"Gak, ah. Rumah baru, semuanya perabotan di dalamnya juga harus baru. Toh bakal pakai uang hasil kerja aku, kok. Aku sama Mas Rendi udah sepakat, rumah dibeli pakai uang Mas Rendi, kalau isinya baru aku nyicil beli dari gajian tiap bulan. Barang-barang aku dari rumah lama yang sekarang ada di rumah Ibu, kalau memang dibutuhkan pakai aja, Mbak. Biar gak boros beli-beli barang baru. Kasian Mas Rendi baru beli rumah, masa harus beli ini itu juga. Sebisa mungkin jangan jadi istri yang menambah beban suami. Iya kan, Mas?" Aku langsung bersandar dipundak Mas Rendi, seperti sedang bermanja-manja. Sengaja membiarkan Mbak Dyan melihatnya dari belakang.Sebelum berpisah nanti, akan aku pastikan Mbak Dyan tidak akan mendapatkan apa yang dia inginkan dari gaji Mas Rendi yang sudah besar. Biarkan ia sibuk melunasi rumah juga untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya untuk Ibu. Sehingga tidak ada uang lebih untuk Mbak Dyan berfoya-foya.Tak lama kemudian, kami pun sampai di sebuah restoran mewah. Temp
Jelas aku tidak mengerti penjelasan apa yang diinginkan oleh Evelyn. Padahal semuanya sudah dibahas dimeja tadi soal mengapa aku dan Pak Anggara bisa makan bersama dengan Suamiku pula. Aku menceritakan tentang aku yang akan membeli rumah. Dan sekarang penjelasan apa lagi yang harus aku katakan padanya?"Wanita yang bernama Dyan itu.""Mbak Dyan? Kenapa dengan Mbak Dyan?" Aku semakin bingung saja."I didn't hear it wrong, right? Dyan itu calon istri suami kamu? Terus kamu?""Oh itu?" Aku tersenyum sambil membasuh tanganku. "Istri kedua. Itu saja? Kenapa kamu merasa aneh?""Iya, I know. Tapi, kenapa bisa kamu keliatan akur kaya gitu? Malah makan siang sama-sama, terus sebelumnya liat rumah yang mau di beli juga sama-sama. That's just weird.""Apanya yang aneh? Apa istri pertama dan istri kedua gak boleh jalan bareng? Gak boleh pergi sama-sama? Atau harusnya bermusuhan kaya gitu?""No, no, no. Aku hanya merasa di mata kamu itu tidak ada cinta, jadi rasa cemburu itu tidak ada. Makanya kam
Belum saja aku mendapatkan jawaban dari Pak Anggara, Evelyn sudah keluar mengenakan dress berwarna maroon. Dress panjang dengan area dada terbuka menampakkan kulit putih dan lehernya yang jenjang.Cantik!Satu kata saat aku melihat Evelyn keluar dari kamar ganti. Ya, dia memang cantik mengenakan dress itu. Sudah pasti dia akan menjadi pusat perhatian di hari ulang tahunnya sendiri.Seketika saja hati mungilku ini merasa tidak percaya diri. Insecure, bisa dibilang seperti itu. Evelyn masih berusia 26 tahun, terpaut beda 3 tahun denganku. Dia dari keluarga yang terpandang, anak seorang pengusaha, selain itu dia juga berpendidikan tinggi.Dengan itu saja aku yakin semua pria tidak ada alasan untuk tidak menyukai sosoknya. Namun kenapa tidak dengan Pak Anggara? Mengapa dia lebih menginginkanku? Yang saat dengannya nanti, aku sudah menyandang status sebagai seorang janda. Tentu hal itu mengganggu pikiranku, yang sama sekali tidak akan aku mendapatkan jawabannya."Bagaimana?" tanya Evelyn s
Aku tidak bisa menyalahkan Pak Anggara sepenuhnya, sebab dalam posisi bercinta kami tadi, tentu sulit baginya untuk segera melepaskan dan mengeluarkannya di luar seperti biasanya. Disisi lain yang membuat aku panik, tapi luar biasa nikmat dari kepuasan yang aku rasakan."Tiana? Kamu marah padaku?"Aku menggelengkan kepalaku. "Aku tidak marah."Aku hanya sedikit takut jika aku hamil saja. Sebab rahimku benar-benar sehat karena aku sering memeriksakan kesehatanku, ditambah dengan fakta yang sudah jelas jika Mas Rendi lah yang tidak bisa memberikan keturunan. Aku bukan tidak ingin hamil, hanya saja jangan sampai diwaktu yang tidak tepat. Aku masih harus menjalankan rencanaku sampai akhir."Lalu bagaimana? Tenang saja, aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.""Sepertinya ini bukan masa suburku. Sekarang kamu antar aku pulang saja dulu."Aku langsung merapikan pakaian dan kembali ke tempat dudukku.Sesampainya di rumah, aku langsung membuka sabuk pengaman tanpa berpamitan. Sekali lagi
Hari-hari berlalu, ini adalah H-2 pesta ulang tahun Evelyn. Aku masih belum membeli dress yang akan aku pakai nanti. Sementara Mbak Dyan sudah merengek dan langsung dibelikan oleh Mas Rendi. Padahal Mas Rendi saja mengikuti keputusanku apa aku akan datang atau tidak. Sementara Mbak Dyan sudah heboh sendiri dan begitu antusias untuk datang."Tiana, bikinkan aku kopi," ucap Pak Anggara lewat telepon.Aku mengerutkan keningku, karena tumben sekali satu jam sebelum pulang ia meminta dibikinkan kopi. Aku langsung saja meminta OB untuk buatkan dan aku yang mengantarkannya ke dalam. Entahlah hari itu aku malas sekali beranjak dari mejaku.Tokk ....Tokk ....Tokk ...."Ini kopinya, Pak.""Simpan saja di meja. Oh ya, tolong bantu saja bukakan kotak itu," titah Pak Anggara yang masih duduk dan membaca dokumen di meja kerjanya.Aku menyimpan kopi, lalu membuka kotak itu. Aku terkejut melihat isinya. Apa ini untukku? Percaya diri itu boleh-boleh saja."Ini?""Untukmu.""Tapi katanya aku tidak bo
"Tiana udah lebih sadar diri mungkin, Bu. Istri kalau tidak bisa ngasih keturunan, ya harus siap suaminya cari istri baru. Tidak boleh jadi perempuan yang egois."Sakit!Sangat-sangat sakit rasanya.Jika omongan itu bukan berasal dari mulut seorang perempuan apalagi dia adalah Mertuaku sendiri, mungkin aku tidak akan mengambil pusing. Lebih baik masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, tapi ini sudah melampaui batas rasa sakit hatiku.Belas kasihku untuknya sudah tidak ada lagi, padahal aku menyayangi Ibu Mas Rendi, seperti Ibuku sendiri karena aku sudah tidak punya orang tua. Namun memang tidak ada yang bisa diandalkan, jangan mempercayakan sesuatu yang sudah jelas itu orang lain bagiku."Tia, pendengaran kamu harus lebih tebal lagi, ya. Sebagai sesama perempuan, Bibi bisa merasakan bagaimana jika ada diposisi kamu. Sangat sulit, dan sangat sakit."Aku hanya mengangguk sambil terus melihat Ibu Mertuaku yang mengobrol dengan para tetangga lain, sementara Mas Rendi dan Mbak Dyan te
"Sudah kubilang, sekalian saja aku belikan sofa untukmu," keluh Pak Anggara karena aku memang menolak untuk dibelikan hal lain selain yang aku butuhkan di kamar, semua demi rencana berjalan dengan harapanku."Sudahlah, duduk di lantai pun tidak masalah. Kamu bisa belajar hidup merakyat sedikit," ucapku langsung mengambil kantung makanan yang Pak Anggara bawa dan duduk lesehan tanpa beralaskan apa-apa. Dan Pak Anggara pun ikut duduk.Satu persatu aku buka makanan yang ia bawa. Sangat banyak jika hanya dimakan untuk berdua saja. Namun aku sangat bersyukur, Pak Anggara benar-benar selalu ada untukku disaat aku sedang sendiri dan sebenarnya aku tidak ingin sendiri. Aku suka sepi tapi tidak suka dengan kesepian. Aku suka sunyi tapi tidak suka dengan kesunyian. Karena terkadang aku lebih nyaman di tempat ramai, di mana tidak ada orang yang mengenalku."Berapa lama tadi kamu diluar?" tanyaku sambil melahap pizza yang sudah hampir dingin."Baru satu jam, untung saja makanannya tidak sepenuhn
Mataku terasa panas, berlinang sudah air mataku saat mendengar satu kalimat yang entah kapan terakhir kali aku mendengarnya. Karena kalimat itu adalah kalimat ajaib yang selalu ditanyakan Ayah atau Ibuku. Aku tidak pernah berkeluh kesah tentang bagaimana sulitnya hari yang aku jalani, tetapi setiap mendengar kalimat itu, selalu sukses membuat aku menitikkan air mata bahkan sebelum aku menjawabnya."Kenapa?" tanyaku sekuat tenaga membendung air mata."Kamu, baik-baik saja?"Aku langsung menutup mukaku dengan kedua tanganku karena air mata sudah tidak bisa terbendung lagi. Aku menangis dan aku tidak ingin terlihat menyedihkan oleh orang lain.Kisah hidup, terlebih kisah rumah tanggaku sudah diketahui oleh Pak Anggara, tetapi rasanya masih amat membuat aku malu jika aku ingat-ingat kembali, karena aku begitu menyedihkan."Aku ..., aku baik, aku baik-baik saja," jawabku tersedu-sedu tanpa aku menurunkan tanganku.Lalu, aku merasakan punggung Pak Anggara menempel di punggungku. "Aku tidak