"Jadi Mas selama ini tau kondisi Mas sendiri tapi hanya diam saja?!" tanyaku dengan perasaan tidak habis pikir."Lalu Mas harus bagaimana? Mas juga tetap ingin menikah seperti yang diinginkan oleh kedua orang tua Mas. Mas ini anak satu-satunya, satu-satunya penerus di keluarga. Tidak mungkin Mas mengecewakan Ibu dan Ayah yang sudah sekarat waktu," ucapnya terdengar seperti sedang membela diri sendiri."Tidak ingin mengecewakan tapi Mas membuat orang-orang terutama Ibu Mas sendiri berpikir bahwa istri Mas lah yang bermasalah. Itu jahat namanya. Karena kenyataannya Mas yang tidak bisa memberikan keturunan.""Memang apa yang salah dengan itu? Wajar jika semua orang menganggap istri lah yang mandul karena banyak kasusnya begitu. Yang terpenting Mas tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Tidak pernah berkata atau bahkan bersikap kasar."Untuk hal satu itu aku akui memang benar. Karena itu juga satu-satunya alasan aku bertahan dengan Mas Rendi. Karena semua kebaikannya. Tutur kata yang lem
Mbak Dyan mencengkram tanganku dengan keras untuk mencegah aku pergi dengan membawa Ryo."Lepasin, Mbak. Jangan membuat keributan, ini rumah sakit. Ayo, Ryo. Ikut sama Mama Tia." Aku segera membawa Ryo untuk segera keluar, tetapi Mbak Dyan tidak membiarkan hal itu begitu saja. Ia menyusulku diikuti oleh Mas Rendi pula."Dyan! Sudah biarkan Ryo bersama Tiana.""Tapi itu anak kandung kita berdua!""Kamu mau sampai kapan seperti ini? Aku sudah tau kalau Ryo itu anak Yoga. Jika kamu masih tetap ingin Ryo denganmu, minta maaflah pada Yoga. Mungkin saja dia masih bisa memaafkan kamu dan kamu bisa kembali padanya," ucap Mas Rendi yang jelas menyiratkan jika dia akan melepaskan Mbak Dyan dengan mudahnya."Apa, Ren?""Sebaiknya kita berpisah saja.""Enggak, enggak! Aku gak mau jadi janda ketiga kalinya. Jangan begitu, Rendi! Aku tetap istri kamu," ujar Mbak Dyan dengan histeris karena tak ingin Mas Rendi membiarkan dirinya kembali pada Yoga."Terima saja, anggap apa yang terjadi sekarang padam
"Siapa itu, Mama Tia?" tanya Ryo yang membuat aku tersadar dari lamunan yang sedang memikirkan siapa orang yang mengetuk pintu rumahku."Sebentar Mama Tia liat dulu, ya. Ryo lanjutin nonton aja."Aku beranjak dan berjalan untuk membukakan pintu depan. Dan disaat pintu aku buka, aku tidak melihat siapa-siapa di depan rumahku. Itu membuat aku khawatir dan tentu aku merasa sedikit ngeri. Tanpa berpikir panjang aku langsung masuk ke dalam dan mengunci pintunya kembali. Perasaan takut akan hal mistis memang terlintas dalam benakku, tetapi aku jauh lebih takut jika itu adalah orang yang berniat tidak baik.Yang selalu aku yakini jika hantu tidak bisa mencelakai manusia kecuali keteledoran manusianya sendiri kerena rasa takut, tetapi manusia bisa melakukan hal yang lebih jahat bahkan lebih dari bisikan setan sekalipun. Apalagi jika itu didasari dendam dan rasa sakit hati.Dan dua orang yang paling aku waspadai sekarang ini adalah Mbak Dyan, juga Evelyn. Tentang Mbak Dyan jelas dia sudah men
Aku hanya menggelengkan kepala karena Mbak Dyan pandai bersandiwara. Dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa dan tentu dia tidak akan merasa bersalah."Udahlah, Mbak. Gak usah pura-pura karena aku sudah tau. Seniat itu Mbak mengikuti aku dan Ryo, lalu meneror kami berdua semalam. Tidak ada Ibu kandung yang setega Mbak.""Apa sih maksud kamu? Ngikutin siapa? Semalam aku pergi ke rumahmu, tapi kamu tidak membukakan pintu. Ya, aku memang teriak di depan rumah kamu. Tapi setelah itu aku diusir security. Memang sengaja saja kamu tidak membukakan pintu untukku, kan? Makanya sekarang biar Ryo ikut denganku lagi."Aku terdiam seribu bahasa, entah harus berkata apa."Mbak semalam ke rumahku? Yang mana?"Lalu Mbak Dyan menatap ke arahku. "Yang mana? Memang kamu punya berapa rumah? Mas Rendi belikan rumah lagi untukmu? Tidak adil!"Aku terus menatap Mbak Dyan, berharap jika aku melihat dia sedang melakukan kebohongan seperti yang biasa aku lihat jika dia tengah berbohong. Namun ternyata nihil.
"Apa aku harus menjawab pertanyaan itu? Kamu begitu ingin tau kapan aku dan Kak Gara menikah? Kamu tidak berencana untuk menggagalkan pernikahan aku, kan?"Entah mengapa, Evelyn bisa berpikiran seperti itu padaku. Seolah aku wanita gila yang bisa saja melakukan itu. Padahal aku bukan orang yang bisa tega merusak kebahagiaan orang lain dengan sengaja. Bahkan aku mundur meskipun aku dengan Pak Anggara ternyata suka sama suka."Tidak dijawab pun tidak masalah.""Yang pasti pernikahan itu akan berlangsung minggu ini. Aku permisi."Setelah mengatakan itu, Evelyn langsung pergi berlalu. Kita benar-benar sudah menjadi asing padahal awal bertemu dia langsung akrab denganku. Ya, lagi-lagi aku tidak bisa menyalahkan dia sepenuhnya. Yang dia lakukan mungkin sudah menjadi yang terbaik.***"Tidak ada sesuatu yang ingin kamu katakan pada Ibu?" tanya Mas Rendi setelah aku sampai di rumah tetapi belum mau masuk ke dalam kamar untuk melihat keadaan Ibu."Tidak ada. Malah aku ingin bicara sama kamu,"
"Iya, Mas gak mau pisah. Kita bukan anak kecil lagi, Tiana. Kita tidak bisa pisah begitu saja. Kalau masalah anak kan kita bisa adopsi, Ibu juga pasti setuju."Nampak jelas sekali jika Mas Rendi tengah membujukku yang sudah tidak akan luluh dengan mudah. Semuanya sudah terlanjur dan jauh sekali jika harus diperbaiki. Benar-benar sudah terlambat."Kalau begitu kenapa kamu ingin cerai dengan Mbak Dyan? Apalagi Ryo sudah kamu anggap sebagai anak sendiri. Ibu juga sudah dekat dengan Ryo. Kalau mengadopsi anak, aku rasa Ibu tidak akan setuju. Ya kan, Bu? Ibu maunya punya cucu darah daging Mas Rendi agar bisa melanjutkan keturunan." Aku tersenyum sambil melihat ke arah Ibu.Tega tak tega, aku haru melakukan itu.Aku melepaskan tanganku dari cengkraman Mas Rendi saat sejenak suasana menjadi hening."Memang kamu bisa hidup sendiri, Tiana? Kamu sebatang kara di sini. Kamu hanya punya Mas sebagai keluarga kamu. Jangan nanti kamu menyesal dengan keputusan sekarang.""Mau aku menyesal atau tidak
Saking banyaknya hal yang aku pikirkan, aku benar-benar baru menyadari keanehan rumah baruku ini. Benar-benar tampak sepi disiang hari, apalagi malam. Tetapi semua lampu menyala dan beberapa rumah memiliki mobil yang terparkir di area carport.Jika aku tanya pada penjaga keamanan tadi, aku rasa dia tidak akan menjawab rasa penasaranku yang menurutnya pasti terasa konyol. Hal yang sudah jelas sebuah teror saja, benar-benar tidak digubris olehnya. Seperti kerja dengan memakan gaji buta saja.Akhirnya aku mencoba memberanikan diri untuk bertamu ke rumah yang tepat berada di sebelah rumahku.Tokk ....Tokk ....Tokk ...."Permisi."Beberapa kali aku mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Mobil masih terparkir yang itu artinya masih ada orang di dalam, pikirku begitu.Masih ingin memuaskan rasa penasaranku, akhirnya aku beralih ke rumah yang ada di depanku. Namun hasilnya sama saja, tidak ada orang yang membukakan pintu untukku. Aku semakin merasa bingung saja dengan kompleks yang aku t
Perlahan aku membuka mata, langsung kuedarkan pandangan dan melihat sekelilingku adalah ruangan yang asing, tidak pernah aku datangi sebelumnya. Aku tidak tahu di mana aku sekarang, yang aku ingat terakhirnya kali aku masih berada di mobil dengan jalan yang sudah sangat sepi tanpa bangunan dan rumah warga. Selebihnya, aku tidak tahu apa-apa setelah pingsan akibat tamparan keras di pipiku.Sekarang saja masih terasa sakit. Aku merasa pipiku bengkak dan ujung mulutku terluka. Aku tidak bisa memastikan langsung, karena kedua tanganku diikat ke belakang.Jelas ini adalah sebuah kejahatan.Namun aku masih belum bisa menebak dengan keyakinan kuat siapa yang melakukan semuanya dengan sengaja dan semua ini sangat niat untuk dilakukan.Brak!!Pintu terbuka dengan keras, lalu pria tadi masuk mendekat padaku. Seharusnya tadi aku tidak perlu merasa kasihan dengan cerita sedihnya, terlalu berperasa malah membuatku masuk dalam lubang perkara."Sudah sadar?" tanyanya sambil berjongkok di depanku."