POV penulis "Wah, berat banget," keluh salah seorang dari dua orang berbaju hitam sambil memegangi kaki Narendra. "Jangan banyak ngeluh. Katanya kamu mau dapetin Narendra kan? Kamu harus mau berkorban dong! Jangan mau enaknya saja!" sembur yang lain. Orang yang mengeluh tadi hanya bisa mendengus kesal lalu akhirnya dia tetap memegang kaki Narendra walaupun nafasnya sampai terengah-engah."Nah, ayo tinggal sedikit. Angkat pantat nya juga. Jangan lemes. Demi jadi kaya. Hup!!"Akhirnya dua orang berbaju hitam itu bisa menaikkan Narendra ke mobilnya. "Kamu temani dia di tengah. Biar aku yang nyetir, Lid!" instruksi Adi sambil melepas maskernya. "Oke. Tapi nanti kalau Pak Rendra tiba-tiba bangun gimana?" "Enggak akan bangun, percayalah. Tadi obat biusnya kuberi banyak.""Baiklah, Mas.""Oke. Kita berangkat ke hotel sekarang dan melaksanakan rencana selanjutnya."***"Halo Bang. Sesuai janji, kami sewa kamar di hotel ini ya."Resepsionis yang menunggu di balik meja di depan hotel mela
POV penulis Lidia dan Adi berpandangan."Apa kita ketahuan?!""Aku enggak peduli. Kita langsung pergi saja dari sini!"Adi lalu memacu mobilnya meninggalkan tanah kosong dengan seruan lelaki yang baru saja kencing di dekat selokan. "Hei, kamu kenapa sih?" tanya sekelompok lelaki yang juga sedang memegang senter."Tadi aku melihat mobil parkir di sini setelah aku kencing. Lalu ada dua orang mencurigakan yang mendadak masuk ke dalam mobil itu, jadi aku teriakin mereka.""Lalu mana mereka sekarang?" tanya salah seorang diantara kumpulan orang yang sedang siskamling itu seraya mengarahkan senter ke seluruh penjuru tanah kosong. Yang ditanya mengedikkan bahu. "Lah nggak tahu dimana. Wong mereka kabur."Terdengar helaan nafas kecewa beberapa orang. "Pasti mereka pasangan mes*m.""Belum tentu. Bisa jadi mereka pasangan pesugihan yang nyari korban di sini.""Duh, pikiran kamu. Kebanyakan nonton horor. Bagaimana kalau mereka ternyata maling dan baru saja merampok salah satu rumah di kampun
Wajah Hesti benar-benar tersipu. Dan saat dia hendak membalas pesan dari Narendra, sebuah suara seperti kaca pecah terdengar memekakkan telinga. Prangggg!!!![Ya Tuhan Mas, sepertinya ada yang melempar kaca jendela ku.][Hah? Siapa?][Entahlah, aku juga enggak tahu. Aku periksa dulu ya.]Tanpa menunggu jawaban dari Rendra, Hesti turun dari ranjangnya dan membuka pintu kamar. Dengan perlahan dia berjalan ke arah asal suara. "Apa itu Pi? Apa yang sedang terjadi?" tanya Hesti yang menemukan Papinya sedang memasukkan sesuatu ke dalam saku celananya. Papinya menoleh melihat Hesti. Ada rona terkejut terlihat dari wajahnya. "Tadi Papi main bola kasti sama Verico. Eh, bolanya malah kena jendela dan pecah.""Aduh, bagaimana dong Pi?" tanya Hesti dengan wajah khawatir sambil melihat kaca jendela yang berlubang sebesar batu. "Gampang saja. Habis ini Papi akan manggil tukang untuk benerin kok.""Hm,.ya sudah. Kalau begitu, sekarang Verico dimana Pi?" "Tuh, ada di dalam kamarnya. Tadi sih mau
"Dengar ya?! Kalau Adi saja yang telah menjamah kamu berulangkali tidak ingin menikahi mu, apalagi aku?" tanya Narendra sarkas membuat Lidia berteriak dan langsung menuju ke arah Narendra lalu menampar pipi lelaki itu. Plaaakkk!!!Pipi Narendra memerah. Tapi Narendra hanya tersenyum saja. Dengan tenang, dipandangnya mata Lidia."Mbak Lidia ... Mbak Lidia, dengar baik-baik ya. Lelaki manapun tentu akan berpikir seribu kali jika ingin menikahi mu. Bayangkan kamu kan sudah dijamah oleh Adi, dan saya sanksi jika hanya Adi saja yang menjamah kamu. Sorry to say Mbak, tapi lelaki akan mencari perempuan yang baik untuk jadi istri dan ibu bagi anaknya daripada perempuan yang hanya menang cantik dan seksi saja. Kalau kamu ingin mendapat pendamping hidup, kamu harus instrospeksi dulu."Narendra terdiam sejenak dan melihat respon Lidia yang tampak menahan marah. "Hm, saya sudah selesai bicara. Jadi sekarang saya akan pulang."Narendra berdiri dari kursi nya dan berjalan menuju ke pintu ruang t
"Hm, Mama boleh usul enggak? Seandainya setelah pemberian dooprize pada customer yang beruntung, dilanjutkan acara lamaran kalian bagaimana? Pasti romantis dan meriah," usul Mama Rendra membuat Hesti yang sedang menyesap teh hangatnya terbatuk-batuk. "Uhuk! Uhuk!""Yang, kamu kenapa?" tanya Narendra kaget melihat Hesti yang terbatuk-batuk. Hesti menginjak kaki Narendra yang berada di sampingnya sambil tersenyum kecut. Narendra menyeringai, menahan rasa sakit karena kakinya diinjak. "Kamu sakit, Sayang?" tanya Mama Narendra cemas. Hesti dengan cepat menggeleng. "Saya hanya terkejut Ma. Uhm, rencana ini terlalu indah untuk saya. Tapi terlalu mendadak," sahut Hesti."Hm, kenapa? Bukankah rencana yang baik harus disegerakan pelaksanaannya?" tanya Mama Rendra. "Atau orang tua kamu tidak setuju dengan hubungan kalian berdua?" lanjut Mama Rendra lagi. Hesti dengan cepat menggeleng. "Bukan. Bukan itu Ma. Mami dan Papi mendukung kok tentang hubungan saya dan Mas Rendra.""Lalu? Apa lagi
Narendra dan Hesti pun segera menuju ke toko milik keluarga Adi. Dan alangkah terkejutnya mereka saat melihat Adi sedang menata baju-baju anak seumuran Verico di dalam sebuah papper bag. Hesti segera maju mendekati Adi. "Mas, mana Verico?" tanya Hesti to the point. "Hah? Verico?! Kan sama kamu? Kenapa jadi tanya sama aku?" tanya Adi kaget. Matanya juga menyiratkan rasa terkejut. Narendra menatap Adi tanpa berkedip. Sebenarnya Narendra ingin sekali meninju Adi saat itu juga karena telah mengambil fotonya dalam keadaan yang tidak senonoh dengan Lidia, tapi Narendra menahan diri karena kasus Verico yang hilang lebih penting. "Mas, kamu jangan mengada-ada deh. Jangan pura-pura nggak tahu! Hak asuh Verico kan jatuh di tangan ku. Kalau kamu mau ketemu dengan Verico, seharusnya kamu memberi tahu aku dulu dong. Yang fair, Mas!"Adi mengernyitkan dahinya dan bingung menatap ke arah Hesti."Demi Tuhan aku enggak membawa Verico!""Kamu jangan bohong, Mas!""Aku enggak bohong! Silakan cari di
"Baiklah Lidia. Kamu akan mendapatkan apa yang inginkan," sahut Narendra sambil menyeringai dan mengakhiri panggilan telepon nya. Lidia yang sedang berada di dalam kamarnya segera menciumi layar ponselnya setelah panggilan teleponnya diakhiri."Lid!"Terdengar suara ibunya memanggil dengan diiringi suara ketukan pintu. "Masuk saja, Bu."Ibunya duduk dan memandang serius ke wajah Lidia. "Lidia ingin bicara.""Ibu ingin bicara." Lidia dan ibunya berkata bersamaan."Biar Lidia dulu yang bicara," tukas Lidia dengan mata berbinar. Ibunya menggeleng kan kepalanya. "Biar ibu dulu yang bicara!"Keduanya tampak berebut bicara."Lidia dulu, Bu. Dengarkan Lidia baik-baik, Lidia dalam tiga hari ini akan menikah di hotel mewah."Ibunya mendelik saking terkejutnya dengan penuturan sang anak. "Tidak mungkin. Dengan siapa kamu akan menikah?" tanya Ibunya kaget. "Apa dengan Pak Adi? Tapi kata mu, Pak Adi ingin kembali pada Bu Hesti?" tanya Ibunya memberondong Lidia dengan berbagai pertanyaan.Li
Mendadak tubuh Narendra seolah membeku saat melihat bungkus obat tidur yang tergeletak di atas meja dan sudah kosong!"Astaga, Lidia! Kamu sudah gila?! Kamu telah memberikan obat ini untuk Verico?! Anak sekecil ini kamu beri obat tidur? Apa kamu enggak waras?" tanya Narendra marah.Ingin sekali rasanya Narendra menampar Lidia, tapi karena menurutnya menolong Verico adalah hal yang terpenting untuk saat ini, maka Narendra menahan diri. "Baiklah. Aku akan membawa Verico langsung ke rumah sakit, kalian yang membawa Lidia ke kantor polisi ya," ucap Narendra sambil menatap kepada ketiga anak buahnya.Ketiga anak buahnya mengangguk. Lalu Narendra segera keluar dari rumah itu dan menelepon Hesti. "Halo, Hesti! Verico sudah ketemu! Tapi kondisinya nggak begitu bagus. Kirimkan segera ambulance dari rumah sakit tempat kamu bekerja ke alamat yang sebentar lagi alamatnya aku share loct! Oke!"Terdengar seruan bahagia bercampur harapan dan kecemasan dari seberang telepon sebelum Narendra mengak
Tamu lelaki itu tersenyum dan berkata, "Saya kurir, Bu. Hendak mengantarkan buket bunga."Hesti memandangi sekeliling ruang tamu nya dengan terheran-heran. Masalahnya tidak ada satupun buket bunga ada terlihat di ruangan itu. "Buket bunga? Dimana?"Kurir itu tersenyum. "Buketnya besar. Ada di dalam mobil kami. Sebentar saya ambil dulu."Lelaki itu tanpa menunggu persetujuan Hesti keluar dari ruang tamunya dan menuju ke halaman, tempat mobilnya terparkir. Lalu beberapa saat kemudian kembali ke ruang tamu dengan seorang temannya."Ini Bu."Lelaki itu menyerahkan sebuah standing buket bunga besar dengan isi mawar merah segar, uang seratus ribu rupiah berlembar-lembar, dan beberapa batang coklat silverqueen. Berbungkus kertas cellophane berwarna hitam dan putih bening. Dan menggunakan penyangga kayu. Mata Hesti membulat melihat buket bunga yang dibawa oleh kedua kurir tersebut. "Siapa yang mengirim ini?" tanya Hesti dengan rasa yang masih tercengang. "Ada dalam kertas pengirim di dala
Hesti dan Narendra serentak menoleh dan terkejut melihat kedatangan Adi. "Kamu?!""Iya aku. Kenapa? Kalian kaget?" tanya Adi dengan tertatih berjalan mendekat ke arah Hesti dan Narendra."Kamu ngapain ke sini Mas?" tanya Hesti. "Aku kangen dengan Verico. Memang kenapa? Aku kan ayah kandungnya, apa tidak boleh aku menemuinya?" tanya Adi ketus.Hesti dan Narendra saling berpandangan. "Halo Pa? Papa darimana?" tanya Verico mendekat ke arah Adi."Dari rumah saja. Kamu mau ikut Papa ke rumah Papa?" tanya Adi penuh harap. Sementara Hesti terlihat keberatan tapi menahan diri untuk tidak mengucapkan sepatah katapun. Verico menggeleng kan kepalanya dengan cepat. Lalu beralih mendekati Hesti. "Verico di sini saja sama Mama dan Eyang," tukas bocah lelaki itu sambil memeluk lengan Mamanya. Adi terlihat berdecak kesal. Tapi tanpa putus asa, dia terus berusaha merayu Verico untuk ikut dengannya. "Kenapa kamu tidak mau, Nak? Di sana kan ada Eyang juga? Ada Papa juga. Apa selama ini Mama meng
"Bu Ayu. Bu Ayu ini kan, ibunya Lidia?" tanya Mami Adi seraya menunjuk kan ponsel Adi pada sang suami.Papi Adi mengangguk. "Coba angkat aja telepon nya. Barangkali ada hal penting yang ingin disampaikan oleh ibunya Lidia."Mami Adi menoleh pada Anaknya. "Gimana, Di? Boleh kah Mami terima telepon nya?"Adi terlihat berpikir sejenak. "Oke. Boleh, Mi.""Halo," sapa Mami Adi setelah menekan tombol hijau. "Halo. Adi nya ada? Saya ingin meminta tolong. Ini berkaitan dengan Lidia," sahut suara Ibu Lidia panik. Mami Adi melihat ke arah anaknya. Adi mengangguk. Mami Adi lantas menekan tombol loud speaker lalu mendekatkan nya ke arah Adi yang sedang berbaring. "Halo, Adi. Tolong Lidia. Lidia dua Minggu lagi menghadapi persidangan.""Lalu kenapa?" tanya Adi aduh tak acuh. "Loh, kok tanya kenapa sih? Bantuin dong Nak Adi, kamu kan calon suami Lidia."Adi nyaris tertawa mendengar perkataan ibu Lidia. Tapi rasa nyeri setelah dioperasi dan perasaan kaget pasca mengetahui bahwa dirinya mengalam
Dan detik berikutnya, Adipun terguling jatuh dari dua puluh lima anak tangga!!!Hesti dan Narendra tak kalah terkejutnya saat melihat Adi jatuh terguling. "Astaghfirullah, Mas Adi!" seru Hesti berlari mendekat ke tangga."Hes, hati-hati! Kamu memakai high heels!" seru Narendra. Ketiga asisten Narendra yang sedang mengejar Adi juga berlarian turun dari tangga. Adi yang terjatuh terguling sampai di tangga paling bawah mendarat dengan telentang. Ada cairan kental berwarna merah saat Hesti dan yang lainnya sampai di dekat tubuh Adi. "Hesti, darah! Apa kita harus membawa Adi ke rumah sakit sekarang?" tanya Narendra yang berjongkok di samping tubuh temannya. Hesti menghela nafas panjang. Dia sering bertemu dengan pasien yang mengalami luka lebih parah daripada Adi. Tapi saat melihat kondisi mantan suaminya seperti ini, apalagi setelah insiden di aula tadi, mau tidak mau jantung nya berdebar lebih kencang juga. "Jangan, biar aku telepon ambulance saja. Ada perdarahan di otaknya. Aku j
Flash back On :"Ada apa, Nak? Kenapa belum tidur? Sebentar lagi kan ulang tahun show room kamu? Kenapa malah sedih?" tanya Mami Narendra sambil menyentuh bahu anaknya saat melihat Narendra sedang duduk sendiri di kursi taman belakang rumahnya. Narendra menoleh dan tampak Maminya sedang tersenyum. Tapi di matanya tersirat rasa cemas yang tidak bisa disembunyikan.Lelaki itu ikut tersenyum dan menyentuh tangan sang Ibu yang berada di atas bahunya. Lalu menarik sang ibu untuk duduk di sebelah nya. "Rendra ingin tiduran sejenak di pangkuan Ibu," tutur Rendra lirih sambil meletakkan kepalanya di paha ibunya. Ibunya menghela nafas. "Ada masalah apa? Kenapa sampai membuat kamu tidak bisa tidur?" tanya Ibunya sambil mengelus rambut sang anak. "Lah Mami juga, kenapa belum tidur?""Wah, anak ini, ditanya kok nanya balik. Ibu belum tidur karena rindu pada mendiang ayah kamu.""Hm, sama. Hanya aku juga sedang merindukan seseorang yang masih hidup.""Hesti kan?" tebak Mami Rendra. Rendra men
Adi tertegun melihat Verico yang menghambur ke pelukan Narendra. Ada rasa iri yang menusuk di dalam hatinya. "Verico Sayang, kenapa kamu lebih memilih untuk memeluk Om Narendra?! Kenapa kamu tidak memilih memeluk Papa? Papa juga rindu sama kamu," ujar Adi sambil merentangkan kedua tangannya. Meminta pelukan pada sang anak. "Enggak mau. Papa pernah membuat Mama menangis dan sekarang Papa sudah membuat Om Rendra terluka. Verico nggak mau sama Papa!" seru Verico sambil mengeratkan pelukan pada Rendra.Rendra merasakan bibirnya berkedut nyeri setelah mendapat bogem mentah dari Adi. Tapi lelaki itu menyunggingkan senyumnya. 'Kamu terlalu mudah emosi, Di. Sekarang kamu lihat kan bahkan anak kamu pun menjauhi kamu,' bisik Narendra dalam hati. Adi mengepalkan tangannya. "Verico, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Om Rendra itu jahat. Dia punya niat tidak baik pada mu dan Mama.""Adi."Terdengar suara Papi Hesti memanggil nama mantan menantunya. Adi menoleh. "Pi, apa Papi juga akan me
"Berdiri dan pulanglah saja. Daripada saya ikut melaporkan kalian ke polisi dengan tuduhan bekerja sama dalam melakukan tindakan kriminal!" seru Narendra yang mendadak masuk dari pintu gerbang, membuat ibu Lidia tercengang."Pak Narendra tidak bisa seenaknya saja menuduh saya. Bapak tidak punya bukti untuk melaporkan saya pada polisi," seru ibu Lidia mendadak berdiri.Narendra tersenyum. "Kata siapa saya tidak punya bukti? Kalau Ibu mengetahui rencana Lidia untuk menculik Verico tapi diam saja dan tidak melaporkan ke polisi untuk mencegahnya, sama saja Ibu mendukung perbuatan Lidia.""Tapi saya benar-benar tidak tahu kalau Lidia hendak menculik Verico!""Hm, benarkah? Bagaimana kalau Lidia sudah mengaku pada polisi bahwa dia sudah menceritakan tentang semua rencana nya pada keluarga nya? Kalian bisa ikut diperiksa kan?"Ibu Lidia menelan ludah. "Lidia tidak akan mengatakannya. Dia tidak akan menyeret ibu dan kedua adik yang sangat disayanginya walaupun saya tahu rencana nya," tukas I
"Dia tampak lelah sekali ya, Pi?" tanya Narendra pada Papi saat melihat Hesti yang tertidur pulas di samping Verico."Iya. Semalam katanya dia telah menangkap Lidia, saat Lidia mencoba melukai nya," sahut Papi seraya tersenyum melihat cucu dan anaknya yang sedang berbagi ranjang pasien untuk tidur berdua. "Iya. Saat Hesti menghubungi saya untuk meminta bantuan menelepon polisi, Lidia telah diikat dengan baik oleh satpam rumah sakit. Rekaman video yang menunjukkan bahwa Lidia berusaha menyerang Hesti secara membabi buta pun telah diamankan oleh pihak kepolisian.""Lalu bagaimana kelanjutan hukuman Lidia?"Narendra mengedikkan bahu nya. "Entahlah Pi. Yang jelas Lidia dijerat dengan pasal berlapis. Mulai dari penculikan anak, penyalahgunaan obat, penganiayaan, entahlah kalau ada pasal lainnya," sahut Narendra. Papi manggut-manggut. "Hm, Rendra, biarkan Hesti istirahat dulu. Ayo kita keluar dari sini. Ke kantin rumah sakit. Ada yang ingin Papi bicarakan padamu sebagai sesama lelaki."Na
Mendadak tubuh Narendra seolah membeku saat melihat bungkus obat tidur yang tergeletak di atas meja dan sudah kosong!"Astaga, Lidia! Kamu sudah gila?! Kamu telah memberikan obat ini untuk Verico?! Anak sekecil ini kamu beri obat tidur? Apa kamu enggak waras?" tanya Narendra marah.Ingin sekali rasanya Narendra menampar Lidia, tapi karena menurutnya menolong Verico adalah hal yang terpenting untuk saat ini, maka Narendra menahan diri. "Baiklah. Aku akan membawa Verico langsung ke rumah sakit, kalian yang membawa Lidia ke kantor polisi ya," ucap Narendra sambil menatap kepada ketiga anak buahnya.Ketiga anak buahnya mengangguk. Lalu Narendra segera keluar dari rumah itu dan menelepon Hesti. "Halo, Hesti! Verico sudah ketemu! Tapi kondisinya nggak begitu bagus. Kirimkan segera ambulance dari rumah sakit tempat kamu bekerja ke alamat yang sebentar lagi alamatnya aku share loct! Oke!"Terdengar seruan bahagia bercampur harapan dan kecemasan dari seberang telepon sebelum Narendra mengak