Belum saja aku mendapatkan jawaban dari Pak Anggara, Evelyn sudah keluar mengenakan dress berwarna maroon. Dress panjang dengan area dada terbuka menampakkan kulit putih dan lehernya yang jenjang.Cantik!Satu kata saat aku melihat Evelyn keluar dari kamar ganti. Ya, dia memang cantik mengenakan dress itu. Sudah pasti dia akan menjadi pusat perhatian di hari ulang tahunnya sendiri.Seketika saja hati mungilku ini merasa tidak percaya diri. Insecure, bisa dibilang seperti itu. Evelyn masih berusia 26 tahun, terpaut beda 3 tahun denganku. Dia dari keluarga yang terpandang, anak seorang pengusaha, selain itu dia juga berpendidikan tinggi.Dengan itu saja aku yakin semua pria tidak ada alasan untuk tidak menyukai sosoknya. Namun kenapa tidak dengan Pak Anggara? Mengapa dia lebih menginginkanku? Yang saat dengannya nanti, aku sudah menyandang status sebagai seorang janda. Tentu hal itu mengganggu pikiranku, yang sama sekali tidak akan aku mendapatkan jawabannya."Bagaimana?" tanya Evelyn s
Aku tidak bisa menyalahkan Pak Anggara sepenuhnya, sebab dalam posisi bercinta kami tadi, tentu sulit baginya untuk segera melepaskan dan mengeluarkannya di luar seperti biasanya. Disisi lain yang membuat aku panik, tapi luar biasa nikmat dari kepuasan yang aku rasakan."Tiana? Kamu marah padaku?"Aku menggelengkan kepalaku. "Aku tidak marah."Aku hanya sedikit takut jika aku hamil saja. Sebab rahimku benar-benar sehat karena aku sering memeriksakan kesehatanku, ditambah dengan fakta yang sudah jelas jika Mas Rendi lah yang tidak bisa memberikan keturunan. Aku bukan tidak ingin hamil, hanya saja jangan sampai diwaktu yang tidak tepat. Aku masih harus menjalankan rencanaku sampai akhir."Lalu bagaimana? Tenang saja, aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.""Sepertinya ini bukan masa suburku. Sekarang kamu antar aku pulang saja dulu."Aku langsung merapikan pakaian dan kembali ke tempat dudukku.Sesampainya di rumah, aku langsung membuka sabuk pengaman tanpa berpamitan. Sekali lagi
Hari-hari berlalu, ini adalah H-2 pesta ulang tahun Evelyn. Aku masih belum membeli dress yang akan aku pakai nanti. Sementara Mbak Dyan sudah merengek dan langsung dibelikan oleh Mas Rendi. Padahal Mas Rendi saja mengikuti keputusanku apa aku akan datang atau tidak. Sementara Mbak Dyan sudah heboh sendiri dan begitu antusias untuk datang."Tiana, bikinkan aku kopi," ucap Pak Anggara lewat telepon.Aku mengerutkan keningku, karena tumben sekali satu jam sebelum pulang ia meminta dibikinkan kopi. Aku langsung saja meminta OB untuk buatkan dan aku yang mengantarkannya ke dalam. Entahlah hari itu aku malas sekali beranjak dari mejaku.Tokk ....Tokk ....Tokk ...."Ini kopinya, Pak.""Simpan saja di meja. Oh ya, tolong bantu saja bukakan kotak itu," titah Pak Anggara yang masih duduk dan membaca dokumen di meja kerjanya.Aku menyimpan kopi, lalu membuka kotak itu. Aku terkejut melihat isinya. Apa ini untukku? Percaya diri itu boleh-boleh saja."Ini?""Untukmu.""Tapi katanya aku tidak bo
"Tiana udah lebih sadar diri mungkin, Bu. Istri kalau tidak bisa ngasih keturunan, ya harus siap suaminya cari istri baru. Tidak boleh jadi perempuan yang egois."Sakit!Sangat-sangat sakit rasanya.Jika omongan itu bukan berasal dari mulut seorang perempuan apalagi dia adalah Mertuaku sendiri, mungkin aku tidak akan mengambil pusing. Lebih baik masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, tapi ini sudah melampaui batas rasa sakit hatiku.Belas kasihku untuknya sudah tidak ada lagi, padahal aku menyayangi Ibu Mas Rendi, seperti Ibuku sendiri karena aku sudah tidak punya orang tua. Namun memang tidak ada yang bisa diandalkan, jangan mempercayakan sesuatu yang sudah jelas itu orang lain bagiku."Tia, pendengaran kamu harus lebih tebal lagi, ya. Sebagai sesama perempuan, Bibi bisa merasakan bagaimana jika ada diposisi kamu. Sangat sulit, dan sangat sakit."Aku hanya mengangguk sambil terus melihat Ibu Mertuaku yang mengobrol dengan para tetangga lain, sementara Mas Rendi dan Mbak Dyan te
"Sudah kubilang, sekalian saja aku belikan sofa untukmu," keluh Pak Anggara karena aku memang menolak untuk dibelikan hal lain selain yang aku butuhkan di kamar, semua demi rencana berjalan dengan harapanku."Sudahlah, duduk di lantai pun tidak masalah. Kamu bisa belajar hidup merakyat sedikit," ucapku langsung mengambil kantung makanan yang Pak Anggara bawa dan duduk lesehan tanpa beralaskan apa-apa. Dan Pak Anggara pun ikut duduk.Satu persatu aku buka makanan yang ia bawa. Sangat banyak jika hanya dimakan untuk berdua saja. Namun aku sangat bersyukur, Pak Anggara benar-benar selalu ada untukku disaat aku sedang sendiri dan sebenarnya aku tidak ingin sendiri. Aku suka sepi tapi tidak suka dengan kesepian. Aku suka sunyi tapi tidak suka dengan kesunyian. Karena terkadang aku lebih nyaman di tempat ramai, di mana tidak ada orang yang mengenalku."Berapa lama tadi kamu diluar?" tanyaku sambil melahap pizza yang sudah hampir dingin."Baru satu jam, untung saja makanannya tidak sepenuhn
Mataku terasa panas, berlinang sudah air mataku saat mendengar satu kalimat yang entah kapan terakhir kali aku mendengarnya. Karena kalimat itu adalah kalimat ajaib yang selalu ditanyakan Ayah atau Ibuku. Aku tidak pernah berkeluh kesah tentang bagaimana sulitnya hari yang aku jalani, tetapi setiap mendengar kalimat itu, selalu sukses membuat aku menitikkan air mata bahkan sebelum aku menjawabnya."Kenapa?" tanyaku sekuat tenaga membendung air mata."Kamu, baik-baik saja?"Aku langsung menutup mukaku dengan kedua tanganku karena air mata sudah tidak bisa terbendung lagi. Aku menangis dan aku tidak ingin terlihat menyedihkan oleh orang lain.Kisah hidup, terlebih kisah rumah tanggaku sudah diketahui oleh Pak Anggara, tetapi rasanya masih amat membuat aku malu jika aku ingat-ingat kembali, karena aku begitu menyedihkan."Aku ..., aku baik, aku baik-baik saja," jawabku tersedu-sedu tanpa aku menurunkan tanganku.Lalu, aku merasakan punggung Pak Anggara menempel di punggungku. "Aku tidak
"Tanpa terus diingetin juga aku tau, Mbak. Mendingan sekarang Mbak pilih aja mau pakai baju aku yang mana? Aku mau berbenah dan membereskan baju-baju aku sendirian."Mbak Dyan langsung beranjak dan mendekat padaku. "Mana baju kamu yang mahal. Yang bermerk. Karena di pesta itu pasti bukan dari pada kalangan biasa-biasa aja, kan? Aku harus bisa menyetarakan diri. Biar Rendi juga nggak mau punya istri aku.""Semua pakaian yang aku gantung itu bermerek, aku beli saat aku sudah kembali bekerja.""Yang di dalam kotak itu apa?"Mendengar pertanyaan itu, aku segera mengambil kotak hadiah dari Pak Anggara. Aku tidak ingin Mbak Dyan melihat dress yang akan aku pakai malam nanti. Bisa-bisa dia akan merengek meminta aku meminjamkan baju yang khusus dibelikan untuk pesta oleh Pak Anggara. Di tambah di dalamnya juga ada lingerie yang satu paket untuk digunakan. Karena dress yang aku pakai cukup terbuka di bagian belakang meskipun dibagian depannya tertutup."Ini rahasia dan Mbak Dyan nggak perlu ta
Aku pun keluar dari rumah, dalam pikiranku Pak Anggara yang menjemputku, nyatanya aku lupa jika suami dan maduku juga akan ikut ke acara yang sama. Dan Pak Anggara sudah mengirimkan pesan bahwa kita akan bertemu di acara nanti."Kamu cantik sekali, Tiana," puji Mas Rendi untuk kedua kalinya dalam hidupku setelah kami menikah.Apakah aku secantik itu sampai Mas Rendi yang tidak pernah memujiku saja, mendadak mengatakan jika aku cantik sekali malam ini. Entah mengapa memang aku merasa tidak ingin kalah dengan tokoh utamanya nanti yang sedang berulang tahun, khususnya di hadapan Pak Anggara."Wah, langka sekali Mas Rendi memujiku. Hari-hari biasanya memang aku biasa saja ya, Mas. Tidak terlihat cantik.""Bukan begitu maksud, Sayang. Pokoknya kamu cantik, lebih cantik saja dari biasanya.""Iya, makasih. Ayo kita berangkat.""Tunggu," cegah Mbak Dyan yang terlihat tidak senang dengan penampilanku yang padahal dipuji cantik oleh Mas Rendi. "Kok kemarin pas aku mau pinjam baju kamu, aku gak