Di kamar yang di dominasi warna putih itu, Selena menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidurnya yang nyaman.
Tadi malam Dia dan ibunya bersama-sama menunggu Ferdy. Tatapan Selena mengarah ke langit-langit kamarnya, teringat ucapan sang ibu padanya yang menanyakan pekerjaan apa yang dia ambil hingga bisa membayar hutang yang begitu banyak dan membebaskan Ferdy. Pikiran Selena pun kembali saat percakapannya bersama ibunya di Rumah sakit. "Na, kamu bekerja apa? Kenapa bisa cepat sekali kamu mendapatkan uang sebanyak itu?" Rosmala bertanya sambil memegang dadanya. "Ibu harap anak ibu ini mengambil pekerjaan yang baik." "Tenanglah bu, Selena bekerja pekerjaan baik kok, beruntung Selena mendapatkan kantor dan bos yang mengerti keadaan Selena dan mau membantu." Rosmala masih nampak ragu pada ucapan putrinya. "Benarkah itu Nak? Kamu bekerja dimana? Ibu takuSesuai ucapan William, satu jam kemudian Arnold sudah berada di halaman rumah Sunrise Summit untuk menjemputnya. Setelah berpamitan dengan Ida dan membawa barang-barang yang dia butuhkan ke dalam ransel berwarna Pink, Selena menghampiri Arnold. "Silahkan masuk Bu." Arnold membukakan pintu untuk Selena. "Terima kasih Pak Arnold." Selena segera masuk ke dalam mobil, waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi. Perjalanan menuju puncak sekitar 1 atau 2 jam tergantung situasi di jalanan saat itu. Sesekali Selena bertelepon dengan Ibunya hanya untuk menanyakan keadaan Ayahnya. Hati Selena merasa tenang dan lega, karna kondisi Ayahnya sekarang sudah membaik, mulai mendapatkan asupan makanan bergizi dan perawatan yang intensif. Walau sebenarnya masih tersimpan beban dalam pikirannya untuk bisa segera hamil. Semoga ka
William memegang janggut Selena, ibu jarinya bahkan mengelus kedua belah bibir ranum Selena yang dipenuhi oleh cairan cintanya. "Apa kamu puas menikmati monsterku?" cicit William menggoda. Selena hanya mengangguk dan tersenyum, pipinya kembali memerah karena malu, bahwa dia bisa 'seliar' itu kepada William. Mungkin karna hormon di masa suburnya, membuat Selena begitu bernafsu dan bergairah. "Kini giliranku untuk membuatmu menjerit tanpa henti, Baby." William kembali memagut bibir Selena dengan liar, kedua tangannya merobek kemeja putih yang di kenakan oleh Selena. Teriakan tertahan terdengar dari mulut Selena yang telah di dipenuhi oleh bibir William. Kedua gunung kembar itu nampak begitu ranum dalam balutan bra berwarna Pink muda. William mulai melepaskan kaitan penutup gunung kembar tersebut dengan lembut lal
Deru nafas saling berburu yang menghasilkan buliran keringat gairah saling bersahutan dan membasahi tubuh dua insan yang saling memuaskan. William masih berada di atas tubuh Selena dengan monsternya masih berada di dalam Selena. Pelepasan yang begitu menggelora yang terjadi bersamaan antara William dan Selena memberikan kenikmatan yang luar biasa. "Bagaimana permainanku, Baby?" tanya William dengan deru nafas tidak beraturan. Melihat semu merah di pipi Selena, William tahu bahwa gadis itu begitu menikmati permainan garangnya tadi. "Jawablah Selena Eveline, bagaimana permainanku." Selena tersenyum dan semakin merah pipinya. "Pak Wil begitu hebat sampai berulang kali membuatku mencapai puncak." William tersenyum bangga, kini dia telah sepenuhnya memiliki gadis yang tengah berada di bawahnya itu. Walaupun telah melepaskan benih-benih kecilnya di rahim Selena, tap
William membuka tutup dari botol wine mahalnya, menuangkan ke dalam gelasnya dan juga gelas milik Selena. Wine berwarna merah tua itu terasa segar dan mewah begitu melewati tenggorokan. Selena duduk dihadapan William dengan begitu menggoda. William pun menatap Selena dengan tatapan nakal, banyak ide liar yang bermunculan di benaknya. Begitupun Selena yang tahu jika tengah di pandang oleh William, gadis itu semakin menggoda William dengan menjilat sisa wine yang ada bibirnya. Tahu jika William tidak akan tahan melihat aksinya itu, Selena sengaja semakin menggoda pria di hadapannya. "Kamu tahu bukan jika kamu melakukan hal itu lagi, aku akan membuatmu menjerit tanpa henti sepanjang malam." Seolah tertantang dengan ucapan Wiliam, Selena mencondongkan tubuhnya mendekati William, kedua gunung kembarn
Kicau burung dan udara sejuk pagi hari seolah memanjakan diri yang kelelahan. Penyatuan penuh gairah William dan Selena yang begitu panas tadi malam, durasi hasrat William yang lama sempat membuat Selena kewalahan. Pria itu bagaikan kuda liar yang sulit sekali untuk di taklukkan, Selena tidak ingin mengecewakan William, mulanya gadis itu mengembangi permainan panas William dengan gairah liarnya. Karena kelelahan Selena masih terlelap tidur dalam dekapan William. William menatap wajah cantik Selena dengan senyuman bahagia, teringat adegan liar mereka dalam ingatannya. Rasanya William ingin menerkam kembali gadis itu dan kembali mereguk manisnya madu penyatuan. Namun, hari itu dia harus kembali melakukan pertemuan bisnis bersama koleganya dari luar negri, proyek real estate yang di kerjakan William kali ini termasuk mega proyek. Untuk itu ia mengurungkan niat untuk mencumbu istri mudanya itu lagi. Lagi pula wajah Selena begitu kelelahan karena mereka menghabiskan ma
Mobil hitam itu kembali melajukan jalannya menyusuri jalanan hutan yang sepi, hujan deras mulai turun mengiri ketakutan Selena yang sudah tidak berdaya. Hanya tangisan yang memperjelas betapa takutnya gadis itu saat ini. Tangan dan kaki terikat, serta mulutnya tertutup lakban abu-abu. Pria misterius itu tetap fokus mengemudikan mobil lalu mendial nomor William dari mobilnya. Tertegun dengan apa yang di lakukan oleh pria misterius itu, Selena hanya bisa melihat dan mendengarkan apa yang akan terjadi. Beberapa saat berbunyi dering tak berapa lama William mengangkatnya, mungkin saja William saat ini sudah beristirahat setelah rapat tadi. "Halo." William mengangkat panggilan telepon dari pria misterius itu. Hening.. pria itu tidak langsung menjawab, seolah sedang ada yang di pikirkannya, sedangkan Selena hanya bisa terdiam dengan mulut terbungkam. "Jika ini hanya pan
Kecelakaan tidak terhindarkan, Selena dan Pria misterius itu menjadi tidak sadarkan diri karna hantaman yang cukup keras antara mobil dengan pohon besar di pinggir jalan itu. Selena perlahan mulai sadarkan diri, dia mengaduh, merasakan sakit di pelipisnya. "Aduh... sakit sekali kepalaku." Ketika kecelakaan itu terjadi, tanpa sengaja, lakban yang membekap mulutnya terlepas begitu saja. Saat tersadar penuh, Selena segera menarik tangannya yang mencekal leher pria misterius itu, ingin sekali melihat dengan jelas wajah Pria itu, tapi tangan dan kaki Selena masih terikat. Dengan segenap tenaga yang tersisa, Selena mencoba untuk keluar dari mobil, Selena berhasil turun dan terjatuh di atas jalan. "Tolong... Tolong.. siapapun Tolong Saya," Selena mencoba meminta tolong dengan suara lemahnya. Mereka masih berada di jalan hutan, tida
Betapa terkejutnya William, ketika dia mendapati memar di pergelangan tangan Selena, tidak hanya di satu pergelangan tangan, tetapi kedua pergelangan tangannya semua memar. "Bagaimana semua ini bisa terjadi Selena?" William menatap lekat Selena. "Apakah tadi kamu benar-benar di culik?" "Itu bukan urusanmu," Selena menjawab dengan dingin lalu menarik tangannya dari genggaman William. Melanjutkan langkahnya untuk menuju wastafel dan mencuci piring bekas makamnya. William berdecak kesal, menyesali semua perkataannya saat si penculik itu meneleponnya. Perkataannya tentu sangat menyakitkan bagi Selena, seolah dia mengatakan agar Selena untuk segera ma ti. William mendekati Selena yang sedang mencuci piringnya, lalu mendekapnya dari belakang. "Aku tidak tahu jika penelepon itu benar-benar penculik," William lalu mencium tengkuk Selena. "Katakan padaku, apa yang pria itu lakukan padamu, akan Aku beri pelajaran yang pantas untuknya karena sudah berani menyakitimu." Seben
Selena lalu memeluk erat William dari belakang. "Tapi bagaimana perasaan Mas? Apa yang Aku ucapkan sudah sangat keterlaluan." Setelah merenung di kamar selama 2 jam, Selena menyadari apa yang suaminya lalukan adalah demi kebaikan untuknya. Justru sikap Selena yang telah berlebihan, Radit adalah orang lain sedangkan William adalah suaminya, seharusnya Selena lebih menjaga lisannya agar tidak menyakiti hati suaminya. Toh Suaminya juga bilang bahwa nanti Radit akan di bebaskan karena memang tidak mencuri. "Mas tidak apa-apa," William berbalik menatap Selana. "Saat ini perasaanmu jauh lebih sensitif daripada biasanya karena sedang hamil, perubahan hormon yang menyebabkan itu terjadi." Selena tidak mengerti apa yang di katakan oleh William. "Maksudnya Mas?" "Begini sayang," William membingkai wajah istrinya. "Hormonmu ketika hamil itu berubah, salah satunya menyebabkan kamu lebih mudah sensitif terhadap sesuatu, contohnya seperti sekarang ini." William bahkan menyubit
"Kenapa Aku harus merepotkanmu? Tentu itu bukan hal yang baik." Radit seolah nampak ragu hendak menyatakan isi hatinya yang selama ini dia pendam. "Selena sebenarnya Aku..." Sebelum Radit mengakui perasaannya tiba-tiba security supermarket menangkap Radit. "Maaf Pak, Anda kami tangkap karena telah mencuri." "Apa-apaan ini, Pak? Tidak mungkin saya itu mencuri!" Radit tentu mengelak karena apa yang dituduhkan itu tidak benar. "Anda bisa membela diri saat di kantor nanti, mari ikut dengan kami untuk proses pemeriksaan lebih lanjut." Selena yang melihat di depan matanya pun tidak tahu harus berbuat apa? Yang pasti Selena tahu bahwa seorang Radit Pratama tidak mungkin mencuri. "Bapak-bapak pasti salah paham, Dia tidak mungkin mencuri." Selena sebisa mungkin membela Radit. "Ada yang melaporkan Pria ini mencuri, Bu. Oleh karena itu, kami harus menangkapnya." Kedua security itu langsung membawa Radit begitu saja ke kantor mereka yang berada juga di dalam mol tersebut
"Kamu benar-benar menahan diri, Mas." ucap Selena sembari memainkan dada bidang William. "Biasanya kamu akan mengeluarkan semua gairahmu ketika bercinta denganku." Sebenarnya Selena tahu, jika William menahan gairahnya karna menjaga dirinya dan juga calon anak mereka, hanya saja Selena suka mendengar kata-kata penuh perhatian dari William. "Baby, Kamu tentu sudah tahu, Aku menahan diri karena tidak ingin membuatmu dan juga calon bayi kita terluka." William memegang janggut Selena. "Lihat saja jika nanti usia kandunganmu sudah besar ataupun Kamu sudah melahirkan nanti, bersiaplah Aku akan menerkammu lagi." Ledek William lalu mendekatkan hidungnya dengan hidung Selena. Angga juga memberitahu William dan Selena, jika kandungan sudah 5bulan mereka bisa melakukan hubungan intim seperti 'biasanya' karena janin diperut sudah besar. Selena mendekatkan wajahnya pada William. "Mas menahan diri saja sudah membuatku mabuk kepayang, apalagi jika Mas melakukannya sepenuh gairah." Sikap
William mengangkat Selena dan berjalan ke arah ranjang besar. Debaran hati mereka semakin cepat karena gairah keduanya yang meningkat. "Malam ini kamu hanya milikku, Baby." "Kamupun hanya milikku, Mas." Perlahan William membaringkan Selena di ranjang, menindih tubuh Selena dan kembali mamagut bibir ranum berwarna kemerahan itu. Desahan nafas tertahan dua insan yang saling berciuman menimbulkan bunyi khas yang menggelora. "Owh baby.... Kamu adalah canduku." cicit William lalu kembali menikmati bibir ranum Selena. Kedua tangan William pun tidak diam begitu saja, memilin dan meremas bukit kembar Selena dengan gemasnya. Pu ting Selena yang menegak karena terangsang, memudahkan William untuk menimamtinya. Perlahan William mulai menciumi leher jenjang Selena, bayangan saat mereka melakukan Phone sex teringat begitu saja. Kini bukan hanya khayalan William menikmati tubuh Selena, aroma Lavender dan Berries khas milik Selena kini memenuhi kembali indra penciumannya. Kali
Setelah keadaannya membaik, Selena kembali ke apartemen tempat pertama kali dia bertemu dengan William. Tubuh Selena sudah jauh lebih baik, dan perutnya sudah mulai bisa menerima makanan. "Duduklah perlahan, Aku akan membuatkanmu jus." ucap William saat membantu Selena untuk duduk di sofa letter L apartemen itu. Namun bukannya menjawab pertanyaan William, justru pandangan Selena seolah menyusuri semua sudut dari apartemen mewah itu. Ingatannya kembali saat pertama kali dia bertemu dengan William. Pria kaya yang begitu dingin dan angkuh. Memaksanya untuk menandatangani kontrak untuk menyewa rahimnya. Tatapan William saat itu sangat berbeda dari sekarang. Tatapan dingin tanpa ekspresi, membuat Selena takut menatap William. "Baby, Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya William sambil duduk di sisi Selena. "Apartemen ini, bukankah disini kita pertama kamu berbicara?" Selena mulai menceritakan kenangan yang diingatnya. "Saat itu kamu bahkan menatapmu sangat jijik, Mas
Pagi yang cerah dengan sinar matahari yang bersinar hangat, di atas rerumputan hijau di dalam rumah mewah, gadis cantik dan seksi tengah melakukan yoga dengan konsentrasi tinggi. Brenda nampak begitu tenang dan fokus melakukan yoganya, pakaian yoga berwarna Pink muda yang begitu membentuk tubuh idealnya nampak begitu indah di tubuh seksi Brenda. Duduk bersila dengan kedua tangan berada di kedua kakinya, Brenda memejamkan mata fokus dengan yoganya. Di sudut lain, asistennya tergopoh-gopoh berlari mendekati Brenda. Hanya mendengar suara nafas tersengal asistennya karena habis berlari saja sudah membuat buyar konsentrasi yoga yang Brenda lakukan. Namun, jika itu bukan karena hal penting, tentu Asistennya tidak akan terburu-buru seperti itu. "Ada kabar buruk apa?" hanya melihat asistennya yang nampak panik saja Brenda sudah bisa menebak bahwa kabar buruk yang akan di sampaikan oleh asistennya itu. "Kami mendapatkan kabar, bahwa wanita itu akan melakukan transfer morul
"Baby, sepertinya kita harus ganti dokter yang akan mengurusmu." Selena yang tengah memakan apel lantas berhenti, ada hal fatal apa hingga membuat William seolah ingin menyingkirkan Angga. "Memangnya kenapa, Mas?" tanya Selena dengan keningnya mengkerut merasa heran. "Angga bukan dokter hebat, Mas tidak bisa mempercayakan dirimu dan calon anak kita kepadanya." Mendengar jawaban sang suami, jelas ada sesuatu yang membuat suaminya itu kesal. Selena menaruh piring buahnya dan menatap suaminya lekat. "Katakan kepadaku Mas, ada masalah apa antara kamu dan juga dokter Angga?" "Kami tidak ada masalah apapun, Baby. Hanya saja, Mas sudah tidak mempercayai Angga untuk melanjutkan rencana kita." Selena semakin yakin jika ada sesuatu yang terjadi antara suaminya dan dokter Angga. "Dengarkan Aku, Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu dan juga dokter Angga. Tapi Aku tahu dia dokter yang berkompeten dan juga hebat dalam bidangnya." Selena mencoba menenangkan suaminya
Dengan perasaan kecewa, William keluar dari ruangan Angga, memdekat ke arah jendela dan mengatur nafas agar tidak sampai lepas kendali. Bagi William, Sahabatnya Angga telah melakukan kesalahan. Mengharapkan, memikirkan bahkan menyentuh wanita yang dicintainya sama saja mengajaknya berperang. William sangat membenci jika ada pria lain yang menginginkan wanita miliknya, tidak berbeda juga dengan Angga. "Fuck!" William memukul dinding untuk meluapkan emosinya. "Berani-beraninya, Kau menusukku dari belakang seperti ini!" William telah di kuasai api cemburu, hanya melihat Angga memegang tangan Selena dengan tatapan penuh hasrat saja sudah membuat William begitu murka. Jika Pria lain yang melakukan itu pada Selena, tentu William akan menghajarnya habis-habisan, tetapi ini adalah Angga, orang yang telah menjadi sahabatnya. Maka dari itu kecewanya juga berkali-kali lipat, ingin menghukum Angga tetapi William masih menghargai arti persahabatan mereka. Tidak di sangka, Angga malah me
William dengan cekatan berusaha menyukai Selena buah-buahan. Sedikit demi sedikit, Selena tidak lagi memuntahkan apapun yang dia telan lagi. Walaupun sudah bisa makan kembali, Selena tetap hanya bisa makan dalam porsi kecil. "Satu suap lagi, Baby." seru William berusaha membujuk Selena yang sudah tidak mau. "Sudah Mas, sudah cukup. Takutnya nanti aku mual lagi." William akhirnya setuju dan membawa nampan berisi buah itu menjauh lalu membawakan air putih. "Memangnya urusan pekerjaan Mas sudah selesei?" Selena bertanya karena William kembali lebih cepat dari waktu yang seharusnya. "Pekerjaanku sudah selesei, semua permasalahan sudah teratasi dengan baik." William memegang pipi Selena lembut. "Sekarang Aku ada di sini untuk menemanimu." Selena merasa sangat senang dan bahagia, William bisa seperhatian seperti ini. "Syukurlah, kami memang sangat membutuhkan kamu disini, Mas." Selena berkata sambil mengelus perutnya yang masih nampak rata itu. Kecupan kecil