GAIRAH CINTA TERLARANG
PART 22
Marsya memeluk Mas Satria. Ya Allah, wanita ini tidak tahu adab. Apakah dia sudah buta, hingga mengangap aku tidak ada. Kuhela napas pelan, pemandangan di depanku cukup membuatku sport jantung.
"Mas mau mandi, gerah!" Mas Satria menaiki tangga menuju kamar.
"Mas, sudah puas kangen-kangenannya?" tanyaku setengah mencibir.
"Nanti lagi, ya, Mas," timpal Marsya dengan suara mendayu-dayu.
"Tidak. Nanti giliranku," ketusku. Bisa kulihat wajah kesal Marsya. Hah! Wanita cantik ini mulai tak normal.
Marsya bangkit dengan hentakan kaki kesal. Ya Allah, apa dosa hamba sampai mendapatkan ipar begini rupa? Astaghfirullah! Kuatkan iman hamba, ya Allah.
Beberapa menit kemudian tendengar suara dari dalam kamar memanggil namaku.
"Ma! Mamaaaa!" teriak Mas Satria. Suaranya terdengar panik.
Aku bangkit melangkah menaiki tangga. Aku sudah bisa menebak permasalahannya. Namun, berpu
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 23Mas Satria menurunkanku di depan pintu. Setelah pintu terbuka, kami melangkah masuk. Dia mengunci dari dalam. Kemudian, kembali mengendongku mesra.Tubuhku direbahkan atas ranjang. Tatapan nakal Mas Satria membuatku risih. Aku berusaha membuyarkan nafsunya. Mengajak dia berbicara. Banyak hal yang ingin aku tanyakan padanya."Pa, ada yang ingin aku tanyakan," ujarku memulai pembicaraan."Apa, Ma? Katakan saja," sahutnya pelan. Terlihat wajah malasnya meladeni pertanyaanku."Roby dan Talitha kemana?" tanyaku penasaran. Suamiku menautkan alisnya. Aku tahu dia cukup terkejut dengan pertanyaanku."Papa pikir Mama mau tanya apa, rupanya nanya mereka," imbuhnya dengan mengulas senyum manis."Iya, mereka dimana, Pa?" tanyaku lagi. Mas Satria tidak langsung ke jawaban yang ingin kuketahui."Mana papa tahu, Roby tidak cerita apa-apa sama papa," jawabnya."Tumben,
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 24Hari-hariku terasa berat. Aku lebih suka menyendiri. Menyelami luka hati yang mengangga lebar.Kling! [Tan, aku di taman dekat rumah kamu, tolong datang sebentar, ada hal yang ingin aku sampaikan.]" Pesan yang di kirimkan Revan untukku.Aku dilema menimbang antara pergi atau tidak menemui Revan. Aku takut pertemuanku dengan Revan akan mendatangkan Fitnah yang akan semakin memperkeruh suasana.[Maaf, aku tidak bisa menemuimu, tolong mengerti posisiku.] balasku setelah beberapa menit.Beberapa detik kemudian, notifikasi whatsappku berutun. Ternyata, Revan mengirim puluhan foto kemesraan Mas Satria dan Karmila.[Tenang, aku akan membantumu menyelesaikan ini semua.] Balas Revan lagi.Aku sama sekali tidak berminat melibatkan orang lain dalam prahara rumah tanggaku, apalagi Revan, lelaki yang per
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 25Tiiing!Suara notifikasi ponsel Mas Satria.Suami tampanku meraih ponselnya, seketika matanya membulat. Wajahnya terlihat panik. Dia menatap nanar ke arahku lalu ke arah Karmila yang sedang menyantap makanan yang aku hidangkan.Ingin rasanya aku berikan racun tikus di makanan mereka berdua. Agar mereka meregang nyawa dan sakit hatiku terbalaskan. Namun, naluri kemanusiaanku masih berfungsi. Saat anjing mengigit kita bukan berarti kita harus membalas mengigit anjing tersebut.Ddrrrt ... drrrt!ponsel Karmila ikut bergetar.Mas Satria menatap Karmila, Karmila meraih ponselnya. Wajah cantiknya seketika berkerut. Matanya melirik ke arah Mas Satria seakan ingin mengatakan sesuatu."Karmila malam ini nginap di sini saja." tawarku ramah. Kuaduk kasar makanan di piringku."Hmmm, gimana ya, Mbak," ucapnya ragu, matanya melihat ke arah Mas Satria. Aku tahu, dia sedang m
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 26"Mama!"Suamiku mendorong tubuh Karmila menjauh darinya. Lalu, berdiri dan meraih celana pendek yang berserakan di lantai, kemudian memakainya."Kurang ajar kalian berdua. Kenapa kalian hentikan, hah? lanjutkan, aku melihat kelebihanmu di banding aku!"Aku menyeringai sinis, langkahku mendekat ke arah Mas Satria dan Karmila berada."Mama ... ini tidak seperti yang kamu bayangkan, ini ...."Lelaki sarap, sudah ketangkap basah masih saja mengelak."Ini apa, hah? Lanjutkan saja, aku mau melihat permainan kalian," ujarku seraya menghempaskan tubuhku ke sofa di samping ranjang."Mbak ... a--aku bisa jelasin ini semua," ujar Karmila seraya meraih selimut menutupi tubuh telanjangnya."Mama ... papa bisa jelasin ini semua," ujarnya khawatir, aura ketakutan dan kegelisahan bercampur aduk di wajah Mas Satria dan Karmila."Stop! Jangan mendekat!"
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 27"Harga diri, hah? harga dirimu sudah hilang sejak kau selingkuh dengan suamiku!" teriakku tepat di wajahnya. Ingin rasanya kurobek mulutnya. Tak punya adab."Ini bukan salahku, tetapi suamimu yang merayuku!" tegasnya padaku. Mencoba melempar kesalahan sepenuhnya pada suamiku."Kau masih membela diri, tidak tahu malu, jelas-jelas kau tahu dia lelaki beristri, masih saja kamu mau menerimanya, tidak tahu malu!" Aku mencengkram rahangnya kuat. Tak kubiarkan dia bersenang-senang atas penderitaanku."Lepaaas!"Dia meronta berusaha melepaskan cengkaraman tanganku. Mas Satria berdiri dengan wajah gelisah."Ma, cukup, Ma," pinta Mas Satria dengan wajah memelas.Aku terus saja mengumpat dan menghinanya. Emosi melonjak, memudarkan kewarasanku."Tolong aku, Mas!" teriak Karmila. Rintihannya menghadirkan bahagia di hati."Ma, lepas
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 28"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku sudah tahu semuanya, Satria!"Aku menghirup napas kasar. Langkah terus mundur ke belakang. Kepala mengeleng pelan. Peluh mengalir dari dahi ke wajah."Ma ... papa minta maaf," ucap penuh penekanan."Jangan mendekat, aku tidak ingin tanganmu yang kotor itu menjamahku, jauh- jauh dariku." Emosi menguasai seluruh jiwaku. Benci mendominasi hati."Apa kurangnya diriku, Satria ... sehingga, kau menduakanku dengan wanita seperti Karmila, apa kurangku, hah?" tanyaku pada lelaki tampan di hadapanku."Untuk apa kau menyuruhku menutup seluruh aurat, jika di luar sana kau masih tergoda dengan aurat wanita lain, untuk apa, Satria? Untuk apa?" Aku membuka baju dan hijab lalu melemparnya ke sebarang tempat.Sebelum menikah dengan Mas Satria.. Aku tidak menutup auratku sempurna. Namun, sejak menikah dengannya dia merubah dan membimbingku ke arah
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 29"Salah paham ... cukup kau membohongiku selama empat tahun, Satria. Cukup kau hancurkan hatiku. Jangan kau tambah lagi luka hatiku," lirihku pelan dengan linangan air mata."Kurang aku dimana di banding dia, hah? Dimana, Satria?" teriakku tepat di wajahnya. Emosiku meledak-ledak.Aku tidak memberikannya waktu untuk menjawab setiap pertanyaanku. Setiap kalimat meluncur begitu saja tanpa henti."Kau minta aku untuk menuruti semua perkataanmu, apakah aku pernah membantahnya? Atau jangan-jangan kurang pelayananku di ranjang untukmu yang berkali-kali kau minta dalam sehari. Hingga, bagian kewanitanku terasa ngilu setelah melayanimu, dimana Satria, jawab?"Aku tertunduk ke lantai, ototku terasa tidak berfungsi lagi. Mas Satria melonggo. Mulutnya bergerak, tapi tak ada suara yang keluar."Aku tidak pernah marah saat kau lebih memanjakan Marsya. Walau, kau sudah menikah denganku. Aku tida
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 30Aku menunggu jawaban darinya. Sekian menit, hanya jenak kebisuan yang tercipta."Aku istri pertamamu. Aku wanita yang kau pilih untuk menjadi ratu dalam istanamu. Aneh rasanya jika ditengah perjalanan kau menduakanku tanpa pemberitahuan apa-apa padaku," ujarku berusaha tenang. Mengulas senyum miring."Selama ini Mama tidak pernah kekurangan apa pun. Semua papa berikan, uang, perhatian dan cinta, meskipun papa sudah memiliki dua istri," ujarnya membela diri. Dasar lelaki, tidak pernah mau disalahkan."Kau bisa menikah tanpa izinku dan sah di mata agama, tapi, tidak di mata hukum. Status anakmu dengan Karmila tidak jelas, Satria." Senyum sinis yang mengembang di sudut bibir sensualku."Maka dari itu, berikan persetujuan Mama untuk papa bersatu dengan Karmila," ucapnya lantang."Silahkan," jawabku singkat."Benar, Ma?" tanyanya dengan wajah kembali ceria. Suamiku pandai
Part 143"Pak Revan, Bu Marsya perlu penanganan kejiwaaan," suara yang terdengar dari ponsel Revan."Baik, sebentar lagi kami ke sana," ujar Revan dengan helaan nafas.Awalnya Revan melarangku. Namun, setelah aku membujuknya , lelaki tampanku mengizinkanku ikut bersamanya."Apa mungkin Marsya gila?" tanyaku pada Revan, saat kami berada di dalam mobil."Mungkin saja, kita belum tahu kejelasannya."Kasian Marsya," lirihku."Nggak usah kasihan sama orang seperti Marsya. Dia pantas mendapatkannya," sahut Revan cepat.Setengah jam perjalanan, mobil Revan memasuki halaman kantor polisi di daerah rumah Ayah. Untuk kesekian kalinya menginjakkan kaki di tempat ini. Dalam situasi yang berbeda.Pihak kepolisian mengajak kami menuju ruangan sel Marsya. Kondisinya sangat menyedihkan. Dia meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya terlihat lebih kurus dari biasanya. Langkah kaki kami yang semakin mendekat mengusik alam khayalnya."Tania, akhirnya kau datang menemuiku, apa kabar Kakak Iparku yang paling bo
Part 142 Air mata ini mengalir, bukan karena takut atau kecewa. Akan tetapi, karena bahagia melihat semangat Revan untuk mengukir senyum di wajahku."Kalian lihat istriku, wanita tegar dan hebat. Dia masih bisa berdiri tegar, setelah beragam prahara menguncang jiwanya. Saya mendengar ada beberapa yang berbicara miring tentang istri saya. Perlu kalian ketahui yang kalian katakan itu semuanya benar. Dia ....""Cukup, Van!" teriakku seraya melangkah menaiki panggung utama.Semua mata menatapku dengan berbagai tatapan yang tidak mampu aku definisikan. Kuberanikan diri meraih mikrofon di tangan Revan. Awalnya Revan ragu memberikannya padaku. Namun, aku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja."Tentunya kalian bertanya-tanya dalam benak kalian, mengapa seorang Revan Adiwiguna menikah seorang janda sepertiku. Ya ... aku seorang janda dengan tiga orang anak, yang dua anakku meninggal karena polemik yang tercipta oleh suamiku terdahulu. Dan wanita tadi, dia adalah adik iparku "Marsya". Adiknya
Part 141Brruuuukk!Tubuh Revan terjatuh, ujung sepatunya menyentuh sisi karpet merah yang terbentang antara pintu keluar sampai ke depan panggung utama."Tania, awas!" teriak Revan seraya mencabut pistol di pinggangnya.Aku mencoba berlari menjauh, tapi gaun yang kukenakan menghalangi langkahku.Dor!Aaaaaaaa!Suara letusan senjata, di ikuti teriakan wanita di belakangku. Belati di tanganya terjatuh ke atas rumput, terlihat kilatan cahaya yang menandakan ketajamannya. Suara riuh para tamu undangan mengema memekakkan telinga. Revan bangkit, berlari merengkuh tubuhku yang kaku."Sayang, kamu tidak apa-apa, 'Kan?" tanyanya panik seraya meraba setiap inci tubuhku. Aku mengeleng pelan, wajah panik tergambar nyata di wajahku.Beberapa anggota polisi yang berjaga-jaga berlarian menerobos kerumunan para tamu undangan. Revan beranjak mendekati wanita yang sedang meringgis kesakitan akibat terkena pelurunya. Wanita itu berusaha bangkit, tangannya meraih belati yang tergeletak di atas rumput."
Part 140Seiring berjalannya waktu, cinta tidak kunjung saya utarakan. Tania bersikap layaknya sahabat sejati untuk saya, membantu biayai kuliah, membuatkan makanan kesukaan saya. Semua dia lakukan yang terbaik untuk saya, begitu juga saya selalu pasang badan untuk membuatnya bahagia. Namun kembali ke awal, label sahabat yang tercipta. Semakin hari, cinta saya semakin dalam untuknya. Akan tetapi rasa tidak pantas terus saja mendera hati. Hingga, jantung saya seperti berhenti berdetak tatkala Tania mengenalkan lelaki yang dulu menjadi suaminya. Dunia saya hancur, terpuruk dalam.Tegar ... sikap itulah yang saya tunjukkan padanya. Saya sempat percaya akan kalimat "AKU JUGA BAHAGIA ASAL DIA BAHAGIA" , tapi kenyataanya saya kalah, kalah pada perasaan sendiri. Memilih lari dari pada mati melihatnya menjadi milik orang lain." Revan menjeda ucapannya. Dia menatapku penuh cinta, para tamu diam tanpa bicara, acara begitu terasa sakral."Terima kasih," bisikku pelan."Boleh kah saya melanjutkan
Part 139Kami bergerak menuju ruangan CCTV, degup jantungku tidak tenang. Kenapa masih ada yang mengangguku? Padahal aku tidak pernah menganggu orang.Suami tampanku mengotak-atik isi di dalam layar monitor, mata awasku mengamati setiap pegerakan gambar yang tertera di layar monitor. Beberapa menit melihat secara rinci, tapi tidak ada yang terlihat membawa gaunku."Aaaaarrrrggghhh! Kenapa Tuhan terus mengujiku dengan begitu banyak masalah? Salah aku apa, hah?!" teriakku histeris. Kepalaku tidak sanggup memikirkan beban berat yang menyerang otakku.Mama memelukku erat, keringat dingin memabasahi tubuhku. Ini masih pagi, tapi hawa panas menyelimutiku. Tubuhku gemetar, wajahku mendadak pias, bermacam pikiran mengitari kepalaku."Van, gimana, ni?" tanya mama saat melihatku tersungkur dilantai.Terlihat Revan mengusap wajahnya kasar, menarik nafas dalam lalu membuangnya. Dia mondar-mandir di hadapanku, wajahnya panik, terlihat kekecewaan di wajahnya."Mama jaga Tania, Revan mau ke bawah se
Part 138Malam ini semua orang di rumah di sibukkan dengan berbagai pekerjaan untuk menyambut acara besok pagi. Rumah Ayah sudah di sulap bak negeri dongeng, dekorasi sungguh sangat sempurna. Melihat semua yang Revan persiapkan untukku membuatku takjub.Bersujud syukur kepada Allah menganugerahi lelaki yang mampu menjadi imam yang baik untukku. Suasana hati tidak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Bahagia yang tiada duanya, meski ini bukan yang pertama."Tidak lama lagi kalian akan jauh dari kami," ujar Mama dengan raut wajah sedih."Ma ... kita 'kan bisa VC, telpon-telponan, lagian belum tentu kami selamanya di sana," ujarku lembut seraya membelai pundaknya Mama yang mulai terisak."Mama cuma sedih jauh dari kalian, tapi ... mama bisa apa, ini yang terbaik untuk kehidupan kalian, biarkan mama menanggung rindu ini seorang diri sampai waktu mempertemukan kita lagi," ujar mama seraya menyeka air mata di wajah senjanya."Maafkan Tania, Ma. Kehadiran Tania membuat Revan menjauh dari Mama
part 137"Orang dalam? Memangnya siapa yang Mama curigai?" tanya Revan, matanya berbalik menatapku."Ya ... Mama juga tidak tahu siapa," ujarku pelan."Kalau nggak tahu, nggak boleh curiga dosa yang ada," pungkas Revan.Aku hanya mengangguk pelan, meski rasa penasaran masih di bertahta di hati. Revan memintaku untuk lebih waspada dalam menjaga Arisya dan diriku sendiri. Sangat tidak enak hidup di penuhi rasa was-was yang membuat gerak dan ruang lingkup kita terbatas.Mau tidak mau, hal itu yang harus aku lakukan untuk sementara ini. Berbagai prahara yang terjadi membuatku takut dalam menghadapi dunia, melihat keramaian saja membuat pikiranku tidak tenang.****Hari ini membongkar barang-barang di dalam lemari. Memilih beberapa barang dan pakaian yang akan aku bawa ke Amerika.Banyak sekali barang-barang yang aku bawa pulang dari rumahku dulu. Ratusan sepatu dan tas pemberian Satria masih tersimpan rapi. Sangat tidak masuk akal jika aku membawa semuanya ke Amerika. Yang ada pesawatnya
part 136Aku berjalan setengah berlari menuju ke luar Mall. Puluhan orang sudah berkerumun di pos satpam."Dasar wanita gila!" teriak lelaki dalam kerumunan."Tangkap saja!""Bunuh!"Beragam teriakan dan hujatan terdengar dari warga yang berkerumun. Suara tangisan Arisya mengema di antara riuh suara kerumunan manusia."Maaf! Permisi!" teriak Revan meminta jalan di antara kerumunan warga.Aku berhasil mencapai ke dalam ruangan. Ku lihat Arisya dalam pelukan lelaki yang tidak aku kenali. Secepat kilat, ku raih Arisya kecilku. Kudekapnya erat, kuciumi wajahnya berkali-kali. Meringsek menuju sudut ruangan.Revan meraih tubuhku dan mendekap erat memberikan kenyaman yang sejenak yang sempat hilang."Van, ini wanita yang bersama anak kamu," ujar lelaki yang memegang Arisya tadi.Aku menyerahkan Arisya pada Revan, mataku beralih menatap benci ke arah wanita yang mengunakan cadar di hadapanku."Kamu siapa, hah? Kenapa kau mengambil anakku?" tanyaku berusaha menahan emosi.Wanita di hadapanku d
part 135Kami berkumpul di meja makan, sarapan pagi sebelum kami kembali ke rumah ayah. Mama sudah mempersiapkanya sebelum aku turun ke dapur."Makan yang banyak, biar mama cepat dapat cucu baru," ujar mama dengan senyum merekah, membuatku salah tingkah dan hampir tersedak."Mama mau punya berapa cucu," ujar Revan seraya memasukkan roti ke mulutnya, dengan sengaja kuinjak kakinya di bawah kolong meja."Ooooouuucch!" pekik Revan."Kenapa, Van?" tanya papa dengan wajah serius.Revan melirik ke arahku, ku balas tatapannya dengan raut wajah mengancam."Nggak apa-apa, Pa," ujar pelan."Mama pingin punya cucu 12 orang, pasti lucu-lucu, ya 'kan, pa?" ucapan mama di sambut gelak tawa papa dan Revan. Giliran aku yang meringis."Seru tu, Ma. Di buat tim sepak bola," ujar Revan dengan cengiran di sudut bibirnya."Iya, seru pastinya!" mama tertawa bahagia.Kami melanjutkan sarapan dengan suka cita. Kebersamaan yang tidak akan terlupakan. Banyak wejangan yang diberikan orang tua Revan untuk kami