"Stop! Itu punya siapa?" tanya Wulan tegas.
"Loh, saya enggak tau, Mbak. Ada di halaman belakang."
"Ya udah kalau gitu kembalikan ke Pak RT. Pasti punya dia."
"Pak RT?" ulang Yati bengong. "Punya Pak RT belakang rumah ini Mbak?"
"Iya, Yati. Udah balikin sono."
Kembali Yati pun tertawa terpingkal-pingkal.
"Balikin sekalian samanya hangernya, Yati. Masukin kantong kresek. Enggak enak dilihat orang lain."
"Beres Mbak Wulan. Ehhh, aku bilangnya nanti gimana, Mbak?"
"Ya, tinggal bilang aja. Jatuh di halaman belakang rumah kita. Gitu aja kok repot."
Yati pun menyeringai tipis. Dia bergegas mengambil kantong plastik hitam dan sekalian memasukkan G-string bersama hanger di dalamnya.
"Mbak Wulan, aku sekalian pulang ya?"
"Oke."
Langkah Yati yang berlenggak lenggok sering menjadi godaan bagi para keamanan yang sedang berjaga. Saat dia melewati pos ronda. Terdengar siulan menggoda dari Minto.
<Buru-buru Minto mengambil ponselnya. Dia mengetikkan beberapa pesan pada Beny. {Mas ada gosip ter-hot. Mengenai Mbak Wulan} {Apa?} {Cinta segitiga antara Pak RT, Mbak Wulan, sama Mas Joko!} Emoticon terbelalak. Beny semakin gusar dengan pesan yang dia dapat dari Minto. {Pak Minto ini dapat info dari siapa} {Saya tau sendiri, Mas} Beny tak melanjutkan pesannya. Dia memikirkan bagaimana bisa dua lelaki itu bisa mendapatkan tempat di hati Wulan. Dia seolah tak mempercayainya. "Bagaimana bisa? Dibandingkan sama Pak RT ya jauh lah. Pasti menang aku. Bagimana bisa Wulan memilihnya? Hemmmm ... aku harus cari cara!" Dalam waktu yang bersamaan. Yati berlenggak lenggok menuju rumah Pak RT yang tak jauh. Dia langsung memasuki halaman rumah. Dan melihat Pak RT yang sedang sibuk membersihkan tanaman di teras samping rumah. "Assalamualaikum, Pak RT!" Yati berlagak kemayu. Dan tanpa sepengetahuannya. Bu RT memp
"Kayaknya ini harus dicoba!" Kali ini, pandangan Bu RT tertuju pada sang suami. "Nih, Pak! Cepat Bapak pakai. Aku ingin tau hasilnya." "Pakai? Kamu bilang aku suruh pakai ini?" "Iya, kalau enggak pas. Berarti memang benar milik Mas Beny." Seketika Pak RT meneguk salivanya. 'Ahhh, si Jenny ini bener-bener bikin aku keki. Padahal kan itu Wulan kasih hadiah ke aku,' batin Pak RT kesal. "Ao, Pak! Jangan melamun aja!" Seraya Bu RT menarik lengan Pak RT untuk masuk rumah. "Aku keburu ingin tau. Seberapa seksinya Bapak." "Apaaaaa???" Pak RT melotot ke arah sang istri. Yang senyum-senyum tidak jelas. "Kamu jangan ngawur toh, Bu!" "Loh ngawur gimana toh Pak. Aku ini cuman tau bukti nyata kalau pakaian dalam yang aneh ini bukan milik kamu!" tegas Bu RT dengan nada suara meninggi. Membuat Pak RT tak bisa melawan lagi. Dia akhirnya hanya bisa pasrah. Bu RT melemparkan G-string elephant k
"Enggak kelihatannya wajahnya gitu Jeng," protes Jenny. "Ini akun yang kata Ibu-ibu punya Mas Dony, Jeng." Mendengar kalimat itu, Bu RT terbelalak. "Mas Dony itu?" Binti mengangguk berulang-ulang. "Jadi, ada kemungkinan celana dalam ini milik Mas Dony? Dan dia ada main sama Janda gatel itu?" lanjut Jenny. "Hoooohhh ... gitu dia bilangnya cinta sama aku, Jeng. Katanya aku menarik dan sesuai kriteria dia. Aku dewasa, anggun, dan bisa mengerti dia," cerocos Binti kesal. Membuat Bu RT semakin terbelalak lebar. "Loh ... loh, kok Jeng Binti bilangnya gitu? Ini Mas Beny atau Mas Dony sih, Jeng? Kok kepala aku jadi mumet ya?" "Enggak usah diambil hati ocehan saya tadi Jeng RT." "Ta-tapi, apa bener nih Jeng Binti ada hubungan mesra sama Mas Dony?" Yang ditanya tak langsung menjawab. Malah tertawa cekikikan. Dengan raut wajah yang memerah. "Kalau gitu saya pulang dulu, Jeng. Nanti Suami cari saya."
"Sangat mudah sekali Mas ... ehhh Pak Joko. Maaf kebiasaan memanggil dengan kata Mas. Apa boleh saya memanggil dengan sebutan Mas Joko? Biar lebih akrab." "Boleh saja." Jemari tangan yang lentik dan lembut. Langsung menyentuh punggung telapak tangan Joko, yang langsung terhenyak. Membuat bulu kuduknya beridir. Oleh sebuah rasa yang aneh. Wanita secantik ini, tengah mempermainkan bulu-bulu lembut di tangannya. Perlahan Joko menarik tangan. Dengan berpuran-pura menggaruk punggung. Sembari pandangan mata tak lepas dari wanita cantik ini. "Saya seperti pernah mengenal kamu. Tapi, di mana ya?" "Mas Joko lupa?" "Iya, Mbak. Maaf, customer saya banyak sih." "Coba perhatikan wajah aku lagi, Mas Joko!" Dengan suara yang mendayu-dayu. Membuat sesuatu dalam diri Joko seolah terbakar. Dinginnya AC dalam ruangan ini tak mampu meredam gejolak rasa yang aneh. 'Sebentar ya, Mbak. Saya ke kamar mandi dulu." Bergegas Joko pergi me
"Siapa tadi itu, Mas?""Tetanggaku.""Mas, apa enggak takut kalau nanti tetangganya bilang sama istri Mas Joko nih?""Dia bisa dipercaya kok. Kita kan sehati."Ana tersenyum simpul penuh makna. Lalu dia menggeser duduknya agar lebih mendekat lagi pada Joko. Joko merasa mulai tidak tenang. Dia pun sedikit menjauh dari Ana."Udah hampir satu jam kita di sini. Mending pulang yuk!""Boleh. Apa Mas Joko mau antar aku pulang?""Jangan, Ana. Enggak enak aku, sama istri. Pasti dia nungguin aku lama.""Baiklah kalau gitu. Sebenarnya aku juga bawa mobil kok, Mas.""Kamu asli mana sih?"Keduanya berjalan menuju cafe yang tak jauh dari taman itu."Itu mobilku, Mas.""Ya sudah. Hati-hati An!"Tanpa pernah Joko Sangka. Ana menarik lengan Joko dengan kuat. Hingga tubuhnya berbalik menghadap wanita cantik itu. Dengan gerak cepat, Ana mencium pipi Joko mesra. Membuat lelaki berparas manis itu
"Haaahhh?!"Seketika kedua bola mata Ana membulat lebar."Dari mana Mas Joko bisa tau?""Grup para Bapak heboh. Gara-gara si gajah itu.""A-paaaaa ...?! Sekarang juga Mas harus pulang!""Iya, Sayangku. Ini udah dekat rumah kok."Di teras depan. Ana berjalan mondar mandir dengan kedua tangan di pinggang. Dari raut wajahnya terlihat dia cemas. Berulang kali dia mengalihkan pandangannya ke arah jalan."Bilang bentar, tapi kok lama. Sebel tau!"Terdengar suara derap langkah yang berat. Sesosok tubuh subur muncul dari rumah sebelah."Jeng Aan ... Jeng!"Langkah Bu RT terlihat tergopoh-gopoh, memasuki halaman rumah. Ana pun menghampirinya. Dengan raut wajah penuh tanya."A-ada apa ya Bu?""Tadi sore, pembantunya si janda genit itu datang ke rumah saya Jeng.""Kok tumben Yati ke rumah Bu RT?"Kemudian Bu RT menarik lengan Ana agar lebih merapat pada dirinya.
"Ini, badannya Mas Dony?""Katanya Jeng Binti sih. Coba kita lihat ini. Ada yang pakai mirip celana dalam tadi yang diantar sama Yati."Jemari tangan Bu RT bergerak cepat. Lalu dia menemukan sebuah gambar yang sama. Dengan celana dalam tadi."Ini, Jeng Ana!" ujung jarinya menunjuk ke arah gambar itu."I-ini, Bu? Warnanya coklat, ada belalai sama mata, terus ada telinganya juga?""Loh ... loh! Kok Jeng Ana bisa tau?!"Seketika keduanya saling melotot dan berpandangan."A-apa warna nya coklat macan tutul juga Bu RT?""Iya, Jeng. Kok bisa tau?"Bersamaan dengan pertanyaan Bu RT. Tin tin!Suara klakson mobil Joko yang telah berhenti di depan pagar rumah. Seketika keduanya berpaling. Lalu Bu RT menyenggol lengan Ana."Saya pulang dulu, Jeng Ana. Nanti kita lanjut dijaprian aja," bisik Ana."Baik, Bu."Ana dan Bu RT berjalan menuju pagar. Sembari sedikit mengangguk dan ters
"Mas ... Joko?" "Anaaaa ?!" Sontak Ana berbalik melihat pada sang suami. Yang tengah terbengong melihat Ana Dolly, yang tiba-tiba ada di hadapannya. "Mas Joko! Mas ... ngapain sih panggil-panggil?" Sembari memukul lengan Joko. Buru-buru Ana Dolly menutup kaca jendela. Dia tak ingin istri Joko mengetahui wajahnya. "Siapa cewek tadi?" Pertanyaan Ana seketika membuat tenggorokan Joko terasa gatal. "Ehemmm ... hemmmm!" Joko terus berdehem berulang-ulang. Tatap mata Ana terus memandang tajam. Lekat seperti magnet yang mengunci besi tembaga di hadapannya. Lalu dahinya berkerut keras. "Kenapa Mas Joko kok jadi grogi gini?" "Haaa ...?!" "Kenapa ... Mas Joko jadi grogi kayak gini?" Dengan intonasi suara lebih lirih dan melambat penuh penekanan. Sampai dagu Ana mengerut. "Ya, enggak ada grogi aku. Mana ada grogi toh? Kamunya aja yang penuh selidik kayak gitu." "Hemmmm ...." Sembari matany