Aku hanya menggelengkan kepala karena Mbak Dyan pandai bersandiwara. Dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa dan tentu dia tidak akan merasa bersalah."Udahlah, Mbak. Gak usah pura-pura karena aku sudah tau. Seniat itu Mbak mengikuti aku dan Ryo, lalu meneror kami berdua semalam. Tidak ada Ibu kandung yang setega Mbak.""Apa sih maksud kamu? Ngikutin siapa? Semalam aku pergi ke rumahmu, tapi kamu tidak membukakan pintu. Ya, aku memang teriak di depan rumah kamu. Tapi setelah itu aku diusir security. Memang sengaja saja kamu tidak membukakan pintu untukku, kan? Makanya sekarang biar Ryo ikut denganku lagi."Aku terdiam seribu bahasa, entah harus berkata apa."Mbak semalam ke rumahku? Yang mana?"Lalu Mbak Dyan menatap ke arahku. "Yang mana? Memang kamu punya berapa rumah? Mas Rendi belikan rumah lagi untukmu? Tidak adil!"Aku terus menatap Mbak Dyan, berharap jika aku melihat dia sedang melakukan kebohongan seperti yang biasa aku lihat jika dia tengah berbohong. Namun ternyata nihil.
"Apa aku harus menjawab pertanyaan itu? Kamu begitu ingin tau kapan aku dan Kak Gara menikah? Kamu tidak berencana untuk menggagalkan pernikahan aku, kan?"Entah mengapa, Evelyn bisa berpikiran seperti itu padaku. Seolah aku wanita gila yang bisa saja melakukan itu. Padahal aku bukan orang yang bisa tega merusak kebahagiaan orang lain dengan sengaja. Bahkan aku mundur meskipun aku dengan Pak Anggara ternyata suka sama suka."Tidak dijawab pun tidak masalah.""Yang pasti pernikahan itu akan berlangsung minggu ini. Aku permisi."Setelah mengatakan itu, Evelyn langsung pergi berlalu. Kita benar-benar sudah menjadi asing padahal awal bertemu dia langsung akrab denganku. Ya, lagi-lagi aku tidak bisa menyalahkan dia sepenuhnya. Yang dia lakukan mungkin sudah menjadi yang terbaik.***"Tidak ada sesuatu yang ingin kamu katakan pada Ibu?" tanya Mas Rendi setelah aku sampai di rumah tetapi belum mau masuk ke dalam kamar untuk melihat keadaan Ibu."Tidak ada. Malah aku ingin bicara sama kamu,"
"Iya, Mas gak mau pisah. Kita bukan anak kecil lagi, Tiana. Kita tidak bisa pisah begitu saja. Kalau masalah anak kan kita bisa adopsi, Ibu juga pasti setuju."Nampak jelas sekali jika Mas Rendi tengah membujukku yang sudah tidak akan luluh dengan mudah. Semuanya sudah terlanjur dan jauh sekali jika harus diperbaiki. Benar-benar sudah terlambat."Kalau begitu kenapa kamu ingin cerai dengan Mbak Dyan? Apalagi Ryo sudah kamu anggap sebagai anak sendiri. Ibu juga sudah dekat dengan Ryo. Kalau mengadopsi anak, aku rasa Ibu tidak akan setuju. Ya kan, Bu? Ibu maunya punya cucu darah daging Mas Rendi agar bisa melanjutkan keturunan." Aku tersenyum sambil melihat ke arah Ibu.Tega tak tega, aku haru melakukan itu.Aku melepaskan tanganku dari cengkraman Mas Rendi saat sejenak suasana menjadi hening."Memang kamu bisa hidup sendiri, Tiana? Kamu sebatang kara di sini. Kamu hanya punya Mas sebagai keluarga kamu. Jangan nanti kamu menyesal dengan keputusan sekarang.""Mau aku menyesal atau tidak
Saking banyaknya hal yang aku pikirkan, aku benar-benar baru menyadari keanehan rumah baruku ini. Benar-benar tampak sepi disiang hari, apalagi malam. Tetapi semua lampu menyala dan beberapa rumah memiliki mobil yang terparkir di area carport.Jika aku tanya pada penjaga keamanan tadi, aku rasa dia tidak akan menjawab rasa penasaranku yang menurutnya pasti terasa konyol. Hal yang sudah jelas sebuah teror saja, benar-benar tidak digubris olehnya. Seperti kerja dengan memakan gaji buta saja.Akhirnya aku mencoba memberanikan diri untuk bertamu ke rumah yang tepat berada di sebelah rumahku.Tokk ....Tokk ....Tokk ...."Permisi."Beberapa kali aku mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Mobil masih terparkir yang itu artinya masih ada orang di dalam, pikirku begitu.Masih ingin memuaskan rasa penasaranku, akhirnya aku beralih ke rumah yang ada di depanku. Namun hasilnya sama saja, tidak ada orang yang membukakan pintu untukku. Aku semakin merasa bingung saja dengan kompleks yang aku t
Perlahan aku membuka mata, langsung kuedarkan pandangan dan melihat sekelilingku adalah ruangan yang asing, tidak pernah aku datangi sebelumnya. Aku tidak tahu di mana aku sekarang, yang aku ingat terakhirnya kali aku masih berada di mobil dengan jalan yang sudah sangat sepi tanpa bangunan dan rumah warga. Selebihnya, aku tidak tahu apa-apa setelah pingsan akibat tamparan keras di pipiku.Sekarang saja masih terasa sakit. Aku merasa pipiku bengkak dan ujung mulutku terluka. Aku tidak bisa memastikan langsung, karena kedua tanganku diikat ke belakang.Jelas ini adalah sebuah kejahatan.Namun aku masih belum bisa menebak dengan keyakinan kuat siapa yang melakukan semuanya dengan sengaja dan semua ini sangat niat untuk dilakukan.Brak!!Pintu terbuka dengan keras, lalu pria tadi masuk mendekat padaku. Seharusnya tadi aku tidak perlu merasa kasihan dengan cerita sedihnya, terlalu berperasa malah membuatku masuk dalam lubang perkara."Sudah sadar?" tanyanya sambil berjongkok di depanku."
Aku berteriak sekencang mungkin semampuku mengeluarkan sisa-sisa tenaga. Meskipun tahu jika hasilnya akan nihil tetapi setidaknya aku berusaha untuk melawan, tidak hanya diam berpasrah karena tidak ada lagi harapan.Plak!!Pria itu menampar pipiku kembali."Kamu mau memecahkan gendang telingaku? Ikut saya!"Pria itu kembali menarik tanganku untuk mengikuti keinginannya. Sekarang dia membawaku ke lantai dua. Kakiku semakin sakit dan perih, penyiksaan ini terlalu kejam."Saya sudah berbaik hati sedari tadi, tapi kamu terus membuat saya kesal!"Sekarang aku dan pria itu berada di rooftop. Tidak terpikir sebelumnya jika villa ini memiliki rooftop, meskipun beralaskan kayu yang sudah cukup rapuh ketika diinjak.Hari sudah benar-benar gelap. Entah jam berapa pastinya ini sudah lewat tengah malam. Aku perhatikan sekeliling villa ini hanya ditumbuhi pepohonan. Seperti berada di tengah-tengah hutan saja."Tadi saya sudah menawarkan sesuatu yang akan membuat kamu merasakan kenikmatan karena kit
Aku sudah pasrah jika memang ini adalah akhir dari hidupku. Yang jelas sebelum semuanya seperti ini, aku sudah melakukan hal yang benar, mengungkap kebenaran dan melepaskan semua yang menjadi beban. Entah akhirnya Tuhan akan menerima kebaikanku atau tidak, itu sudah bukan lagi kuasaku. Tidak ada tawar-menawar jika sudah berurusan dengan takdir. Baik atau sebaliknya, aku sudah siap.Aku memejamkan mataku, menunggu mobil mana yang lebih cepat mendekat padaku, atau mungkin aku akan diapit sampai nyawaku benar-benar berpisah dari ragaku? Semakin menunggu, rasa ingin tetap hidup malah semakin besar.'Aku ingin selamat, aku ingin selamat dengan cara apapun Tuhan mengirimkan bantuan-Nya untukku.'Tiba-tiba aku merasa seseorang menarik tanganku, membuat aku dengan spontan membuka mata. Meski dalam gelap, sinar rembulan dan lampu yang menyoroti kami, aku tahu jika itu adalah Pak Anggara.Tanpa ada perkataan apa-apa, dia langsung membawaku masuk ke dalam mobil.'Inikah cara Tuhan menyelamatkan
Dan aku lagi-lagi dibuat tidak habis pikir dengan semua usaha Evelyn yang dilakukan sampai seniat itu. Rumah yang dia berikan untukku itu memang sengaja ia pilihkan rumah yang mempunyai layar belakang yang pernah aku dengar dari tukang yang aku panggil kemarin.Usahanya tidak tanggung-tanggung, Evelyn membeli seluruh rumah itu, dan membuatnya seolah berpenghuni tidak hanya aku agar aku tidak merasakan aneh. Ia simpan beberapa mobil di beberapa rumah yang ternyata memang kosong. Bahkan ia juga membayar seseorang untuk menjadi petugas keamanan secara dadakan yang juga bertugas untuk mematikan aliran listrik disetiap rumah ketika sudah siang. Agar semua terlihat normal.Aku hanya berpikir, jika aku menyetujui untuk pindah dan menerima rumah itu, maka semuanya sudah aku anggap beres dan selesai. Namun Evelyn tidak mengizinkan hidup aku setenang itu.Dia mulai meneror sampai ternyata dia berniat untuk menyingkirkan nyawaku secara perlahan dengan penyiksaan yang tidak aku bayangkan tadi ole