"Kayaknya ini harus dicoba!" Kali ini, pandangan Bu RT tertuju pada sang suami. "Nih, Pak! Cepat Bapak pakai. Aku ingin tau hasilnya."
"Pakai? Kamu bilang aku suruh pakai ini?"
"Iya, kalau enggak pas. Berarti memang benar milik Mas Beny."
Seketika Pak RT meneguk salivanya.
'Ahhh, si Jenny ini bener-bener bikin aku keki. Padahal kan itu Wulan kasih hadiah ke aku,' batin Pak RT kesal.
"Ao, Pak! Jangan melamun aja!" Seraya Bu RT menarik lengan Pak RT untuk masuk rumah.
"Aku keburu ingin tau. Seberapa seksinya Bapak."
"Apaaaaa???"
Pak RT melotot ke arah sang istri. Yang senyum-senyum tidak jelas.
"Kamu jangan ngawur toh, Bu!"
"Loh ngawur gimana toh Pak. Aku ini cuman tau bukti nyata kalau pakaian dalam yang aneh ini bukan milik kamu!" tegas Bu RT dengan nada suara meninggi. Membuat Pak RT tak bisa melawan lagi. Dia akhirnya hanya bisa pasrah.
Bu RT melemparkan G-string elephant k
"Enggak kelihatannya wajahnya gitu Jeng," protes Jenny. "Ini akun yang kata Ibu-ibu punya Mas Dony, Jeng." Mendengar kalimat itu, Bu RT terbelalak. "Mas Dony itu?" Binti mengangguk berulang-ulang. "Jadi, ada kemungkinan celana dalam ini milik Mas Dony? Dan dia ada main sama Janda gatel itu?" lanjut Jenny. "Hoooohhh ... gitu dia bilangnya cinta sama aku, Jeng. Katanya aku menarik dan sesuai kriteria dia. Aku dewasa, anggun, dan bisa mengerti dia," cerocos Binti kesal. Membuat Bu RT semakin terbelalak lebar. "Loh ... loh, kok Jeng Binti bilangnya gitu? Ini Mas Beny atau Mas Dony sih, Jeng? Kok kepala aku jadi mumet ya?" "Enggak usah diambil hati ocehan saya tadi Jeng RT." "Ta-tapi, apa bener nih Jeng Binti ada hubungan mesra sama Mas Dony?" Yang ditanya tak langsung menjawab. Malah tertawa cekikikan. Dengan raut wajah yang memerah. "Kalau gitu saya pulang dulu, Jeng. Nanti Suami cari saya."
"Sangat mudah sekali Mas ... ehhh Pak Joko. Maaf kebiasaan memanggil dengan kata Mas. Apa boleh saya memanggil dengan sebutan Mas Joko? Biar lebih akrab." "Boleh saja." Jemari tangan yang lentik dan lembut. Langsung menyentuh punggung telapak tangan Joko, yang langsung terhenyak. Membuat bulu kuduknya beridir. Oleh sebuah rasa yang aneh. Wanita secantik ini, tengah mempermainkan bulu-bulu lembut di tangannya. Perlahan Joko menarik tangan. Dengan berpuran-pura menggaruk punggung. Sembari pandangan mata tak lepas dari wanita cantik ini. "Saya seperti pernah mengenal kamu. Tapi, di mana ya?" "Mas Joko lupa?" "Iya, Mbak. Maaf, customer saya banyak sih." "Coba perhatikan wajah aku lagi, Mas Joko!" Dengan suara yang mendayu-dayu. Membuat sesuatu dalam diri Joko seolah terbakar. Dinginnya AC dalam ruangan ini tak mampu meredam gejolak rasa yang aneh. 'Sebentar ya, Mbak. Saya ke kamar mandi dulu." Bergegas Joko pergi me
"Siapa tadi itu, Mas?""Tetanggaku.""Mas, apa enggak takut kalau nanti tetangganya bilang sama istri Mas Joko nih?""Dia bisa dipercaya kok. Kita kan sehati."Ana tersenyum simpul penuh makna. Lalu dia menggeser duduknya agar lebih mendekat lagi pada Joko. Joko merasa mulai tidak tenang. Dia pun sedikit menjauh dari Ana."Udah hampir satu jam kita di sini. Mending pulang yuk!""Boleh. Apa Mas Joko mau antar aku pulang?""Jangan, Ana. Enggak enak aku, sama istri. Pasti dia nungguin aku lama.""Baiklah kalau gitu. Sebenarnya aku juga bawa mobil kok, Mas.""Kamu asli mana sih?"Keduanya berjalan menuju cafe yang tak jauh dari taman itu."Itu mobilku, Mas.""Ya sudah. Hati-hati An!"Tanpa pernah Joko Sangka. Ana menarik lengan Joko dengan kuat. Hingga tubuhnya berbalik menghadap wanita cantik itu. Dengan gerak cepat, Ana mencium pipi Joko mesra. Membuat lelaki berparas manis itu
"Haaahhh?!"Seketika kedua bola mata Ana membulat lebar."Dari mana Mas Joko bisa tau?""Grup para Bapak heboh. Gara-gara si gajah itu.""A-paaaaa ...?! Sekarang juga Mas harus pulang!""Iya, Sayangku. Ini udah dekat rumah kok."Di teras depan. Ana berjalan mondar mandir dengan kedua tangan di pinggang. Dari raut wajahnya terlihat dia cemas. Berulang kali dia mengalihkan pandangannya ke arah jalan."Bilang bentar, tapi kok lama. Sebel tau!"Terdengar suara derap langkah yang berat. Sesosok tubuh subur muncul dari rumah sebelah."Jeng Aan ... Jeng!"Langkah Bu RT terlihat tergopoh-gopoh, memasuki halaman rumah. Ana pun menghampirinya. Dengan raut wajah penuh tanya."A-ada apa ya Bu?""Tadi sore, pembantunya si janda genit itu datang ke rumah saya Jeng.""Kok tumben Yati ke rumah Bu RT?"Kemudian Bu RT menarik lengan Ana agar lebih merapat pada dirinya.
"Ini, badannya Mas Dony?""Katanya Jeng Binti sih. Coba kita lihat ini. Ada yang pakai mirip celana dalam tadi yang diantar sama Yati."Jemari tangan Bu RT bergerak cepat. Lalu dia menemukan sebuah gambar yang sama. Dengan celana dalam tadi."Ini, Jeng Ana!" ujung jarinya menunjuk ke arah gambar itu."I-ini, Bu? Warnanya coklat, ada belalai sama mata, terus ada telinganya juga?""Loh ... loh! Kok Jeng Ana bisa tau?!"Seketika keduanya saling melotot dan berpandangan."A-apa warna nya coklat macan tutul juga Bu RT?""Iya, Jeng. Kok bisa tau?"Bersamaan dengan pertanyaan Bu RT. Tin tin!Suara klakson mobil Joko yang telah berhenti di depan pagar rumah. Seketika keduanya berpaling. Lalu Bu RT menyenggol lengan Ana."Saya pulang dulu, Jeng Ana. Nanti kita lanjut dijaprian aja," bisik Ana."Baik, Bu."Ana dan Bu RT berjalan menuju pagar. Sembari sedikit mengangguk dan ters
"Mas ... Joko?" "Anaaaa ?!" Sontak Ana berbalik melihat pada sang suami. Yang tengah terbengong melihat Ana Dolly, yang tiba-tiba ada di hadapannya. "Mas Joko! Mas ... ngapain sih panggil-panggil?" Sembari memukul lengan Joko. Buru-buru Ana Dolly menutup kaca jendela. Dia tak ingin istri Joko mengetahui wajahnya. "Siapa cewek tadi?" Pertanyaan Ana seketika membuat tenggorokan Joko terasa gatal. "Ehemmm ... hemmmm!" Joko terus berdehem berulang-ulang. Tatap mata Ana terus memandang tajam. Lekat seperti magnet yang mengunci besi tembaga di hadapannya. Lalu dahinya berkerut keras. "Kenapa Mas Joko kok jadi grogi gini?" "Haaa ...?!" "Kenapa ... Mas Joko jadi grogi kayak gini?" Dengan intonasi suara lebih lirih dan melambat penuh penekanan. Sampai dagu Ana mengerut. "Ya, enggak ada grogi aku. Mana ada grogi toh? Kamunya aja yang penuh selidik kayak gitu." "Hemmmm ...." Sembari matany
"Lah, itu Mbak Binti. Saya itu sebenarnya sedang cari celana dalam yang ada belalainya.""Hooooo ...!"Sontak kedua bola mata Binti membulat lebar."Ada matanya juga, sama telinga lebar di kedua sisi. Lalu warna coklat macan tutul. Apa itu Jeng Ana?""Benar sekali Mbak!" sahut Ana semringah. Senyumnya langsung mengembang lebar."Ta-tapi, Jeng?""Kenapa Mbak Binti?"Kali ini, mata Ana yang membulat lebar. Dengan mengernyitkan dahi memandang pada Binti. Sedangkan Joko dan Beny hanya memperhatikan sekilas istru mereka."Ehhh ... anu, Jeng Ana."Sekilas Binti melirik pada suaminya. Dia terlihat gelisah sembari menarik kursi agar lebih mendekat pada Ana. Lalu, dia mengecilkan suaranya."Begini lho Jeng Ana. Saya kan tadi dikasih sama Bu RT, dikira punya Mas Beni. Nyatanya itu bukan milik Mas Beny. Saya mikirnya itu punya Mas ... ehhh--"Sejenak Binti terdiam. Lalu meneruskan kalimatnya."Ehhh ... ng
Buru-buru Binti yang memang cantik, menyurai rambut panjang kecoklatan. Segera jemari tangannya bergerak cepat.{Aku tunggu di cafe seperti biasanya. Tapi aku enggak masuk, temui di halaman parkir!}Pesan itu dengan cepat terkirim ke seseorang.Ting!{Oke, Cantik!}Mendapatkan sebuah balasan dari seseorang. Binti pun segera mengeluarkan mobil dan melaju dengan kecepatan sedang, menuju sebuah cafe. Hanya butuh waktu dua puluh menit. Mobil sudah berbelok memasuki halaman parkir yang cukup luas.Tak lama seorang lelaki tampan turun dari mobilnya. Berjalan mendekati Binti. Wanita cantik menggerakkan sedikit kepalanya. Agar lelaki segera masuk mobil."Dari mana kamu Cantik?""Rumah lah. Nih!"Binti melempar sebuah bungkusan pada lelaki tampan itu."Apa ini?""Buka aja."Dengan cepat gerakan tangannya merogoh kanto kresek yang berwarna hitam. Lalu sang lelai menatap tajam dengan kedua mata terbeliak.
"Wulaaan???" ulang Bu RT dengan gigi yang berbunyi gemertak. Semakin membuat Pak RT salah tingkah dan kelimpungan."Modyarrrr!" bisik Pak RT. "Bagaimana bisa aku kelepasan omong. Kenapa aku harus bilang rumahnya Wulan?" Masih berbisik."Dari ... mana Bapak bisa tahu aku cariin Bapak di rumah janda gatel itu?""Ehhh, perasaan aku tadi enggak bilang. Ibu saja kali yang kedengerannya kayak gitu.""Pak, aku serius. Kupingku ini masih jangkep, enggak bakalan salah denger!""Yaaaa, aku tadi 'kan cuman nebak. Ibu 'kan biasanya memang suka ke situ."Pak RT menjawab enteng, pura-pura tenang dan santai, seolah tidak ada yang terjadi. Mendengar jawaban suami yang seperti itu, Bu RT hanya bisa manyun satu meter. Wanita bertubuh subur itu, berlalu meninggalkan suaminya yang senyum-senyum sendiri.'Aku mau kirim pesan sama Dek Wulan. Pokoknya aku enggak bisa terima dia jalan sama si Beny itu!' bisik Pak RT dalam hati.Tangannya b
"Tuh, Pak. Pakai tali itu, kayak Tom Cruise di Mission Impossible. Ngerti Pak?""Ta-tali?"Wulan manggut-manggut. Lalu, dia maju beberapa langkah. Menarik kain panjang dan mengikatnya pada salah satu sisi pagar besi."Ayo sekarang Bapak naik, dan pegang tali ini!""Se-sekarang aku harus naik pagar ini, terus melompat ke bawah, Wulan?""Iya, enggak ada pilihan!""Waduuhhh!"Wulan bergerak cepat. Dia mengikat ujung kain dan melingkarkan di perut buncit Pak RT."Sekarang juga Pak RT turun, atau Bu RT akan keluarkan jurus lemparan maut. Bisa bendol dahi Bapak nanti.""I-iyaaa ...."Dengan berhati-hati, Pak RT mulai menaiki pagar. Sesekali dia melongok ke bawah."Dek, aku takut.""Pegang yang kencang, Bapak!"Wulan mengeluarkan tenaganya untuk menghentakkan kain tersebut."Loh ... loh, Dek Wulan! A-apa yang mau kamu lakukan?""BIar Bapak cepat mendarat di bumi!
"Pak RT bisa ketahuan lho.""Biarinlah! Aku enggak mau ada masalah sama nih wanita. Bisa-bisa namaku dicatut terus sama dia kalau berurusan pelakor. Belum lagi suaranya yang super kencang itu."Ana hanya bisa menghela napas panjang. Sekilas dia melihat Mbok Lasmi yang berdiri di belakang Bu RT. Dia lebih tertarik menghampirinya, dan menanyakan perihal Joko dan Ana. Wanita cantik itu, meninggalkan Wulan dengan segala keruwetannya bersama Bu RT.Di sisi lain, Bu RT mulai menyusuri segala penjuru ruang. Wulan berusaha untuk tenang, sampai sudut matanya menangkap jempol kaki Pak RT di balik korden."Matek, Pak!" bisik Wulan terkesiap.Segera Wulan berdiri di depan korden, berusaha untuk menutupi jempol kaki Pak RT."Kok, Pak RT enggak ada? Memang kamu sembunyikan di mana ... haaaa?"Wulan menggeleng."Buat apa saya sembunyikan? Ibu bisa cek seluruh isi kamar dari lantai bawah sampai atas. Loh, kurang opo coba?""Kurang ajar!
"Itu, kayaknya Bu RT? Ngapain mereka berdua?"Ana pun ikut mengikuti mereka. Sengaja dia berjaga jarak, agar tidak ketahuan."Apa, Pak RT bener-bener selingkuh sama Mbak Wulan? Kok sampai Bu RT bawa klompen?"Kedua matanya semakin menyipit tajam. Memperhatikan segala gerak gerik mereka."Bukannya Mbak Wulan itu sama Mas Beny, ya?"Rasa penasaran membuat Ana terus mengikuti kedua wanita itu. Dia mengendap-endap, mirip dengan agen MI (Mission Impossible). Merapatkan tubuhnya ke dinding rumah. Sambil sesekali menyelinap di antara pohon mangga."Loh, mereka main bukapagar aja. Aku harus cepat ke sana!"Ana pun berlari kecil mengejar mereka yang sudah memasuki, halaman rumah Wulan. Teriakan Bu RT mengguncangkan perumahan pagi ini."Bapaaaaaaakkk!!!" Sembari siap melemparkan serangan jurus maut.Klompen di tangan kanan sudah siap melayang."Bapaaaaaakkk!" teriak Bu RT tak peduli didengar oleh tetangga yang lain.
"Mbok Lasmi?!" Tampak raut wajahnya keheranan melihat kedatangannya. "Tumben, Mbok? Ada apa?""Ehhh ... Bu RT. Ini lho, tadi saya masak opor ayam. Mau kasih incip.""Wahhh, kebetulan saya juga belum masuk ini, Mbok. Ayo masuk dulu, Mbok!"Mbok Lasmi langsung terlihat senang. Dia meletakkan mangkoknya di atas meja makan."Opor sukaannya Pak RT, MBok.""Ohhh, sekarang ke mana Pak RTnya, Bu?""Paling di dalam. Sukanya 'kan pelihara kembang-kembang, Mbok."Mbok Lasmi, menyeringai masam. Mmebuat Bu RT menarik dagunya hampir menyentuh leher."Memangnya ada apa sih, Mbok?""Soalnya tadi saya kok melihatnya Pak RT keluar rumah, Bu RT. Jalan ke sana!""Sana, mana toh Mbok?""Sana itu lho, Bu RT. Mosok enggak paham toh?"Ucapan Mbok Lasmi semakin membuat Bu RT penasaran."Maksud Mbok Lasmi ke belakang?" Mbok Lasmi mengangguk. "Rumahnya si janda genit itu?" Hampir berteriak Bu RT mengatakanny
"Gimana itu, Mbok? Kok, yo bisa-bisanya itu celana belalainya Mas Joko sampai gosong. Mana berlubang lagi. Gimana itu coba?!" sentak Ana dengan kesal."Sa-sabar dulu Mbak Ana. Nanti buntutnya ini, biar Mbok jahit.""Mana bisaaa, Mbok!"Ana sangat kesal, sampai membanting G-string belalai milik Joko. Napasnya memburu seiring amarah yang mau meledak."Mbok itu enggak tahu ini apa?""Ta-tahu, Mbak. I-itu 'kan ... ehhh, buat tempatnya manuk toh Mbak?""Manuk ... manuk opo, Mbok?""Ehhh ...."Mbok Lasmi hanya bisa gigit jari. Setiap jawaban yang dia lontarkan semakin membuat Ana marah dan berteriak. Langkah Ana terdengar menghentak di lantai."Walahhh, cuman tempat manuk gini ae kok yo marah-marah toh Mbak Ana ini."Ana yang mendengar gerutu Mbok Lasmi menghentikan langkahnya. Lalu, berbalik, "Mbok ngomong apa barusan?""E-enggak, ada ngomong Mbak.""Ngomong! Wong aku ini denger Mbok."
Maya dan Dony tertawa lirih. Terlihat Dony kurang nyaman dengan pengakuan Maya yang blak-blakan."Saya deketin aja, Pak RT. Rumahnya Mas Dony, biar enggak diincar pelakor. Iya 'kan Bu RT?""Wahhh, bener sekali Jeng."Bu RT sepakat dengan ide Maya. Sepertinya mereka pun langsung akrab dan berbagi nomer HP. Setelah mengisi formulir warga, mereka berdua pun berpamitan pulang."Bu ... Bu! Ini nanti bisa terjadi perang dunia ketiga toh, Bu.""Kok bisa?""Lah, rumah yang dikontrak Bu Maya itu 'kan bersebelahan sama Mbak Binti. Apa enggak bakalan rame tuh?""Ehhh, iya juga sih Pak. Cuman, biarin aja deh. BIsa jadi hiburan buat aku." Bu RT tergelak sambil berlalu meninggalkan suaminya."Pak! Aku ke pasar dulu, mungkin agak siangan, sekalian mampir mau ke rumah teman aku sekolah dulu!""Iya!" sahut Pak RT. 'Wahhh, kesempatan emas ini. Aku harus bicara sama Wulan!' batin Pak RT girang.Bergegas lelaki berkumis tebal i
"Apalagi toh, Bu?" "Bapak denger ini, pasti kaget!" "Coba cerita!!!" Jenny membenarkan sikap duduknya, sampai merasa nyaman. "Bapak tahu kalau teman si janda gatel itu, yang namanya sama si Ana, juga lagi ada hubungan sama ... Mas Joko!" "Wahhh, gila benar!" sahut Pak RT spontan. ' Coba aku lebih berani?!' bisiknya dalam hati. 'Kurang ajar benar si Beny, main selonong aja. Pastinya si Wulan lebih milih aku lah!' "Bapak kok malah diem, melamun gitu?" sentak sang istri yang merasa aneh melihat suaminya. "Apa Bapak mikirin Mas Beny yang jalan sama tuh Janda?" "Ehhhh ... Ibu kok makin ngawur ya. Aku tuh berpikir, kok bisa RT kita orang-orangnya begitu." Di saat mereka berbincang serius. Terdengar bel rumah yang berbunyi. Ting tong! Sontak membuat keduanya langsung berpaling ke arah pintu rumah. Ting tong! "Pak! Buka pintunya. Kayaknya ada tamu tuh." "Ibu aja lah! Bapak capek nih. Habi
Lah, saya ini datang karena ingin tahu kok. Jangan pura-pura lah Jeng Tami. Saya tahu kalau kalian ini gosipnya lewat japrian 'kan, enggak lewat grup." Deg! Jeng Tami agak kelimpungan dibuatnya. Dia tak bisa mengelak lagi, karena tebakan wanita bertubuh subur ini sangat tepat. "Ehhh, iya Bu RT." "Emang ada gosip apa?"Lah, saya ini datang karena ingin tahu kok. Jangan pura-pura lah Jeng Tami. Saya tahu kalau kalian ini gosipnya lewat japrian 'kan, enggak lewat grup." Jeng Tami pun kelimpungan. Dia tidak tahu harus menjawab apa, pada Bu RT. "Kok malah diam?" "Ehhh, saya bingung Bu." "Apa yang bikin bingung? Jeng Tami tinggal cerita aja, gitu aja kok repot!" Wanita berambut ikal itu, menggaruk kepalanya sendiri. "Ceritanya panjang Bu RT." "Saya punya waktu panjang kok Jeng Tami. Silakan cerita!"