“Grace, besok kau libur, kan? Aku ingin mengajakmu pergi ke suatu tempat. Mungkin kita bisa refreshing?”
Betul, selama ini Grace merasa kehidupannya hanya berputar-putar pada masalahnya dengan Edward dan Ethan, selama berbulan-bulan dia lupa bagaimana memanjakan diri, jalan-jalan ke tempat rekreasi, bahkan dia pun ingat sudah lama tak pergi keluar bersama Natalie atau teman-temannya yang lain. Ya, dia butuh hiburan.
“Kita mau ke mana?”
“Aku akan cari tempatnya nanti.”
“Boleh. Kau tentukan saja di mana kita akan menghilangkan rasa bosan ini,” jawab Grace senang.
Grace kembali bekerja setelah menghabiskan segelas cocktail kesukaannya. Sudah beberapa hari ini dia tak bertemu dengan Edward maupun Ethan, setiap Ethan atau Edward meneleponnya, dia hanya menjawab singkat tanpa banyak berbasa-basi lebih lanjut. Mungkin dia harus mencari kesibukan lain yang bisa mengalihkan perhatiannya, yang baginya lama-lama menjadi sangat monoton.
Ketika Gra
“Apakah harus pergi?” “Maaf, aku harus pergi. Jika kau berubah pikiran, kau bisa menyusulku.” “Aku—“ “Jangan menangis. Bukankah mencintai seseorang tak harus selalu memilikinya? Aku menyerah bukan untuk melepasmu. Jika kau tak menemukan yang lebih baik dari aku, kau pasti akan kembali dengan sendirinya.” Grace menghambur kembali ke pelukan Kevin. Entah kenapa dia merasa malam ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Kevin. Mungkinkah Kevin benar-benar tersakiti dengan perasaan yang dirasakannya? Grace tak bisa menebaknya. “Sore made sayonara, Grace,” (Selamat tinggal sampai nanti, Grace) ujar Kevin. Kedua mata Kevin ikut berkaca-kaca ketika mengucapkan kalimat tersebut. Grey datang ke rumah Grace, karena keduanya sudah menyusun agenda untuk menghabiskan hari libur berdua. Edward sendiri masih sibuk dengan pekerjaan dan banyaknya rapat dengan para investor untuk perusahaan milik kedua orangtuanya, dia menjadi jarang untuk menghubungi Gra
“Aku paham maksudmu. Tapi ini keputusan Jason. Lagi pula kudengar Ethan juga dekat dengan gadis itu, apa kau sanggup bersaing? Bukankah lebih baik kau dan Karina saling mengenal lebih dekat dan—“ “Aku tak perlu mengenal lebih dekat gadis mana pun yang kau berikan padaku. Aku mau pergi! Jangan campuri urusanku lagi, Mrs. Jason!” bentak Edward. Dia bangkit dari tempat duduk, menendang sebuah kotak sampah hingga terpental lalu membanting pintu dengan kencang. “Karina, kejar Edward. Aku tak ingin malu pada kedua orangtuamu,” kata Cathy pada Karina. Karina memang cantik. Tubuhnya tinggi dan langsing, rambut pendek sebahu berwarna hitam pekat, dengan kulit putuh bak porselen, kedua bola mata berwarna biru terang yang terlihat sangat menggoda ketika dia melirik, akan membuat siapa pun dengan mudah jatuh hati padanya. Karina adalah anak dari rekan bisnis keluarga Madison, dan mereka sudah saling mengenal sejak lama. Alih-alih menjadi investor di perusahaan, tid
‘Jadi gadis ini akan dijodohkan? Tapi dengan siapa? Cathy memiliki dua orang putera, apakah Edward atau Ethan?’ batin Grace seraya memperhatikan wajah Karina yang baginya terlalu sempurna. Gadis itu memiliki segalanya; harta, kekuasaan, dan kecantikan yang bisa membuat gadis lain rela mati demi mendapatkan kecantikan yang menurut Grace sangat sempurna. “Berita juga mengatakan saat itu kau menyindir wanita tua itu karena dia tak menyetujui hubunganmu dengan puteranya, apa kau pernah atau masih memiliki hubungan dengan salah satu putera Cathy Madison?” Mulut Karina tak berhenti bertanya sepanjang jalan. Membuat Grace bingung dan tak tahu harus menjawab darimana. “Iya itu aku,” jawab Grace dengan nada pasti. Dia tak mungkin lagi mengelak. “Kalau boleh tahu, dengan siapa kau berhubungan? Karena di berita itu mengatakan Cathy menentang hubunganmu dengan puteranya.” “Ethan,” jawab Grace pelan. Sudah cukup baginya, dia lelah jika harus menimbulkan masalah ba
Ethan menendang paha Edward. Seenaknya saja menawarkan dirinya pada gadis yang sama sekali tak dia kenal. “Kau gegar otak? Kenapa harus aku? Kalau kau menikah dengan gadis itu, aku bisa dengan leluasa membawa Grace bersamaku. Sekali-kali harus menjadi anak yang berbakti.” “Seandainya semudah itu, Ethan. Perasaanku semakin hari semakin besar, bahkan aku sendiri takut dengan perasaan yang kumiliki. Tapi aku benar-benar mencintai Grace. Sudahlah, kupastikan aku akan mengatakannya pada Grace tak lama lagi. Aku mau tidur dulu, keluar kau dari kamar!” Ethan melompat turun dari tempat tidur Edward. Kemudian berlalu dari kamar Edward. Dia masih meraba-raba, rencana berikut pasti akan lebih rumit dari sebelumnya. Atau sebaiknya dia membawa Grace tanpa sepengetahuan Edward. “Arrgh! Kenapa begini rumit!” Ethan mengusap wajahnya dengan kasar, dia benar-benar butuh menghilangkan kekusutan di otaknya saat ini. “Lebih baik aku pergi menemui Grace.” E
“Kalau kau tak bersikap baik, aku akan berteriak dan mengatakan kalau kau melecehkanku,” bisik Karina setengah berjinjit ke arah kuping Edward. “Gadis monyet, sebenarnya apa yang kau inginkan dariku?” tanya Edward geram. “Kau harus ikut makan siang denganku, aku ingin memperkenalkanmu dengan teman baikku,” jawab Karina. Mau tak mau Edward mengikuti kemauan Karina. Emosinya terasa ingin meledak, dia tak pernah oleh gadis mana pun untuk mengikuti kemauan mereka. “Grace, ini Edward,” ucap Karina tanpa merasa bersalah. Edward yang terkejut melihat Grace ada di meja tersebut, tak mampu mengucapkan apa pun. Grace memaksakan dirinya untuk tersenyum meski hatinya saat itu sakit melihat Karina mengamit lengan Edward dengan mesra. ‘Kenapa kau tak menolak Karina menggandeng tanganmu, Bodoh!’ batin Grace. Rasanya dia ingin segera pergi dari restoran dan melihat kedua orang itu. Kalau saja dia bisa pergi rasanya dia ingin berteriak sekuat t
“Kalau kau melamun, bus yang kau tunggu bisa terlewat,” ujar seseorang yang berdiri di samping Grace saat itu. “Biarkan saja. Apa urusanmu,” jawab Grace pelan. “Benar begitu? Grace, kau tak mau melihatku?” Grace mengangkat kepalanya yang tertunduk, dan menoleh ke samping. Dilihatnya sebuah sosok yang sangat dikenalnya. Senyuman yang menjadi ciri khasnya tak pernah berubah. Kevin sedang berdiri di sampingnya, kedua tangannya tenggelam di kedua saku celana. “Ke-Kevin? Bagaimana mungkin?” “Apa yang tak mungkin bagiku?” “Pasti aku sedang bermimpi,” ujar Grace lalu menepuk kepalanya. Kevin menyentuh tangan Grace dan meletakkan di dadanya. “Sekarang kau sudah yakin, kalau kau tak sedang bermimpi?” “Heh. Bukankah kau di Jepang?” “Nona Cantik, perusahaanku tak jauh dari sini. Tadi aku melihatmu menyeberang dengan wajah murung, lalu aku berinisiatif untuk menghampirimu. Aku sudah berdiri di sampingmu kurang lebih l
Sesampainya di Michigan, Grace segera membereskan ruang tidur. Dia sudah terlalu lelah seharian berada di luar, lalu bertemu Edward dan bertengkar. Kenapa dia merasa akhir-akhir ini dia seperti terus dilanda kesialan. Sepertinya Ethan sudah tahu jika dia baru saja bertengkar dengan Edward. Berkali-kali Ethan menelepon Grace tapi tak diacuhkan, dia tak mau berbicara dengan siapa pun untuk sementara. Ethan pasti akan bertanya banyak hal, dan pasti akan memaksanya untuk memberitahu alamat. “Apa Grace sudah mengangkat?” tanya Vanes. “Dia tak mengangkat teleponku. Apa ada yang tahu, apa yang terjadi dengan kedua orang ini?” tanya Ethan pada Kevin, Vanes, dan Mark. Saat ini mereka berada di sebuah bar, dan itu pun Edward yang mengajak. Edward tak karu-karuan, beberapa kali dia memecahkan botol bir di bar, dan mereka harus membayar penggantian. “Edward menggila, satunya mengabaikan panggilan telepon. Grace tak pernah mengabaikan panggilanku, biasanya
“Entahlah, aku bingung. Akhir-akhir ini moodku sedang tak baik. Aku juga baru bertengkar dengan Edward, dia—“ “Dia menyakitimu?” potong Kevin cepat. Grace menggeleng. “Cathy, dia akan menikahkan Edward dengan gadis lain. Aku tak tahu harus bagaimana. Aku benar-benar sudah jengah dengan semuanya. Aku kira tak akan ada lagi masalah yang timbul setelah ini. Tapi aku salah. Cathy tak semudah itu menyerah untuk memisahkanku dengan Edward, Kev.” Kevin mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia cukup paham dengan cerita yang baru saja didengarnya. Apa yang dia bisa perbuat? Hanya bisa menenangkan Grace, memberikan bahu atau punggungnya agar Grace bisa dengan leluasa menumpahkan seluruh keluh kesahnya, selebihnya? Dia tak mau ikut terlalu dalam. Karena dia menyadari, semakin dia ikut masuk terlalu dalam, dia akan menyakiti perasaannya sendiri. Kevin menyentuh dagu Grace, membuat Grace mengangkat kepalanya dan menatap wajah Kevin. “Kau sudah sangat mencintain