GAIRAH CINTA TERLARANG
PART 28
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku sudah tahu semuanya, Satria!"
Aku menghirup napas kasar. Langkah terus mundur ke belakang. Kepala mengeleng pelan. Peluh mengalir dari dahi ke wajah."Ma ... papa minta maaf," ucap penuh penekanan.
"Jangan mendekat, aku tidak ingin tanganmu yang kotor itu menjamahku, jauh- jauh dariku." Emosi menguasai seluruh jiwaku. Benci mendominasi hati.
"Apa kurangnya diriku, Satria ... sehingga, kau menduakanku dengan wanita seperti Karmila, apa kurangku, hah?" tanyaku pada lelaki tampan di hadapanku.
"Untuk apa kau menyuruhku menutup seluruh aurat, jika di luar sana kau masih tergoda dengan aurat wanita lain, untuk apa, Satria? Untuk apa?" Aku membuka baju dan hijab lalu melemparnya ke sebarang tempat.
Sebelum menikah dengan Mas Satria.. Aku tidak menutup auratku sempurna. Namun, sejak menikah dengannya dia merubah dan membimbingku ke arah
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 29"Salah paham ... cukup kau membohongiku selama empat tahun, Satria. Cukup kau hancurkan hatiku. Jangan kau tambah lagi luka hatiku," lirihku pelan dengan linangan air mata."Kurang aku dimana di banding dia, hah? Dimana, Satria?" teriakku tepat di wajahnya. Emosiku meledak-ledak.Aku tidak memberikannya waktu untuk menjawab setiap pertanyaanku. Setiap kalimat meluncur begitu saja tanpa henti."Kau minta aku untuk menuruti semua perkataanmu, apakah aku pernah membantahnya? Atau jangan-jangan kurang pelayananku di ranjang untukmu yang berkali-kali kau minta dalam sehari. Hingga, bagian kewanitanku terasa ngilu setelah melayanimu, dimana Satria, jawab?"Aku tertunduk ke lantai, ototku terasa tidak berfungsi lagi. Mas Satria melonggo. Mulutnya bergerak, tapi tak ada suara yang keluar."Aku tidak pernah marah saat kau lebih memanjakan Marsya. Walau, kau sudah menikah denganku. Aku tida
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 30Aku menunggu jawaban darinya. Sekian menit, hanya jenak kebisuan yang tercipta."Aku istri pertamamu. Aku wanita yang kau pilih untuk menjadi ratu dalam istanamu. Aneh rasanya jika ditengah perjalanan kau menduakanku tanpa pemberitahuan apa-apa padaku," ujarku berusaha tenang. Mengulas senyum miring."Selama ini Mama tidak pernah kekurangan apa pun. Semua papa berikan, uang, perhatian dan cinta, meskipun papa sudah memiliki dua istri," ujarnya membela diri. Dasar lelaki, tidak pernah mau disalahkan."Kau bisa menikah tanpa izinku dan sah di mata agama, tapi, tidak di mata hukum. Status anakmu dengan Karmila tidak jelas, Satria." Senyum sinis yang mengembang di sudut bibir sensualku."Maka dari itu, berikan persetujuan Mama untuk papa bersatu dengan Karmila," ucapnya lantang."Silahkan," jawabku singkat."Benar, Ma?" tanyanya dengan wajah kembali ceria. Suamiku pandai
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 31Aku berlari menuju garasi, Menghidupkan mobil segera, melajukan mobil keluar dari halaman rumah. Terlihat mas Satria memegang kepala dengan kedua tangannya.Aku tidak tahu harus kemana, jam sudah menunjuk angka satu. Namun, aku tidak sanggup di rumah, aku butuh udara segar.Kuhidupkan ponselku untuk kembali melihat apa yang sedang Karmila lakukan di dalam kamarnya. Semoga saja mereka belum menyadari CCTV yang aku pasang di kamar mereka."Ampuni aku ya Allah, kuatkan aku dalam menghadapi ini semua," pintaku dalam hati.Di layar ponselku terlihat jelas, mas Satria memasuki kamar Karmila."Ini semua karena kamu, rencana kita semuanya berantakan!" bentak mas Satria pada Karmila yang masih berbalut selimut."Kenapa kamu menyalahkanku, Mas, kamu yang nggak sabaran, harusnya kamu pastikan istri kamu itu sudah tidur!" protes Karmila dengan muka kesal. Dia juga tidak mau disalahkan
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 32Setelah memastikan semuanya aman. Aku menepi untuk memarkir mobilku di tempat yang masih ramai. Kubuka kaca mobil dan merebahkan kursi kemudi. Air mata perlahan turun membasahi pipi.Hatiku sudah hancur tak terbentuk, penderitaan akan menghiasi hari-hariku. Sanggupkah aku melewati ini semua?Bagaimana dengan anak-anak, tumbuh kembang mereka, psikis mereka, membayangkan anak-anak membuatku semakin lemah tidak berdaya.Aku terombang-ambing tidak berdaya. Denyar-denyar kepala menyiksa. Sakit merajai hati, mengusir kewarasan dalam diri."Sudah malam, pulang sana!" Suara Revan mengagetkanku. Aku buru-buru menyeka air mataku."Ka--mu ngapain di sini, Van?" tanyaku saat melihat Revan berdiri di sisi mobilku. Sejak kapan dia di sini? Kenapa dia bisa ada di sini? Pertanyaan yang hanya berada dalam benak. Tidak mampu kuutarakan.
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 33"Roby kenapa?" tanyaku penasaran."Roby di temukan tewas bunuh diri, Bu," ucapnya cepat."Serius kamu, Dara?" tanyaku kembali untuk meyakinkan diri yang ragu."Iya Bu, makanya saya menghubungi Bapak, soalnya pihak kepolisian menghubungi kantor, Bu," jelas Dara dengan nada suara panik."Innalillahi wa inna ilaihi raji'un," ucapku seakan tidak percaya. Ototku lemas tidak bertenaga."Sekarang Roby dibawa kemana, Dara?" tanyaku panik, pikiran tidak sanggup berpikir, mengapa Roby sampai mengambil keputusan bodoh seperti itu."Barusan sih, masih ada di TKP, Bu,"jawabnya."Kirimkan alamatnya ke ponsel saya," perintahku, lalu menutup sambungan teleponnya.Aku segera bergegas menganti pakaian, tanda tanya besar muncul di kepala. Mencari-cari alasan yang tepat untuk mengaitkan dengan kematian Roby. Tapi, semuanya gelap, tidak ada satu bayangan yang mampu menebak penyebab kematian R
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 34"Sebaiknya lakukan autopsi untuk menemukan penyebab kematian saudara Roby, Pak," ujar Revan berwibawa."Ini murni bunuh diri, tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan di tubuh korban," timpal polisi satunya."Tidak perlu, Pak, saya keluarganya, Saya akan segera membawa jenazah Adik kami ke kampung kami," ujar seorang lelaki seumuran mas Satria yang tidak sama sekali aku kenali.Terlihat Revan mengusap kasar wajahnya, ada kekecewaan di raut wajah tampannya. Tangannya mengepal dan meninju tembok di sampingnya.Pikiranku bertanya-tanya tentang reaksi Revan yang seperti mengalami kekecewaan yang mendalam atas kematian Roby."Apa hubungan Roby dan Revan?" Batinku."Dasar pemuda pikiran dangkal, bukannya menikmati hidup, menikah dan hidup sewajarnya," celoteh wanita di sampingku."Menikah ... Bukankah Roby sudah menikah dengan Talitha, ya, dimana Talitha, kenapa dia tidak terlihat batang hidup
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 35Setelah hampir satu jam perjalanan, mobil Revan berhenti di sebuah tempat wisata pengunungan daerah kota tempatku tinggal. Pengunjung sangat banyak terlihat dari deretan mobil yang terparkir rapi."Ayo!" Ajak Revan. Dia berdiri di depan mobilku.Kubuka pintu mobil, perlahan angin menerpa wajahku lembut, menyusup hingga ke tulang sumsum. Untuk sesaat beban di kepalaku hilang tidak berbekas."Ayo!" Ajak Revan lagi, matanya menatap heran ke arahku yang sedang menikmati semilir angin yang membangkitkan semangatku."Eh ... iya." Kuraih tas dan ponsel lalu kututup pintu mobil.Aku berjalan di belakang mengikuti arah jalan Revan. Dia berhenti di sebuah gubuk kecil yang agak jauh dari para pengunjung."Van, kita duduk di sana aja, Yuk!" Telunjukku mengarah pada gubuk yang dekat dengan pengunjung lain."Aku ingin bicara hal penting, hal yang tidak bisa didengar oleh orang lain." Raut waj
GAIRAH CINTA TERLARANGPART 36"Bisa jadi, Tan, andai aku tidak mengirimimu alamat Karmila, mungkin Roby masih hidup sampai saat ini," ujar Revan dengan wajah tertunduk."Hidup dan matinya seseorang di tangan Allah, ini hanya sebab kematiannya, Van!" Aku memberi semangat untuk Revan. Mencoba meredakan rasa bersalah dalam dirinya."Aku merasa bersalah, Tan, mereka pasti mengira Roby yang memberitahu kepadamu tentang hubungan Satria dan Karmila." Duduk Revan tidak tenang."Van, sebenarnya aku bingung dengan Status Roby, ketika, Satria berada di Hongkong. Dia mengirimkan foto pernikahan Roby dengan Talitha, namun, hari ini aku sama sekali tidak melihat Talitha," ujarku dengan raut wajah bingung."Talitha, siapa itu Talitha, Tan?" tanya Revan cepat. Pandangannya beralih menatapku."Aku juga tidak terlalu kenal, jumpa sekali di mall saat dia bersama Roby dan Sa
Part 143"Pak Revan, Bu Marsya perlu penanganan kejiwaaan," suara yang terdengar dari ponsel Revan."Baik, sebentar lagi kami ke sana," ujar Revan dengan helaan nafas.Awalnya Revan melarangku. Namun, setelah aku membujuknya , lelaki tampanku mengizinkanku ikut bersamanya."Apa mungkin Marsya gila?" tanyaku pada Revan, saat kami berada di dalam mobil."Mungkin saja, kita belum tahu kejelasannya."Kasian Marsya," lirihku."Nggak usah kasihan sama orang seperti Marsya. Dia pantas mendapatkannya," sahut Revan cepat.Setengah jam perjalanan, mobil Revan memasuki halaman kantor polisi di daerah rumah Ayah. Untuk kesekian kalinya menginjakkan kaki di tempat ini. Dalam situasi yang berbeda.Pihak kepolisian mengajak kami menuju ruangan sel Marsya. Kondisinya sangat menyedihkan. Dia meringkuk di sudut ruangan, tubuhnya terlihat lebih kurus dari biasanya. Langkah kaki kami yang semakin mendekat mengusik alam khayalnya."Tania, akhirnya kau datang menemuiku, apa kabar Kakak Iparku yang paling bo
Part 142 Air mata ini mengalir, bukan karena takut atau kecewa. Akan tetapi, karena bahagia melihat semangat Revan untuk mengukir senyum di wajahku."Kalian lihat istriku, wanita tegar dan hebat. Dia masih bisa berdiri tegar, setelah beragam prahara menguncang jiwanya. Saya mendengar ada beberapa yang berbicara miring tentang istri saya. Perlu kalian ketahui yang kalian katakan itu semuanya benar. Dia ....""Cukup, Van!" teriakku seraya melangkah menaiki panggung utama.Semua mata menatapku dengan berbagai tatapan yang tidak mampu aku definisikan. Kuberanikan diri meraih mikrofon di tangan Revan. Awalnya Revan ragu memberikannya padaku. Namun, aku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja."Tentunya kalian bertanya-tanya dalam benak kalian, mengapa seorang Revan Adiwiguna menikah seorang janda sepertiku. Ya ... aku seorang janda dengan tiga orang anak, yang dua anakku meninggal karena polemik yang tercipta oleh suamiku terdahulu. Dan wanita tadi, dia adalah adik iparku "Marsya". Adiknya
Part 141Brruuuukk!Tubuh Revan terjatuh, ujung sepatunya menyentuh sisi karpet merah yang terbentang antara pintu keluar sampai ke depan panggung utama."Tania, awas!" teriak Revan seraya mencabut pistol di pinggangnya.Aku mencoba berlari menjauh, tapi gaun yang kukenakan menghalangi langkahku.Dor!Aaaaaaaa!Suara letusan senjata, di ikuti teriakan wanita di belakangku. Belati di tanganya terjatuh ke atas rumput, terlihat kilatan cahaya yang menandakan ketajamannya. Suara riuh para tamu undangan mengema memekakkan telinga. Revan bangkit, berlari merengkuh tubuhku yang kaku."Sayang, kamu tidak apa-apa, 'Kan?" tanyanya panik seraya meraba setiap inci tubuhku. Aku mengeleng pelan, wajah panik tergambar nyata di wajahku.Beberapa anggota polisi yang berjaga-jaga berlarian menerobos kerumunan para tamu undangan. Revan beranjak mendekati wanita yang sedang meringgis kesakitan akibat terkena pelurunya. Wanita itu berusaha bangkit, tangannya meraih belati yang tergeletak di atas rumput."
Part 140Seiring berjalannya waktu, cinta tidak kunjung saya utarakan. Tania bersikap layaknya sahabat sejati untuk saya, membantu biayai kuliah, membuatkan makanan kesukaan saya. Semua dia lakukan yang terbaik untuk saya, begitu juga saya selalu pasang badan untuk membuatnya bahagia. Namun kembali ke awal, label sahabat yang tercipta. Semakin hari, cinta saya semakin dalam untuknya. Akan tetapi rasa tidak pantas terus saja mendera hati. Hingga, jantung saya seperti berhenti berdetak tatkala Tania mengenalkan lelaki yang dulu menjadi suaminya. Dunia saya hancur, terpuruk dalam.Tegar ... sikap itulah yang saya tunjukkan padanya. Saya sempat percaya akan kalimat "AKU JUGA BAHAGIA ASAL DIA BAHAGIA" , tapi kenyataanya saya kalah, kalah pada perasaan sendiri. Memilih lari dari pada mati melihatnya menjadi milik orang lain." Revan menjeda ucapannya. Dia menatapku penuh cinta, para tamu diam tanpa bicara, acara begitu terasa sakral."Terima kasih," bisikku pelan."Boleh kah saya melanjutkan
Part 139Kami bergerak menuju ruangan CCTV, degup jantungku tidak tenang. Kenapa masih ada yang mengangguku? Padahal aku tidak pernah menganggu orang.Suami tampanku mengotak-atik isi di dalam layar monitor, mata awasku mengamati setiap pegerakan gambar yang tertera di layar monitor. Beberapa menit melihat secara rinci, tapi tidak ada yang terlihat membawa gaunku."Aaaaarrrrggghhh! Kenapa Tuhan terus mengujiku dengan begitu banyak masalah? Salah aku apa, hah?!" teriakku histeris. Kepalaku tidak sanggup memikirkan beban berat yang menyerang otakku.Mama memelukku erat, keringat dingin memabasahi tubuhku. Ini masih pagi, tapi hawa panas menyelimutiku. Tubuhku gemetar, wajahku mendadak pias, bermacam pikiran mengitari kepalaku."Van, gimana, ni?" tanya mama saat melihatku tersungkur dilantai.Terlihat Revan mengusap wajahnya kasar, menarik nafas dalam lalu membuangnya. Dia mondar-mandir di hadapanku, wajahnya panik, terlihat kekecewaan di wajahnya."Mama jaga Tania, Revan mau ke bawah se
Part 138Malam ini semua orang di rumah di sibukkan dengan berbagai pekerjaan untuk menyambut acara besok pagi. Rumah Ayah sudah di sulap bak negeri dongeng, dekorasi sungguh sangat sempurna. Melihat semua yang Revan persiapkan untukku membuatku takjub.Bersujud syukur kepada Allah menganugerahi lelaki yang mampu menjadi imam yang baik untukku. Suasana hati tidak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Bahagia yang tiada duanya, meski ini bukan yang pertama."Tidak lama lagi kalian akan jauh dari kami," ujar Mama dengan raut wajah sedih."Ma ... kita 'kan bisa VC, telpon-telponan, lagian belum tentu kami selamanya di sana," ujarku lembut seraya membelai pundaknya Mama yang mulai terisak."Mama cuma sedih jauh dari kalian, tapi ... mama bisa apa, ini yang terbaik untuk kehidupan kalian, biarkan mama menanggung rindu ini seorang diri sampai waktu mempertemukan kita lagi," ujar mama seraya menyeka air mata di wajah senjanya."Maafkan Tania, Ma. Kehadiran Tania membuat Revan menjauh dari Mama
part 137"Orang dalam? Memangnya siapa yang Mama curigai?" tanya Revan, matanya berbalik menatapku."Ya ... Mama juga tidak tahu siapa," ujarku pelan."Kalau nggak tahu, nggak boleh curiga dosa yang ada," pungkas Revan.Aku hanya mengangguk pelan, meski rasa penasaran masih di bertahta di hati. Revan memintaku untuk lebih waspada dalam menjaga Arisya dan diriku sendiri. Sangat tidak enak hidup di penuhi rasa was-was yang membuat gerak dan ruang lingkup kita terbatas.Mau tidak mau, hal itu yang harus aku lakukan untuk sementara ini. Berbagai prahara yang terjadi membuatku takut dalam menghadapi dunia, melihat keramaian saja membuat pikiranku tidak tenang.****Hari ini membongkar barang-barang di dalam lemari. Memilih beberapa barang dan pakaian yang akan aku bawa ke Amerika.Banyak sekali barang-barang yang aku bawa pulang dari rumahku dulu. Ratusan sepatu dan tas pemberian Satria masih tersimpan rapi. Sangat tidak masuk akal jika aku membawa semuanya ke Amerika. Yang ada pesawatnya
part 136Aku berjalan setengah berlari menuju ke luar Mall. Puluhan orang sudah berkerumun di pos satpam."Dasar wanita gila!" teriak lelaki dalam kerumunan."Tangkap saja!""Bunuh!"Beragam teriakan dan hujatan terdengar dari warga yang berkerumun. Suara tangisan Arisya mengema di antara riuh suara kerumunan manusia."Maaf! Permisi!" teriak Revan meminta jalan di antara kerumunan warga.Aku berhasil mencapai ke dalam ruangan. Ku lihat Arisya dalam pelukan lelaki yang tidak aku kenali. Secepat kilat, ku raih Arisya kecilku. Kudekapnya erat, kuciumi wajahnya berkali-kali. Meringsek menuju sudut ruangan.Revan meraih tubuhku dan mendekap erat memberikan kenyaman yang sejenak yang sempat hilang."Van, ini wanita yang bersama anak kamu," ujar lelaki yang memegang Arisya tadi.Aku menyerahkan Arisya pada Revan, mataku beralih menatap benci ke arah wanita yang mengunakan cadar di hadapanku."Kamu siapa, hah? Kenapa kau mengambil anakku?" tanyaku berusaha menahan emosi.Wanita di hadapanku d
part 135Kami berkumpul di meja makan, sarapan pagi sebelum kami kembali ke rumah ayah. Mama sudah mempersiapkanya sebelum aku turun ke dapur."Makan yang banyak, biar mama cepat dapat cucu baru," ujar mama dengan senyum merekah, membuatku salah tingkah dan hampir tersedak."Mama mau punya berapa cucu," ujar Revan seraya memasukkan roti ke mulutnya, dengan sengaja kuinjak kakinya di bawah kolong meja."Ooooouuucch!" pekik Revan."Kenapa, Van?" tanya papa dengan wajah serius.Revan melirik ke arahku, ku balas tatapannya dengan raut wajah mengancam."Nggak apa-apa, Pa," ujar pelan."Mama pingin punya cucu 12 orang, pasti lucu-lucu, ya 'kan, pa?" ucapan mama di sambut gelak tawa papa dan Revan. Giliran aku yang meringis."Seru tu, Ma. Di buat tim sepak bola," ujar Revan dengan cengiran di sudut bibirnya."Iya, seru pastinya!" mama tertawa bahagia.Kami melanjutkan sarapan dengan suka cita. Kebersamaan yang tidak akan terlupakan. Banyak wejangan yang diberikan orang tua Revan untuk kami