“Bibi, kenapa Bibi sepertinya tidak suka kalau aku datang ke sini?” tanya Zack dengan tatapan lekat. Ia merasa heran dengan gerak-gerik yang ditunjukkan oleh wanita itu.DEG!Bibi Weni sempat terdiam dengan wajah pias. Ia sengaja menundukkan wajahnya untuk menyembunyikan kegugupan yang tersirat di balik tatapannya. Wanita itu segera bergegas meninggalkan ruang tamu dan menuju ke dapur. Dengan perasaan campur aduk, Bibi Weni membuatkan keponakannya secangkir kopi.Setelah selesai, wanita itu bergegas menuju ke ruang tamu dan menemui Zack yang masih duduk termenung di sana.“Zack, apa tidak sebaiknya kamu segera kembali ke rumah? Kasihan ibumu kalau harus ditinggal sendirian.” Bibi Weni berbicara dengan tatapan lekat. Wanita itu seakan ingin mengusir keponakannya secara halus.“Bibi, aku baru saja sampai di rumahmu, lalu kenapa Bibi berbicara seperti itu? Apa Bibi tidak suka dengan kedatanganku ke sini?” Zack tampak kecewa dengan ucapan bibinya. Ia merasa wanita itu tidak suka dengan k
“Zack, andai kalian tahu semuanya, apa kalian akan memaafkan aku?” lirih Bibi Weni dengan nada yang begitu lirih.Wanita itu segera menghapus air matanya ketika ponselnya berrdering. Ia tampak gugup dan segera berlari ke kamarnya.“Halo!” ucap Bibi Weni dengan nada ramah.“Halo, Bibi kenapa Anda belum datang? Tuan Rafael sangat marah karena Anda belum sampai di kantor. Apa Anda baik-baik saja?” tanya sekretaris Rafael. Wanita itu bertanya dengan nada penuh kekhawatiran.“M-maaf, tadi kepalaku sedikit pusing. Namun, sekarang sudah baik-baik saja. Aku akan segera ke sana!” Bibi Weni terpaksa berbohong, ia tidak mau berkata jujur kalau keponakannya baru saja berkunjung ke rumahnya.“Baiklah, semoga keadaan Bibi baik-baik saja. Tuan Rafael sangat marah karena kopi yang dibuatkan oleh pegawai lain ternyata rasanya tidak sama dengan kopi buatan Bibi. Sepertinya Tuan Rafael sedang ada masalah sehingga sangat mudah untuk marah-marah.” Wanita itu menceritakan kondisi kantor tuannya. Ia bahkan
Bibi Weni tampak terdiam dengan wajah tertunduk. Ia benar-benar tidak menyangka kalau tuannya tega berbicara seperti itu kepadanya.“Bi, aku ingin beristirahat sejenak. Tolong jangan ada yang masuk ke ruanganku!” ucap Rafael sambil memejamkan matanya. Ia segera menyandarkan tubuhnya di sofa dan berusaha melupakan Sonya untuk sejenak. Semenjak wanita itu meninggalkan dirinya, hidup Rafael tidak baik-baik saja. Laki-laki itu benar-benar merindukan mantan tunangannya.“Baik, Tuan,” jawab Bibi Weni dengan nada patuh. Wanita itu segera bangkit dan meninggalkan ruangan Rafael. Ia terus memikirkan nasib Oliver. Bagaimana kalau Rafael benar ingin membunuhnya? Apa dia akan diam saja? Tidak, tentunya ia harus melakukan sesuatu untuk melindunginya dan apa yang bisa ia lakukan untuk melindungi Oliver? Dirinya saja tidak mengenal laki-laki itu, apa perlu dia mendatangi pengacara itu dan memberitahukan semuanya? Memikirkan hal itu membuat kepala Bibi Weni berdenyut hebat.Dengan langkah gontai, wan
“Ayah, kenapa Ayah diam saja? Apa Ayah tidak senang dengan kepergian kita?” tanya Bian dengan tatapan lekat. Dari tadi, Oliver banyak terdiam dan hanya sesekali menanggapi ucapan anak-anaknya.“T-tidak, Ayah senang dapat pergi ke rumah Oma. Ayah juga merasa senang karena dapat mengantarkan kalian ke sana. Apa kalian tahu? Ayah sangat bahagia ketika berada di tengah-tengah kalian. Oma pasti sangat terkejut melihat kalian yang begitu lucu dan menggemaskan.” Oliver berbicara dengan nada serius. Ia yakin kalau Dayana pasti senang melihat kedatangan ketiga cucunya.“Ya, aku juga merasakan hal yang sama. Oma pasti akan menyambut kita dengan penuh suka cita. Bukankah begitu, Bunda?” tanya Biya dengan senyum di wajahya.“I-iya,” jawab Sonya dengan wajah gugup. Meski dirinya tidak yakin, ia hanya dapat berharap kalau ibunya mau menerima keberadaan Oliver. Bagaimanapun, dia adalah ayah biologis untuk ketiga anak kembarnya.Mobil terus melaju di jalanan bebas hambatan. Oliver masih terus berusah
“Oma!” seru Biya dengan netra berbinar.DEG!“O-oma? Siapa dia?” tanya Nyonya Dayana dengan tatapan lekat. Wanita itu bahkan terlihat kebingungan dengan anak-anak yang lucu dan menggemaskan.Biya maju ke depan dan mengulurkan tangannya. Anak itu mencoba memberikan permen cokelat miliknya kepada Nyonya Dayana.“Sonya, siapa anak ini? Kenapa dia memanggilku Oma?” tanya Nyonya Dayana dengan tatapan lekat. Ia merasa terkejut dengan kedatangan anak-anak itu ke rumahnya.“Bu, bisakah kita berbicara di dalam saja?” ucap Sonya dengan tatapan penuh permohonan. Ia berusaha menenangkan ibunya yang tampak terkejut dengan kehadiran anak-anak Oliver.“Sonya, sebenarnya ada apa? Apa ada yang sedang kamu sembunyikan dariku?” Nyonya Dayana tampak marah ketika Sonya tidak mau menjawab pertanyaannya. Wanita itu bahkan berusaha mengalihkan pembicaraan di antara mereka. Sedangkan Biya tampak kecewa dan memilih mundur. Anak itu mendekat ke arah Oliver dan menatap lekat wajah ayahnya. Hal itu membuat Sonya
“Apa maksud Anda?” tanya Nyonya Dayana dengan tatapan lekat. Wanita itu seketika menatap wajah laki-laki yang tengah berdiri di hadapannya.“Nyonya, saya hanya ingin berbicara jujur kepada Anda. Anak-anak itu adalah anak kami dan kami saling mencintai satu sama lain. Jadi, saya mohon, jangan menyalahkan atau menyakiti Sonya. Dia tidak bersalah, kalau Nyonya ingin menyalahkan, salahkan saja saya.” Oliver berbicara dengan nada serius. Ia bahkan meminta Dayana untuk menyalahkan dirinya.“Apa itu artinya Anda Ayah dari ketiga anak itu?” Nyonya Dayana kembali bertanya dengan tatapan lekat. Ia seakan tidak yakin dengan ucapan Oliver.“Ya, saya Ayah dari ketiga anak kembar itu. Kedatangan kami ke sini, kami ingin meminta restu karena kami ingin segera menikah.” Oliver berbicara dengan tatapan lekat. Laki-laki itu tahu kalau dirinya sudah menyakiti hati Nyonya Dayana.“Sonya, apa yang dia katakan benar?” Nyonya Dayana berbicara dengan netra berkaca-kaca. Ada rasa sakit yang tengah ia sembunyi
“Kalian, kemarilah. Aku ingin sekali memeluk kalian!” ucap Nyonya Dayana kepada Vier dan Bian.Kedua anak laki-laki itu saling pandang, ada keraguan yang terpancar jelas di wajah keduanya.“Pergilah, Oma ingin memeluk kalian!” bisik Sonya dengan netra berbinar. Wanita itu berusaha meyakinkan anaknya kalau mereka akan baik-baik saja.Vier dan Bian masih terdiam di tempatnya. Mereka bahkan tetap berdiri di dekat Sonya dan membuat Nyonya Dayana tersenyum lebar ke arah keduanya.“Kemarilah anak-anak tampan, Oma ingin memeluk kalian!” ucap Nyonya Dayana dengan penuh kelembutan. Wanita itu tahu kalau mereka adalah cucunya.Vier dan Bian melangkah dengan penuh keraguan. Mereka belum sepenuhnya percaya dengan ucapan Nyonya Dayana.“Apa kalian takut kepadaku? Lihatlah, aku memeluk Biya dan dia merasa nyaman bersamaku.” Nyonya Dayana menunjukkan ketulusannya kepada Vier dan Bian. Ia bahkan terlihat sangat ingin berada di dekat ketiga cucunya.“Apa Oma tidak akan memarahi kami?” tanya Vier denga
Dayana menarik napas panjang dan menatap lekat ke arah putrinya. Wanita itu sepertinya sudah menyiapkan jawaban untuk Sonya dan Oliver.“Anak-anak, selesai makan, kalian boleh masuk ke kamar Bunda,” ucap Nyonya Dayana kepada ketiga cucunya. Ia ingin mereka kembali masuk ke sana mengingat ada hal penting yang ingin dia bicarakan dengan Sonya dan Oliver.Anak-anak itu tampak patuh. Mereka segera menghabiskan menu makanan yang tersaji di meja. Ketiganya bahkan terlihat sangat menikmati kebersamaan mereka di rumah Nyonya Dayana.“Oma, masakan Oma enak dan lezat. Kapan-kapan, aku mau makan di sini lagi. Apa boleh?” tanya Bian dengan nada semangat.“Tentu saja boleh. Kalian boleh datang kapan saja ke sini. Kalian itu cucu Oma dan sudah sepantasnya kalian berkunjung ke sini, kan?” kekeh Nyonya Dayana sambil mencubit pipi gembul cucunya.Sonya hanya tersenyum melihat kedekatan anak-anaknya dengan Nyonya Dayana. Wanita itu hanya berharap kalau ibunya mau memaafkan Oliver dan memberikan restu u