“Kenapa kau begitu baik padaku, Kevin?” tanya Grace tiba-tiba.
Kevin tak langsung menjawab, dia hanya bisa tersenyum seraya memandangi wajah Grace. Entah hanya perasaannya saja, atau memang Grace terlihat lebih kurus dari sebelumnya? Grace pun menjadi lebih pendiam dari sebelumnya, ah ... dia merindukan tawa Grace yang selalu meledak-ledak seperti biasa. Tawanya yang selalu mampu membuat Kevin terpesona.
Kevin mengulurkan tangannya, merapikan beberapa helai rambut yang terjatuh di pipi Grace dan menyelipkan rambut ke sela kuping Grace. Getaran halus terasa di dalam dada Kevin, masih sama seperti beberapa waktu yang lalu.
“Apakah aku perlu mengatakan alasannya?” tanya Kevin menjawab dengan pertanyaan.
Grace mengangguk dan menyentuh tangan Kevin. Tangan itu begitu lembut, meski sentuhannya selalu terasa dingin tak sehangat Ethan atau Edward, tapi kedua tangan itu yang selalu ada saat dia merasa benar-benar butuh seseorang untuk menumpahkan seluruh kesed
Ketiganya tertawa seakan tak pernah beban apa pun di antara mereka. Mereka masuk ke sebuah mall. Karina menghabiskan uang banyak berbelanja ini dan itu, dia tak memperbolehkan Grace mengeluarkan uang sama sekali. “Bagaimana kalau mencoba sake?” tanya Karina. “Kau mau mencobanya?” tanya Kevin balik bertanya pada Karina. Meski Karina berusaha menutupinya, Kevin tahu gadis itu mencoba menghibur dirinya agar tak terlihat sedih di hadapan Grace dan Kevin. Meski hal itu sangat sulit bagiinya, tapi Karina ingin terlihat di hadapan kedua orang itu. “Hmm, tentu saja aku mau mencobanya. Kau mau, Grace?” “Eh, ok. Aku akan menemanimu, bagaimana, Kev?” tanya Grace pada Kevin. Setidaknya minum sake bisa menghilangkan rasa jenuh. Karina sebenarnya merasa benar-benar sedih dengan penolakan yang diberikan Edward padanya, tapi dia tak bisa memaksakan sesuatu yang tidak diinginkan orang itu. Terlebih memaksakan perasaan. Karina awalnya berharap, Edward mau membu
Kevin agak menyesalinya, seandainya saja dia lebih cepat dari Ethan, pasti saat ini Grace sudah bahagia bersamanya. Perasaan itu masih bisa ditata ulang, Grace pasti bisa menerimanya seperti dulu. Keduanya menatap lurus ke arah langit-langit kamar, tak ada yang berbicara, mereka hanya terus memandangi langit-langit, sibuk dengan pikiran masing-masing. Kevin kemudian menggerakkan satu tangannya, dan menggenggam erat tangan Grace di balik selimut. Desiran halus dan hangat memenuhi rongga dada Kevin saat itu. Sebentar lagi, dia yakin dia akan segera berpisah dengan Grace. Grace telah membuat keputusannya sendiri, memilih dengan siapa dia akan bersama, bukan dengannya atau pun Edward. “Apakah kita akan bertemu lagi, Grace?” “Jika Tuhan berkenan, maka kita akan dipertemukan meski dalam waktu yang cukup lama. Aku sudah memutuskannya, dan tak akan mungkin mengecewakan Ethan. Meski aku tahu, aku harus memulainya kembali dari awal, tapi mungkin hanya dengan ca
Kevin masih bergeming, dia tak mau bergerak. Grace kewalahan mengusir Kevin yang berada di atas tubuhnya, dia berharap semoga saja tak ada yang menyaksikan adegan itu, atau akan menimbulkan kesalahpahaman. “Kevin, kenapa mataku menatap seperti itu?” “Karena dirimu,” jawab Kevin pendek. Seakan berharap Grace mau mengerti apa yang sedang dirasakannya saat ini. Grace mengangkat kedua tangannya, perlahan disentuhnya wajah Kevin. Kedua mata itu, tak bisa berbohong, Kevin memang merasakan kesedihan di dalam hatinya. Semua itu karena Grace. “Maafkan aku, jika karena aku, kau menjadi sedih. Kau pikir, aku ingin semuanya menjadi seperti ini? Seandainya diperbolehkan memilih, aku memilih untuk menjadi diriku yang dulu, Kevin. Dengan begitu tak akan ada yang tersakiti.” Kevin menggeleng, kedua matanya masih lekat menatap wajah Grace yang berada di bawahnya. Sejujurnya tangan Kevin sedikit pegal menahan berat tubuhnya sendiri agar tidak menimpa tubuh Grac
Keesokkan harinya, Grace dan yang lainnya sudah bersiap-siap untuk melakukan perjalanan. Kevin mengajak mereka ke sebuah tempat. Tempat yang mereka tuju adalah sebuah tempat yang benar-benar indah, berada di dekat pegunungan. Grace yang baru pertama kali melihat pemandangan seperti itu menganga lebar, dia belum pernah melihat tempat sebagus itu seumur hidupnya. Sesekali Ethan menatap mesra Grace kemudian mengecup kening, membuat Edward jengah dengan situasi seperti itu. Siapa suruh Edward menjadi sangat pengecut, dan sekarang tak lebih dari seorang pecundang di mata Ethan. “Ya, ya, mau beradegan romantis lagi?” sindir Edward. “Kau cemburu?” balas Ethan tak peduli dengan tatapan Edward yang semakin lama semakin menusuk. Kenapa Edward harus satu mobil dengan Ethan dan Grace. Grace merasa keadaan semakin lama semakin kaku dan canggung. Dia memilih diam, meski Karina terus dengan bawelnya mengajak bicara di dalam mobil. Grace hanya menangg
Sudah dua hari mereka kembali dari Jepang. Edward telah memutuskan, hari ini dia akan menemui Grace, tinggal dua hari terakhir dari batas waktu yang diberikan Ethan padanya. Karina untuk sementara kembali ke Bremen untuk menyelesaikan beberapa urusan yang berhubungan dengan perusahaan keluarga miliknya. Tapi dia berjanji pada Grace, suatu saat dia akan mengunjungi Grace jika Grace memutuskan untuk pergi ke Italia bersama Ethan. Edward memainkan ponsel dalam genggamannya. Apa dia harus menelepon Grace lebih dulu dan memintanya untuk bertemu. Perasaan Edward benar-benar tak menentu, ada rasa rindu dan juga benci pada Grace setelah semua kejadian di Jepang beberapa saat yang lalu. Ethan baru saja tiba di kafe, Edward mengajaknya makan siang bersama. Sebenarnya tak lain untuk membicarakan tantangan yang Ethan berikan padanya, dan Edward menyanggupi tantangan itu. Tapi ada beberapa hal yang Edward harus perjelas pada Ethan sebelumnya. Dilihatnya Ethan deng
“Grace, kita sudah harus masuk ke ruang tunggu, apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Ethan melihat Grace yang seakan berat untuk masuk ke ruang tunggu. Edward sendiri mendekati detik terakhir, dia sama sekali tak datang menemui Grace. Mungkinkah dia telah mengakui kekalahannya dan menyerahkan Grace sepenuhnya pada Ethan? “Ethan, Edward tak tahu kalau kita akan pergi?” Ethan sebenarnya sudah memberitahukan Edward perihal keberangkatannya dengan Grace. Sedikit rasa heran di benak Ethan, karena Edward yang tadinya begitu menggebu bahkan hampir memukulnya ketika mengetahui dia akan membawa Grace, sekarang terkesan acuh dan hadir menemui mereka sama sekali. “Aku sudah memberitahukannya, Grace.” “Perasaanku tak enak, tapi aku tak bisa menunda kepergian kita. Aku—“ “Kau memikirkannya?” Grace tertunduk dalam, bagaimana mengatakannya? Dia mencintai Edward, sangat mencintainya, bahkan sampai detik ini tak ada yang
Bab 85 :Sebelum ke rumah Edward, dia sempat mampir ke apartemen Edward, tapi hasilnya pun nihil, dia tak menemukan Edward di sana. Apartemen itu pun cukup lama tak ditempati Edward semenjak dia mengenal Grace.Dulu apartemen itu merupakan tempat yang paling sering dikunjungi. Kali ini Vanes menemukan jalan buntu, beberapa orang suruhannya pun melaporkan jika mereka tak bisa menemukan jejak Edward di mana-mana.“Apakah CCTV yang berada di beberapa sudut jalan bisa diputar kembali? Sepertinya kita bisa meminta pihak pengatur lalu lintas untuk memutar kembali, mungkin bisa mendapatkan petunjuk?” tanya Vanes melalui sambungan telepon dari seorang suruhannya."Saya sudah meminta kepala lalu lintas untuk memutar kembali rekaman CCTV hari ini, tapi ada yang aneh,” jawab orang suruhan Vanes.“Apa maksudmu?”“Beberapa bagian terhapus dan tak bisa direcover ulang, sepertiny
Timothy serta Vanes tiba di Rumah Sakit Royal Ford. Vanes terlihat begitu tergesa-gesa dan ada kepanikan terlihat dari raut wajahnya saat itu. Keduanya bergegas menuju ruang informasi, berharap bisa menemukan Edward secepatnya.Yang menjadi pertanyaan pada keduanya, apakah terjadi sesuatu sebelumnya pada Edward?“Permisi, aku ingin bertanya, apakah kalian pernah menerima pasien bernama Edward Madison?” tanya Vanes pada seorang perempuan yang duduk di meja informasi. Perempuan itu seakan tak mempedulikan pertanyaan Vanes, tangannya sibuk bermain pada layar ponsel.Timothy yang jengkel mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya dan meletakkan benda itu pada pelipis perempuan yang terlihat acuh.“Nona, jika Anda tak bisa menjawab, jangan salahkan saya yang akan menarik pelatuk ini,” ucap Timothy membuat perempuan itu langsung melemparkan ponsel ke arah meja dan segera menatap ke arah Vanes.“M-maaf. Anda mencari siapa?&rdquo