Tak berpikir panjang, ditariknya tangan Grace membuat Grace mengikuti gerakan Ethan. Keduanya keluar dari dalam rumah, Kevin sendiri tak terganggu sama sekali. Dibiarkan kedua orang itu menikmati malamnya.
“Mau apa kau membawaku keluar rumah?” tanya Grace.
Ethan tak menjawab, justru dia menelepon seseorang. “Tom, lakukan yang kuminta padamu.”
Tak lama kemudian terdengar suara letusan kembang api beraneka ragam di langit, warna-warni yang menghiasi birunya langit di malam hari, membuat Grace terkejut hingga menutup mulutnya. Terperangah.
Setelahnya Grace melihat kembang api yang membentuk formasi hati. Ethan menunjuk ke arah sebuah pohon besar, kembang api dinyalakan dan menampilkan sebuah tulisan ‘will you be mine’. Grace terdiam sesaat tak bisa mengeluarkan kata-kata, sejenak dalam kebisuan yang membuat kedua matanya berkaca-kaca.
Apakah dia harus menerima Ethan? Lelaki yang dengan jelas menyatakan perasaannya secara terang-terangan.
Entah sudah botol ke berapa yang ditenggak Edward. Semalam dia mabuk dan dibawa kembali ke rumah oleh Mark dan Vanes. Baru beberapa jam dia tersadar, kepalanya terasa sakit dan berat. Belum hilang rasa sakit di kepalanya, Edward kembali meraih sebotol anggur di dalam rak kaca dan kembali meminumnya, kali ini wajahnya sudah benar-benar merah. Ketika dia bangkit berdiri dari kursi, tubuhnya terhuyung, dia bernyanyi dengan suara parau dan kacau. Edward tak ingin mengingat apa pun, rasanya dia ingin mabuk sepanjang tahun sehingga tak perlu memikirkan apa-apa lagi. Baru kali ini seumur hidupnya, merasakan sakit yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Kenapa setiap dia bermasalah dengan Grace, selalu ada sosok Kevin yang hadir dan mengganggunya? Semalam melihatnya berpelukan dengan Kevin, rasanya dia ingin membunuh Kevin dan membuatnya lenyap selamanya. Dia tak pernah bisa rela siapa pun menyentuh Grace selain dirinya. Mark baru saja tiba di rumah Edward, k
Edward mendekati Karina, dan menggandeng tangannya. Dengan berat kedua kakinya melangkah membawa Karina ke hadapan lima orang yang seakan menunggu apa yang akan dilakukan Edward. “Aku dan Karina, kami berpacaran, jadi wajar aku mengajaknya ikut bersamaku ke Jepang,” ucap Edward tegas. Meski dia sendiri tahu, saat itu dia menyakiti dirinya sendiri dengan mengatakan hal yang sebenarnya tak ingin dia katakan. Benar kata Kevin, Edward hanya akan menyakiti dirinya sendiri. Kedua bola mata Karina terbelalak kaget, dia tak menyangka Edward akan mengatakan kalimat itu di hadapan sahabat-sahabatnya, dan di depan Grace! Grace tersenyum lemah, baginya ini akhir dari segalanya, bukan? Edward yang selalu menolak bahkan memperjuangkannya di malam itu, hari ini dengan tegas mengeluarkan kalimat itu. Dia berpacaran dengan Karina! “Selamat,” kata Grace dengan senyum yang dipaksakan. Satu tangannya terulur ke arah Edward, tapi Edward mengacuhkannya.
Ethan dan dia, sama-sama anak dari kedua orangtuanya, tapi ... kenapa harus dia yang selalu disudutkan dengan keadaan? Dia selalu berharap andaikata dia bisa bertukar tempat atau setidaknya Tuhan mengijinkan mereka bertukar jiwa, dia ingin berada di tubuh Ethan dan bersama dengan Grace tanpa memiliki beban apa pun. ‘Sampai kapan kalian mau menyiksaku seperti ini?’ batin Edward. Ada sedikit penyesalan di dalam hati Karina. Dia tak menyangka, gadis yang ternyata dicintai Edward adalah Grace. Jadi berita yang di saksikan waktu itu, adalah berita di mana Grace melawan Cathy menentang pertunangan Edward adalah benar. Dulu dia tak pernah menganggap berita itu serius apalagi dari mulut Grace keluar kalimat jika dia adalah kekasih Ethan, membuat Karina semakin percaya diri untuk mendekati Edward dan meneruskan rencana perjodohan itu. Tetapi ketika didengarnya sendiri dari mulut Edward, dia tak akan pernah bisa mencintai gadis lain, entah kenapa Edward seperti
Karina nampaknya tak terlalu terpengaruh dengan kalimat Edward mengenai perasaannya terhadap Grace. Dia tetap menunjukkan sikap yang sama seperti sebelum dia mengetahui hubungan Grace dan Edward sebelumnya. “Grace, bagaimana kalau setelah ini kita keluar jalan-jalan berdua?” ajak Karina antusias. Gadis itu terlihat fair. Baginya bersaing dalam hal cinta bukan berarti membawanya menjadi sebuah arena permusuhan, karena Grace tetap gadis yang baik di mata Karina. Karina menyukai Grace, di luar perasaannya terhadap Edward. Grace mengangkat alisnya dan tersenyum, “Baiklah. Aku akan membersihkan diri terlebih dahulu, setelah itu aku akan menemanimu keluar. Ethan, kau jangan masuk dulu ke dalam. Aku mau membersihkan diri.” Ketika Grace selesai membersihkan diri, Ethan pun masuk ke dalam kamar. Grace benar-benar merasa canggung ketika harus berada dalam satu kamar dengannya. Ada satu hal yang menarik perhatian Grace ketika melihat Ethan. “Rambutmu sep
“Kenapa kau begitu baik padaku, Kevin?” tanya Grace tiba-tiba. Kevin tak langsung menjawab, dia hanya bisa tersenyum seraya memandangi wajah Grace. Entah hanya perasaannya saja, atau memang Grace terlihat lebih kurus dari sebelumnya? Grace pun menjadi lebih pendiam dari sebelumnya, ah ... dia merindukan tawa Grace yang selalu meledak-ledak seperti biasa. Tawanya yang selalu mampu membuat Kevin terpesona. Kevin mengulurkan tangannya, merapikan beberapa helai rambut yang terjatuh di pipi Grace dan menyelipkan rambut ke sela kuping Grace. Getaran halus terasa di dalam dada Kevin, masih sama seperti beberapa waktu yang lalu. “Apakah aku perlu mengatakan alasannya?” tanya Kevin menjawab dengan pertanyaan. Grace mengangguk dan menyentuh tangan Kevin. Tangan itu begitu lembut, meski sentuhannya selalu terasa dingin tak sehangat Ethan atau Edward, tapi kedua tangan itu yang selalu ada saat dia merasa benar-benar butuh seseorang untuk menumpahkan seluruh kesed
Ketiganya tertawa seakan tak pernah beban apa pun di antara mereka. Mereka masuk ke sebuah mall. Karina menghabiskan uang banyak berbelanja ini dan itu, dia tak memperbolehkan Grace mengeluarkan uang sama sekali. “Bagaimana kalau mencoba sake?” tanya Karina. “Kau mau mencobanya?” tanya Kevin balik bertanya pada Karina. Meski Karina berusaha menutupinya, Kevin tahu gadis itu mencoba menghibur dirinya agar tak terlihat sedih di hadapan Grace dan Kevin. Meski hal itu sangat sulit bagiinya, tapi Karina ingin terlihat di hadapan kedua orang itu. “Hmm, tentu saja aku mau mencobanya. Kau mau, Grace?” “Eh, ok. Aku akan menemanimu, bagaimana, Kev?” tanya Grace pada Kevin. Setidaknya minum sake bisa menghilangkan rasa jenuh. Karina sebenarnya merasa benar-benar sedih dengan penolakan yang diberikan Edward padanya, tapi dia tak bisa memaksakan sesuatu yang tidak diinginkan orang itu. Terlebih memaksakan perasaan. Karina awalnya berharap, Edward mau membu
Kevin agak menyesalinya, seandainya saja dia lebih cepat dari Ethan, pasti saat ini Grace sudah bahagia bersamanya. Perasaan itu masih bisa ditata ulang, Grace pasti bisa menerimanya seperti dulu. Keduanya menatap lurus ke arah langit-langit kamar, tak ada yang berbicara, mereka hanya terus memandangi langit-langit, sibuk dengan pikiran masing-masing. Kevin kemudian menggerakkan satu tangannya, dan menggenggam erat tangan Grace di balik selimut. Desiran halus dan hangat memenuhi rongga dada Kevin saat itu. Sebentar lagi, dia yakin dia akan segera berpisah dengan Grace. Grace telah membuat keputusannya sendiri, memilih dengan siapa dia akan bersama, bukan dengannya atau pun Edward. “Apakah kita akan bertemu lagi, Grace?” “Jika Tuhan berkenan, maka kita akan dipertemukan meski dalam waktu yang cukup lama. Aku sudah memutuskannya, dan tak akan mungkin mengecewakan Ethan. Meski aku tahu, aku harus memulainya kembali dari awal, tapi mungkin hanya dengan ca
Kevin masih bergeming, dia tak mau bergerak. Grace kewalahan mengusir Kevin yang berada di atas tubuhnya, dia berharap semoga saja tak ada yang menyaksikan adegan itu, atau akan menimbulkan kesalahpahaman. “Kevin, kenapa mataku menatap seperti itu?” “Karena dirimu,” jawab Kevin pendek. Seakan berharap Grace mau mengerti apa yang sedang dirasakannya saat ini. Grace mengangkat kedua tangannya, perlahan disentuhnya wajah Kevin. Kedua mata itu, tak bisa berbohong, Kevin memang merasakan kesedihan di dalam hatinya. Semua itu karena Grace. “Maafkan aku, jika karena aku, kau menjadi sedih. Kau pikir, aku ingin semuanya menjadi seperti ini? Seandainya diperbolehkan memilih, aku memilih untuk menjadi diriku yang dulu, Kevin. Dengan begitu tak akan ada yang tersakiti.” Kevin menggeleng, kedua matanya masih lekat menatap wajah Grace yang berada di bawahnya. Sejujurnya tangan Kevin sedikit pegal menahan berat tubuhnya sendiri agar tidak menimpa tubuh Grac