POV penulis Narendra tersenyum dan menatap Adi, lalu menjawab, "Wah, kamu enggak bisa seenaknya saja Di. Aturannya memang kalau karyawan baru divisi agen marketing di perusahaan ini harus promo di mall atau supermarket. Kecuali kalau sudah lama bekerja dan mempunyai prestasi rekrut banyak customer dan mempunyai strategi marketing bagus, boleh lah cuma mantau dari kantor dan nunggu laporan dari asisten manager."Adi mendengus. "Hei Ren. Aku tahu aku karyawan yang baru masuk. Aku tahu kamu pemilik dari showroom yang besar ini. Tapi kamu enggak boleh semena-mena dong padaku. Kamu berhutang budi loh sama aku. Kalau nggak ada aku kamu bakal kesulitan mengerjakan PR. Kamu kok sekarang seperti kacang lupa pada kulitnya sih Ren?"Narendra menghela nafas panjang. "Di, sedikit pun aku tidak akan melupakan jasa dan bantuan kamu saat masih sekolah dulu. Tapi saat ini jelas berbeda dengan masa lalu. Ini sudah masa kerja. Kita sama-sama sudah dewasa. Tidak bisa berbuat seenaknya saja seperti saa
"Lidia? Rasanya tidak mungkin kalau Lidia mengkhianati ku!" tukas Adi dengan marah. Hesti mengedikkan bahunya. "PMS yang kamu alami berasal dari kuman yang hanya bisa ditularkan melalui kontak tubuh dan jarum suntik. Tapi paling sering karena hubungan suami istri.Berarti antara pria dan wanita ada yang sering berganti pasangan atau sering bermain dengan orang yang beresiko tingg."Penjelasan Hesti membuat Adi bergidik. Dengan cepat diraihnya tangan Hesti. Dokter wanita itu mengibaskan tangan Adi perlahan. "Maaf, kita bukan muhrim.""Kalau begitu, tolong obati aku, Hes! Aku mohon!" "Tentu saja. Jangan khawatir. Cukup dengan minum antibiotik saja bisa kok diobati. Nanti akan kuresepkan."Adi terlihat diam sesaat. "Hesti, kamu atau bagian laboratorium tidak mungkin salah diagnosa kan? Ya kali saja aku cuma kurang minum atau stres."Hesti tertawa. "Insyallah enggak lah kalau salah diagnosa. Dari gejala yang kamu keluhkan, dan hasil tes laboratorium semua mengarah pada penyakit itu. Na
"Dokter, dokter Hesti, tolong Lidia! Dia melakukan percobaan bun*h diri!" seru Ibu Lidia dengan nafas terengah."Hah? Apa? Mana Lidia sekarang, Bu?" tanya Hesti antusias. "Di luar. Di dalam mobil.""Mbak, Mas, tolong jemput pasien dari mobilnya di luar!" instruksi Hesti. Dua orang perawat segera mendorong brangkard dan menuju pintu depan UGD dan mengevakuasi Lidia untuk diperiksa di ruang UGD. Lidia tampak lemas dan gemetar. Hesti segera menuju ke tempat Lidia berbaring lalu memeriksa, nafas, nadi, denyut jantung dan bising usus. Sejenak Hesti bingung. Dalam hati dia merasa masih kesal dengan Lidia. Kalau menuruti hal itu, ingin rasanya Hesti memberikan terapi yang salah, agar gadis itu semakin menderita. Atau dia ingin mengusir Lidia agar mencari alternatif dokter yang lain.Namun di sudut hati yang lain, sisi kemanusiaan nya berontak dan ingin menyelamatkan nyawa Lidia. Hesti menarik nafas panjang."Apa yang terakhir diminum atau dimakan pasien?" tanya Hesti akhirnya. Dengan
POV penulis Adi segera mengayunkan tinjunya dan mengarah tepat ke pipi Narendra. Buaaakkhhh!Pipi Narendra memerah dan Narendra terpelanting. Tapi dengan cepat dia menguasai keadaan dan bangkit berdiri."Adi! Apa kamu sadar apa yang telah kamu lakukan?" tanya Narendra tenang. "Tentu saja. Aku hanya ingin tidak ingin Hesti menjadi milikmu.""Gil* kamu! Kamu lupa ya kalau kamu yang bilang padaku kalau tidak apa-apa jika aku ingin mendekati Hesti?!""Hm, yah, itu dulu. Sekarang aku ingin berjuang mendapatkan Hesti kembali. Demi kebahagiaan anak kami!""Omong kosong, kamu mendekati Hesti karena ego kamu. Pasti kamu merasa bahwa setelah jadi janda, dia semakin cantik. Iya kan? Itulah bodohnya kamu!""Bac*t! Hiyat!"Adi merengsek maju sambil melayangkan tendangan nya. Narendra berhasil menghindar. "Berani kamu menyentuhku lagi, silakan kemasi barangmu!" "Perset*n! Aku tidak masalah kalau dipecat dari sini! Aku juga tidak sudi jadi sales lagi!"Adi mengayunkan tinjunya dan Narendra deng
POV penulis Papi Hesti segera menemui para tamu lagi. Hesti mengekori dari belakang. "Maaf jika ada sedikit keributan tadi. Saya harap kalian maklum dengan apa yang telah terjadi pada rumah tangga anak saya. Dan mari kita lanjutkan acara ini."Acara demi acara ulang tahun Verico berjalan dengan khidmat. Dan akhirnya semua tamu pulang satu per satu menyisakan Narendra. "Mak Rendra, kamu disini dulu saja bersama kami.""Pi, kenapa sih? Kan Narendra pasti sibuk dengan pekerjaan nya? Kenapa malah ditahan di sini?" tanya Hesti merasa tak enak. Narendra tersenyum. "Enggak kok. Aku free hari ini. Kan sudah pulang kerja. Tidak ada janji bertemu klien. Aku enggak keberatan kalau tinggal lebih lama disini. Sekaligus ingin melihat mobil yang telah kamu beli untuk Verico. Apa sudah dicoba di sini?" tanya Narendra mengulas senyum."Hm, belum. Kan sudah dicoba di show room kamu, dan sudah bisa jalan? Jadi sekarang Verico hanya perlu unboxing saja.""Wah, benar kah?""Nah, kalau begitu, ayo kita
POV penulis "Wah, berat banget," keluh salah seorang dari dua orang berbaju hitam sambil memegangi kaki Narendra. "Jangan banyak ngeluh. Katanya kamu mau dapetin Narendra kan? Kamu harus mau berkorban dong! Jangan mau enaknya saja!" sembur yang lain. Orang yang mengeluh tadi hanya bisa mendengus kesal lalu akhirnya dia tetap memegang kaki Narendra walaupun nafasnya sampai terengah-engah."Nah, ayo tinggal sedikit. Angkat pantat nya juga. Jangan lemes. Demi jadi kaya. Hup!!"Akhirnya dua orang berbaju hitam itu bisa menaikkan Narendra ke mobilnya. "Kamu temani dia di tengah. Biar aku yang nyetir, Lid!" instruksi Adi sambil melepas maskernya. "Oke. Tapi nanti kalau Pak Rendra tiba-tiba bangun gimana?" "Enggak akan bangun, percayalah. Tadi obat biusnya kuberi banyak.""Baiklah, Mas.""Oke. Kita berangkat ke hotel sekarang dan melaksanakan rencana selanjutnya."***"Halo Bang. Sesuai janji, kami sewa kamar di hotel ini ya."Resepsionis yang menunggu di balik meja di depan hotel mela
POV penulis Lidia dan Adi berpandangan."Apa kita ketahuan?!""Aku enggak peduli. Kita langsung pergi saja dari sini!"Adi lalu memacu mobilnya meninggalkan tanah kosong dengan seruan lelaki yang baru saja kencing di dekat selokan. "Hei, kamu kenapa sih?" tanya sekelompok lelaki yang juga sedang memegang senter."Tadi aku melihat mobil parkir di sini setelah aku kencing. Lalu ada dua orang mencurigakan yang mendadak masuk ke dalam mobil itu, jadi aku teriakin mereka.""Lalu mana mereka sekarang?" tanya salah seorang diantara kumpulan orang yang sedang siskamling itu seraya mengarahkan senter ke seluruh penjuru tanah kosong. Yang ditanya mengedikkan bahu. "Lah nggak tahu dimana. Wong mereka kabur."Terdengar helaan nafas kecewa beberapa orang. "Pasti mereka pasangan mes*m.""Belum tentu. Bisa jadi mereka pasangan pesugihan yang nyari korban di sini.""Duh, pikiran kamu. Kebanyakan nonton horor. Bagaimana kalau mereka ternyata maling dan baru saja merampok salah satu rumah di kampun
Wajah Hesti benar-benar tersipu. Dan saat dia hendak membalas pesan dari Narendra, sebuah suara seperti kaca pecah terdengar memekakkan telinga. Prangggg!!!![Ya Tuhan Mas, sepertinya ada yang melempar kaca jendela ku.][Hah? Siapa?][Entahlah, aku juga enggak tahu. Aku periksa dulu ya.]Tanpa menunggu jawaban dari Rendra, Hesti turun dari ranjangnya dan membuka pintu kamar. Dengan perlahan dia berjalan ke arah asal suara. "Apa itu Pi? Apa yang sedang terjadi?" tanya Hesti yang menemukan Papinya sedang memasukkan sesuatu ke dalam saku celananya. Papinya menoleh melihat Hesti. Ada rona terkejut terlihat dari wajahnya. "Tadi Papi main bola kasti sama Verico. Eh, bolanya malah kena jendela dan pecah.""Aduh, bagaimana dong Pi?" tanya Hesti dengan wajah khawatir sambil melihat kaca jendela yang berlubang sebesar batu. "Gampang saja. Habis ini Papi akan manggil tukang untuk benerin kok.""Hm,.ya sudah. Kalau begitu, sekarang Verico dimana Pi?" "Tuh, ada di dalam kamarnya. Tadi sih mau