“Kalau kau melamun, bus yang kau tunggu bisa terlewat,” ujar seseorang yang berdiri di samping Grace saat itu.
“Biarkan saja. Apa urusanmu,” jawab Grace pelan.
“Benar begitu? Grace, kau tak mau melihatku?”
Grace mengangkat kepalanya yang tertunduk, dan menoleh ke samping. Dilihatnya sebuah sosok yang sangat dikenalnya. Senyuman yang menjadi ciri khasnya tak pernah berubah. Kevin sedang berdiri di sampingnya, kedua tangannya tenggelam di kedua saku celana.
“Ke-Kevin? Bagaimana mungkin?”
“Apa yang tak mungkin bagiku?”
“Pasti aku sedang bermimpi,” ujar Grace lalu menepuk kepalanya.
Kevin menyentuh tangan Grace dan meletakkan di dadanya. “Sekarang kau sudah yakin, kalau kau tak sedang bermimpi?”
“Heh. Bukankah kau di Jepang?”
“Nona Cantik, perusahaanku tak jauh dari sini. Tadi aku melihatmu menyeberang dengan wajah murung, lalu aku berinisiatif untuk menghampirimu. Aku sudah berdiri di sampingmu kurang lebih l
Sesampainya di Michigan, Grace segera membereskan ruang tidur. Dia sudah terlalu lelah seharian berada di luar, lalu bertemu Edward dan bertengkar. Kenapa dia merasa akhir-akhir ini dia seperti terus dilanda kesialan. Sepertinya Ethan sudah tahu jika dia baru saja bertengkar dengan Edward. Berkali-kali Ethan menelepon Grace tapi tak diacuhkan, dia tak mau berbicara dengan siapa pun untuk sementara. Ethan pasti akan bertanya banyak hal, dan pasti akan memaksanya untuk memberitahu alamat. “Apa Grace sudah mengangkat?” tanya Vanes. “Dia tak mengangkat teleponku. Apa ada yang tahu, apa yang terjadi dengan kedua orang ini?” tanya Ethan pada Kevin, Vanes, dan Mark. Saat ini mereka berada di sebuah bar, dan itu pun Edward yang mengajak. Edward tak karu-karuan, beberapa kali dia memecahkan botol bir di bar, dan mereka harus membayar penggantian. “Edward menggila, satunya mengabaikan panggilan telepon. Grace tak pernah mengabaikan panggilanku, biasanya
“Entahlah, aku bingung. Akhir-akhir ini moodku sedang tak baik. Aku juga baru bertengkar dengan Edward, dia—“ “Dia menyakitimu?” potong Kevin cepat. Grace menggeleng. “Cathy, dia akan menikahkan Edward dengan gadis lain. Aku tak tahu harus bagaimana. Aku benar-benar sudah jengah dengan semuanya. Aku kira tak akan ada lagi masalah yang timbul setelah ini. Tapi aku salah. Cathy tak semudah itu menyerah untuk memisahkanku dengan Edward, Kev.” Kevin mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia cukup paham dengan cerita yang baru saja didengarnya. Apa yang dia bisa perbuat? Hanya bisa menenangkan Grace, memberikan bahu atau punggungnya agar Grace bisa dengan leluasa menumpahkan seluruh keluh kesahnya, selebihnya? Dia tak mau ikut terlalu dalam. Karena dia menyadari, semakin dia ikut masuk terlalu dalam, dia akan menyakiti perasaannya sendiri. Kevin menyentuh dagu Grace, membuat Grace mengangkat kepalanya dan menatap wajah Kevin. “Kau sudah sangat mencintain
“Kev?” “Hm?” “Boleh aku memelukmu sebentar?” pinta Grace. “Boleh. Berapa detik?” “Tak lama, hanya 10 detik,” jawab Grace mengulang kalimat yang pernah diucapkan Kevin padanya dulu sebelum Kevin pergi ke Jepang dua minggu yang lalu. Kevin merentangkan kedua tangannya dan Grace langsung menghambur ke dalam pelukan Kevin. Dada itu tak selebar dada Edward, bahu itu pun tak sekokoh milik Edward, tapi di sana Grace bisa menumpahkan seluruh kesedihannya tanpa takut pemiliknya akan menolak. “Sudah 10 detik, Grace,” kata Kevin. Diusapnya pundak Grace yang bergetar. Kevin sendiri heran, Grace mendadak cengeng dan tak pernah bisa menahan tangisannya. Meski setengah sadar, dia bisa melihat dua sosok yang sangat dikenalinya sedang berpelukan di dekat sebuah booth ice cream. Hatinya mencelos, dadanya terasa sakit, tapi dia tak bisa berbuat apa pun. Dia sudah mencurigai Kevin yang tiba-tiba pergi dari bar, dan mengatakan harus menemui
Tak berpikir panjang, ditariknya tangan Grace membuat Grace mengikuti gerakan Ethan. Keduanya keluar dari dalam rumah, Kevin sendiri tak terganggu sama sekali. Dibiarkan kedua orang itu menikmati malamnya. “Mau apa kau membawaku keluar rumah?” tanya Grace. Ethan tak menjawab, justru dia menelepon seseorang. “Tom, lakukan yang kuminta padamu.” Tak lama kemudian terdengar suara letusan kembang api beraneka ragam di langit, warna-warni yang menghiasi birunya langit di malam hari, membuat Grace terkejut hingga menutup mulutnya. Terperangah. Setelahnya Grace melihat kembang api yang membentuk formasi hati. Ethan menunjuk ke arah sebuah pohon besar, kembang api dinyalakan dan menampilkan sebuah tulisan ‘will you be mine’. Grace terdiam sesaat tak bisa mengeluarkan kata-kata, sejenak dalam kebisuan yang membuat kedua matanya berkaca-kaca. Apakah dia harus menerima Ethan? Lelaki yang dengan jelas menyatakan perasaannya secara terang-terangan.
Entah sudah botol ke berapa yang ditenggak Edward. Semalam dia mabuk dan dibawa kembali ke rumah oleh Mark dan Vanes. Baru beberapa jam dia tersadar, kepalanya terasa sakit dan berat. Belum hilang rasa sakit di kepalanya, Edward kembali meraih sebotol anggur di dalam rak kaca dan kembali meminumnya, kali ini wajahnya sudah benar-benar merah. Ketika dia bangkit berdiri dari kursi, tubuhnya terhuyung, dia bernyanyi dengan suara parau dan kacau. Edward tak ingin mengingat apa pun, rasanya dia ingin mabuk sepanjang tahun sehingga tak perlu memikirkan apa-apa lagi. Baru kali ini seumur hidupnya, merasakan sakit yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Kenapa setiap dia bermasalah dengan Grace, selalu ada sosok Kevin yang hadir dan mengganggunya? Semalam melihatnya berpelukan dengan Kevin, rasanya dia ingin membunuh Kevin dan membuatnya lenyap selamanya. Dia tak pernah bisa rela siapa pun menyentuh Grace selain dirinya. Mark baru saja tiba di rumah Edward, k
Edward mendekati Karina, dan menggandeng tangannya. Dengan berat kedua kakinya melangkah membawa Karina ke hadapan lima orang yang seakan menunggu apa yang akan dilakukan Edward. “Aku dan Karina, kami berpacaran, jadi wajar aku mengajaknya ikut bersamaku ke Jepang,” ucap Edward tegas. Meski dia sendiri tahu, saat itu dia menyakiti dirinya sendiri dengan mengatakan hal yang sebenarnya tak ingin dia katakan. Benar kata Kevin, Edward hanya akan menyakiti dirinya sendiri. Kedua bola mata Karina terbelalak kaget, dia tak menyangka Edward akan mengatakan kalimat itu di hadapan sahabat-sahabatnya, dan di depan Grace! Grace tersenyum lemah, baginya ini akhir dari segalanya, bukan? Edward yang selalu menolak bahkan memperjuangkannya di malam itu, hari ini dengan tegas mengeluarkan kalimat itu. Dia berpacaran dengan Karina! “Selamat,” kata Grace dengan senyum yang dipaksakan. Satu tangannya terulur ke arah Edward, tapi Edward mengacuhkannya.
Ethan dan dia, sama-sama anak dari kedua orangtuanya, tapi ... kenapa harus dia yang selalu disudutkan dengan keadaan? Dia selalu berharap andaikata dia bisa bertukar tempat atau setidaknya Tuhan mengijinkan mereka bertukar jiwa, dia ingin berada di tubuh Ethan dan bersama dengan Grace tanpa memiliki beban apa pun. ‘Sampai kapan kalian mau menyiksaku seperti ini?’ batin Edward. Ada sedikit penyesalan di dalam hati Karina. Dia tak menyangka, gadis yang ternyata dicintai Edward adalah Grace. Jadi berita yang di saksikan waktu itu, adalah berita di mana Grace melawan Cathy menentang pertunangan Edward adalah benar. Dulu dia tak pernah menganggap berita itu serius apalagi dari mulut Grace keluar kalimat jika dia adalah kekasih Ethan, membuat Karina semakin percaya diri untuk mendekati Edward dan meneruskan rencana perjodohan itu. Tetapi ketika didengarnya sendiri dari mulut Edward, dia tak akan pernah bisa mencintai gadis lain, entah kenapa Edward seperti
Karina nampaknya tak terlalu terpengaruh dengan kalimat Edward mengenai perasaannya terhadap Grace. Dia tetap menunjukkan sikap yang sama seperti sebelum dia mengetahui hubungan Grace dan Edward sebelumnya. “Grace, bagaimana kalau setelah ini kita keluar jalan-jalan berdua?” ajak Karina antusias. Gadis itu terlihat fair. Baginya bersaing dalam hal cinta bukan berarti membawanya menjadi sebuah arena permusuhan, karena Grace tetap gadis yang baik di mata Karina. Karina menyukai Grace, di luar perasaannya terhadap Edward. Grace mengangkat alisnya dan tersenyum, “Baiklah. Aku akan membersihkan diri terlebih dahulu, setelah itu aku akan menemanimu keluar. Ethan, kau jangan masuk dulu ke dalam. Aku mau membersihkan diri.” Ketika Grace selesai membersihkan diri, Ethan pun masuk ke dalam kamar. Grace benar-benar merasa canggung ketika harus berada dalam satu kamar dengannya. Ada satu hal yang menarik perhatian Grace ketika melihat Ethan. “Rambutmu sep