1 PENCULIKAN
“Alhamdulillah ya, kita bisa di terima kerja di sini. Aku sangat bahagia sekali, Ardi. Ibuku pasti senang kalau tahu anaknya bekerja di kantor yang berdiri dengan sangat megah.”
“Iya Aira. Kita jadi bisa tiap hari bertemu. Semoga saja aku bisa mengumpulkan uang untuk menikahimu.”
“Amin.” Aku tersenyum bahagia. Semoga saja rencana indah kami berdua untuk segera menuju pelaminan, akan terwujud.
“Ya, lumayan lah walau hanya jadi CS.” Jawabku sambil senyum-senyum.
“CS?! Customer service maksudmu?” tanya Ardi sembari mengerutkan keningnya.
“Bukan. Cleaning Service.”
“Iih becandanya garing amat.” Jawab Ardi sambil mengacak rambutku.
“Ayo, kita pulang. Besok pagi kita sudah mulai bekerja. Kita harus disiplin waktu. Jangan sampai terlambat.”
“Oke.”
Kami berdua berjalan dengan bergandengan tangan menuju halte bus. Perasaan bahagia yang tak terlukiskan. Sudah tiga tahun kami menjalin cinta. Walau banyak kerikil tajam, tapi kami berhasil melewatinya. Sudah setahun kami melepas seragam putih abu yang menjadi saksi sejarah cinta kami berdua. Aku dan Ardi bukan berasal dari keluarga berada yang bisa meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bekerja menjadi pilihan kami untuk membantu perekonomian keluarga.
Alhamdulillah kami bisa di terima di Syailendra group. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang property yang tengah menggurita. Walau aku dan Ardi hanya di terima sebagai tenaga kebersihan, hal itu sudah membuat kami bahagia.
Sreet. Tiba-tiba mobil berwarna hitam berhenti persisi di depan kami. Jarak yang begitu dekat membuatku hampir saja terserempet. Huch, benar-benar membuat kesal. Dasar orang kaya sombong. Aku mundur beberapa langkah.
Pintu mobil terbuka. Tak terduga, dua orang pria kekar keluar dan menyeret lenganku dan Ardi.
“Apa-apa an ini! Siapa kalian?!” ardi berusaha melepaskan diri. Namun tenaganya kalah oleh pria yang berbadan tinggi besar. Aku juga melakukan hal yang sama. Namun percuma, perlawananku tak sebanding dengan kekuatan mereka. Dengan kasar mereka berhasil menyeretku dan juga Ardi masuk ke dalam mobil. Bahkan mereka tak membiarkan saat tangan kami saling bertautan. Dengan tega mereka memisahkan kami.
Aku tak pernah punya musuh. Lalu siapa mereka dan apa tujuannya. Aku terus berteriak meminta tolong. Salah satu dari mereka menampar wajahku. Sakit sekali. Seumur hidup baru ada orang yang berani menamparku. Sakit dan perih. Mereka mengikat tubuh, lalu menutup mata dan juga menyumpal mulutku.
Kini aku terbelenggu. Entah dosa apa yang sudah dilakukan hingga mereka menculikku. Mungkinkah mereka mengincar tebusan. Jangankan untuk menebus, untuk makan sehari-hari saja susah. Tak mungkin ayah dan ibu memenuhi keinginan para penculik. Atau mereka mau menjualku ke rumah bordil. Tidak aku tak mau hal itu terjadi. Ya Alloh, tolonglah hambaMu ini. Selamatkanlah hamba. Hanya bisa menangis meratapi nasib.
****
Para penculik membawaku entah kemana. Mereka seperti membuka pintu dan membawaku masuk. Tubuhku di dorong dengan kuat hingga terhempas pada...seperti kasur yang empuk. Apa sebenarnya yang mereka inginkan. Biasanya korban penculikan akan disekap ditempat yang pengap. Kenapa aku seperti terbaring di kasur yang empuk.
Salah satu pria membuka kain yang menutup mata dan mulutku.
“Jangan kemana-mana! Tunggu boss kami sebentar lagi!” pria itu melempar kain penutup dengan kasar ke arah wajah lalu meninggalkanku seorang diri.
Menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Kamar ini sangat luas dan mewah. Apa aku akan di jual pada lelaki hidung belang. Jika benar siapa yang melakukannya. Merinding mengingat jika harus melayani pria hidung belang menjijikkan. Tidak. Aku harus bisa menyelamatkan diri.
Ardi. Ada di mana dia. Apa dia juga bernasib sama sepertiku. Kenapa tempat kami di pisahkan. Aku merasa seperti di neraka.
Krekk. Pintu terbuka. Masuklah seorang pria memakai stelan jas rapih. Rahangnya yang kokoh dan sorot matanya yang tajam seolah hendak mengulitiku. Wajahnya terlihat tampan tapi sangat menyeramkan bagiku.
Aku beringsut dan memejamkan mata ketakutan. Suara ketukan sepatu kini terdengar begitu dekat. Semakin berusaha melepas ikatan, semakin tubuh terkunci dengan sempurna.
Pria itu sampai di bibir ranjang dan duduk di tepi.
“Siapa kau?! Tolong, lepaskan aku!” pintaku padanya.
“Melepasmu?! Setelah susah payah aku mengincarmu sampai membawamu kemari kau minta aku untuk melepasmu?! Jangan harap itu terjadi!” suara kerasnya membuat telingaku seperti tersengat listrik. Tubuhku menggigul ketakutan mendengarnya.
“Apa salahku? Aku tak pernah mengenalmu!”
‘Kau memang tidak salah! Tapi kekasihmu! Dia sudah menghamili adikku lalu mencampakkannya begitu saja dan malah enak-enakkan bersamamu!”
“Kalau aku tak bersalah, kenapa juga kau menculikku?!”
“Karena aku akan membalaskan dendam kepadamu di depan matanya. Supaya dia bisa merasakan apa yang adikku rasakan!”
“A...apa maksudmu?!”
“Diam! Aku paling tidak suka berdebat dengan wanita rendahan sepertimu!”
Pria itu mengambil ponsel di saku, lalu menelpon seseorang.
“Bawa pria itu sekarang juga!”
Pria itu memutus sambungan telpon. Dia menatapku sekilas lalu membuka pintu yang terkunci dari dalam.
Seorang lelaki berbadan tinggi besar membawa Ardi lalu menghempaskannya ke lantai.
“Keluar!”
“Apa tidak sebaiknya saya tetap di sini untuk menjaga kemungkinan buruk yang terjadi?”
Pria itu terlihat sangat marah. Dia menarik kerah baju anak buahnya.“Apa kau juga mau melihatku menggagahi gadis itu lalu kau akan kuhabisi atau ...”
“Ampun boss.”
“Keluar sekarang! Jangan ada yang menggangguku atau kalian mati! Mengerti?!”
“Siap boss!”
Pria itu mendorong tubuh anak buahnya lalu menutup pintu dengan kasar. Sorot matanya nyalang menatap Ardi.
Tunggu. Dia tadi berkata ‘menggagahi.’ Apa itu artinya dia akan menodaiku. Tidak, aku tak mau jadi korbannya. Tapi apa yang bisa aku lakukan. Aku bahkan tak bisa menggerakan tubuhku sama sekali. Ardipun sama tak berdaya. Tak ada celah sedikitpun datangnya pertolongan.
Pria itu menatap Ardi penuh kebencian. Dengan kasar dia melepas penutup mata dan mulut kekasihku. Dan tanpa ampun pria itu langsung melayangkan tinju pada wajah Ardi. Lantas menarik kerah kemejanya. Aku menjerit dan tidak tega saat melihat kekasihku di hajar dengan membabi buta oleh pria tak dikenal itu.“Hentikan! Kau tak punya hak untuk memukuli kekasihku! Apa salahnya padamu?!” teriakku dengan di iringi airmata yang terus mengalir. Hati seperti teriris saat melihat Ardi merintih kesakitan.“Diam kamu pe***ur!” hardik pria itu kepadaku dan membuatku naik pitam. Belum sempat aku menumpahkan kekesalan, kekasihku sudah terlebih dulu menghardik pria itu.“Jangan pernah mengatakan hal itu kepada kekasihku! Dia wanita baik-baik!”‘Wanita baik tak mungkin merebut kekasih adikku!”“Siapa adikmu? Aku bahkan tak mengenal dirimu! dan apa salah kami sehingga kau menculikku dan kekasihku?!”
PERLAKUAN ARDI YANG MENYAKITKAN“Cepat rapikan pakaian kekasihmu dan pergilah dari sini!” lelaki biadab itu dengan santai mengenakan kembali pakaiannnya dan menyeringai kepada Ardi. Dia sama sekali tak menatapku. Yang dia inginkan adalah melihat kesedihan di mata Ardi bukan di mataku. Padahal di sini aku lah yang menjadi korbannya. Korban kebiadaban lelaki dengan alasan membalas dendam. Tak berpikirkah sedikitpun tentang aku yang akan menanggung penderitaan seumur hidupku. Trauma mungkin akan membayangi sepanjang usia.“Lepaskan aku! Aku bunuh kau!” teriak Ardi dengan tubuh tersungkur di lantai. Tubuhnya bergetar hebat akibat menahan amarah dalam dada.“Oke. Lakukan kalau kau berani!”Pria itu melepas ikatan pada tubuh Ardi. Tanpa ampun, Ardi segera menghajar sang penoda hingga babak belur. Tak ada perlawanan dari pria yang sudah mengotori tubuhku. Kini pria itu tak terlihat segarang tadi. P
ARDI“Aira! Menyingkirlah! Jangan membahayakan dirimu?!”Aku berusaha menyeberang jalan. Namun kendaraan begitu padat. Tak ada celah sedikitpun untuk bisa menembus padatnya kendaraan. Teriakkanku tak membuatnya menjauh dari badan jalan. Aira tetap bergeming dan menghadang truk yang sudah semakin dekat.Ini salahku. Kalau saja aku tadi tak menyakiti perasaannya, mungkin kejadiannya takkan seperti ini. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan Aira. Aku takkan bisa memaafkan diriku sendiri. Nekat menyeberang jalanpun tak mungkin kulakukan. Sama saja dengan bunuh diri.“Aira! Menyingkirlah! Truknya sudah semaikn dekat. Maafkan aku. Dengarlah, Aku masih mencintaimu dan berjanji akan selalu bersamamu. Kemarilah, sayang!” aku terus mencoba membujuknya. Semoga saja berhasil.Aira bergeming. Akan tetapi dia menoleh kearahku. Entah apa arti tatapannya kepadaku. Mudah-mudahan saja, dia mendengar ucapanku dan mengurungkan niatnya.
RAGU TUK BERTERUS TERANGSultan bima SyailendraTerpaku di depan pintu kamar. Keraguan menyelimuti hati untuk menemui istri yang sangat kucintai. Walau tak ada celoteh anak dalam pernikahan kami, kehidupan kami diliputi oleh kebahagiaan.Tigabelas tahun usia pernikahan, tak ada sedikitpun keinginan dalam hati untuk menikah lagi hanya demi mendapatkan momongan. Walau Marina berkali-kali menyuruhku, tak pernah aku memenuhi permintaan gilanya itu.Dalam kondisinya yang sakit karena beberapa jari di kakinya harus di amputasi, aku tetap setia kepadanya. Penyebabnya adalah penyakit diabetes yang di idapnya. Meskipun usianya sepuluh tahun di atasku, bagiku dia tetap terlihat sempurna.Sudah dua tahun dia harus beraktifitas dengan kursi roda. Diusianya yang ke empatpuluh delapan tahun, harus menjalani ujian hidup seberat ini. Walau kini bobot tubuhnya mengecil dan tidak proporsional bagiku dia tetap terlihat menarik. Begitu besarnya
BERBOHONG DEMI KEBAIKAN“Katakan sultan. Dosa apa yang telah kau lakukan? Aku takkan pernah memaafkanmu kalau kau sudah menyentuh wanita lain. Aku tidak rela!” Istriku berteriak histeris. Dengan sigap kupeluk tubuhnya dan berusaha menenangkan. Namun tak kusangka dia menolak dan mendorong tubuhku.“Lepaskan aku! Kau ....” Marina memegangi dada sebelah kiri. Nafasnya naik turun tak beraturan.“Marina, kau tak kenapa? Ayo kita ke rumah sakit.” Berusaha meraih tubuh istriku ke dalam pelukan. Namun dia kembali menepis tanganku. Otakku berusaha untuk berpikir keras untuk menolongnya. Tak mungkin membiarkannya menderita seperti ini.Obat. Ya, kenapa bisa sampai lupa Segera mencari di laci nakas dimana istriku terbiasa menyimpan obat yang rutin di minum di sana. Aku harus segera mengambil obat untuk mengurangi rasa sakit.Mengambil segelas air putih yang terletak di atas nakas, lalu memberika
7. KESEDIHAN MENDALAMAIRA“Turunlah.’ Perintah Ardi saat taxi yang kami tumpangi tiba di depan rumah. Pria yang sangat kucintai tak menatap sedikitpun ke arahku. Wajahnya terlihat datar dan dingin.“Bisakah kau mengantarku sampai depan pintu. Aku masih ....”“Tidak bisa! cepat turunlah!” Ardi membuang pandangan jauh.“Tapi Ardi, aku butuh bantuanmu. Kau tahu’kan aku baru saja mengalami ....”“Cukup Aira! Jangan mencoba mengingatkanku dengan kejadian buruk itu! Cepat turun dan pergilah!”“Ardi. Aku ....”Belum selesai berbicara, dia sudah turun dari mobil dan menutup pintu dengan kasar. Tanpa kusadari, ardi sudah membukakan pintu mobil untukku. Aku pikir dia akan berbaik hati dengan mengantar hingga depan rumah. Namun apa yang dilakukannya sangat membuat hatiku tersayat. Lelaki yang sangat kucintai menarik lengan dan memaksaku unrtuk keluar. Setelah b
8. KEHILANGAN AYAHBraak. Pintu rumah terbuka dengan paksa. Pasti Ryan yang menendang pintu dengan kasar.Bugg. Kembali terdengar suara di iringi oleh jeritan ibu.“Astaghfirulloh hal’adzim. Ryan, apa yang kamu lakukan, nak?”Penasaran dengan apa yang terjadi. Walau masih merasakan sakit di sekujur tubuh, aku berusaha untuk melihat apa yang terjadi. Berusaha bangkit dan melangkah dengan tertatih.Rumah yang kecil membuat jarak antara kamar dan ruang tamu hanya beberapa jengkal saja. Tanpa menunggu lama, aku sangat terkejut melihat apa yang terjadi. Ardi tersungkur di lantai dengan wajah babak belur. Terlihat ibu sedang membantu untuk bangkit.“Astaghfirulloh hal’adzim. Ryan! Apa yang kamu lakukan?!” aku berlari ke arah Ardi dan meraih tangannya. Namun dia menepis tanganku dengan kasar.“Kau ingin tahu apa yang dilakukan adikmu?! Tak ada angin tak ada hujan, Dia datang kerumah dan menghaj
9. PENYESALAN MENDALAMSultan Bima syailendraHampir semalaman mata ini tak mampu terpejam. Rasa bersalah membuat hidup tak tenang.Membayangkan gadis itu pasti sedang menangis. Aku seperti merasakan kepedihan itu. Ya, ada denyutan nyeri jauh dari dalam dada. Memegang dada yang terasa agak nyeri.“Sayang, ayo di makan.” Suara istriku membuyarkan lamunan. Tanpa kusadari aku hanya mengacak-acak nasi tanpa memakannya. Hidangan yang tersedia di meja, sama sekali tak mengundang selera makanku.“Ayo di makan. Sudah siang, nanti kamu telat ke kantor. Sini, aku suapin ya.” Marina mengambil piring yang ada di hadapan. Itulah kenapa aku sangat mencintainya. Dia selalu mengerti apa yang ada dalam pikiran. Saat ada masalah, dia berhasil menenangkan. Seperti saat ini, aku sedang sangat gelisah dan tak ingin makan. Dengan sigap dia menyuapiku. Kalau sudah begini, aku tak bisa menolak. Bagai anak kecil yang menurut apa kata orangtua.&ldquo
“Bu, pria ini adalah ....”‘Rani! Apa saja pekerjaanmu di dalam! Kau tidak tahu apa yang dilakukan wanita ini? dia sudah berani menamparku karena tak sengaja menyentuh dadanya. Aku sudah minta maaf, tapi gadis itu terus memakiku!” aku sedikit berbohong untuk melindungi reputasiku.“Enak saja kau bicara! Kau itu ....”“Rani! Aku tunggu di ruanganku sekarang juga!” mencoba terus memutus pembicaraan Aira supaya dia tak kelepasan bicara.“Baik, pak!”‘Bu, kenapa ibu hormat kepada pria bejat itu?!”“Yang sopan kalau berbicara padanya Aira! Kalau kau tak bisa menjaga lisanmu, kau akan kupecat sebelum Pak Sultan yang memecatku! Kau mengerti?!”Aku mencoba mengamati riak gelombang pada wajah Aira. Wajahnya memucat. Sepertinya dia sangat terkejut dengan apa yang baru saja di dengarnya. Kepalanya menggeleng cepat.‘Tidak! tidak m
TERNYATA AIRA SALAH SATU KARYAWANKUSULTANYa. Wanita itu adalah gadis yang membuatku tak nyenyak tidur karena terus memikirkannya. Dan dia kini berada di hadapanku. Apa yang harus kulakukan. Bahkan Aira terlihat sangat ketakutan. Dia menoleh ke arah kanan dan kiri mencoba mencari pertolongan. Apa dia pikir aku akan menyakitinya lagi. Dia salah sangka, aku harus menghilangkan rasa ketakutannya.“Tenang, Aira! Saya tak akan menyakitimu.”“Pergi kamu! kenapa sih kau selalu saja mengganguku?”“Saya tidak mengganggumu, saya hanya ....”“Aku berjanji tak akan menuntutmu! Tapi aku mohon, berjanjilah untuk tidak menemuiku lagi. Aku mohon, pergilah dari kehidupanku selamanya! Biarkan aku dan keluargaku hidup tenang! Aku mohon!” Gadis itu terus memohon. Bahkan dia beringsut ketakutan saat aku sedikit demi sedikit terus mendekatinya. Mungkin rasa trauma itu masih membekas da
SUMPAH AIRASULTAN“Marina! Kenpa kau mendorongku?!” tanyaku sambil berusaha kembali menyerangnya lagi. Namun Marina malah menendangku dengan kuat hingga aku terjungkal. Rasa kesal kembali membuatku naik darah.“Marina! Apa-apa an kamu!” hardikku kepadanya.“Mulai sekarang, jangan pernah menyentuhhku!”“Apa maksudmu?”“Aku jijik dengan milikmu yang sudah pernah di pakai untuk wanita lain! Cuih! Menjijikkan!” Marina bergidik jijik melihatku.‘Tapi kau tadi juga menikmatinya! Jangan munafik!”“Iya. Tapi begitu mengingat hal itu, membuatku jijik dan mual!”“Tolonglah, aku sudah tidak bisa menahannya. Untuk kali ini saja,” pintaku kepadanya. Sebagai lelaki sangat tersiksa dengan keadaan seperti ini.“Aku bilang tidak, ya tidak! jangan memaksaku! mengingat saat kau menggerayangi tubuh wanita itu
GAIRAH YANG TERTUNDA SULTAN “Sultan! Lepaskan tanganku!” seru istriku sambil berusaha melepaskan tangannya dariku. Aku tak peduli dan terus menarik lengannya dengan kesal. Sesampainya di kamar, aku mendorong istriku hingga terjatuh di atas ranjang. “Beraninya kau melakukan ini padaku, Sultan!” “Kau yang beraninya melakukan tindakan tanpa persetujuanku! Apa kau tak punya perasaan iba sedikit saja kepada mereka. Bagiamana perasaan Aira!” “kenapa kau menyalahkanku?! Apa yang kulakukan salah? Aku hanya ingin membelamu! Kau tahu’kan perbuatan yang kau lakukan itu bisa membuat harga dirimu hancur! Bukan hanya penjara, tapi karier dan nama baikmu juga hancur! Tak berpikirkah kau sejauh itu! Aku melakukannya karena ingin menyelamatkanmu dari kehancuran! Itu karena aku sangat mencintaimu!” “Aku tahu itu dan juga konsekuensinya! Tapi tidak dengan membuat keluarga aira menderita! Kasihan mereka! Kita bisa bicara
13. BANTUAN SULTAN“Berhati-hatilah. Orang seperti mereka bisa melakukan segalanya. Yang benar bisa menjadi salah. Begitu pula sebaliknya.” Nasihat bu amir kepadaku. Beliau mulai menjalankan kendaraannya.“Lalu apa yang harus saya lakukan, bu?” tanyaku kepada bu amir.“Yang terpenting kita buat laporan dulu tentang kejadian keji yang kau alami. Gunakan hal ini untuk menekan mereka. Jangan mau kalah. Walau mereka mengandalkan harta yang mereka miliki, tetap saja tidak ada orang yang kebal hukum. Minimal orang tersebut akan memikirkan reputasinya. Sedikit saja kasus ini diketahui publik, bisa hancur karirnya.”Aku menghela nafas panjang lalu menghembuskan perlahan. Apa yang aku alami benar-benar membuat kepala hampir pecah. Di satu sisi aku tak ingin terjadi apa-apa dengan adikku.Yang dikatakan bu Amir itu benar. Posisiku bisa saja terjepit. Mereka bisa memutarbalikkan fakta. Tapi jika hukum sudah berbicara, tidak
12. PENANGKAPAN RYAN“Ada apa ini pak?” tanya ibu ketika membuka pintu dan melihat beberapa orang berseragam warna coklat berdiri di depan pintu. Satu mobil polisi juga terparkir tak jauh dari rumah.Aku yang penasaran juga ikut menemui para petugas.Entah apalagi yang akan menimpa keluargaku. Kami masih dalam suasana duka. Entah siapa yang tidak suka dan pasti memberikan laporan yang tidak sesuai.“Benar ini rumah saudara Ryan Effendi?” tanya salah satu petugas kepolisian.“Benar. Saya ibunya. Ada apa ya pak. Apa anak saya bersalah?” tanya ibu dengan gemetar. Aku mengusap kedua bahunya untuk menenangkannya.“Kami akan membawa anak ibu untuk dimintai keterangan. Ada laporan tentang penganiayaan kepada bapak Sultan bima syailendra. Dugaan sementara dilakukan oleh putra anda.”“Ini salah paham, Pak. Adik saya memang bersalah telah memukulnya. Tapi semua dilakukan karena memang
RAHASIA TERBONGKAR“Beraninya kau memukuli suamiku! Apa kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa?!” seru Marina dengan wajah merah padam. Amarah tergambar jelas pada wajahnya.“Gue gak peduli siapapun kalian! gue gak takut! Laki-laki ini sudah melakukan kesalahan besar. Gara-gara perbuatan suami lo, ayah gue meninggal. Jadi sudah sepantasnya gue hajar sampai mampus!” jawab anak muda itu dengan tegas.“Diam kamu bocah! Sudah jelas kau yang salah! Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kau memukulinya! Aku akan melaporkanmu kepada polisi. Kau pasti akan menyesal!”“Jangan Marina. Tolong, jangan lakukan itu.” Aku mencoba mencegah istriku. Dengan susah payah aku berusaha untuk bangkit. Sekujur tubuh seperti tersayat ribuan pisau. Sangat sakit.“Kenapa? Anak ingusan itu sudah berani memukulimu. Jadi tak ada ampun baginya karena sudah menyakiti dirimu, Sultan! Aku akan m
1O. RYAN MENGHAJAR SULTANMata Leo menatap nyalang ke arahku. Api kemarahan terlihat dari bolamatanya yang bersinar. Apa sebenarnya yang terjadi. Perasaan, aku tidak mengeluarkan kata-kata yang menyakitinya. Lebiha baik aku bertanya saja kepadanya.“Leo kau ....”“Dengar Sultan! Mudah sekali kau berbicara tentang takdir! Apa kau tak berfikir kalau semua penyebabnya adalah kau!” Leo mendorong dadaku dengan telunjuknya. Aku tak mengerti kenapa dia bisa semarah ini.“Oke, aku memang salah. Tapi....”“Sudah diam! Ingat, aku melakukannya bukan untukmu! Melainkan rasa kemanusiaan! Aku kasihan kepada gadis itu dan keluarganya!”“Iya tapi ....”“Ssst. Diamlah!”Leo kembali memacu kendaraan dengan cepat. Aku tahu hatinya sedang tidak baik. Biarlah, aku hanya bisa berdo’a untuk keselamatan kami.***Aku hanya duduk di mobil dan
9. PENYESALAN MENDALAMSultan Bima syailendraHampir semalaman mata ini tak mampu terpejam. Rasa bersalah membuat hidup tak tenang.Membayangkan gadis itu pasti sedang menangis. Aku seperti merasakan kepedihan itu. Ya, ada denyutan nyeri jauh dari dalam dada. Memegang dada yang terasa agak nyeri.“Sayang, ayo di makan.” Suara istriku membuyarkan lamunan. Tanpa kusadari aku hanya mengacak-acak nasi tanpa memakannya. Hidangan yang tersedia di meja, sama sekali tak mengundang selera makanku.“Ayo di makan. Sudah siang, nanti kamu telat ke kantor. Sini, aku suapin ya.” Marina mengambil piring yang ada di hadapan. Itulah kenapa aku sangat mencintainya. Dia selalu mengerti apa yang ada dalam pikiran. Saat ada masalah, dia berhasil menenangkan. Seperti saat ini, aku sedang sangat gelisah dan tak ingin makan. Dengan sigap dia menyuapiku. Kalau sudah begini, aku tak bisa menolak. Bagai anak kecil yang menurut apa kata orangtua.&ldquo