesak akhirnya Ambar memberanikan diri mengangkat wajahnya."Sebenarnya ndak susah, cuma canggung aja. Tiba-tiba saja kita sudah menikah," balasnya. Tatapan mereka bertemu, keduanya seoalah enggan mengalihkannya, Iyan dan Ambar saling jatuh cinta."Senyamannya kamu, kalau aku ... Em, boleh nggak kalau aku manggilnya 'Dek'?" Akhirnya kalimat sakti itu keluar juga dari bibir lelaki jangkung tersebut. "Bunda ....!" Seruan Alif membuat mer
"Ada apa? Siapa yang meninggal, Sumi?" tanya Haris dengan suara serak, khas orang bangun tidur. Di KTP-nya, lelaki itu beragama Islam, walaupun kenyataan dia jarang atau hampir tidak pernah melakukan perintah Tuhannya. Namun, dia tahu dan paham untuk apa kalimat yang diucapkan Sumi tadi. Walaupun sebenarnya kalimat itu tak hanya untuk berita kematian, karena sejatinya disaat kita tengah mengalami hal buruk dan kesialan, kita bisa juga mengucapkannya."Aku-aku ... mau ke rumah sakit sekarang," balas Sumi. Wanita itu memungut ponselnya yang tergeletak di lantai tanpa menjawab pertanyaan lelaki yang masih bergulung selimut itu. Setelah mengamati dan memastikan jika benda pintar miliknya itu baik-baik saja, Sumi pun meletakkannya kembali di meja, kemudian dengan langkah tergesa dia menuju ke kamar mandi. Setelah bayangan Sumi tak lagi terlihat, dengan malas Haris bangkit dari tidurnya, kemudian duduk di tepi ranjang lalu membuat gerakan peregangan otot. Sumi yang baru saja keluar dari ka
Sementara di dalam kamar, Iyan dan Ambar tak bisa berbuat lebih, mereka hanya berbaring di sisi kiri dan kanan Alif sambil saling menatap, untuk saat ini bocah lelaki itu yang menguasai ranjang. "Maaf ...," ucap Ambar dengan suara yang hampir tak terdengar. "Ok," sahut Iyan tanpa suara, lelaki itu hanya menggerakkan bibirnya kemudian tersenyum. Setelah cukup lama saling pandang, Iyan memberanikan diri, tangan kanannya terulur lalu membelai rambut hitam milik Ambar. Bundanya Alif itu tersipu malu, tetapi dia begitu menikmatinya, hingga keduanya sama-sama terlelap.Pagi adalah waktu yang sibuk bagi setiap ibu rumah tangga, begitu juga dengan Ambar. Setelah selesai melaksanakan kewajiban dua rekaat, bundanya Alif itu langsung menyibukkan diri di dapur. Sementara para lelaki penghuni rumah itu masih belum kembali dari musolah. Aroma kopi dan teh melati yang menguar di seluruh ruangan membuat Vina keluar dari kamarnya dan melangkah ke dapur."Ih, pengantin baru rajin amat," godanya pada