"Sudah kubilang, sekalian saja aku belikan sofa untukmu," keluh Pak Anggara karena aku memang menolak untuk dibelikan hal lain selain yang aku butuhkan di kamar, semua demi rencana berjalan dengan harapanku."Sudahlah, duduk di lantai pun tidak masalah. Kamu bisa belajar hidup merakyat sedikit," ucapku langsung mengambil kantung makanan yang Pak Anggara bawa dan duduk lesehan tanpa beralaskan apa-apa. Dan Pak Anggara pun ikut duduk.Satu persatu aku buka makanan yang ia bawa. Sangat banyak jika hanya dimakan untuk berdua saja. Namun aku sangat bersyukur, Pak Anggara benar-benar selalu ada untukku disaat aku sedang sendiri dan sebenarnya aku tidak ingin sendiri. Aku suka sepi tapi tidak suka dengan kesepian. Aku suka sunyi tapi tidak suka dengan kesunyian. Karena terkadang aku lebih nyaman di tempat ramai, di mana tidak ada orang yang mengenalku."Berapa lama tadi kamu diluar?" tanyaku sambil melahap pizza yang sudah hampir dingin."Baru satu jam, untung saja makanannya tidak sepenuhn
Mataku terasa panas, berlinang sudah air mataku saat mendengar satu kalimat yang entah kapan terakhir kali aku mendengarnya. Karena kalimat itu adalah kalimat ajaib yang selalu ditanyakan Ayah atau Ibuku. Aku tidak pernah berkeluh kesah tentang bagaimana sulitnya hari yang aku jalani, tetapi setiap mendengar kalimat itu, selalu sukses membuat aku menitikkan air mata bahkan sebelum aku menjawabnya."Kenapa?" tanyaku sekuat tenaga membendung air mata."Kamu, baik-baik saja?"Aku langsung menutup mukaku dengan kedua tanganku karena air mata sudah tidak bisa terbendung lagi. Aku menangis dan aku tidak ingin terlihat menyedihkan oleh orang lain.Kisah hidup, terlebih kisah rumah tanggaku sudah diketahui oleh Pak Anggara, tetapi rasanya masih amat membuat aku malu jika aku ingat-ingat kembali, karena aku begitu menyedihkan."Aku ..., aku baik, aku baik-baik saja," jawabku tersedu-sedu tanpa aku menurunkan tanganku.Lalu, aku merasakan punggung Pak Anggara menempel di punggungku. "Aku tidak
"Tanpa terus diingetin juga aku tau, Mbak. Mendingan sekarang Mbak pilih aja mau pakai baju aku yang mana? Aku mau berbenah dan membereskan baju-baju aku sendirian."Mbak Dyan langsung beranjak dan mendekat padaku. "Mana baju kamu yang mahal. Yang bermerk. Karena di pesta itu pasti bukan dari pada kalangan biasa-biasa aja, kan? Aku harus bisa menyetarakan diri. Biar Rendi juga nggak mau punya istri aku.""Semua pakaian yang aku gantung itu bermerek, aku beli saat aku sudah kembali bekerja.""Yang di dalam kotak itu apa?"Mendengar pertanyaan itu, aku segera mengambil kotak hadiah dari Pak Anggara. Aku tidak ingin Mbak Dyan melihat dress yang akan aku pakai malam nanti. Bisa-bisa dia akan merengek meminta aku meminjamkan baju yang khusus dibelikan untuk pesta oleh Pak Anggara. Di tambah di dalamnya juga ada lingerie yang satu paket untuk digunakan. Karena dress yang aku pakai cukup terbuka di bagian belakang meskipun dibagian depannya tertutup."Ini rahasia dan Mbak Dyan nggak perlu ta
Aku pun keluar dari rumah, dalam pikiranku Pak Anggara yang menjemputku, nyatanya aku lupa jika suami dan maduku juga akan ikut ke acara yang sama. Dan Pak Anggara sudah mengirimkan pesan bahwa kita akan bertemu di acara nanti."Kamu cantik sekali, Tiana," puji Mas Rendi untuk kedua kalinya dalam hidupku setelah kami menikah.Apakah aku secantik itu sampai Mas Rendi yang tidak pernah memujiku saja, mendadak mengatakan jika aku cantik sekali malam ini. Entah mengapa memang aku merasa tidak ingin kalah dengan tokoh utamanya nanti yang sedang berulang tahun, khususnya di hadapan Pak Anggara."Wah, langka sekali Mas Rendi memujiku. Hari-hari biasanya memang aku biasa saja ya, Mas. Tidak terlihat cantik.""Bukan begitu maksud, Sayang. Pokoknya kamu cantik, lebih cantik saja dari biasanya.""Iya, makasih. Ayo kita berangkat.""Tunggu," cegah Mbak Dyan yang terlihat tidak senang dengan penampilanku yang padahal dipuji cantik oleh Mas Rendi. "Kok kemarin pas aku mau pinjam baju kamu, aku gak
"Kita tidak keluar?" tanya Pak Anggara dengan berbisik padaku."Kenapa keluar? Aku belum menghukummu, kan?"Ceklek!Terdengar suara pintu kamar terbuka dan langkah kaki mendekat. "Kak Gara, kamu ada di dalam?"Segera saja aku memeluk dia sambil menciumnya dengan penuh gairah. Entahlah aku sepertinya mendapatkan kenikmatan lain saat melakukan hal seperti ini dengan sembunyi-sembunyi.Sama hal denganku, Pak Anggara sama sekali tidak menghiraukan suara dari luar. Ia malah makin menikmati apa yang kita lakukan. Tangannya tak tinggal diam dan meraba daerah-daerah sensitifku. Pak Anggara bahkan mengangkat dress-nya, ia juga melepaskan lingerie yang aku pakai."Tunggu, aku yang akan menghukummu, kenapa kamu yang membuka lingerie-ku?""Apa bedanya? Nikmatilah ini," ucap Pak Anggara langsung membalikkan badanku hingga aku menghadap ke kaca dan berpegangan pada wastafel. Benda keras miliknya, ia mainkan dan gesekan padaku. Membuat aku semakin menegang dan tidak sabar untuk segera dimasuki saja
Aku rasa wajar rasanya jika aku merasa terkhianati dengan semua yang sudah terjadi. Semua yang Pak Anggara katakan seolah tidak bisa ia buktikan dengan pertunangan yang sudah terjadi tadi di depan mataku pula.Pantas saja jika saat itu ia melarang aku untuk datang atas undangan Evelyn, mungkin ia ingin menyembunyikan pertunangannya dariku. Namun kenapa dia tiba-tiba membelikan aku baju untuk aku pakai sekarang, jika pada akhirnya pertunangan itu tetap saja berlangsung. Selain perasaanku yang terluka, aku juga merasa harga diriku turut terinjak-injak karena Pak Anggara yang sama sekali tidak mengkhawatirkan perasaanku. Inikah janji pernikahan yang akan ia realisasikan? Bukan denganku tetapi dengan Evelyn? Sungguh tega sekali. Pada akhirnya aku tidak berakhir dengan siapa-siapa. Begini kah akhir dari kisah percintaanku?Waktu terus berlalu, sulit rasanya aku memejamkan mataku untuk beristirahat. Setiap kali mataku terpejam, aku langsung membayangkan pesta pertunangan yang berkedok pes
Esok harinya setelah membelikan aku sarapan, Mas Rendi sudah berpamitan untuk pulang karena Ibu sudah menyuruhnya pulang, karena Mas Rendi juga pergi tanpa pamit semalam sudah terlalu larut.Sekarang aku sendirian di rumah yang cukup besar. Aku tengok kanan dan kiri masih kosong sehingga terasa sekali leganya. Padahal jika sudah diisi berbagai furniture pasti akan pas, tidak begitu sempit dan tidak terlalu luas juga untuk aku yang akan lebih sering tinggal sendirian.Sekitar satu jam setelah Mas Rendi pulang, aku mendengar ada suara mobil dari depan, yang jelas itu bukan suara mobil Mas Rendi. Siapa lagi kalau bukan Pak Anggara yang datang bisa kapanpun sesuka hati dia tanpa bisa aku prediksi.Aku segera berlari untuk menutup pintu yang sedikit terbuka. Maklum lah, aku sudah terlalu biasa jika dipagi hari aku biarkan pintu terbuka sebentar agar siklus udara bisa tetap terjaga di dalam rumah."Tiana, buka pintunya. Aku ingin berbicara sama kamu," pinta Pak Anggara yang melihat aku terb
Aku hanya tersenyum, karena tidak mungkin juga aku mengatakan apa yang aku lakukan juga di belakang Mas Rendi. Itu menandakan bahwa aku sama saja dan tidak ada bedanya jika orang lain hanya tahu tanpa mendengar alasanku."Aku tidak pernah menyesal dengan semua yang sudah terjadi. Hanya terkadang menyesalkan saja kenapa semua harus seperti sekarang. Padahal hal-hal seperti ini tidak pernah aku bayangkan sebelumnya akan terjadi. Tapi semua kembali pada takdir. Kita tidak bisa menolaknya.""Aku yakin, kita juga berhak bahagia. Seberapa banyak pun kesulitan yang sudah kita lakukan, selalu ada jalan keluar lain. Aku juga tidak menyesal, hanya jika dipikir ulang kenapa aku sampai mau jadi selingkuhan istri orang. Yang padahal aku juga bisa mendapatkan seorang gadis."Apa?Jika dipikir ulang, posisi Yoga sekarang adalah posisi Pak Anggara. Ia berhubungan dengan istri orang lain bahkan sampai hamil dan diakui sebagai anak dari suami bukan darinya.Dan sekarang Yoga bilang seperti itu. Karena
Semua orang tanpa terkecuali pasti memiliki sebuah luka. Luka yang tidak kasat mata, hanya sang pemilik luka lah yang bisa merasakannya.Sembuh atau tidaknya tidak bisa dipastikan secara nyata, sebab tergantung sang pemilik luka itulah akan berbicara berdasarkan fakta atau malah menyembunyikannya agar terlihat baik-baik saja.Meski pada akhirnya luka yang tidak terlihat itu bisa sembuh, tapi memorinya akan selalu tertanam dalam ingatan. Semakin mencoba untuk dilupakan, maka akan semakin tenggelam dalam kesakitan.Hanya diri sendirilah yang mampu menyembuhkan dan memastikan luka itu tidak bersarang lama dalam hidupnya.Masa lalu akan tetap menjadi masa lalu, sejauh apapun mengejarnya tak akan bisa kembali apalagi hanya untuk menyesali apa yang sudah terjadi dimasa sekarang.Luka dimasa lalu yang dibiarkan, biasanya akan menjalar menjadi sebuah dendam. Sebuah titik balik yang berniat untuk melupakan, malah meluap menjadi emosi yang harus terbalaskan.Ketidakadilan adalah hal yang pasti
POV Anggara"Kania ...." Setelah istriku mengatakan semua isi hatinya di depan makam Kania, kini giliranku yang harus aku utarakan juga apa yang ada dalam hatiku ini."Sudah lama rasanya sejak hari di mana kita terakhir bertemu dalam keadaan hubungan kita yang tidak baik-baik saja. Itu adalah hal yang paling aku sesalkan. Aku kira aku tau semua tentangmu, tentang cerita senang dan sedihmu. Ternyata aku tidak sedalam itu mengetahui hidupmu. Entah apa lagi yang harus aku sesalkan karena semua itu tidak akan membuat waktu berputar kembali sehingga kamu mungkin masih hidup dan bersamaku sekarang."Pertama kalinya, aku mengutarakan apa yang ada di dalam hatiku, penyesalan yang aku rasakan terhadap kematian Kania yang tidak aku sadari apa yang terjadi pada Kania sebelumnya."Selama ini aku sama sekali tidak melupakanmu. Aku melanjutkan hidup karena aku selalu mengingatmu. Aku bawa dendam kematianmu dengan menghancurkan hidup orang yang menjadi alasan kamu mengakhiri hidupmu."Sekejap aku me
"Hay, Kania. Perkenalkan aku Tiana, aku adalah istri Mas Anggara, cinta pertama kamu. Senang bisa tau cerita kamu dari suamiku sendiri. Semoga kamu bisa beristirahat tenang di sana. Sungguh, kamu jatuh cinta pada pria yang tepat. Aku merasa keberuntungan yang harusnya kamu miliki, kini menjadi milikku. Aku berharap kamu bahagia atas kebahagiaan aku dan Mas Anggara saat ini. Sekarang kami sudah mempunyai tiga anak, dua anak kembar dan bungsu yang masih bayi. Nanti jika mereka sudah besar, akan aku ceritakan bagaimana ayahnya mencintai kamu begitu hebat dan tulus. Terimakasih sudah menyemangati Mas Anggara disaat ia merasa ada dititik terendah dalam hidupnya, sehingga dia bisa sehebat sekarang ini. Aku akan mencintai Mas Anggara dan menjaga anak-anak kami selamanya."Aku mengutarakan isi hatiku disaat kami sudah menaburkan bunga dan berdoa untuk Kania. Tidak ada lagi rasanya cemburu, sedih atau bahkan sakit hati. Aku sudah benar-benar ikhlas dengan kenyataan dari cerita Mas Anggara.Tid
Bulan madu setelah memiliki anak, tadinya aku berpikir itu hanya buang-buang waktu dan bentuk keegoisan orang tua yang tega meninggalkan anak-anak hanya demi kesenangan berdua, padahal bulan madu berdua itu bisa digantikan dengan liburan bersama keluarga, sehingga anak-anak bisa ikut merasakan bahagia yang sama seperti orang tuanya. Namun ada hal yang aku sadari setelah aku merasakannya sendiri. Setelah menjadi seorang istri, prioritasku berpindah pada suami. Aku belajar memasak masakan yang disukai suami, mengingat makanan apa yang tidak ia sukai, menjaga bentuk badan agar suami tetap cinta, menjaga dan membersihkan rumah agar tetap bersih sehingga ketika suami pulang kerja dia bisa nyaman beristirahat, memastikan pakaian suami bersih ketika akan dipakai bekerja, memastikan dia makan sehat meskipun diluar rumah. Sampai kepentinganku sendiri tergeser dari prioritas yang tadinya selalu utama. Lalu, lahirlah sang buah hati. Bertambah pula yang harus diprioritaskan selain diri sendi
Pagi indah aku benar-benar menyarap suamiku sendiri. Bercinta dipagi hari ternyata lebih fresh, mungkin energi kita masih utuh karena belum melakukan aktivitas apa-apa. Ini adalah honeymoon kedua yang berhasil. Selain aku mendapatkan kenikmatanku kembali, aku mendapatkan ketenangan setelah berhati-hati menyimpan rasa kecewa karena sulit untuk menerima realita. Di villa itu, aku dan Mas Anggara seperti mengadakan pesta bercinta saja. Rasanya malu melihat kelakuan diri sendiri, seperti orang yang kehausan dan lama tidak mendapatkan air. Mungkin itu yang akan dikatakan oleh rahimku jika dia bisa berbicara. Mempunyai suami tapi aku malah kekeringan. Sering cemburuan, mudah marah, mudah tersinggung, ternyata sentuhan suami lah obatnya. Kesabaran suami yang menjadi vitamin tambahan. Untunglah dia tidak berpikiran untuk membayar jasa wanita diluar sana, yang bahkan pasti ada saja yang menjajakan diri dengan suka rela alias gratis. Aku malu sekali jika mengingat semua yang telah terjad
Bagaimana ada istri seperti aku sekarang ini. Rasanya aku tidak pandai bersyukur sekali, semua yang aku inginkan sudah aku dapatkan di pernikahan kedua ini, tetapi aku tidak memperhatikan suamiku sendiri. Padahal dialah sumber yang membuat aku bisa mendapatkan apa yang selama ini menjadi keinginanku.Mas Anggara tidak pernah menuntut apa-apa, selalu memberikan yang terbaik untukku dan tentu juga untuk anak-anak. Namun aku tidak memperhatikan kebutuhan biologisnya. Padahal itu bukan hal yang besar dan mahal untuk aku berikan karena pastinya aku juga akan merasakan kenikmatannya.Aku baru tersadar kenapa beberapa kali Mas Anggara menyarankan agar kami mencari pengasuh bayi, karena dia juga butuh perhatian dariku, dia butuh aku untuk mengurusnya. Aku saja yang kurang peka dan tidak pernah bertanya."Maafkan aku, Mas. Aku akan lebih memperhatikanmu disamping kesibukanku mengurus anak-anak. Dan sepertinya aku akan menerima tawaran untuk mencari pengasuh bayi saja. Aku tidak akan egois dan
"Tidak," jawabku sambil menggelengkan kepala. "Sepertinya ada satu hal yang baru aku sadari sekarang, Mas.""Apa itu?""Setelah memiliki anak, fokusku hanya pada mereka saja. Kamu tidak aku perhatikan bahkan aku mengabaikan diriku sendiri. Baru aku sadari ternyata kamu malah semakin tampan meskipun sudah mempunyai tiga anak, usia kamu beberapa tahun lagi akan memasuki kepala empat. Kamu masih sangat sehat, bugar, berkharisma seperti aktor-aktor Hollywood yang semakin matang usia malah semakin menarik mata."Mas Anggara tersenyum tipis. "Kamu memujiku terlalu berlebihan, Sayang. Tidak seperti itu. Biasa saja seperti lelaki pada umumnya."Aku menggelengkan kepala dengan tegas. "Beda! Kamu sangat berbeda. Aku tidak memuji kamu secara berlebihan tapi memang faktanya begitu. Aku hanya membicarakan apa adanya yang aku lihat.""Kalau memang begitu, kenapa kamu tampak sedih sekarang? Bukannya memiliki suami yang tampan itu akan membuat kamu bangga?""Yang ada aku malah insecure, Mas. Kalau ki
Senja perlahan bergantian dengan langit yang menggelap. Tidak ada lagi pemandangan yang bisa aku lihat dari atas sini kecuali perlahan digantikan dengan lampu-lampu kota yang satu persatu mulai dinyalakan. Aku hanya bisa menunggu karena waktu yang akan menjawab bagaimana selanjutnya. Apa yang bisa aku lakukan jika dia mengatakan sebuah janji selain aku menunggu dan merasakan sendiri bagaimana dia membuktikan itu semua. Sehingga tidak ada jawaban lain selain aku tetap bertahan untuk melihat janji yang dia ucapkan, bisa dia buktikan.Aku mencintai suamiku terlepas dari apapun masa lalunya, rahasianya juga alasan awal bagaimana dia mendekatiku hingga akhirnya sungguh menikahiku.Aku harus melapangkan dada, meluaskan rasa sabarku, melihat ke masa depan dan merasakan apa yang masa sekarang terjadi. Bukankah selama ini rumah tangga kami baik-baik saja?Itulah yang sudah seharusnya aku lakukan. Tidak ada manusia yang tanpa pernah melakukan sebuah kesalahan dimasa lalu. Semua manusia adalah
Mas Anggara selalu bisa memberikanku jawaban yang masuk diakal. Tidak mengada-ada seperti mencari pembenaran untuk dirinya, tetapi memang seolah faktanya seperti apa yang dia katakan."Coba bilang padaku, apa yang harus aku lakukan sekarang?"Aku menggelengkan kepala."Papa saja menyadari jika hubungan kita tidak baik-baik saja makanya dia menyuruh kita untuk menghabiskan waktu berdua tanpa anak-anak. Jangan sampai sepulang kita dari sini, kamu tetap menjaga jarak dariku. Kita ini suami istri.""Aku tau. Aku juga tidak mau seperti ini, Mas. Tidak ada seorang pun yang mau rumah tangganya diuji, kalau bisa itu juga. Tapi cerita kamu itu membuat hatiku sakit, kecewa. Jadi banyak sekali hal yang aku pikirkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi yang aku hubungkan dengan cerita kamu. Aku sudah punya trauma di pernikahanku dulu, dan aku masih tidak percaya kita begini jadinya. Apa ini karma untukku?"Tiba-tiba saja langsung terpikirkan hal itu dalam benakku. Memang sama sekali tidak