Mbak Dyan mencengkram tanganku dengan keras untuk mencegah aku pergi dengan membawa Ryo."Lepasin, Mbak. Jangan membuat keributan, ini rumah sakit. Ayo, Ryo. Ikut sama Mama Tia." Aku segera membawa Ryo untuk segera keluar, tetapi Mbak Dyan tidak membiarkan hal itu begitu saja. Ia menyusulku diikuti oleh Mas Rendi pula."Dyan! Sudah biarkan Ryo bersama Tiana.""Tapi itu anak kandung kita berdua!""Kamu mau sampai kapan seperti ini? Aku sudah tau kalau Ryo itu anak Yoga. Jika kamu masih tetap ingin Ryo denganmu, minta maaflah pada Yoga. Mungkin saja dia masih bisa memaafkan kamu dan kamu bisa kembali padanya," ucap Mas Rendi yang jelas menyiratkan jika dia akan melepaskan Mbak Dyan dengan mudahnya."Apa, Ren?""Sebaiknya kita berpisah saja.""Enggak, enggak! Aku gak mau jadi janda ketiga kalinya. Jangan begitu, Rendi! Aku tetap istri kamu," ujar Mbak Dyan dengan histeris karena tak ingin Mas Rendi membiarkan dirinya kembali pada Yoga."Terima saja, anggap apa yang terjadi sekarang padam
"Siapa itu, Mama Tia?" tanya Ryo yang membuat aku tersadar dari lamunan yang sedang memikirkan siapa orang yang mengetuk pintu rumahku."Sebentar Mama Tia liat dulu, ya. Ryo lanjutin nonton aja."Aku beranjak dan berjalan untuk membukakan pintu depan. Dan disaat pintu aku buka, aku tidak melihat siapa-siapa di depan rumahku. Itu membuat aku khawatir dan tentu aku merasa sedikit ngeri. Tanpa berpikir panjang aku langsung masuk ke dalam dan mengunci pintunya kembali. Perasaan takut akan hal mistis memang terlintas dalam benakku, tetapi aku jauh lebih takut jika itu adalah orang yang berniat tidak baik.Yang selalu aku yakini jika hantu tidak bisa mencelakai manusia kecuali keteledoran manusianya sendiri kerena rasa takut, tetapi manusia bisa melakukan hal yang lebih jahat bahkan lebih dari bisikan setan sekalipun. Apalagi jika itu didasari dendam dan rasa sakit hati.Dan dua orang yang paling aku waspadai sekarang ini adalah Mbak Dyan, juga Evelyn. Tentang Mbak Dyan jelas dia sudah men
Aku hanya menggelengkan kepala karena Mbak Dyan pandai bersandiwara. Dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa dan tentu dia tidak akan merasa bersalah."Udahlah, Mbak. Gak usah pura-pura karena aku sudah tau. Seniat itu Mbak mengikuti aku dan Ryo, lalu meneror kami berdua semalam. Tidak ada Ibu kandung yang setega Mbak.""Apa sih maksud kamu? Ngikutin siapa? Semalam aku pergi ke rumahmu, tapi kamu tidak membukakan pintu. Ya, aku memang teriak di depan rumah kamu. Tapi setelah itu aku diusir security. Memang sengaja saja kamu tidak membukakan pintu untukku, kan? Makanya sekarang biar Ryo ikut denganku lagi."Aku terdiam seribu bahasa, entah harus berkata apa."Mbak semalam ke rumahku? Yang mana?"Lalu Mbak Dyan menatap ke arahku. "Yang mana? Memang kamu punya berapa rumah? Mas Rendi belikan rumah lagi untukmu? Tidak adil!"Aku terus menatap Mbak Dyan, berharap jika aku melihat dia sedang melakukan kebohongan seperti yang biasa aku lihat jika dia tengah berbohong. Namun ternyata nihil.
"Apa aku harus menjawab pertanyaan itu? Kamu begitu ingin tau kapan aku dan Kak Gara menikah? Kamu tidak berencana untuk menggagalkan pernikahan aku, kan?"Entah mengapa, Evelyn bisa berpikiran seperti itu padaku. Seolah aku wanita gila yang bisa saja melakukan itu. Padahal aku bukan orang yang bisa tega merusak kebahagiaan orang lain dengan sengaja. Bahkan aku mundur meskipun aku dengan Pak Anggara ternyata suka sama suka."Tidak dijawab pun tidak masalah.""Yang pasti pernikahan itu akan berlangsung minggu ini. Aku permisi."Setelah mengatakan itu, Evelyn langsung pergi berlalu. Kita benar-benar sudah menjadi asing padahal awal bertemu dia langsung akrab denganku. Ya, lagi-lagi aku tidak bisa menyalahkan dia sepenuhnya. Yang dia lakukan mungkin sudah menjadi yang terbaik.***"Tidak ada sesuatu yang ingin kamu katakan pada Ibu?" tanya Mas Rendi setelah aku sampai di rumah tetapi belum mau masuk ke dalam kamar untuk melihat keadaan Ibu."Tidak ada. Malah aku ingin bicara sama kamu,"
"Iya, Mas gak mau pisah. Kita bukan anak kecil lagi, Tiana. Kita tidak bisa pisah begitu saja. Kalau masalah anak kan kita bisa adopsi, Ibu juga pasti setuju."Nampak jelas sekali jika Mas Rendi tengah membujukku yang sudah tidak akan luluh dengan mudah. Semuanya sudah terlanjur dan jauh sekali jika harus diperbaiki. Benar-benar sudah terlambat."Kalau begitu kenapa kamu ingin cerai dengan Mbak Dyan? Apalagi Ryo sudah kamu anggap sebagai anak sendiri. Ibu juga sudah dekat dengan Ryo. Kalau mengadopsi anak, aku rasa Ibu tidak akan setuju. Ya kan, Bu? Ibu maunya punya cucu darah daging Mas Rendi agar bisa melanjutkan keturunan." Aku tersenyum sambil melihat ke arah Ibu.Tega tak tega, aku haru melakukan itu.Aku melepaskan tanganku dari cengkraman Mas Rendi saat sejenak suasana menjadi hening."Memang kamu bisa hidup sendiri, Tiana? Kamu sebatang kara di sini. Kamu hanya punya Mas sebagai keluarga kamu. Jangan nanti kamu menyesal dengan keputusan sekarang.""Mau aku menyesal atau tidak
Saking banyaknya hal yang aku pikirkan, aku benar-benar baru menyadari keanehan rumah baruku ini. Benar-benar tampak sepi disiang hari, apalagi malam. Tetapi semua lampu menyala dan beberapa rumah memiliki mobil yang terparkir di area carport.Jika aku tanya pada penjaga keamanan tadi, aku rasa dia tidak akan menjawab rasa penasaranku yang menurutnya pasti terasa konyol. Hal yang sudah jelas sebuah teror saja, benar-benar tidak digubris olehnya. Seperti kerja dengan memakan gaji buta saja.Akhirnya aku mencoba memberanikan diri untuk bertamu ke rumah yang tepat berada di sebelah rumahku.Tokk ....Tokk ....Tokk ...."Permisi."Beberapa kali aku mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Mobil masih terparkir yang itu artinya masih ada orang di dalam, pikirku begitu.Masih ingin memuaskan rasa penasaranku, akhirnya aku beralih ke rumah yang ada di depanku. Namun hasilnya sama saja, tidak ada orang yang membukakan pintu untukku. Aku semakin merasa bingung saja dengan kompleks yang aku t
Perlahan aku membuka mata, langsung kuedarkan pandangan dan melihat sekelilingku adalah ruangan yang asing, tidak pernah aku datangi sebelumnya. Aku tidak tahu di mana aku sekarang, yang aku ingat terakhirnya kali aku masih berada di mobil dengan jalan yang sudah sangat sepi tanpa bangunan dan rumah warga. Selebihnya, aku tidak tahu apa-apa setelah pingsan akibat tamparan keras di pipiku.Sekarang saja masih terasa sakit. Aku merasa pipiku bengkak dan ujung mulutku terluka. Aku tidak bisa memastikan langsung, karena kedua tanganku diikat ke belakang.Jelas ini adalah sebuah kejahatan.Namun aku masih belum bisa menebak dengan keyakinan kuat siapa yang melakukan semuanya dengan sengaja dan semua ini sangat niat untuk dilakukan.Brak!!Pintu terbuka dengan keras, lalu pria tadi masuk mendekat padaku. Seharusnya tadi aku tidak perlu merasa kasihan dengan cerita sedihnya, terlalu berperasa malah membuatku masuk dalam lubang perkara."Sudah sadar?" tanyanya sambil berjongkok di depanku."
Aku berteriak sekencang mungkin semampuku mengeluarkan sisa-sisa tenaga. Meskipun tahu jika hasilnya akan nihil tetapi setidaknya aku berusaha untuk melawan, tidak hanya diam berpasrah karena tidak ada lagi harapan.Plak!!Pria itu menampar pipiku kembali."Kamu mau memecahkan gendang telingaku? Ikut saya!"Pria itu kembali menarik tanganku untuk mengikuti keinginannya. Sekarang dia membawaku ke lantai dua. Kakiku semakin sakit dan perih, penyiksaan ini terlalu kejam."Saya sudah berbaik hati sedari tadi, tapi kamu terus membuat saya kesal!"Sekarang aku dan pria itu berada di rooftop. Tidak terpikir sebelumnya jika villa ini memiliki rooftop, meskipun beralaskan kayu yang sudah cukup rapuh ketika diinjak.Hari sudah benar-benar gelap. Entah jam berapa pastinya ini sudah lewat tengah malam. Aku perhatikan sekeliling villa ini hanya ditumbuhi pepohonan. Seperti berada di tengah-tengah hutan saja."Tadi saya sudah menawarkan sesuatu yang akan membuat kamu merasakan kenikmatan karena kit
Semua orang tanpa terkecuali pasti memiliki sebuah luka. Luka yang tidak kasat mata, hanya sang pemilik luka lah yang bisa merasakannya.Sembuh atau tidaknya tidak bisa dipastikan secara nyata, sebab tergantung sang pemilik luka itulah akan berbicara berdasarkan fakta atau malah menyembunyikannya agar terlihat baik-baik saja.Meski pada akhirnya luka yang tidak terlihat itu bisa sembuh, tapi memorinya akan selalu tertanam dalam ingatan. Semakin mencoba untuk dilupakan, maka akan semakin tenggelam dalam kesakitan.Hanya diri sendirilah yang mampu menyembuhkan dan memastikan luka itu tidak bersarang lama dalam hidupnya.Masa lalu akan tetap menjadi masa lalu, sejauh apapun mengejarnya tak akan bisa kembali apalagi hanya untuk menyesali apa yang sudah terjadi dimasa sekarang.Luka dimasa lalu yang dibiarkan, biasanya akan menjalar menjadi sebuah dendam. Sebuah titik balik yang berniat untuk melupakan, malah meluap menjadi emosi yang harus terbalaskan.Ketidakadilan adalah hal yang pasti
POV Anggara"Kania ...." Setelah istriku mengatakan semua isi hatinya di depan makam Kania, kini giliranku yang harus aku utarakan juga apa yang ada dalam hatiku ini."Sudah lama rasanya sejak hari di mana kita terakhir bertemu dalam keadaan hubungan kita yang tidak baik-baik saja. Itu adalah hal yang paling aku sesalkan. Aku kira aku tau semua tentangmu, tentang cerita senang dan sedihmu. Ternyata aku tidak sedalam itu mengetahui hidupmu. Entah apa lagi yang harus aku sesalkan karena semua itu tidak akan membuat waktu berputar kembali sehingga kamu mungkin masih hidup dan bersamaku sekarang."Pertama kalinya, aku mengutarakan apa yang ada di dalam hatiku, penyesalan yang aku rasakan terhadap kematian Kania yang tidak aku sadari apa yang terjadi pada Kania sebelumnya."Selama ini aku sama sekali tidak melupakanmu. Aku melanjutkan hidup karena aku selalu mengingatmu. Aku bawa dendam kematianmu dengan menghancurkan hidup orang yang menjadi alasan kamu mengakhiri hidupmu."Sekejap aku me
"Hay, Kania. Perkenalkan aku Tiana, aku adalah istri Mas Anggara, cinta pertama kamu. Senang bisa tau cerita kamu dari suamiku sendiri. Semoga kamu bisa beristirahat tenang di sana. Sungguh, kamu jatuh cinta pada pria yang tepat. Aku merasa keberuntungan yang harusnya kamu miliki, kini menjadi milikku. Aku berharap kamu bahagia atas kebahagiaan aku dan Mas Anggara saat ini. Sekarang kami sudah mempunyai tiga anak, dua anak kembar dan bungsu yang masih bayi. Nanti jika mereka sudah besar, akan aku ceritakan bagaimana ayahnya mencintai kamu begitu hebat dan tulus. Terimakasih sudah menyemangati Mas Anggara disaat ia merasa ada dititik terendah dalam hidupnya, sehingga dia bisa sehebat sekarang ini. Aku akan mencintai Mas Anggara dan menjaga anak-anak kami selamanya."Aku mengutarakan isi hatiku disaat kami sudah menaburkan bunga dan berdoa untuk Kania. Tidak ada lagi rasanya cemburu, sedih atau bahkan sakit hati. Aku sudah benar-benar ikhlas dengan kenyataan dari cerita Mas Anggara.Tid
Bulan madu setelah memiliki anak, tadinya aku berpikir itu hanya buang-buang waktu dan bentuk keegoisan orang tua yang tega meninggalkan anak-anak hanya demi kesenangan berdua, padahal bulan madu berdua itu bisa digantikan dengan liburan bersama keluarga, sehingga anak-anak bisa ikut merasakan bahagia yang sama seperti orang tuanya. Namun ada hal yang aku sadari setelah aku merasakannya sendiri. Setelah menjadi seorang istri, prioritasku berpindah pada suami. Aku belajar memasak masakan yang disukai suami, mengingat makanan apa yang tidak ia sukai, menjaga bentuk badan agar suami tetap cinta, menjaga dan membersihkan rumah agar tetap bersih sehingga ketika suami pulang kerja dia bisa nyaman beristirahat, memastikan pakaian suami bersih ketika akan dipakai bekerja, memastikan dia makan sehat meskipun diluar rumah. Sampai kepentinganku sendiri tergeser dari prioritas yang tadinya selalu utama. Lalu, lahirlah sang buah hati. Bertambah pula yang harus diprioritaskan selain diri sendi
Pagi indah aku benar-benar menyarap suamiku sendiri. Bercinta dipagi hari ternyata lebih fresh, mungkin energi kita masih utuh karena belum melakukan aktivitas apa-apa. Ini adalah honeymoon kedua yang berhasil. Selain aku mendapatkan kenikmatanku kembali, aku mendapatkan ketenangan setelah berhati-hati menyimpan rasa kecewa karena sulit untuk menerima realita. Di villa itu, aku dan Mas Anggara seperti mengadakan pesta bercinta saja. Rasanya malu melihat kelakuan diri sendiri, seperti orang yang kehausan dan lama tidak mendapatkan air. Mungkin itu yang akan dikatakan oleh rahimku jika dia bisa berbicara. Mempunyai suami tapi aku malah kekeringan. Sering cemburuan, mudah marah, mudah tersinggung, ternyata sentuhan suami lah obatnya. Kesabaran suami yang menjadi vitamin tambahan. Untunglah dia tidak berpikiran untuk membayar jasa wanita diluar sana, yang bahkan pasti ada saja yang menjajakan diri dengan suka rela alias gratis. Aku malu sekali jika mengingat semua yang telah terjad
Bagaimana ada istri seperti aku sekarang ini. Rasanya aku tidak pandai bersyukur sekali, semua yang aku inginkan sudah aku dapatkan di pernikahan kedua ini, tetapi aku tidak memperhatikan suamiku sendiri. Padahal dialah sumber yang membuat aku bisa mendapatkan apa yang selama ini menjadi keinginanku.Mas Anggara tidak pernah menuntut apa-apa, selalu memberikan yang terbaik untukku dan tentu juga untuk anak-anak. Namun aku tidak memperhatikan kebutuhan biologisnya. Padahal itu bukan hal yang besar dan mahal untuk aku berikan karena pastinya aku juga akan merasakan kenikmatannya.Aku baru tersadar kenapa beberapa kali Mas Anggara menyarankan agar kami mencari pengasuh bayi, karena dia juga butuh perhatian dariku, dia butuh aku untuk mengurusnya. Aku saja yang kurang peka dan tidak pernah bertanya."Maafkan aku, Mas. Aku akan lebih memperhatikanmu disamping kesibukanku mengurus anak-anak. Dan sepertinya aku akan menerima tawaran untuk mencari pengasuh bayi saja. Aku tidak akan egois dan
"Tidak," jawabku sambil menggelengkan kepala. "Sepertinya ada satu hal yang baru aku sadari sekarang, Mas.""Apa itu?""Setelah memiliki anak, fokusku hanya pada mereka saja. Kamu tidak aku perhatikan bahkan aku mengabaikan diriku sendiri. Baru aku sadari ternyata kamu malah semakin tampan meskipun sudah mempunyai tiga anak, usia kamu beberapa tahun lagi akan memasuki kepala empat. Kamu masih sangat sehat, bugar, berkharisma seperti aktor-aktor Hollywood yang semakin matang usia malah semakin menarik mata."Mas Anggara tersenyum tipis. "Kamu memujiku terlalu berlebihan, Sayang. Tidak seperti itu. Biasa saja seperti lelaki pada umumnya."Aku menggelengkan kepala dengan tegas. "Beda! Kamu sangat berbeda. Aku tidak memuji kamu secara berlebihan tapi memang faktanya begitu. Aku hanya membicarakan apa adanya yang aku lihat.""Kalau memang begitu, kenapa kamu tampak sedih sekarang? Bukannya memiliki suami yang tampan itu akan membuat kamu bangga?""Yang ada aku malah insecure, Mas. Kalau ki
Senja perlahan bergantian dengan langit yang menggelap. Tidak ada lagi pemandangan yang bisa aku lihat dari atas sini kecuali perlahan digantikan dengan lampu-lampu kota yang satu persatu mulai dinyalakan. Aku hanya bisa menunggu karena waktu yang akan menjawab bagaimana selanjutnya. Apa yang bisa aku lakukan jika dia mengatakan sebuah janji selain aku menunggu dan merasakan sendiri bagaimana dia membuktikan itu semua. Sehingga tidak ada jawaban lain selain aku tetap bertahan untuk melihat janji yang dia ucapkan, bisa dia buktikan.Aku mencintai suamiku terlepas dari apapun masa lalunya, rahasianya juga alasan awal bagaimana dia mendekatiku hingga akhirnya sungguh menikahiku.Aku harus melapangkan dada, meluaskan rasa sabarku, melihat ke masa depan dan merasakan apa yang masa sekarang terjadi. Bukankah selama ini rumah tangga kami baik-baik saja?Itulah yang sudah seharusnya aku lakukan. Tidak ada manusia yang tanpa pernah melakukan sebuah kesalahan dimasa lalu. Semua manusia adalah
Mas Anggara selalu bisa memberikanku jawaban yang masuk diakal. Tidak mengada-ada seperti mencari pembenaran untuk dirinya, tetapi memang seolah faktanya seperti apa yang dia katakan."Coba bilang padaku, apa yang harus aku lakukan sekarang?"Aku menggelengkan kepala."Papa saja menyadari jika hubungan kita tidak baik-baik saja makanya dia menyuruh kita untuk menghabiskan waktu berdua tanpa anak-anak. Jangan sampai sepulang kita dari sini, kamu tetap menjaga jarak dariku. Kita ini suami istri.""Aku tau. Aku juga tidak mau seperti ini, Mas. Tidak ada seorang pun yang mau rumah tangganya diuji, kalau bisa itu juga. Tapi cerita kamu itu membuat hatiku sakit, kecewa. Jadi banyak sekali hal yang aku pikirkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi yang aku hubungkan dengan cerita kamu. Aku sudah punya trauma di pernikahanku dulu, dan aku masih tidak percaya kita begini jadinya. Apa ini karma untukku?"Tiba-tiba saja langsung terpikirkan hal itu dalam benakku. Memang sama sekali tidak